09 Agustus 2002

Pusat Krisis

Tidak ada alasan bagi kita untuk tak mendukung gagasan pemerintah mendirikan Pusat Krisis. Lembaga tersebut memang sungguh terasa menjadi kebutuhan mendesak. Karena kehidupan sosial-ekonomi kita -- notabene belum pulih dari krisis yang mendera sejak medio 1997 silam -- terancam bahaya besar. Bahaya tersebut -- dipicu oleh kegiatan sejumlah industri manufaktur yang menunjukkan gejala menuju titik balik -- terutama merujuk pada masalah ketenagakerjaan.

Dunia ketenagakerjaan kita memang sebuah masalah besar dan mencemaskan. Selama ini saja, di bawah bayang-bayang pertumbuhan angkatan kerja baru yang praktis tak bisa dibendung, sekitar 5,3 juta penduduk usia produktif tidak memiliki pekerjaan alias menganggur. Angka pengangguran absolut itu kini serta-merta membengkak menjadi hampir 5,8 juta. Itu terkait dengan kepulangan 400.000 lebih tenaga kerja ilegal dari Malaysia.

Kenyataan itu kian mencemaskan lagi karena sejumlah industri manufaktur memperlihatkan gejala menuju titik balik sehingga mengurangi kemampuan mereka menyerap tenaga kerja. Industri sepatu, misalnya, belakangan ini kehilangan order ekspor dalam jumlah signifikan karena pembeli di luar negeri berpaling ke produk negara lain. Tak bisa tidak, kapasitas industri pun terpaksa diciutkan. Konsekuensinya, apa boleh buat, tenaga kerja juga dikurangi.

Begitu juga industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Bahkan sejumlah industri TPT sudah hengkang ke luar negeri.
Walhasil, karena kapasitas melorot serta sejumlah pelaku memutuskan hengkang ke luar negeri, industri manufaktur ini bukan berperan mengurangi tekanan masalah ketenagakerjaan, melainkan malah menambah berat beban yang selama ini sudah menggunung. Dengan kata lain, industri manufaktur kini justru memberi kontribusi terhadap penambahan jumlah penganggur.

Tak bisa tidak, karena itu, dunia ketenagakerjaan kita pun kian buram dan amat mencemaskan. Bagaimanapun, jumlah penganggur yang semakin membengkak signifikan amat potensial meningkatkan tindak kriminalitas maupun masalah sosial lain.

Karena itu, kehadiran Pusat Krisis atau apa pun namanya sungguh sangat dibutuhkan. Ini bukan saja karena masalah ketenagakerjaan kian mencemaskan, melainkan juga karena pertumbuhan ekonomi nasional sulit diharapkan mampu menjadi penyelamat. Dengan tingkat pertumbuhan seperti ditargetkan pemerintah sebesar 3-4 persen per tahun, daya serap kegiatan ekonomi ini sungguh terlampau kecil. Bahkan sekadar menyerap angkatan kerja baru saja, pertumbuhan ekonomi kita selama ini relatif tak berarti.

Di lain pihak, kegiatan investasi juga tak memperlihatkan gambaran melegakan. Gambaran tersebut tercermin dalam angka impor barang modal dan bahan baku industri. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama semester I/2002 impor barang modal anjlok 29,91 persen dibanding periode sama tahun lalu. Sementara impor bahan baku, dalam periode bersamaan, melorot 21,35 persen.

Itu menegaskan bahwa kegiatan investasi di dalam negeri memang melemah. Data di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sendiri menunjukkan, selama semester I/2002 ini investasi domestik anjlok 40 persen lebih. Sementara investasi asing turun hingga di atas 70 persen.

Jelas, itu petunjuk gamblang bahwa iklim investasi di negeri kita sudah tak kondusif lagi. Apa yang menjadi penyebab, dunia usaha nasional sudah sejak lama menunjuk faktor keamanan yang tak cukup terjamin, penegakan hukum lemah, pungutan merajalela, birokrasi berbelit, juga upah pekerja dan ongkos produksi lain terus merekot.

Karena itu, sekali lagi, kehadiran Pusat Krisis sungguh sangat dibutuhkan. Lembaga tersebut sangat diharapkan mampu membesut iklim investasi di dalam negeri menjadi berkilau lagi. Dengan demikian, gejala hengkangnya kalangan investor ke luar negeri bisa dicegah. Bahkan, selebihnya, investor baru diharapkan kembali berbondong-bondong menabur proyek penanaman modal di Indonesia. Dengan itu pula, bahaya mencemaskan di balik masalah ketenagakerjaan yang kini membayang niscaya bisa banyak dikurangi.

Tapi kita perlu mengingatkan: Pusat Krisis harus benar-benar mampu menumbuhkan kesadaran sekaligus menerjemahkan sense of crisis menjadi langkah-langkah jitu menanggulangi masalah. Ini mutlak karena sejatinya soal itu pula yang menjadi penyebab lembaga serupa yang pernah ada hanya elok di atas kertas. Komite Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN) yang diluncurkan Kadin Indonesia ataupun Sekretariat Bersama yang dibentuk Menperindag, misalnya, praktis mandul karena gagal menumbuhkan sense of crisis ini. Kehebatan lembaga-lembaga tersebut hanya sebatas wacana. Itu pun hangat-hangat tahi ayam. Selebihnya, masing-masing pihak tetap saja asyik menjalani business as usual.***


Jakarta, 9 Agustus 2002

Tidak ada komentar: