11 September 2004

Dampak Teror Bom

Mungkin benar bahwa dampak teror bom yang berdebam di depan Kedubes Australia di kawasan Kuningan Jakarta, Kamis lalu, terhadap kehidupan ekonomi nasional tak perlu terlampau dirisaukan. Seperti kata Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dampak tersebut kemungkinan hanya bersifat sementara dalam rentang relatif pendek. Bercermin pada pengalaman serupa -- tragedi bom Bali maupun bom JW Marriott --, kehidupan ekonomi nasional pascatragedi bom Kuningan mungkin bisa diharapkan segera pulih kembali.

Tetapi kita khawatir bahwa kenyataan itu hanya tercermin di pasar modal dan pasar uang. Sesaat setelah bom meledak di depan Kedubes Australia, pelaku pasar modal maupun pasar uang memang dilanda panik. Maka Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) pun segera anjlok sebesar 31,857 poin ke level 757,278. Kalangan investor, dalam kaitan ini, melakukan aksi buang terhadap hampir seluruh saham yang diperdagangkan di BEJ.

Namun kepanikan itu hanya berlangsung sesaat. Perlahan-lahan pasar kembali pulih hingga IHSG pun kemudian ditutup di level 782,650 atau hanya terkoreksi 6,485 poin dibanding akhir perdagangan Rabu silam. Pemulihan itu bahkan berlanjut saat perdagangan mulai dibuka kembali pada Jumat pagi kemarin.

Begitu juga kurs rupiah. Meski sesaat setelah bom meledak rupiah terhempas ke level Rp 9.350 per dolar AS, di akhir penutupan pasar spot antarbank Jakarta, Kamis itu, rupiah terkunci di posisi sama seperti sat penutupan perdagangan Rabu, yakni Rp 9.300 per dolar AS. Jumat kemarin pun pergerakan rupiah ini menunjukkan kecenderungan stabil.

Tetapi secara keseluruhan, tampaknya, dampak teror bom Kuningan ini terhadap ekonomi nasional sungguh tak bisa dipandang enteng. Bahkan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah, misalnya, terus-terang amat merisaukan soal itu. Menurut dia, aksi pemboman di depan Kedubes Australia niscaya membawa dampak besar terhadap ekonomi nasional -- karena peristiwa tersebut memiliki magnitude hebat.

Sebenarnya, dampak tragedi bom Bali dan bom Marriott sendiri terhadap kehidupan ekonomi nasional ini belum sepenuhnya sirna. Paling tidak, itu nyata tercermin dalam kegiatan investasi langsung (direct invesment) yang tak kunjung bergeliat signifikan. Kalangan pemilik modal, dalam konteks ini, amat terlihat enggan masuk. Bahkan mereka yang sejak lama berusaha di negeri kita pun, satu demi satu terus menutup dan memindahkan proyek mereka ke negeri lain.

Justru itu, setelah teror bom kembali mencuat, amat boleh jadi kalangan investor makin enggan menanam modal di negeri kita. Kita bisa menduga bahwa bagi mereka, menanam modal di Indonesia sekarang ini amat berisiko. Maklum, memang, karena faktor keamanan menempati urutan teratas dalam persepsi pemilik modal sebelum mereka memutuskan menambur investasi di suatu negeri.

Walhasil, menyusul tragedi bom Kuningan ini, profil risiko negeri kita (country risk) di mata kalangan investor pun niscaya kembali melorot. Padahal perbaikan profil country risk ini sungguh tidak mudah: dunia internasional harus benar-benar yakin bahwa keamanan di negeri kita tak perlu dirisaukan.

Untuk itu, jelas dibutuhkan proses dan waktu. Kita harus menunjukkan bahwa kita serius dan mampu memerangi segala macam teror. Dunia harus diyakinkan bahwa kita tak sedikit pun berkompromi terhadap segala bentuk gangguan keamanan.

Celakanya, itu tidak cukup sekadar ditunjukkan lewat pernyataan. Dunia internasional, terutama, tidak bakal bisa merasa yakin bahwa negeri kita aman selama teror terus pekat membayang. Bagaimanapun, keseriusan dan kemampuan kita memerangi teror ini amat menuntut bukti-bukti nyata.

Dalam konteks itu, sekarang ini aparat keamanan niscaya sangat dituntut mampu kembali menunjukkan kecemerlangan kerja seperti dalam mengungkap dan menangani kasus bom Bali maupun bom Marriott. Jika tragedi bom Kuningan tak bisa diungkap dan ditangani tuntas dalam tempo relatif singkat, kecermerlangan yang telah terukir itu bisa sia-sia. Masyarakat akan pekat dibayangi waswas mengenai kemungkinan munculnya lagi aksi teror. Terlebih lagi, gembong teror yang amat meresahkan -- Dr Azahari dan Nurdin M Top -- belum juga berhasil dibekuk.

Di kaitkan dengan kehidupan ekonomi, bayangan teror itu sungguh tidak menguntungkan. Itu tadi, paling tidak, country risk kita di mata investor akan terus menapak di level rendah. Tak bisa tidak, karena itu, kegiatan investasi langsung pun menjadi makin tidak bergairah. Itu bukan hanya berimbas terhadap masalah ketenagakerjaan, melainkan juga menahan laju ekonomi secara keseluruhan.

Jadi, dampak tragedi bom Kuningan sungguh tak bisa dipandang remeh. Pernyataan Menko Perekonomian tadi -- bahwa dampak teror bom itu tak perlu terlalu dirisaukan -- barangkali sekadar ungkapan menghibur agar kita tak panik.***
Jakarta, 11 September 2004

Tidak ada komentar: