05 November 2004

Penyelamatan Industri Pupuk

Kita layak bernapas lega: pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer (AAF) di Nanggroe Aceh Darussalam tak jadi ditutup. Keputusan tentang itu, yang dibuat pemerintahan terdahulu, dibatalkan pemerintahan Presiden Yudhoyono. Dalam konteks ini, pemerintahan Yudhoyono berpandangan bahwa penutupan pabrik pupuk AAF merupakan langkah mundur. Ya, karena langkah tersebut niscaya menggusur dukungan riil terhadap pembangunan sektor pertanian. Padahal justru dukungan itu yang menjadi dasar pemikiran pemerintah dulu mendirikan pabrik pupuk di dalam negeri, termasuk pabrik AAF.

Sejak awal kita sendiri sudah tidak setuju terhadap keputusan pemerintah menutup pabrik pupuk AAF ini. Ketidaksetujuan kita bukan semata karena langkah penutupan pabrik AAF menggusur dukungan terhadap pembangunan sektor pertanian, melainkan terutama karena keputusan tentang itu tak cukup urgen. Soal mesin-mesin di pabrik AAF yang dikatakan sudah terbilang uzur, misalnya. Kita menilai bahwa alasan tersebut amat mengada-ada karena (mantan) Menperindag Rini Soewandi sendiri menyatakan bahwa pabrik AAF masih laik operasi. Artinya, kinerja mesin-mesin di pabrik AAF masih bisa diandalkan.

Juga alasan lain -- bahwa pasokan bahan baku gas sulit diperoleh -- sungguh tak cukup layak jadi pijakan bagi tindak penutupan pabrik pupuk AAF ini. Bagaimanapun, bagi kita, soal kesulitan pasokan bahan baku gas adalah wujud konkret kekeliruan kebijakan pemerintah di masa lalu. Yakni kurang memberi prioritas terhadap pasokan gas di dalam negeri. Karena itu, adalah tidak bijak jika kepentingan nasional -- terutama keberadaan industri pupuk kita -- lantas begitu saja dikorbankan.

Kenyataan itu juga menjadi ironis karena kita adalah produsen terbesar gas alam di dunia. Justru itu, adalah sungguh menggelikan bahwa industri di dalam negeri sendiri malah megap-megap kesulitan memeroleh pasokan gas. Itu seperti kata pepatah: ayam mati di lumbung padi!

Karena itu pula, solusi pemerintah dalam rangka menyelamatkan keberadaan pabrik pupuk AAF ini -- mengondisikan pasokan gas untuk kebutuhan di dalam negeri -- sungguh tepat dan langsung tertuju ke pokok masalah. Kita amat menghargai keputusan tersebut karena menunjukkan sikap dan pandangan pemerintah yang lebih mementingkan kepentingan nasional.

Memang, solusi itu mengandung risiko tidak kecil. Yang sudah pasti saja, kita kehilangan sekian banyak devisa karena ekspor gas alam cair (LNG) ke Jepang dan Korsel jadi berkurang. Lalu, masih terkait dengan itu, kita juga mungkin harus menanggung komplen pembeli gas di luar negeri -- karena volume pengiriman tak sesuai lagi dengan kontrak.

Tetapi kita yakin, kesulitan-kesulitan itu tetap bisa kita atasi. Sejauh kita pandai meyakinkan, pembeli gas di luar negeri boleh kita harapkan bisa memahami kesulitan-kesulitan kita. Untuk itu, kita sungguh dituntut berrsikap gigih. Kita tak boleh pesimistis atau sudah menyerah justru sebelum mengayun langkah.

Bagi kalangan produsen gas di dalam negeri, solusi yang ditempuh pemerintah dalam rangka menyelamatkan keberadaan pabrik AAF ini -- termasuk pula pabrik-pabrik pupuk lain -- juga tak membuat mereka harus bersungut-sungut. Maklum, konon, karena mereka tetap bisa menjual produk mereka sesuai harga di pasar internasional. Jadi, bagi mereka, menjual produk ke pasar ekspor ataupun di dalam negeri sama saja.

Memang, kalau saja tidak mengacu pada harga komersial sesuai perkembangan pasar gas alam dunia, solusi penyelamatan industri pupuk ini sulit diharapkan bisa efektif. Kalangan industri pupuk tetap saja tak beroleh jaminan soal pasokan bahan baku gas. Jika harga gas di pasar internasional lebih menguntungkan secara komersial, tentu kalangan produsen gas tak punya alasan untuk tidak mendahulukan ekspor.

Jadi, sekali lagi, kita menilai solusi yang ditempuh pemerintah dalam menyelamatkan industri pupuk di dalam negeri ini -- khususnya pabrik AAF di Nanggroe Aceh Darussalam -- sudah di jalur yang benar. Tinggal kini sikap-tindak kalangan industri pupuk sendiri. Kita menuntut mereka bisa bekerja lebih efisien lagi dan benar-benar komit terhadap pembangunan sektor pertanian nasional.

Soal itu layak kita garis bawahi karena selama ini kita beroleh kesan bahwa mereka -- industri pupuk di dalam negeri -- acap mengabaikan kepentingan nasional. Buktinya, pasokan pupuk hampir selalu hilang manakala musim panen tiba. Kuat dugaan bahwa itu terjadi karena mereka lebih mendahulukan pasar ekspor ketimbang pasar lokal, sehingga kepentingan petani di dalam negeri pun lantas menjadi korban.

Itu sungguh menyakitkan. Bagi kita, sikap-tindak industri pupuk yang mengabaikan kepentingan petani lokal itu sudah merupakan pengkhianatan. Betapa tidak, karena dalam memroduksi pupuk, mereka justru memeroleh subsidi harga gas!***
Jakarta, 05 November 2004

Tidak ada komentar: