22 Oktober 2004

Tim Ekonomi Kabinet

Jujur saja, tim ekonomi dalam Kabinet Indonesia Bersatu bukan the dream team. Maklum, memang, karena tim ini bukan sepenuhnya diisi oleh figur-figur profesional. Beberapa nama ditempatkan di tim ekonomi ini, tampaknya, bukan terutama karena kapabilitas mereka, melainkan lebih karena pertimbangkan politis. Persisnya dalam rangka mengakomodasi titipan partai politik terkait persoalan balas jasa.

Tapi tak apa. Itu soal lumrah -- dan nyatanya masih bisa ditoleransi. Lagi pula, kalau saja benar-benar murni diisi oleh figur-figur profesional, tim ekonomi ini belum tentu mampu tampil sebagai tim yang solid dan kompak. Bisa kita bayangkan andai Rizal Ramli, misalnya, masuk menjadi tim ekonomi (sebut saja sebagai Menteri Keuangan sebagaimana bisik-bisik yang sempat beredar), sementara di sisi lain di kabinet terdapat pula Sri Mulyani yang menempati pos Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.

Jika itu terjadi, amat boleh jadi, sejak awal tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu ini sulit bisa akur. Justru itu, secara keseluruhan kinerja kabinet pun mungkin tidak tajam terfokus dan tak optimal. Maklum karena pandangan atau prinsip ekonomi yang dianut Rizal Ramli dan Sri Mulyani saling bertentangan dan tampaknya sulit dikompromikan. Apalagi jika perbedaan prinsip itu juga berkait dengan masalah ego dan reputasi pribadi masing-masing.

Jadi, the dream team belum tentu menjadi jaminan. Sementara formasi tim ekonomi yang kini dikomandani Aburizal (Ical) Bakrie sendiri relatif bisa diandalkan mampu menggulirkan perbaikan kehidupan ekonomi nasional. Melihat figur-figurnya, anatomi tim ekonomi ini terbilang lumayan bagus.

Ical sendiri bukan figur asing. Dia adalah tokoh pengusaha nasional papan atas yang menggenggam kelompok usaha Bakrie. Lepas dari track record-nya dalam mengayuh bisnis yang tidak sepenuhnya cemerlang -- antara lain kita tahu bahwa sejumlah unit usaha Grup Bakrie pernah sempat harus dirawat di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) --, Ical niscaya mengetahui betul tantangan nyata yang dihadapi ekonomi nasional maupun aspirasi yang berkembang di dunia usaha kita.

Terlebih lagi Ical selama 10 tahun memimpin organisasi Kadin Indonesia yang memungkinkannya tidak saja bergaul intens dengan berbagai lapisan dunia usaha, melainkan juga terkondisi membuat dia memiliki perspektif ekonomi lebih luas dalam konteks ekonomi nasional maupun global. Justru itu, Ical amat bisa diharapkan mampu mengarahkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang lebih market friendly alias produnia usaha.

Di lain pihak, kapabilitas Jusuf Anwar yang dipercaya menjabat pos Menteri Keuangan juga tak cukup beralasan diragukan. Dia adalah birokrat tulen yang terus meniti karier di lingkungan keuangan. Dia antara lain pernah menjadi Kepala Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Sementara selama beberapa tahun terakhir dia menjadi Direktur Eksekutif Bank Pembangunan Asia (ADB). Bekal pengalaman itu tentu menjadi modal berharga bagi Jusuf dalam mengomandani Lapangan Banteng. Selebihnya, karena jadi nakhoda di kapal sendiri, dia niscaya bisa langsung tancap gas.

Andung Nitimiharja juga bukan figur asing bagi lingkungan pos Menteri Perindustrian. Meski selama beberapa tahun terakhir berkiprah di Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dia sejatinya adalah orang dalam Departemen Perindustrian. Dia memang meniti karier di departemen tersebut.

Walhasil, Andung juga sudah tahu persis apa yang harus diperbuat selaku orang nomor satu di Departemen Perindustrian ini. Bahkan pengalamannya selama beberapa tahun berkiprah di BKPM, niscaya menjadi nilai lebih bagi dia dalam menghadapi tantangan ke depan ini.

Akan halnya Marie Pengesti, yang dipasang Presiden Yudhoyono sebagai Menteri Perdagangan, memang figur baru dalam dunia birokrasi. Tapi dia adalah pakar masalah perdagangan internasional. Itu jelas merupakan bekal tak ternilai bagi dia dalam memimpin Departemen Perdagangan. Sebaliknya bagi Departemen Perdagangan sendiri, Marie adalah figur yang selama ini dicari.

Kapabilitas seorang Marie Pangestu memang amat dibutuhkan. Ini bukan cuma lantaran ada pos baru yang harus diisi, menyusul keputusan Presiden Yudhoyono memisahkan kembali Departemen Perdagangan dari Departemen Perindustrian. Lebih dari itu, kapabilitas Marie sendiri -- di tengah arus era perdagangan bebas sekarang ini -- memang cocok menempati pos itu. Lewat kiprah dia ke depan ini, kita bisa berharap kegiatan perdagangan kita dalam lingkup global tak lagi keteteran oleh aneka perjanjian dagang internasional yang tak jarang menjebak dan memenjara kita.

Beberapa figur lain dalam tim ekonomi ini juga tak layak kita anggap remeh. Paling tidak jika melihat latar belakang pendidikan, mereka juga bisa cukup mumpuni di bidang masing-masing. Anton Apriantono, misalnya. Sebagai sarjana pertanian, dia tentu bisa diharapkan berbuat nyata sebagai Menteri Pertanian.

Tetapi, bagaimanapun tim ekonomi ini takkan bisa berbuat seperti pesulap. Dalam menghadapi tantangan, terutama dalam masa 100 hari pertama berkuasa, mereka tak bisa cukup berucap "sim salabim". Artinya, kita jangan berharap terlalu muluk. Kita harus realistis bahwa dalam 100 hari pertama, mereka tak serta-merta bisa tuntas menyelesaikan semua masalah.***
Jakarta, 22/10/2004

Tidak ada komentar: