11 Maret 2011

Solusi Beban Subsidi


Rencana pemerintah mengenai pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mulai 1 April 2012 terbukti hanya gagah-gagahan. Sekadar gertak sambal untuk menutupi
kegalauan sekaligus kepanikan dalam menghadapi pembengkakan subsidi BBM akibat kenaikan harga minyak di pasar global.
      
Pemerintah sesungguhnya sama sekali tidak siap untuk melakukan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi -- apalagi dalam waktu yang terbilang sudah mepet. Terutama karena kesiapan infrastruktur di lapangan sekarang ini amat minim, rencana pembatasan penggunaan BBM subsidi ini pun menjadi tidak layak dilaksanakan. Kalaupun dipaksakan, kebijakan itu niscaya hanya menimbulkan kekacauan di masyarakat.
      
Karena itu bisa dipahami jika rencana pemerintah mengenai pembatasan penggunaan BBM bersubsidi mulai 1 April 2012 ini tidak mendapat dukungan DPR. Forum rapat kerja Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral bersama Komisi VII DPR pun, Senin lalu, akhirnya menyingkirkan rencana tersebut. Untuk mengatasi tekanan beban subsidi BBM, pemerintah diminta DPR mengkaji opsi-opsi lain yang secara teknis maupun ekonomis lebih mungkin diterapkan. Salah satu opsi tersebut adalah mengurangi subsidi harga jual BBM jenis premium. Artinya, harga premium dinaikkan.
     
Sejak awal, kalangan ekonom sudah menyebutkan bahwa menaikkan harga BBM bersubsidi adalah opsi paling realistis untuk mengurangi beban subsidi BBM yang terus membengkak sebagai konsekuensi kenaikan harga minyak di pasar global sekarang ini. Secara teknis, opsi tersebut tidak ribet untuk diterapkan karena tidak menyaratkan kesiapan infrastruktur di lapangan.
     
Secara ekonomis, opsi itu juga berkelayakan dipilih karena berdampak langsung mengurangi beban subsidi BBM. Untuk itu, pemerintah sekadar dituntut membuat hitung-hitungan terlebih dahulu mengenai proporsi pengurangan subsidi yang paling aman. Aman dalam arti dampak psikologis dan ekonomis yang kemudian muncul tak terlampau membuat masyarakat megap-megap -- dan karena itu tak rawan memicu gejolak sosial.
     
Namun sejak awal pemerintah terkesan menghindari opsi itu. Pemerintah kelihatan sekali enggan menimbang kemungkinan menaikkan harga BBM bersubsidi. Pemerintah beralasan, harga BBM bersubsidi tak mungkin bisa dinaikkan karena telanjur dikunci UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012.
      
Sepintas alasan itu terkesan elegan. Tetapi sebenarnya itu sekadar dalih untuk menghindari pilihan tidak populer. Untuk mengakomodasi pengurangan subsidi BBM, dengan konsekuensi harga BBM bersubsidi dinaikkan, toh UU APBN 2012 bisa saja diubah. Bahkan langkah ke arah itu sudah lazim dilakukan sebagaimana selama ini tecermin lewat kelahiran APBN Perubahan.
      
Jadi, dalih pemerintah -- bahwa UU APBN 2012 sama sekali sudah tertutup bagi kenaikan harga BBM bersubsidi -- sungguh menggelikan. Dalih tersebut lebih mencerminkan pemerintah gengsi atau mungkin tidak pede menaikkan harga BBM bersubsidi -- karena jauh-jauh hari telanjur obral janji tak hendak menyusahkan masyarakat dalam urusan BBM ini. Dengan kata lain, pemerintak tak siap tidak populer.
      
Menaikkan harga BBM bersubsidi memang langkah tidak populer. Tetapi menghadapi beban subsidi BBM yang terus membengkak, pemerintah tidak punya banyak pilihan. Sebab,  ibarat kanker, beban subsidi BBM sudah tak bisa dibiarkan terus menggerogoti anggaran negara.
      
Karena itu, pemerintah harus berani bertindak tidak populer. Toh populer tidak selalu berarti sehat dan menyehatkan.

Jadi, pemerintah harus berani menempuh opsi-opsi paling realistis menyangkut kebijakan untuk mengatasi tekanan beban subsidi BBM ini.***

Jakarta, 11 Maret 2012