15 November 2002

Penyelesaian Beban BLBI

Keputusan DPR menunda pembahasan masalah beban Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) antara pemerintah dan Bank Indonesia bukan tanpa risiko serius terhadap geliat ekonomi nasional. Tapi putusan itu tampaknya memang sulit dihindari -- karena substansi masalah sangat prinsip dan menjadi taruhan bagi generasi mendatang.

Dalam konteks itu, DPR menggulirkan bola tentang mekanisme penyelesaian masalah beban BLBI ini kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Instansi tersebut diharapkan segera memberikan opini terhadap opsi penyelesaian BLBI yang sudah disepakati pemerintah dan Bank Indonesia. Jika opini sudah keluar, DPR pun bisa lebih mudah bersikap. Mereka memiliki pijakan pasti mengenai alasan teknis-ekonomis untuk secara politis menolak atau menyetujui opsi penyelesaian BLBI yang disodorkan pemerintah bersama Bank Indonesia.

Jumlah beban BLBI sendiri, yang harus dibagi antara pemerintah dan Bank Indonesia, ternyata jauh lebih besar ketimbang angka yang terungkap selama ini. Bukan Rp 144,5 triliun, melainkan Rp 159 triliun. Menkeu Boediono mengungkapkan bahwa selisih Rp 14,5 triliun tertoreh dari surat utang pemerintah (SUP) senilai Rp 53,8 triliun.

Beban tambahan BLBI sebesar Rp 14,5 triliun itu, menurut Boediono, memang terlepas dari beban BLBI yang telah diaudit BPK. Itu karena beban tambahan tersebut dikeluarkan setelah Januari 1999, dan pemerintah sendiri menilai beban tersebut merupakan bagian BLBI.

Pemerintah dan Bank Indonesia sendiri telah sepakat mengubah SUP dalam rangka BLBI senilai Rp 134,5 triliun menjadi perpetual promissory notes (PPN) alias obligasi tanpa jatuh waktu dan tanpa beban bunga. Namun kesepakatan tersebut dibatalkan. Konon karena DPR dan BPK menilai kesepakatan lebih banyak merugikan Bank Indonesia. Pemerintah dan Bank Indonesia kemudian bersepakat lagi mengubah surat utang dalam rangka BLBI ini menjadi redeemable promissory note (RPN), yakni surat utang yang dapat ditebus atau dikurangi sehingga jumlahnya bisa berubah dan bisa dilunasi -- tergantung kondisi kemampuan pemerintah dan Bank Indonesia.

Tetapi kesepakatan itu ternyata menggantung tak menentu. Bahkan DPR selaku otoritas yang sangat diharapkan memberikan persetujuan atau penolakan malah melempar bola kepada BPK. Itu memang prosedur yang harus ditempuh DPR agar sikap mereka terhadap opsi penyelesaian masalah beban BLBI tidak ngawur.

Hanya, implikasinya, kemelut mengenai pertanggungjawaban pengucuran BLBI ini pun lagi-lagi molor entah sampai berapa lama. Padahal penuntasan masalah beban BLBI antara pemerintah dan Bank Indonesia ini sangat mempengaruhi struktur pengeluaran APBN, di samping memberikan kepastian fiskal terhadap dunia usaha.

Sebenarnya, BPK sendiri sudah memberi isyarat positif terhadap kesepakatan pemerintah dan Bank Indonesia mengenai penerbitan RPN sebagai solusi penyelesaian masalah beban BLBI ini. Dalam konteks itu, Ketua BPK Satrio Boedihardjo Joedono menilai penerbitan RPN merupakan langkah maju dibanding rencana semula berupa penerbitan PPN.

Kendati demikian, tak serta-merta berarti bahwa BPK bersikap oke terhadap rencana penerbitan RPN ini. Bagaimanapun, BPK jelas akan bersikap ekstra hati-hati sebelum memberikan opini tentang itu. Maklum karena BLBI adalah dana negara berjumlah demikian besar -- notabene milik rakyat -- yang harus bisa diselamatkan alias tak boleh hangus ataupun menguap akibat tak jelas pertanggungjawaban.

Justru itu, apa pun sikap BPK -- setuju atau menolak -- bisa berimplikasi serius. Jika setuju, berarti BPK secara tidak langsung memberi garansi kepada DPR bahwa penerbitan RPN memang merupakan solusi yang akan menyelamatkan pengembalian BLBI. Sebaliknya jika menolak -- sehingga DPR pun kemungkinan besar tak akan berani memberikan persetujuan terhadap rencana penerbitan RPN -- berarti BPK mementahkan kembali proses alot yang sudah dilalui pemerintah dan DPR dalam rangka mencari solusi penyelesaian beban BLBI ini.

Itu juga berarti, kemelut penyelesaian BLBI tetap tak kunjung terselesaikan. Segala risiko politis atau ekonomis yang harus ditanggung negara pun tak bisa dihindari. Risiko tersebut terutama berupa beban bunga surat utang dalam rangka BLBI yang jelas-jelas terus bergulir tanpa bisa distop.

Kenyataan itu pula yang potensial meningkatkan derajat risiko fiskal bagi kalangan pengusaha. Maklum, karena kebijakan fiskal merupakan alternatif yang paling gampang dilirik pemerintah dalam mengatasi beban APBN ini -- notabene sudah dibebani defisit yang menganga lebar.***
Jakarta, 15 November 2002

Tidak ada komentar: