08 November 2002

Mengatasi Defisit

Defisit RAPBN 2003 membengkak Rp 10 triliun lebih. Jika semula Rp 26,263 triliun atau 1,3 persen produk domestik bruto (PDB), angka defisit RAPBN 2003 ini -- sesuai usulan perubahan yang diajukan pemerintah kepada Panitia Anggaran DPR -- berubah menjadi Rp 36,567 triliun (1,9 persen PDB).

Perubahan angka defisit itu sendiri merupakan penyesusuaian atas perubahan asumsi-asumsi makro dalam RAPBN 2003. Ini sebagai antisipasi terhadap dampak ekonomis tragedi bom di Bali, 12 Oktober 2002, yang membuat ruang gerak pemerintah dalam menimba penerimaan menjadi sempit.

Lepas dari persoalan bahwa usulan itu disetujui atau tidak oleh DPR, masalah defisit dalam RAPBN 2003 ini tetap gawat. Angkanya pasti tetap membengkak. Lalu bagaimana cara pemerintah mengatasi masalah tersebut?

Itu sungguh pertanyaan krusial. Terlebih karena pemerintah juga masih membutuhkan dana lain sebesar Rp 5,9 triliun yang sudah diputuskan sebagai alokasi bagi stimulus ekonomi tahun depan. Padahal ruang gerak dan pilihan-pilihan yang bisa ditempuh pemerintah untuk itu sudah sangat sempit.

Program privatisasi BUMN dan divestasi aset-aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), misalnya, hanya solusi tak meyakinkan. Selain sudah terbukti selalu tak bisa berjalan mulus, privatisasi BUMN dan divestasi aset-aset di BPPN juga kian resisten. Ujung-ujungnya, alternatif tersebut gagal mencapai target kontribusi penerimaan bagi pemerintah.

Alternatif lain -- kebijakan fiskal -- memang sangat mungkin digarap pemerintah. Tapi ini justru melahirkan disinsentif dan trade off bagi dunia bisnis. Terlebih situasi makro saat ini tak kondusif. Justru itu, kebijakan fiskal ini pun tak banyak menjanjikan. Karena itu pula bisa dipahami jika Ditjen Pajak pun justru memberi sinyal bahwa penerimaan pajak pada tahun depan kemungkinan diturunkan.

Jadi, bagaimana masalah defisit RAPBN 2003 ini bisa diatasi pemerintah? Boleh jadi, utang luar negeri akan menjadi pilihan strategis yang dilirik pemerintah. Apalagi forum Consultative Group on Indonesia (CGI) sudah memberikan isyarat bahwa mereka siap memberikan komitmen pinjaman relatif besar -- jauh di atas angka yang sudah siap diajukan pemerintah (3 miliar dolar atau ekivalen sekitar Rp 26 triliun) pada sidang CGI di Yogyakarta, akhir Oktober 2002, yang ternyata urung digelar. Komitmen itu, konon, sebagai wujud kepedulian mereka membantu mengatasi kesulitan pemerintah berkaitan dengan dampak tragedi bom di Bali.

Melihat gelagat positif yang ditunjukkan CGI ini, sangat mungkin pemerintah pun tergerak. Berapa angka yang akan diajukan pemerintah kepada forum sidang CGI pada awal tahun 2003, itu belum jelas. Tapi hampir pasti di atas ancar-ancar semula sebesar 3 miliar dolar.

Kita berharap, bantuan CGI tak serta-merta menambah beban tumpukan utang kita yang sudah menggunung demikian tinggi. Justru itu, kita perlu mengingatkan pemerintah agar dalam forum pertemuan CGI awal tahun 2003 berjuang ekstra keras hingga bisa memperoleh banyak bantuan berupa hibah.

Sepanjang pemerintah bisa benar-benar meyakinkan -- bahwa kesulitan keuangan yang kita hadapi sudah mencapai taraf emergency -- kita percaya bahwa kalangan donor tak akan pelit memberikan banyak hibah. Kalaupun tidak, barangkali mereka rela memberikan konversi utang (debt swap) -- entah itu berupa konversi dengan program-program pelestarian lingkungan (debt to nature swap), pendidikan (debt to education swap), atau pengentasan kemiskinan (debt to poverty swap).

Di samping itu, pemerintah juga selayaknya kian serius mengelola utang dalam negeri maupun utang luar negeri. Untuk sementara, program penataan ulang profil (reprofiling) obligasi jatuh tempo mungkin layak diteruskan sehingga bisa mencakup seluruh bank peserta program rekap. Namun langkah ke arah itu harus konsisten berpijak pada semangat kesukarelaan (volunteer) pihak bank. Sebab, jika main paksa, program reprofiling obligasi ini malah mengguncangkan likuiditas bank. Konsekuensinya bisa serius: bukan tidak mungkin bank terjerembab lagi ke dalam krisis yang telah membuat mereka harus memperoleh injeksi rekap.

Di sisi lain, berkaitan dengan utang luar negeri, pemerintah juga sudah sangat perlu membulatkan keberanian dan tekad meminta pengurangan utang kepada kalangan kreditor. Toh meski sebagian utang luar negeri sudah direstrukturisasi melalui forum Paris Club, secara keseluruhan beban utang kita sudah kelewat besar dan di ambang kondisi menjebak (debt trap).***
Jakarta, 8 November 2002

Tidak ada komentar: