04 Desember 2008

Sekadar Pelipur Lara

Langkah Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan (BI Rate), kemarin, sekadar pelipur lara. Sekadar memberi kesan bahwa kondisi moneter dilongggarkan. Padahal pelonggaran itu relatif tak berarti dibanding tuntutan objektif menyelamatkan sektor riil.

Bagi kita, langkah BI itu bersifat setengah hati karena nyata-nyata minimalis. Penurunan BI Rate sebesar 25 basis poin masih kelewat jauh dari kebutuhan dan harapan. Penurunan itu sungguh sulit bisa serta-merta menjadi stimulus yang menghela sektor riil menjadi bergairah di tengah tekanan imbas krisis keuangan global sekarang ini.

Seperti desakan berbagai kalangan selama ini, penurunan BI Rate mestinya minimal sebesar 50 basis poin. Lebih bagus lagi, tentu, 100 basis poin. Bukan saja sejumlah negara lain juga sudah menempuh langkah berani seperti itu, yaitu dalam rangka mengamankan ekonomi masing-masing agar tidak terpuruk akibat imbasan krisis keuangan global, melainkan terutama karena sektor riil di dalam negeri telanjur megap-megap. Sektor riil kita sudah meranggas akibat kebijakan BI selama ini memperketat moneter lewat instrumen BI Rate yang ditempatkan di level tinggi, sehingga kebijakan tersebut sudah saatnya diakhiri. Sektor riil sudah sangat mendesak doberi injeksi menyegarkan berupa pelonggaran moneter dan likuiditas.

Tetapi BI tampaknya punya hitung-hitungan sendiri, sehingga penurunan BI Rate ini hanya sebesar 25 basis poin. Sayangnya hitung-hitungan itu tak sepenuhnya bisa kita pahami. Paling tidak, itu tadi, karena penurunan tersebut masih jauh dari harapan dan kebutuhan menyangkut stimulasi sektor riil supaya segera bergairah kembali. Penurunan BI Rate sebesar 25 basis poin justru lebih meneguhkan anomali: bahwa dalam menggariskan kebijakan moneter di tengah krisis keuangan global sekarang ini, BI melawan arus umum di tingkat internasional.

Jadi, meski BI Rate sudah turun, sektor riil tampaknya masih akan tetap megap-megap. Kredit perbankan bukan saja tetap seret, melainkan juga hampir pasti tetap ditandai suku bunga relatif tinggi. Kalaupun bunga kredit terdorong turun, sulit diharapkan penurunan tersebut terbilang signifikan. Itu pun nyaris musykil bisa terjadi dalam hari-hari mendatang ini. Kemungkinan besar perbankan baru menurunkan bunga pinjaman dalam dua-tiga bulan mendatang. Terlebih lagi perbankan nasional telanjur menanggung beban berat terkait biaya dana selama ini plus potensi kredit bermasalah sebagai dampak pengetatan moneter yang digariskan BI.

Karena itu pula, kita amat berharap penurunan BI sebesar 25 basis poin kali ini baru sekadar langkah pembuka. Artinya, di hari-hari mendatang langkah tersebut kembali diayunkan BI. Tentu saja, rentang waktunya jangan kelewat panjang supaya sektor riil bisa segera benar-benar bernapas lega.

Untuk itu, besaran penurunan BI Rate sendiri jangan lagi terkesan setengah hati alias tidak minimalis. Mengharapkan penurunan BI Rate menjadi stimulus yang serta-merta membangkitkan kegairahan sektor riil jelas menuntut langkah berani: penurunan itu dilakukan relatif signifikan. Artinya, BI Rate ditempatkan pada tingkat yang relatif rendah dan kondusif bagi sektor riil tanpa membahayakan kondisi moneter secara keseluruhan.

Memang, untuk bisa sampai ke sana bukan langkah semudah membalikkan tangan. Menempatkan BI Rate di tingkat yang kondusif bagi sektor riil tanpa membahayakan kondisi moneter
juga tak cukup sekadar berpijak pada keberanian. Langkah ke arah itu jelas menuntut perhitungan cermat dan akurat.

Namun sikap cermat bukan berarti kelewat konservatif atau bahkan seperti menutup mata dan telinga terhadap harapan masyarakat luas maupun terhadap arus yang berkembang dalam lingkup luas. ***

Jakarta, 04 Desember 2008

Tidak ada komentar: