23 November 2004

Prakarsa Santiago

Deklarasi Prakarsa Santiago menjadi penanda akhir Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Santiago, Chile, Minggu waktu setempat. Lewat Prakarsa Santiago ini, para pemimpin ekonomi di kawasan Asia-Pasifik komit memertinggi upaya peningkatan liberalisasi serta memfasilitasi perdagangan dan investasi.

Untuk itu, para pemimpin ekonomi di kawasan Asia-Pasifik ini antara lain menyepakati perlunya pembicaraan tentang program-program liberalisasi perdagangan di bawah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Di samping itu, mereka juga mendukung penuh persetujuan tentang kerangka kerja pembicaraan liberalisasi perdagangan multilateral melalui WTO.

Walhasil, dengan Prakarsa Santiago ini, para pemimpin ekonomi di kawasan Asia-Pasifik seolah ingin menegaskan kembali komitmen mereka terhadap semangat awal APEC: mendorong peningkatan liberalisasi dan perdagangan di kawasan itu. Maklum, memang, karena selama beberapa tahun terakhir APEC amat terasa seperti kehilangan roh. Komitmen-komitmen mereka menyangkut berbagai langkah ke arah peningkatan liberalisasi perdagangan dan investasi terkondisi berhenti sekadar sebagai retorika atau basa-basi dalam setiap akhir KTT APEC. Karena itu pula, KTT APEC yang saban tahun digelar terkesan sekadar arena kongkow-kongkow para pemimpin ekonomi di Asia-Pasifik.

Tapi barangkali itu memang risiko. Maklum, karena berbagai komitmen yang tertoreh dalam forum APEC mengusung prinsip non-binding alias tidak mengikat. Berbeda dengan perundingan dalam forum multilateral seperti WTO, kesepakatan-kesepakatan yang tertoreh dalam setiap KTT APEC tidak otomatis mutlak harus dilaksanakan. Implementasi berbagai kesepakatan dalam forum APEC ini lebih banyak sebagai moral obligation.

Justru itu, kalaupun berbagai kesepakatan dalam forum APEC ini sama sekali tidak dilaksanakan, pihak-pihak bersangkutan tak harus menghadapi konsekuensi-konsekuensi tertentu -- kecuali sekadar menanggung beban moral. Mereka tak harus menanggung sanksi atau finalti semisal tak mematuhi ketentuan yang disepakati dalam kerangka WTO.

Lalu, apakah Prakarsa Santiago bisa kita harapkan efektif menggulirkan langkah-langkah pasti menuju liberalisasi perdagangan dan investasi sebagaimana misi dan cita-cita awal APEC? Jujur saja, soal itu tetap merupakan sebuah tanda tanya besar. Sepanjang masing-masing ekonomi di kawasan Asia-Pasifik ini benar-benar memiliki kesadaran moral dan ketulusan memenuhi komitmen mereka dalam forum APEC, jelas Prakarsa Santiago tidak akan menjadi sekadar monumen -- dan karena itu pula KTT APEC pun bukan lagi cuma jadi arena kongkow-kongkow tahunan.

Sebaliknya jika kesadaran moral dan ketulusan masing-masing ekonomi di kawasan Asia-Pasifik masih merupakan barang langka seperti selama ini, Prakarsa Santiago niscaya tak akan memberi banyak arti terhadap gerakan menuju liberalisasi perdagangan dan investasi di kawasan tersebut. Dalam konteks itu, forum APEC pun akan tetap saja mandul alias tidak menjadi elan vital bagi masing-masing ekonomi di kawasan Asia-Pasifik mengayun langkah-langkah nyata ke arah liberalisasi perdagangan dan investasi.

Kalau begitu, adakah masing-masing ekonomi di kawasan Asia-Pasifik ini memiliki kesadaran moral dan ketulusan mengimplementasikan berbagai kesepakatan dalam forum APEC? Terus-terang, kita meragukan soal itu. Selama ini faktor kesadaran moral dan ketulusan yang menjadi prasyarat bagi gerakan ke arah liberalisasi perdagangan dan investasi ini acap dicederai oleh praktik perdagangan tidak fair -- notabene lebih ditunjukkan oleh negara-negara maju.

Itu pula yang membuat berbagai putaran perundingan perdagangan multilateral dalam kerangka WTO tak kunjung membuahkan hasil final. Setiap kali perundingan WTO digelar, selalu saja kesepakatan begitu alot bisa dilahirkan. Berbagai pihak yang terlibat -- khususnya kelompok negara berkembang di satu pihak dan kelompok negara maju di lain pihak -- malah lebih menunjukkan sikap saling curiga. Kelompok negara maju, misalnya, menilai negara-negara berkembang tak memiliki kesungguhan. Sementara kelompok negara berkembang merasakan bahwa negara-negara maju berupaya memaksakan kehendak dan kepentingan mereka sendiri.

Kecenderungan itu pula yang membuat perjanjian tentang liberalisasi perdagangan dan investasi belakangan ini banyak tertoreh lewat kesepakatan bilateral, trilateral, atau regional. Kelompok negara ASEAN, misalnya, kian niscaya menggulirkan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA). Bahkan ASEAN juga secara prinsip sudah sepakat menggelar perdagangan bebas dengan Cina di satu pihak dan dengan Jepang di lain pihak. Contoh lain, Singapura merasa nyaman menjalin kesepakatan bilateral dengan AS menyangkut perdagangan bebas kedua negara.

Dalam konteks itu, forum APEC pun tak bisa lain kecuali hanya menjadi wahana basa-basi. Karena itu, bukan tidak mungkin APEC ini kelak kian dirasa tidak perlu lagi. Terlebih setelah di Santiago ini AS sukses memaksakan agenda nonekonomi yang membuat prospek APEC tidak fokus lagi.***
Jakarta, 23 November 2004

Tidak ada komentar: