02 Agustus 2002

Keppres Angin Surga

Keppres Nomor 56/2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah (UKM) ternyata tak istimewa. Jauh dari harapan. Isi Keppres itu terkesan setengah hati. Bahkan seperti sekadar basa-basi. Bahwa pemerintah tak hanya mengurusi tumpukan utang konglomerat, melainkan juga memiliki kepedulian terhadap nasib UKM yang dililit kredit bermasalah. Titik. Sementara untuk keperluan operasional mengangkat nasib kalangan UKM, Keppres Nomor 56/2002 adalah macan ompong.
Juga tak punya taji.

Betapa tidak, karena sekadar tentang besaran
diskon atas utang pokok saja Keppres
Nomor 56/2002 ini tak berani menyebut
angka. Pemerintah, seperti kata Mennegkop/UKM Alimarwan Hanan, berkilah bahwa soal itu sudah diatur dalam ketentuan lain: UU Nomor 25/2000 tentang Progam Pembangunan Nasional (Propenas).

Tapi soal itu pun masih mengambang atau samar. Keppres Nomor 56/2002 hanya menyebut UU Propenas sekadar sebagai bab "mengingat". UU Propenas tak tegas ditunjuk sebagai sumber rujukan utama mengenai angka diskon atas utang pokok yang berhak dinikmati kalangan UKM.

Justru itu, pemerintah terkesan ingin berlepas tangan mengenai soal insentif berupa diskon utang ini. Kesan itu kian kental karena soal tersebut -- juga soal insentif bebas bunga dan bebas denda ataupun opsi lain restrukturisasi kredit -- sejatinya diserahkan kepada kebijakan pihak bank dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) selaku kreditor.

Tak bisa tidak, karena itu, Keppres Nomor 56/2002 pun seperti cuma angin surga -- karena sekadar menjanjikan insentif bagi UKM yang membayar tunai utang mereka dalam tampo enam bulan sejak Keppres itu terbit. Sementara insentif itu sendiri -- entah berupa potongan utang pokok, bebas bunga dan bebas denda, atau perpanjangan waktu pelunasan, diskon beban bunga dan denda, atau juga penambahan fasilitas kredit -- tak lebih merupakan "kucing dalam karung". Karena semua bergantung hasil negosiasi UKM debitor dengan pihak bank atau BPPN selaku kreditor.

Celakanya, seperti kita tahu, posisi tawar UKM dalam berhadapan dengan pihak kreditor ini sulit diharapkan kokoh kuat. Terlebih sebagai debitor bermasalah, posisi tawar UKM jelas lembek. Justru itu, hasil restrukturisasi utang mereka pun lebih banyak bergantung pada kemurahan hati pihak debitor.

Celakanya pula, kita tak bisa berharap banyak bahwa pihak debitor benar-benar memiliki mental murah hati bak sinterklas. Menilik sikap-tindak mereka selama ini terhadap UKM, barangkali musykil mengharapkan mereka rela memberikan diskon terhadap utang pokok UKM dalam hitungan sangat signifikan -- jauh di atas 50 persen seperti terhadap utang para konglomerat. Begitu juga mengenai insentif bebas bunga dan bebas denda, boleh jadi mereka bersikap sangat pelit.

Dengan kata lain, dalam konteks restrukturisasi utang ini, pihak UKM cenderung lebih banyak dirugikan. Bahkan pihak debitor -- terutama kalangan perbankan -- barangkali justru lebih mengondisikan utang UKM tak direstrukturisasi hingga menjadi benar-benar macet. Bagi mereka, itu bisa menjadi pembenaran untuk melakukan tindakan eksekusi sebagaimana selama ini mereka perlihatkan tanpa beban sedikit pun.

Keppres Restrukturisasi Utang UKM sendiri semula sangat diharapkan benar-benar menjadi wahana yang membebaskan kalangan UKM dari jeratan kredit bermasalah akibat krisis ekonomi. Dengan itu, mereka boleh kita harapkan kembali bangkit dan berdaya sebagai salah satu pilar kekuatan ekonomi nasional.

Karena itu, terutama jajaran UKM, sungguh sangat menantikan kelahiran kebijakan tentang restrukturisasi utang mereka ini. Tak heran jika dalam penantian itu, mereka yang semula lancar mencicil kredit pun belakangan ikut-ikutan jadi debitor bermasalah. Itu tak lain karena mereka berharap bisa turut menikmati insentif-insentif pemerintah dalam rangka restrukturisasi utang.

Tapi sejak awal, langkah ke arah itu terkesan tidak mulus. Paling tidak, itu gamblang terlihat dari revisi naskah Keppres yang harus dilakukan hingga 26 kali. Dalam konteks itu, kita tidak menangkap kesan soal niat atau keinginan baik (good will) merumuskan kebijakan yang benar-benar tepat arah dan efektif. Kesan yang kita tangkap justru tarik-ulur berbagai kepentingan.

Kesan itu kian benderang setelah Keppres Nomor 56/2002 resmi diteken Presiden dan dinyatakan efektif berlaku. Keppres tersebut ternyata tak istimewa: hanya menjanjikan "angin surga" alias tak bisa diandalkan efektif membebaskan sekaligus memberdayakan UKM dari lilitan kredit akibat deraan krisis ekonomi.

Kenyataan itu serta-merta menguakkan kesan bahwa pemerintah memang tak sepenuh hati dalam membantu menyelamatkan nasib UKM ini. Tak bisa lain, karena itu, kita bisa mengatakan bahwa pemerintahan sekarang pun tak lebih baik dibanding yang lalu-lalu: sekadar menjadikan UKM sebagai komoditas politik. Pemberdayaan UKM sekadar basa-basi.***

Jakarta, 2 Agustus 2002

Tidak ada komentar: