05 Maret 2015

Jangan Anggap Remeh Gejolak Harga Pangan

Spekulasi bahwa harga gula di dalam negeri potensial meroket seperti harga beras, daging, dan sejumlah bahan pokok lain sungguh tidak berlebihan. Itu karena pasokan gula ke pasar kemungkinan menyusut sebagai konsekuensi atas konflik diplomatik Indonesia dengan Brasil dan Australia terkait eksekusi hukuman mati terpidana kasus peredaran narkoba. Konflik diplomatik kemungkinan mengganggu hubungan dagang kita dengan kedua negara, termasuk impor gula.

Selama ini, Brasil merupakan salah satu sumber utama kita dalam mengimpor gula. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), tahun lalu kita mengimpor gula mentah (raw sugar) dari Brasil sebanyak 427.493 ton.

Angka itu sekitar 13,4 persen dari rata-rata total impor gula mentah Indonesia. Dalam kondisi tertentu, persentase impor gula dari Brasil ini bisa mencapai 15 persen atau bahkan 20 persen.

Australia juga sumber utama kita dalam mengimpor gula ini. Volume impor gula mentah dari Australia rata-rata hampir mencapai 400.000 ton per tahun atau sekitar 12,2 persen dari total impor gula mentah kita.

Di luar kedua negara itu, kita juga biasa mendatangkan gula dari Thailand, India, dan beberapa negara Afrika.

Seperti juga beras ataupun daging, kita terpaksa mengimpor gula karena produksi di dalam negeri tidak memadai. Produksi gula kita maksimal sekitar 2,5 juta ton per tahun, sementara kebutuhan konsumsi sekitar 5,7 juta ton per tahun -- termasuk kebutuhan untuk industri. Alhasil, setiap tahun kita harus mengimpor gula mentah rata-rata 3,2 juta ton.

Di tengah konflik diplomatik kita saat ini dengan Brasil dan Australia, sekitar 30 persen atau hampir 1 juta ton kebutuhan gula impor, yang selama ini didatangkian dari kedua negara itu, kemungkinan terganggu. Sementara alternatif sumber impor bukan perkara mudah bisa didapat. Impor dari Thailand, misalnya, tak bisa serta-merta dilipatgandakan. Paling tidak, perlu proses pembicaraan atau negosiasi yang niscaya relatif panjang untuk bisa mengkonversi impor gula dari Brasil dan Australia ke Thailand ini.

Alhasil, dalam situasi seperti itu harga gula di dalam negeri memang potensial meroket. Bukan cuma gula, melainkan juga aneka produk makanan dan minuman yang mengandung bahan gula sebagai pemanis rasa.

Itu tak pelak lagi akan menjadi pukulan tambahan bagi masyarakat luas setelah babak belur dihajar kenaikan harga beras, daging, dan sejumlah bahan pangan lain. Belum lagi harga bahan bakar minyak (BBM), gas elpiji, dan tarif listrik juga naik lagi.

Gejolak harga aneka bahan kebutuhan pokok itu harus diwaspadai, karena bisa menjadi malapetaka. Harga pangan saja berkontribusi sekitar 50 persen terhadap laju inflasi. Artinya, daya beli masyarakat melorot signifikan akibat kenaikan harga pangan ini. Itu juga berarti, penduduk hampir miskin menjadi jatuh miskin, dan  penduduk yang sudah miskin menjadi semakin miskin.

Karena itu, pemerintah harus waspada. Gejolak harga aneka kebutuhan pokok sekarang ini tak boleh dianggap enteng. Gejolak tersebut harus bisa segera diatasi sebelum keluhan masyarakat berubah menjadi kemarahan sosial yang bisa berdampak menggoyahkan stabilitas politik di dalam negeri.

Patut disadari, keberhasilan pemerintah mengendalikan harga aneka kebutuhan pokok masyarakat ini akan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan Presiden Jokowi. Kalau gejolak harga itu tak bisa diatasi, maka publik akan memvonis Jokowi  gagal menyejahterakan rakyat.

Patut disadari pula bahwa kekecewaan rakyat terhadap kinerja pemerintah ini setiap saat bisa berubah menjadi kemarahan atau bahkan keberingasan sosial. Sejarah sudah membuktikan itu.***

Jakarta, 5 Maret 2015