22 November 2002

Release and Discharge

Siapa yang akan meneken surat pengampunan atas tindakan hukum (release and discharge) terhadap obligor yang dinilai kooperatif oleh pemerintah? Apakah itu Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Kejaksaan Agung, Komite Kebijakan Sektor Keuangan, atau institusi lain? Entahlah. Kepastian tentang soal itu kemungkinan baru bisa tertoreh dua pekan lagi. Itu setelah pemerintah melakukan kajian khusus mengenai siapa atau institusi mana yang paling tepat menekan relrease and discharge ini.

Memang aneh bahwa pemerintah tak bisa segera menentukan institusi yang meneken surat pemberian amnesti tindakan hukum bagi obligor yang dianggap kooperatif itu. Sampai-sampai, untuk itu, harus terlebih dulu dilakukan kajian khusus. Apa yang sebenarnya terjadi?

Boleh jadi, kenyataan itu merupakan cerminan bahwa keputusan yang harus diteken mengandung masalah pelik. Entah secara moral ataupun mungkin juga secara legal. Karena itu, barangkali, tak ada institusi pemerintah yang sejak awal bersedia meneken surat release and discharge. Masing-masing terkesan buang badan. Masing-masing enggan tampil sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas pemberian amnesti hukum bagi
obligor yang dinilai kooperatif ini.

Keputusan pemerintah memberi release and discharge kepada obligor yang dinilai kooperatif itu sendiri, notabene tertoreh sebagai hasil sidang kabinet yang digelar pada 18 November 2002, memang kontroversial. Ini terutama karena nilai aset yang diserahkan obligor dengan nilai kewajiban mereka kepada negara jauh tak sebanding. Terlebih setelah sekian tahun nilai aset-aset itu ternyata terus mencuit.

Justru itu, muncul pertanyaan: layakkah obligor memperoleh release and discharge? Tidakkah itu menggugah rasa keadilan -- karena rakyat harus menanggung beban demikian menggunung berupa obligasi rekap berkaitan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dikucurkan kepada bank-bank milik para obligor itu?

Lalu, apa dan bagaimana kriteria kooperatif sehingga obligor dinilai layak memperoleh release and discharge? Bukankah mereka selama ini justru terkesan kurang beritikad baik menyelesaikan semua kewajiban kepada negara? Dari total kewajiban senilai Rp 600 triliun di pundak para penanda tangan perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) ini, aset yang mereka serahkan sebagai jaminan kepada BPPN ternyata hanya bernilai sekitar Rp 140 triliun -- karena mengalami penciutan. Sudah begitu, jumlah kewajiban mereka banyak juga tak sampai Rp 20 triliun.

Padahal, sekali lagi, rakyat telah berkorban banyak sebagaimana tercermin dalam APBN yang terus mengucurkan pembayaran bunga obligasi rekap bernilai triliun rupiah.

Tapi, barangkali, kalangan obligor sendiri tak benar-benar bersalah. Dalam konteks ini, BPPN sedikit banyak turut mengondisikan penyelesaian kewajiban para obligor terus berlarut dan memakan ongkos sangat mahal.

Dalam konteks perjanjian penyelesaian BLBI dengan jaminan aset alias Master of Settlement Acquisition Agreement (MSAA), misalnya, BPPN nyaris tak kunjung melakukan verifikasi melalui mekanisme financial due diligence oleh pihak independen. Padahal MSAA jelas dan tegas menggariskan soal itu: untuk mengetahui bahwa nilai aset yang diserahkan obligor sesuai nilai yang disepakati. Kalau tidak, nilai selisihnya bisa diketahui sekaligus menjadi kewajiban obligor untuk menyerahkan aset cadangan.

Hasil identifikasi Tim Bantuan Hukum yang ditunjuk Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) terhadap obligor MSAA ini, juga menyatakan bahwa sebagian besar obligor tidak menyerahkan aset ke perusahaan induk seperti dijanjikan. Tetapi, sejauh ini, BPPN tak terlihat pernah menindak tegas obligor bersangkutan. Upaya ke arah itu lebih banyak sebatas pernyataan di media massa berupa ancaman-ancaman yang tak pernah kunjung menjadi kenyataan.

Penyelesaian masalah BLBI, bagaimanapun, merupakan salah satu barometer pemerintahan kinerja pemerintah. Terlebih karena selama ini masalah tersebut terus terombang-ambing tanpa langkah penyelesaian yang benar-benar meyakinkan.

Apakah karena pertimbangan itu pula pemerintah kemudian memutuskan memberikan release and discharge terhadap obligor yang dinilai kooperatif? Entahlah. Yang pasti, apa pun langkah penyelesaian masalah BLBI ini sungguh menelan ongkos amat mahal dan menggugah rasa keadilan. Bisa dipahami jika untuk sekadar menentukan institusi yang harus meneken surat release and discharge ini pun pemerintah terkesan amat pelik dan gamang.***

Jakarta, 22 November 2002

Tidak ada komentar: