24 September 2004

Subsidi BBM

Ada wacana baru yang digulirkan pemerintah dalam beberapa hari belakangan ini. Itulah: bahwa harga jual bahan bakar minyak (BBM) untuk konsumsi dalam negeri perlu dinaikkan. Jika tidak, subsidi BBM dalam tahun 2004 niscaya membengkak signifikan. Maklum, memang, karena harga minyak di pasar dunia ternyata jauh lebih tinggi ketimbang patokan yang disepakati pemerintah dalam APBN.

Kali pertama, wacana itu dilontarkan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Selasa lalu. Wacana tersebut kemudian ditegaskan Presiden Megawati Soekarnoputri di depan sidang tahunan MPR, kemarin.

Wacana itu menarik karena menunjukkan kesadaran pemerintah bahwa subsidi BBM yang membengkak, akibat lonjakan harga minyak di pasar internasional, sama sekali tidak produktif. Padahal dana yang dialokasikan untuk itu jelas akan jauh lebih memberi manfaat dan memberi nilai tambah jika disalurkan ke sektor-sektor lain semisal sektor pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur ekonomi.

Sebenarnya, kesadaran itu bukan baru tertoreh kemarin sore. Paling tidak, ketika harga minyak ternyata melambung jauh di atas harga patokan APBN pada paro kedua tahun ini, pemerintah sudah menyadari betul bahwa subsidi BBM makin membenahi. Karena itu, pemerintah dihadapkan pada opsi menempuh kebijakan tidak populer: mencabut subsidi BBM -- paling tidak untuk beberapa jenis BBM yang nyata-nyata lebih banyak dikonsumsi masyarakat lapisan menengah atas.

Tetapi pemerintah tak berani menempuh kebijakan itu. Pemerintah lebih memilih menggelar kebijakan populis -- kendati harus menanggung risiko pembengkakan subsidi BBM. Kita menduga, itu terkait dengan kepentingan politis menjelang pemilihan presiden. Sebagai calon presiden yang kebetulan sedang berkuasa, Megawati jelas menghindari kebijakan-kebijakan yang tidak populer -- karena bisa kontraproduktif terhadap kepentingannya memenangi pemilihan presiden.

Karena itu pula kita bisa pahami kenapa sekarang tiba-tiba pemerintah melontarkan wacana tentang penyesuaian harga BBM. Sebagai pihak yang hampir pasti gagal memertahankan kekuasaan, Megawati memang kini tak lagi memiliki beban untuk memasalahkan subsidi BBM yang makin membebani ini.

Tetapi itu tetap positif. Dengan melontarkan wacana itu, pemerintahan Megawati secara tidak langsung mengingatkan penggantinya agar tidak meneruskan "kekeliruan" selama ini. Mereka tersirat menekankan bahwa pemerintahan baru harus berani menempuh kebijakan tidak populer: mengurangi subsidi BBM, khususnya pada jenis-jenis BBM yang relatif tak banyak dinikmati rakyat kecil seperti bensin dan solar. Jika tidak, pemerintahan baru harus siap menanggung beban subsidi yang demikian menggunung. Risiko itu bukan saja harus ditanggung pada saat sekarang ini, melainkan juga pada tahun-tahun ke depan -- karena harga minyak dunia tampaknya cenderung terus menapak pada level tinggi.

Khusus BBM jenis minyak tanah yang diperuntukkan bagi lapisan masyarakat paling bawah (kelompok rumah tangga dan usaha kecil), harga eceran yang ditetapkan pemerintah (Rp 700 per liter) jauh di bawah harga patokan maupun harga batas atas (ceiling price). Sebelum harga minyak mentah melonjak hebat saja, harga patokan minyak tanah ini adalah Rp 2.400 per liter, sementara harga batas atas Rp 2.200 per liter. Lalu untuk BBM jenis solar, sejak Januari 2003 pemerintah menetapkan harga sebesar Rp 1.650 per liter. Ini juga jauh di bawah harga patokan sebesar Rp 2.400 per liter maupun harga batas atas sebesar Rp 2.100 per liter.

Walhasil, untuk setiap liter minyak tanah bagi kelompok konsumen rumah tangga dan usaha kecil, pemerintah memberi subsidi sebesar Rp 1.700. Sedangkan terhadap BBM jenis minyak solar sekitar Rp 750 per liter. Ironisnya, untuk BBM jenis bensin yang diperuntukkan terutama bagi transportasi mobil pribadi atau kelompok masyarakat yang relatif mampu, pemerintah masih juga memberikan subsidi sekitar Rp 600 per liter.

Angka-angka subsidi itu berdasar perhitungan tatkala harga minyak dalam APBN 2004 diasumsikan sebesar 22 dolar AS per barel. Sekarang, asumsi harga minyak dalam APBN ini sudah direvisi menjadi 36 dolar AS per barel. Justru itu, jelas, nilai subsidi dalam setiap liter minyak tanah untuk kelompok rumah tangga dan usaha kecil maupun dalam setiap liter solar dan bensin jauh lebih besar lagi dibanding angka-angka yang disebutkan di muka. Tak heran jika jumlah subsidi BBM dalam APBN Perubahan 2004 pun membengkak menjadi Rp 63 triliun.

Namun dalam laporan Panja Rapat Panitia Anggaran DPR dan dengan pemerintah cq Menteri Keuangan, Rabu malam lalu, disebutkan bahwa realisasi subsidi BBM dalam tahun 2004 disepakati lebih rendah Rp 3,904 triliun menjadi Rp 59,179 triliun.

Namun angka itu tetap saja amat membebani. Bayangkan saja, angka itu empat kali lipat lebih dibanding alokasi semula sebesar Rp 14,5 triliun. Jadi, memang, subsidi BBM -- khususnya jenis bensin, solar, dan minyak tanah untuk industri -- beralasan dikurangi atau bahkan dihapuskan. Artinya, harga masing-masing jenis BBM tersebut perlu dinaikkan.

Beranikah pemerintahan baru menjawab tantangan itu? Tidak populer, memang. Tapi ibarat obat, itu menyehatkan.***
Jakarta, 24 September 2004

Tidak ada komentar: