04 Agustus 2002

PMA Tak Bayar Pajak

Tindakan sekian banyak perusahaam penanaman modal asing (PMA) tidak membayar pajak, jelas serius. Dengan jumlah wajib pajak yang mengemplang sekitar 3.500 dari 4.850-an perusahaan PMA saat ini, nilai pajak yang luput mengalir ke kas negara ini sungguh tak bisa dibilang kecil. Seperti kata Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), potensi kerugian negara akibat pajak yang luput disetorkan sekian perusahaan PMA itu bernilai triliunan rupiah.

Karena itu, adanya sekian banyak perusahaan PMA tak membayar pajak ini -- lepas dari berbagai alasan atau dalih mereka -- sungguh tak bisa dipandang remeh. Dari segi ekonomi, kenyataan itu terasa sangat ironis di tengah upaya pemerintah menutupi defisit anggaran. Sementara pemerintah pontang-panting berupaya menambal defisit APBN, sekian triliun rupiah yang mestinya bisa ditarik sebagai setoran pajak sejumlah perusahaan PMA menguap begitu saja.

Penerimaan pajak memang kian menjadi tumpuan pemerintah. Dalam RAPBN 2003, misalnya, pemerintah menargetkan penerimaan pajak senilai Rp 260,8 triliun. Itu naik 18,8 persen dibanding tahun anggaran berjalan. Dengan penerimaan sebesar Rp 260,8 triliun itu, pada tahun anggaran mendatang penerimaan pajak ditargetkan memberi kontribusi sebanyak 73,7 persen terhadap belanja negara.

Beban itu pula yang membuat pemerintah begitu membabi-buta melakukan pemungutan pajak ini. Sampai-sampai berkembang sinisme di masyarakat: bahwa dalam melakukan pengumpulan pajak, pemerintah sudah seperti berburu di kebun binatang.

Justru itu, ujung-ujungnya, pemungutan pajak ini membuat rakyat semakin terbebani. Bukan saja kian banyak jenis barang dan jasa dikenai pajak, melainkan juga tarif sejumlah jenis pajak pun didongkrak.

Sejalan dengan itu, juga sebagai upaya menekan defisit anggaran, subsidi-subsidi terus dipangkas atau bahkan dihapuskan. Tak bisa tidak, karena itu, beban yang harus dipikul rakyat sungguh kian berat.

Karena itu, rasa keadilan di masyarakat pun langsung terkoyak ketika tiba-tiba terungkap bahwa sekitar 70 persen investor asing ternyata tak membayar pajak. Alasan yang disebut-sebut melatari kenyataan itu -- jajaran perusahaan PMA bersangkutan tak menuai untung alias merugi -- sungguh sulit diterima. Lebih-lebih karena mereka terindikasi melakukan menipulasi harga barang (transfer pricing). Seperti kata Kakanwil Pajak VII Muhammad Said, transfer pricing mereka lakukan sebagai trik untuk merekayasa laporan keuangan hingga jadi seolah-olah merugi. Dengan demikian, memang, mereka terbebas dari kewajiban menyetor pajak.

Walhasil, sebenarnya, sekian banyak perusahaan PMA ini memang sengaja menghindari kewajiban membayar pajak yang tegas-tegas digariskan undang-undang. Dengan kata lain, mereka tak memiliki itikad baik selaku wajib pajak. Mereka sama sekali tak hirau oleh kesulitan keuangan yang dihadapi pemerintah.

Memang, kalangan perusahaan PMA sulit diharapkan menunjukkan komitmen atau kepedulian besar terhadap kesulitan keuangan yang kita hadapi dewasa ini. Nasionalisme Indonesia nyaris musykil tumbuh dalam diri mereka. Bagi mereka, yang penting investasi bisa terus bergulir lancar dan menghasilkan keuntungan optimal tanpa digerogoti banyak pengeluaran -- termasuk pajak. Sementara soal kesulitan keuangan negara yang dihadapi pemerintah, itu bukan sesuatu yang harus turut mereka pikirkan. Masalah itu semata urusan pemerintah dan rakyat Indonesia.

Menghadapi sikap-tindak seperti itu, kita dipaksa harus mafhum. Kita dipaksa menyadari bahwa kalangan perusahaan PMA, bagaimanapun, adalah warga asing di negeri ini.

Tetapi ketika sikap-tindak mereka sudah bersentuhan dengan soal kewajiban, kita tak bis mafhum. Terlebih, seperti soal pajak, jika kewajiban itu merupakan amanat undang-undang. Kita tak boleh menoleransi siapa pun -- termasuk warga asing seperti perusahaan PMA -- mengabaikan kewajiban yang digariskan undang-undang.

Itu berarti, adanya sekian banyak perusahaan PMA tak membayar pajak ini tak boleh kita biarkan -- apalagi karena keuangan negara sangat menuntut setoran pajak benar-benar optimal. Kita tak boleh menyerah begitu saja oleh kenyataan bahwa untuk mengungkap praktik transfer pricing yang dilakukan kalangan perusahaan PMA ini -- sebagai siasat mereka menghindari kewajiban membayar pajak -- sungguh bukan perkara mudah. Bagaimanapun, upaya ke arah pembuktian praktik transfer pricing ini harus kita lakukan -- meski untuk itu dibutuhkan banyak waktu dan energi.

Kita sangat berharap, Ditjen Pajak sependapat dengan kita: bahwa adanya sekian banyak perusahaan PMA tak membayar pajak ini harus ditelusuri dan diteliti. Kita juga berharap, semangat Ditjen Pajak mengayun langkah ke arah itu benar-benar menggebu dan tak cepat loyo.

Dengan berbagai reka-upaya, potensi lolosnya penerimaan pajak dari tangan perusahaan-perusahaan PMA ini harus kita selamatkan. Dengan demikian, masalah defisit APBN sedikit banyak akan terbantu teratasi.

Jakarta, Agustus 2002

Tidak ada komentar: