03 Desember 2008

Bunga Tak Boleh Jadi Pemicu Krisis

Bunga kredit pemilikan rumah (KPR) terus merangkak naik dalam beberapa bulan terakhir. Dibanding posisi pada awal tahun, kini bunga KPR sudah melambung 6-7 persen menjadi rata-rata 18 persen.

Tingkat bunga sebesar itu sulit dikatakan tidak mencekik leher. Mencekik, karena debitor menjadi amat kesulitan mengembalikan KPR. Kemampuan mereka mencicil kredit jadi melemah drastis. Padahal sejumlah faktor pada saat bersamaan juga menggerogoti kemampuan ekonomi masyarakat sebagaimana gamblang tecermin pada tingkat inflasi yang cenderung terus menapak di level tinggi.

Karena itu, sektor KPR kini pekat dibayangi risiko gagal bayar. Kenyataan tersebut sungguh membuat kita miris. Betapa tidak, karena risiko gagal bayar bisa berdampak serius dan berskala luas terhadap ekonomi nasional. Kita khawatir, jika tak segera ditangani secara sungguh-sungguh, masalah risiko gagal bayar di sektor KPR ini bisa menjadi bom yang memporakporandakan bangunan ekonomi kita secara keseluruhan.

Itu bisa terasa amat menyakitkan, karena pemerintah sendiri sejak jauh hari sudah menyiapkan fondasi untuk menghindarkan kehidupan ekonomi kita rontok disapu krisis keuangan global. Serangkaian kebijakan antisipatif sudah disiapkan pemerintah untuk itu. Nah, berbagai kebijakan antisipatif itu bisa-bisa tak bermanfaat jika ternyata masalah gagal bayar KPR -- notabene bermuara sebagai kredit macet di perbankan -- ternyata luput dan justru menjadi pemicu krisis ekonomi di dalam negeri.

Jadi, tingkat bunga KPR sekarang ini adalah sebuah masalah yang tak bisa dipandang enteng. Paling tidak, krisis keuangan di AS sekarang ini harus dijadikan pelajaran berharga. AS terjerembab ke kubangan krisis keuangan demikian parah -- sekaligus menyeret ekonomi global ikut-ikutan jadi terpuruk -- adalah akibat tumpukan kredit macet di sektor perumahan.

Memang, peta kredit perumahan di AS dan di negara kita tidak sama dan tidak pula sebangun. Tetapi bukan berarti risiko krisis mustahil terjadi di negara kita. Paling tidak, faktor bunga yang menjulang tinggi sungguh potensial melahirkan masalah kredit macet.

Jadi, bahaya KPR macet sungguh harus diawaspadai dan diantipasi. KPR macet bukan tidak mungkin menjadi faktor yang memicu krisis ekonomi di dalam negeri. Terlebih lagi kondisi ekonomi nasional sendiri -- akibat tekanan imbas kondisi keuangan global -- sekarang ini bisa dikatakan rentan tergelincir ke lubang krisis.

Karena itu, langkah pemecahan harus segara dilakukan. Dalam konteks ini, bunga KPR tak boleh dibiarkan terus membubung tinggi. Untuk itu, perbankan harus dikondisikan tergerak menahan syahwat mengerek bunga tinggi-tinggi.

Mungkin benar, bunga KPR -- seperti juga bunga kredit secara keseluruhan -- dalam beberapa bulan terakhir terus naik karena biaya dana tinggi dan likuiditas ketat atau bahkan seret. Jadi, bank-bank mengerek bunga kredit sebagai kompensasi atas mahalnya biaya dana dan ketatnya likuiditas.

Tetapi apakah benar bank-bank harus menanggung rugi jika bunga kredit sekarang ini tidak didongkrak ke level tinggi? Jangan-jangan bunga kredit dilambungkan karena industri perbankan kita belum juga efisien. Artinya, sedikit saja faktor biaya naik, serta-merta tingkat bunga pun dikerek naik pula.

Namun, memang, faktor biaya ini tidak sepenuhnya dalam kendali masing-masing bank. Bahkan faktor tersebut banyak ditentukan oleh kebijakan Bank Indonesia (BI) selaku institusi pengendali moneter di dalam negeri. Lewat instrumen BI Rate, terutama, BI begitu dominan sebagai penentu arah pergerakan bunga perbankan nasional.

Jadi, tingginya bunga kredit perbankan sekarang ini pun -- termasuk KPR -- tak lepas dari garis kebijakan BI. Karena itu, berharap bunga kredit perbankan turun -- agar risiko kredit macet bisa dihindari -- harus pula dialamatkan kepada BI. Dalam konteks ini, BI Rate sepatutnya diturunkan secara signifikan!***

Jakarta, 03 Desember 2008

Tidak ada komentar: