Rencana
pemerintah mengenai pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi
mulai 1 April 2012 terbukti hanya gagah-gagahan. Sekadar gertak sambal untuk
menutupi
kegalauan
sekaligus kepanikan dalam menghadapi pembengkakan subsidi BBM akibat kenaikan
harga minyak di pasar global.
Pemerintah sesungguhnya sama sekali tidak
siap untuk melakukan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi -- apalagi dalam
waktu yang terbilang sudah mepet. Terutama karena kesiapan infrastruktur di
lapangan sekarang ini amat minim, rencana pembatasan penggunaan BBM subsidi ini
pun menjadi tidak layak dilaksanakan. Kalaupun dipaksakan, kebijakan itu
niscaya hanya menimbulkan kekacauan di masyarakat.
Karena itu bisa dipahami jika rencana pemerintah
mengenai pembatasan penggunaan BBM bersubsidi mulai 1 April 2012 ini tidak
mendapat dukungan DPR. Forum rapat kerja Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
bersama Komisi VII DPR pun, Senin lalu, akhirnya menyingkirkan rencana
tersebut. Untuk mengatasi tekanan beban subsidi BBM, pemerintah diminta DPR
mengkaji opsi-opsi lain yang secara teknis maupun ekonomis lebih mungkin
diterapkan. Salah satu opsi tersebut adalah mengurangi subsidi harga jual BBM
jenis premium. Artinya, harga premium dinaikkan.
Sejak awal, kalangan ekonom sudah
menyebutkan bahwa menaikkan harga BBM bersubsidi adalah opsi paling realistis
untuk mengurangi beban subsidi BBM yang terus membengkak sebagai konsekuensi
kenaikan harga minyak di pasar global sekarang ini. Secara teknis, opsi
tersebut tidak ribet untuk diterapkan karena tidak menyaratkan kesiapan
infrastruktur di lapangan.
Secara ekonomis, opsi itu juga
berkelayakan dipilih karena berdampak langsung mengurangi beban subsidi BBM.
Untuk itu, pemerintah sekadar dituntut membuat hitung-hitungan terlebih dahulu
mengenai proporsi pengurangan subsidi yang paling aman. Aman dalam arti dampak
psikologis dan ekonomis yang kemudian muncul tak terlampau membuat masyarakat
megap-megap -- dan karena itu tak rawan memicu gejolak sosial.
Namun sejak awal pemerintah terkesan
menghindari opsi itu. Pemerintah kelihatan sekali enggan menimbang kemungkinan
menaikkan harga BBM bersubsidi. Pemerintah beralasan, harga BBM bersubsidi tak
mungkin bisa dinaikkan karena telanjur dikunci UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang
APBN 2012.
Sepintas alasan itu terkesan elegan.
Tetapi sebenarnya itu sekadar dalih untuk menghindari pilihan tidak populer.
Untuk mengakomodasi pengurangan subsidi BBM, dengan konsekuensi harga BBM
bersubsidi dinaikkan, toh UU APBN 2012 bisa saja diubah. Bahkan langkah ke arah
itu sudah lazim dilakukan sebagaimana selama ini tecermin lewat kelahiran APBN
Perubahan.
Jadi, dalih pemerintah -- bahwa UU APBN
2012 sama sekali sudah tertutup bagi kenaikan harga BBM bersubsidi -- sungguh
menggelikan. Dalih tersebut lebih mencerminkan pemerintah gengsi atau mungkin
tidak pede menaikkan harga BBM bersubsidi -- karena jauh-jauh hari telanjur
obral janji tak hendak menyusahkan masyarakat dalam urusan BBM ini. Dengan kata
lain, pemerintak tak siap tidak populer.
Menaikkan harga BBM bersubsidi memang
langkah tidak populer. Tetapi menghadapi beban subsidi BBM yang terus
membengkak, pemerintah tidak punya banyak pilihan. Sebab, ibarat kanker, beban subsidi BBM sudah tak
bisa dibiarkan terus menggerogoti anggaran negara.
Karena itu, pemerintah harus berani
bertindak tidak populer. Toh populer tidak selalu berarti sehat dan
menyehatkan.
Jadi, pemerintah
harus berani menempuh opsi-opsi paling realistis menyangkut kebijakan untuk
mengatasi tekanan beban subsidi BBM ini.***