26 November 2004

Program Penyehatan BUMN

Sebanyak 47 BUMN masih saja merugi. Paling tidak, seperti diungkapkan Menneg BUMN Sugiharto dalam forum rapat kerja dengan Komisi VI DPR-RI, beberapa hari lalu, itu tertoreh berdasar kinerja masing-masing selama tahun 2003. Ini berarti, sekitar sepertiga BUMN kita -- dari total 157 unit -- belum juga sehat alias masih harus dibenahi.

Namun kerugian itu sendiri tak seluruhnya merupakan nista -- karena memang tak semua BUMN, sejatinya, harus berorientasi menguber keuntungan (profit oriented). Bagi BUMN yang mengemban fungsi agen pembangunan (agent of development), atau BUMN yang dibebani berperan sebagai public service obligation, kerugian itu mungkin sulit sekali dihindari -- dan karena itu kita pun bisa maklumi. Terlebih jika situasi dan kondisi yang dihadapi berubah drastis.

Karena itu, kita bisa memaklumi bahwa PT Pelni pada tahun lalu mengalami kerugian senilai Rp 382,446 miliar. Kita memaklumi kerugian tersebut karena belakangan ini terjadi perubahan drastis menyangkut permintaan (demand) akan jasa angkutan laut. Kita tahu, berbagai maskapai penerbangan nasional menggelar perang tarif yang membuat tarif jasa angkutan udara menjadi relatif murah. Itu tak pelak lagi memukul kepentingan moda an gkutan laut: pemintaan menyusut drastis.

Tetapi bagi BUMN lain -- terlebih BUMN yang jelas-jelas tidak dibebani tugas mengemban fungsi agen pembangunan ataupun public service obligation -- masih tetap tertorehnya kerugian itu sungguh terasa mengundang sesal. Betapa tidak, karena kerugian itu jelas menunjukkan bahwa BUMN bersangkutan belum juga dikelola secara sehat sesuai prinsip good corporate governance. Bagaimanapun, kerugian itu menunjukkan bahwa BUMN bersangkutan masih digerogoti "ketidakberesan".

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang membukukan kerugian senilai Rp 3,558 triliun, misalnya, jelas merupakan perusahaan yang belum masih digerogoti "ketidakberesan" ini. Persisnya, BUMN tersebut tidak efisien. Pihak manajemen boleh saja berdalih bahwa kerugian itu karena tarif dasar listrik (TDL) belum mencapai tingkat keekonomian.

Tapi jangan lupa bahwa TDL yang berlaku sekarang ini sudah jauh di atas rata-rata TDL di negara tetangga. Jadi, jika dengan TDL yang sudah mahal tapi PLN masih saja merugi, tak bisa lain kecuali bahwa perusahaan tersebut inefisien.

Boleh jadi juga, kerugian yang masih saja menggelayuti BUMN ini karena manajemen bersangkutan kurang becus. BUMN perkebunan yang mengelola komoditas ekspor, misalnya, seharusnya mampu membukukan keuntungan besar terutama manakala rupiah terdepresiasi -- karena mereka diuntungkan oleh keunggulan komparatif yang menjadi melambung tinggi.

Namun pengalaman selama krisis ekonomi justru menunjukkan kenyataan yang menyesakkan dada. Kalaupun ada BUMN yang mampu mencetak laba, itu relatif tak seberapa dibanding potensi yang seharusnya bisa dicapai. Tak heran jika dalam kondisi kurs yang sekarang ini sudah terbilang stabil dan normal, BUMN seperti PTPN I pada tahun lalu membukukan kerugian senilai Rp 8,27 triliun.

Tetapi kita tidak menutup kemungkinan bahwa inefisiensi yang menggerogoti potensi atau kemampuan BUMN meraup keuntungan itu tidak melulu terkait alasan teknis manajemen. Dalam sejumlah kasus, amat mungkin inefiensi itu lebih merupakan "ongkos politis" yang memang masih sulit dihindari. Persisnya, seperti di masa lalu, BUMN bersangkutan barangkali masih saja diperlakukan sebagai "sapi perahan" pihak-pihak yang memiliki power.

Jika benar begitu, berarti program penyehatan BUMN yang selama ini dilakukan pemerintah belum bisa dikatakan berhasil. Dalam sejumlah kasus, mungkin program tersebut belum benar-benar fokus dan konsisten mengondisikan BUMN menerapkan prinsip good corporate governance. Bahkan kalaupun manajemen BUMN sudah menunjukkan langkah ke arah itu, tarikan kepentingan tertentu dalam skala makro di luar atmosfir BUMN bersangkutan mungkin saja malah menarik surut langkah tersebut.

Karena itu, menjadi tantangan bagi Kementerian BUMN sekarang ini untuk menelaah sekaligus merumuskan ulang strategi maupun konsep penyehatan BUMN ini. Sejalan dengan itu, prinsip good corporate governance juga seyogyanya bisa diterapkan secara konsisten dan konsekuen oleh semua BUMN. Intervensi kekuasaan, yang memungkinkan BUMN terpaksa mengabaikan prinsip itu, sejauh mungkin dihindari atau bahkan sama sekali diharamkan sesuai semangat dan prinsip good corporate governance itu sendiri.

Mungkin langkah ke arah itu sudah mulai diayunkan oleh Menneg BUMN Sugiharto. Paling tidak, cetak biru (blue print) Kementerian BUMN untuk setahun ke depan, yang belum lama ini dia umumkan, tampaknya berada dalam kerangka dan semangat ke arah sana.

Namun seyogyanya program penyehatan BUMN ini tidak mengondisikan semua BUMN menjadi "binatang ekonomi". Bagaimanapun, jika itu yang terjadi, rakyat niscaya menjadi korban. Padahal sejak awal, BUMN dibangun bukan semata untuk mengeduk keuntungan an sich, melainkan terutama untuk kesejahteraan rakyat.***
Jakarta, 26 November 2004

Tidak ada komentar: