17 Juli 2012

Koruptor tak Dipenjara


Koruptor harus dihukum berat. Tak cuma wajib dijebloskan ke dalam penjara, koruptor juga selayaknya dimiskinkan. Selain harta miliknya yang merupakan hasil korupsi disita untuk negara, koruptor juga dikenai denda material secara signifikan.

Kalau bisa, seperti di beberapa negara lain, koruptor bahkan layak dihukum mati. Hukuman mati patut dijatuhkan terhadap koruptor, di samping dikenai denda besar dan harta kekayaannya yang terbukti hasil korupsi disita, karena korupsi sangat berbahaya. Daya rusak korupsi terhadap kehidupan bangsa sungguh dahsyat.

Jadi, koruptor tak patut dihukum ringan. Terlebih hukuman ringan itu berupa hukuman percobaan sebagaimana putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan putusan hakim Pengadilan Negeri Probolinggo terhadap Agus Siyadi, Sekretaris Desa Gili Ketapang, Probolinggo.

Agus Siyadi adalah terpidana kasus korupsi sebesar Rp 5 juta. Pengadilan Negeri Probolinggo maupun Pengadilan Tinggi Surabaya mengganjar lelaki itu dengan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp 50 juta plus uang pengganti sebesar uang yang dia korupsi.

Dengan putusan MA, Agus Siyadi tak harus meringkuk dalam penjara. Meski MA mnjatuhkan vonis pidana dua bulan, toh Agus tidak harus menjalaninya --  kecuali di kemudian hari selama empat bulan dia dipersalahkan lagi.

Putusan tersebut serta-merta mencuatkan kesan bahwa korupsi bernilai relatif kecil tidak harus dihukum berat. Seolah-oleh koruptor kelas ecek-ecek tak mesti dijebloskan ke dalam penjara.

Hukuman terhadap koruptor jelas tak layak melulu disandarkan kepada nominal uang yang dikorupsi. Besar-kecilnya nilai uang yang dikorupsi sangat tak patut dikorelasikan dengan kadar hukuman. Tak patut, karena tindakan itu bisa berimplikasi mereduksi perbuatan korup. Seolah-olah korupsi yang terbilang kecil atau ringan tidak berbahaya.

Hukuman ringan bagi koruptor juga bukan hanya tidak menimbulkan efek jera, melainkan terutama sangat tidak adil. Tidak adil, karena koruptor telah merampok kesejahteraan orang banyak. Khalayak luas tidak bisa menikmati perbaikan kesejahteraan karena uang untuk itu menguap oleh korupsi.

Putusan yang membuat koruptor tidak dihukum berat, khususnya tidak dijembloskan ke penjara, juga dikawatirkan menjadi preseden buruk. Bukan tidak mungkin, putusan MA terhadap Agus Siyadi kemudian menjadi rujukan pengadilan dalam menangani kasus-kasus korupsi.

Dalam konteks itu, koruptor kelas ecek-ecek lantas bisa tetap menjalani kehidupan nyaman di luar jeruji besi. Padahal koruptor tetap koruptor. Entah korupsinya berjumlah besar ataupun kecil, koruptor seharusnya tetap dihukum maksimal -- termasuk mendekam dalam penjara.

Jadi, hukuman ringan bagi koruptor bukan hanya menggugah rasa keadilan masyarakat. Lebih dari itu, juga berbahaya terhadap gerakan pemberantasan korupsi secara keseluruhan. Padahal di negara yang sudah kronis dililit praktik korupsi seperti Indonesia ini, gerakan tersebut wajib tetap bergelora.***

Jakarta, 17 Juli 2012

16 Juli 2012

Pengurangan Jam Kerja


Meski Ramadhan 1433 H belum dimulai, Pemkot DKI Jakarta sudah menggariskan dispensasi ibadah puasa bagi pegawai negeri sipil (PNS) selama bulan suci umat Islam itu. Dispensasi itu berupa pengurangan jam kerja setiap hari selama 90 menit.

Untuk itu, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1073/2012, jam masuk kantor dimundurkan 30 menit menjadi pukul 08.00 WIB dibanding hari-hari kerja di luar Ramadhan. Sementara jam pulang dimajukan 60 menit menjadi pukul 15.00 WIB.

Sangat boleh jadi, seperti tahun-tahun lalu, jajaran pemda lain segera berbuat serupa. Maklum karena soal dispensasi ibadah puasa bagi PNS selama Ramadhan ini mendapat restu Kemenpan dan Kemenag. Lewat keputusan bersama, Kemenpan-Kemenag membolehkan pengurangan jam kerja PNS selama Ramdahan. Itu dimaksudkan agar selama Ramadhan, PNS (Muslim) dapat bekerja dan beribadah secara berkeseimbangan.

Ibadah puasa memang tak patut dijadikan alasan untuk berleha-leha atau apalagi bermalas-malasan. Semangat kerja tak boleh rontok menjadi loyo gara-gara berpuasa. Selama berpuasa, semangat kerja harus tetap terjaga dan prima. Dengan demikian, fungsi pelayanan publik tetap normal. Masyarakat pun tidak lantas dirugikan.

Tetapi ibadah puasa memang tidak ringan. Kalau tak cukup pandai melakukan penyesuaian, terutama karena sebagian waktu istirahat tersita untuk sahur (dan ibadah sunah malam), kondisi fisik orang berpuasa cenderung kurang bugar. Karena itu, pemberian dispensasi berupa pengurangan jam kerja cukup punya alasan.

Meski begitu, dalam praktik selama ini, ibadah puasa justru seperti menjadi pembenaran di kalangan pegawai, termasuk PNS, untuk memanjakan diri larut dalam kemalasan. Terutama di hari-hari awal Ramadhan, tak sedikit pegawai terlambat muncul di kantor dari jam masuk yang sudah ditentukan. Bahkan tak sedikit pula pegawai yang tidak masuk kantor tanpa alasan jelas.

Lalu pegawai yang masuk kerja pun cenderung memperagakan kekurangan vitalitas. Tengoklah saat tengah hari, kantor-kantor banyak lowong karena ditinggal pegawai tidur atau bermalas-malasan di mushala maupun masjid. Tidak mengherankan, berbagai masjid dan mushala di lingkungan perkantoran pun selama Ramadhan selalu penuh oleh pegawai berleha-leha atau tidur.

Lucunya, keloyoan dan kemalasan biasa menjadi sirna ketika jam kerja mendekati saat bubaran kantor. Kalangan pegawai seolah mendadak menemukan gairah dan kebugaran. Bahkan saking bergairah, tak sedikit pegawai acap sudah meninggalkan kantor sebelum jam resmi pulang.

Kenyataan seperti itu menunjukkan, pengurangan jam kerja selama Ramadhan membutuhkan pengawasan ketat. Mekanisme reward and punishment, dalam kaitan ini, sungguh perlu diterapkan. Jika tidak, seperti tahun-tahun lalu, kebijakan itu menjadi kehilangan relevansi -- dan terutama merugikan publik.***

Jakarta, 16 Juli 2012

13 Juli 2012

Kinerja Wakil Rakyat


Kinerja DPR belum juga membaik. Tetap mengecewakan. Bahkan tak kurang Ketua DPR Marzuki Alie sendiri yang menyatakan kinerja DPR ini bukan lagi sekadar mengecewakan, melainkan sudah tergolong memprihatinkan.
      
Kinerja yang memprihatinkan itu ditunjukkan oleh hasil proses legislasi yang sangat rendah. Dalam masa sidang III tahun 2011-2012 ini, DPR hanya mampu menyelesaikan dua undang-undang dari 12 rancangan undang-undang yang ditargetkan tuntas dibahas.
      
Tahun lalu, DPR juga hanya mampu menyelesaikan 11 undang-undang dari keseluruhan 70 RUU yang harus dibahas. Tahun-tahun sebelumnya, kinerja DPR menyangkut proses legislasi ini juga kurang lebih sami mawon. Sama-sama memble.
Padahal legislasi adalah satu satu tugas pokok yang diemban DPR.
      
Boleh jadi, buruknya kinerja DPR dalam menyelesaikan proses legislasi ini karena faktor target yang kelewat muluk alias tidak realistis. Target program legislasi nasional (prolegnas) sepertinya mengabaikan tingkat kesanggupan DPR sendiri.
      
Tapi boleh jadi juga, kinerja buruk itu lebih karena faktor kesungguhan DPR sendiri. Artinya, secara potensial DPR sebenarnya mampu menuntaskan target-target prolegnas. Namun karena kesungguhan mengejar target itu minim, terang saja proses legislasi pun menjadi kedodoran. Ujung-ujungnya, jumlah undang-undang yang dapat disahkan pun relatif kecil dibanding target keseluruhan prolegnas.
      
Soal kesungguhhan itu kelewat terang-benderang untuk dikatakan tidak memprihatinkan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kalangan anggota DPR malas mengikusi rapat-rapat, termasuk rapat-rapat dalam rangka proses legislasi di tingkat panja maupun di tingkat pansus. Juga rapat di tingkat paripurna yang menjadi forum pengesahan produk DPR.
      
Kemalasan itu menjadi faktor krusial yang acap menghambat penyelesaian proses legislasi. Sudah sering terjadi, pengesahan sebuah rancangan undang-undang menjadi undang-undang tertunda karena kehadiran anggota DPR tak memenuhi kuorum. Padahal proses legislasi sendiri di tingkat panja dan pansus sudah berlarut-larut akibat kentalnya tarik-menarik kepentingan.
      
Seperti kata Marzuki Alie, kenyataan itu jelas memprihatinkan. Bukan cuma karena legislasi adalah tugas utama DPR, melainkan juga karena DPR menikmati aneka tunjangan dan fasilitas kelas wahid. Fasilitas-fasilitas itu tak lain dimaksudkan untuk menjamin kelancaran DPR dalam mengemban tugas-tugas, termasuk menyangkut legislasi.
      
Jadi, tak seharusnya anggota DPR malas mengikuti rapat-rapat. Juga tak semestinya anggota DPR tak sungguh-sungguh dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang sehingga proses legislasi secara keseluruhan menjadi kedodoran. Berbagai tunjangan dan fasilitas yang mereka nikmati sepatutnya melecut mereka untuk bekerja lebih serius dan bertanggung jawab.
      
Kinerja buruk DPR sebagaimana tecermin dari hasil proses legislasi yang terbilang memprihatinkan jelas merupakan pertanda bahwa mereka yang duduk di lembaga itu tidak serius membahas masalah rakyat. Mereka lebih asyik dengan kepentingan mereka sendiri.
      
Karena itu, jangan salahkan jika muncul sinisme di masyarakat bahwa keanggotaan DPR bukan terutama untuk memperjuangkan masalah rakyat, melainkan sekadar memuaskan hasrat menggapai status terhormat -- dan selebihnya menikmati aneka fasilitas kelas wahid. Ironisnya, semua itu diberikan negara atas nama rakyat dan untuk kepentingan rakyat!***

Jakarta, 13 Juli 2012

01 Juli 2012

Pembenahan Institusi Polisi


Permintaan Presiden Yudhoyono kepada Polri -- bahwa institusi tersebut harus bebas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) -- wajib direspons secara positif dan segera. Wajib, karena permintaan itu diutarakan pucuk pimpinan nasional sehingga jelas merupakan instruksi. Juga karena, diakui ataupun tidak, institusi Polri masih dirasuki praktik KKN.

Karena itu pula, respons patut segera dilakukan Polri. Jika pembenahan dan pembersihan tak segera dilakukan secara serius, KKN niscaya menghancurkan kredibilitas dan integritas institusi Polri. KKN niscaya menguapkan berbagai nilai moral dan etik yang menjadi pijakan Polri dalam berkiprah di tengah masyarakat.

Kenyataan seperti itu tak boleh sampai terjadi karena Polri adalah salah satu pilar tertib sosial di masyarakat. Bila institusi Polri sendiri secara etis dan moral amburadul, kehidupan masyarakat niscaya tidak karu-karuan. Tertib sosial niscaya sirna digantikan oleh hukum rimba.

Permintaan Presiden itu sendiri, yang disampaikan pada puncak peringatan Hari Bhayangkara 2012, Minggu kemarin (1/7), sekaligus merupakan kritik kepada segenap jajaran Polri: bahwa praktik KKN masih menjadi penyakit yang membahayakan kredibilitas dan integritas kelembagaan mereka. Reformasi birokrasi, dalam konteks ini, belum optimal membuahkan hasil positif.

Kritik itu sungguh mewakili isi hati masyarakat selama ini.
Bagi masyarakat, reformasi birokrasi di internal Polri seperti tidak dilaksanakan dengan sepenuh hati. Seolah-olah program reformasi itu sekadar proforma.

Mungkin penilaian seperti itu keliru -- lantaran ekspektasi masyarakat tentang peran dan fungsi Polri kelewat tinggi. Tetapi karena banyak kasus yang mencoreng asas profesionalisme dan integritas polisi terhampar di depan publik -- antara lain kasus salah tangkap pelaku kejahatan, tindak kekerasan terhadap tahanan, atau juga menjadi beking tindak penyelewengan sosial seperti perjudian, pelacuran, dan lain-lain -- penilaian miring itu tak bisa disalahkan.

Walhasil, bagi masyarakat, Polri belum juga tampil sebagai institusi ideal dalam mengemban peran dan fungsinya. Polri masih tampil dalam ragam wajah yang acap tidak mengesankan.

Itu pula yang membuat masyarakat tetap saja cenderung tidak nyaman berurusan dengan polisi. Jangankan lantaran tersandung perkara hukum, bahkan sekadar menjadi saksi sebuah kasus pun masyarakat sudah enggan. Sinisme masyarakat tentang layanan polisi -- lapor kecolongan kambing malah jadi kehilangan sapi -- tak kunjung pudar.

Masyarakat memang sudah sangat merindukan sosok kepolisian yang teduh, tenang, namun sekaligus trengginas, handal, dan tak pandang bulu. untuk itu, permintaan Presiden benar adanya: institusi Polri harus bebas praktik KKN. Sekali lagi, karena KKN adalah sumber segala penyakit yang menghancurkan integritas dan kredibilitas institusi Polri.

Walhasil, Hari Bhayangkara 2012 sungguh patut dijadikan momentum penataan kelembagaan ke arah sosok Polri yang didambakan sekaligus dibanggakan masyarakat. Peringatan Hari Bhayangkara selayaknya tidak diperlakukan sekadar ritual tahunan yang tak memberi makna apa-apa kepada segenap jajaran kepolisian.***

Jakarta, 1 Juli 2012