15 Oktober 2004

Efisiensi PLN

Bahan bakar minyak (BBM) memang merupakan komponen produksi tenaga listrik. Tetapi relevankah tarif dasar listrik otomatis harus dinaikkan jika pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM di dalam negeri?

Bahwa harga BBM di dalam negeri harus dinaikkan, tampaknya, memang sulit dihindari pemerintahan baru pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Jika tidak, pemerintahan Yudhoyono niscaya harus menanggung risiko serius: APBN babak-belur terkait pemberian subsidi harga BBM. Kenaikan harga minyak mentah di pasar dunia yang melambung jauh di atas patokan APBN, memang niscaya membuat subsidi BBM yang dikucurkan pemerintah jadi ikut-ikutan melonjak.

Risiko itu sulit dihindari karena kita sekarang ini sudah termasuk net importer minyak. Artinya, produksi minyak yang kita hasilkan sudah tak seimbang lagi dengan tingkat konsumsi BBM di dalam negeri -- dan karena itu kita terpaksa mengimpor kekurangannya. Jadi, sekali lagi, pemerintahan Yudhoyono yang segera terbentuk tampaknya memang sungguh sulit tidak menaikkan harga BBM.

Tetapi apakah betul jika harga BBM naik, maka PLN pun sulit pula tidak ikut-ikutan menaikkan tarif dasar litrik? Sepintas, jika melihat kenyataan bahwa BBM termasuk salah satu komponen produksi tenaga listrik, kenaikan harga BBM memang membuat PLN sulit tidak menaikkan pula tarif dasar listrik. Itu juga yang membuat Dirut PLN Eddie Widiono begitu mantap menyatakan bahwa jika harga BBM naik, maka tarif dasar listrik pun otomatis naik pula.

Tetapi asumsi itu bisa menyesatkan. Kenaikan harga BBM seharusnya tidak selalu otomatis membuat tarif dasar listrik ikut dinaikkan pula. Bisa saja terjadi, tarif dasar listrik sama sekali tidak berubah, meski harga BBM naik. Jika kenaikan harga BBM relatif tak signifikan, penyesuaian tarif dasar listrik bisa dihindari.

Bahkan kalau kenaikan harga BBM terbilang signifikan pun, seharusnya penyesuaian tarif dasar listrik tidak menjadi langkah yang niscaya. Artinya, kenaikan tarif dasar listrik tetap bisa dihindari. Dalam konteks ini, beban yang tertoreh sebagai dampak kenaikan harga BBM bisa dikompensasi oleh efisiensi proses produksi tenaga listrik.

Justru itu, pernyataan Dirut PLN Eddie Widiono -- bahwa jika harga BBM naik, maka tarif dasar listrik pun otomatis ikut naik -- secara tidak langsung gamblang membukakan kenyataan bahwa kegiatan operasional PLN belum juga efisien. Jadi, rupanya selama ini PLN belum kunjung mampu berbenah diri sehingga berbagai inefisiensi tetap saja masih tertoreh.

Kita tidak tahu persis seberapa dalam atau seberapa parah inefisiensi dalam kegiatan operasional PLN ini. Yang pasti, secara ekonomi soal itu menorehkan kerugian tidak kecil. Maka tak heran jika kinerja PLN pun sejauh ini tergolong tidak sehat. Saban tahun PLN terus saja membukukan kerugian.

Itu pula yang membuat kenaikan harga BBM pun menjadi faktor yang begitu niscaya berdampak terhadap tarif dasar listrik. PLN sepertinya benar-benar tak bisa menghindari pilihan menyesuaikan tarif dasar listrik jika pemerintah berkuputusan menaikkan harga BBM.

Ihwal inefisiensi sendiri, sebagai salah satu faktor yang membuat PLN terus merugi, boleh dikatakan sudah menjadi rahasia umum. Sebut saja soal pencurian tenaga listrik. Masalah ini sudah menggejala atau dikeluhkan manajemen PLN sejak lama. Tapi PLN tak pernah bisa menangani masalah ini hingga tuntas. Bahkan, tampaknya, masalah pencurian tenaga listrik ini kian menggila -- dalam arti semakin menyebar dan masif. Gambaran tentang itu, seperti pernah diberitakan, tercermin dalam nilai kerugian yang terus menanjak dalam bilangan triliunan rupiah.

Dalam konteks itu, kita menangkap kesan bahwa PLN kurang berdaya. Tentu itu bukan tanpa sebab. Mungkin strategi penanganan masalah pencurian tenaga listrik ini kurang berdaya guna. Mungkin juga tenaga petugas yang dikonsentrasikan menangani masalah itu amat terbatas.

Tapi boleh jadi pula, sikap mental petugas sendiri turut mengondisikan tindak pencurian tenaga listrik tak pernah reda. Kita sering mendengar bahwa oknum petugas PLN gampang diajak kompromi manakala mereka menemukan kasus pencurian tenaga listrik. Bahkan, konon, tak jarang justru mereka pula yang secara teknis membuat instalasi listrik bisa diakali menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya: bukan saja daya listrik jadi tak terbatas, bahkan kinerja meteran juga tidak prima.

Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa PLN tak kunjung mampu berbenah diri. Tak heran jika inefisiensi pun terus menggelayuti operasional PLN.

Namun justru itu, sungguh tidak fair jika ketidakmampuan PLN menangani inefisiensi lantas dibebankan kepada konsumen dalam bentuk penyesuaian tarif dasar listrik setiap kali faktor dependen seperti harga BBM berubah naik. Kita sulit menerima beban kerugian yang membengkak dijadikan alasan kenaikan tarif dasar listrik selama inefisiensi dalam operasional PLN terus menggejala dalam skala masif.***
Jakarta, 15 Oktober 2004

Tidak ada komentar: