Wacana perombakan
Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II sebenarnya sudah membosankan. Membosankan
karena isu tersebut sudah kelewat sering mencuat ke permukaan. Juga membosankan
karena sejauh ini wacana reshuffle kabinet selalu saja berujung sekadar menjadi
rumors. Isu reshuffle selalu hanya berakhir sebagai angin surga.
Meski begitu, wacana perombakan atau
reshuffle kabinet ini selalu saja membetot perhatian. Wacana reshuffle selalu
saja seksi, sehingga ruang publik pun selalu dibuat riuh. Kebosanan publik
seketika pupus, meski untuk sementara -- sampai terbukti bahwa wacana
perombakan kabinet lagi-lagi terbukti sekadar angin surga.
Sebagai wacana, reshuffle memang seksi.
Bagi khalayak luas, wacana reshuffle menjanjikan perubahan ke arah lebih baik
menyangkut kinerja kabinet. Terlebih sekarang ini, rakyat sudah lelah berharap
akan perubahan itu: terutama karena beban kehidupan sehari-hari semakin
menyesakkan.
Dalam kondisi seperti itu, rakyat banyak
tak punya banyak pilihan kecuali berharap kinerja kabinet membaik. Bahwa rakyat
mengangankan kabinet dirombak, itu karena mereka telanjur kecewa oleh kinerja
kabinet selama ini. Rakyat sudah lelah berharap karena kinerja kabinet selama
ini relatif tak membawa banyak perbaikan menyangkut kesejahteraan hidup mereka,
kendati pemerintah sendiri acapkali mengklaim bahwa kemiskinan sebagai sumber
masalah yang menyumbat kesejahteraan rakyat terus membaik.
Bagi kalangan politisi, terutama mereka
yang bernaung di bawah parpol peserta koalisi pemerintahan SBY-Boediono, wacana
reshuffle juga seksi. Seksi karena wacana tersebut melambungkan mimpi tentang
kursi kekuasaan. Posisi di kabinet memang amat menggiurkan karena sarat
kekuasaan dan berkelimpahan fasilitas. Karena itu, wajar jika kursi di kabinet
ini diperlakukan kalangan politisi sebagai sasaran perjuangan politik mereka.
Di sisi lain, bagi jajaran parpol sendiri,
wacana reshuffle tak terkecuali seksi pula. Bagi parpol yang mengambil posisi
oposisi, wacana tersebut adalah senjata untuk melegitimasi penilaian bahwa
kinerja pemerintah tidak bagus. Bahwa pemerintah kurang becus dan acap salah
urus. Lalu bagi parpol peserta koalisi, wacana reshuffle menerbitkan gairah
untuk memperkuat posisi mereka di pemerintahan.
Jadi, mudah dipahami jika wacana reshulle
kabinet ini -- meski sudah membosankan -- tetap membuat ruang publik menjadi
hangat. Tetap menerbitkan harapan dan impian-impian.
Kini isu reshuffle kabinet ini mencuat
lagi. Jangan-jangan kali ini juga isu tersebut cuma angin surga? Jangan-jangan
kembali berakhir sekadar sebagai rumors?
Semoga saja tidak. Wacana reshuffle kali
ini semoga tidak lagi cuma merupakan angin surga atau pepesan kosong. Paling
tidak, karena urgensi ke arah itu sudah semakin kuat. Reshuffle makin terasa
menjadi kebutuhan untuk melecut kinerja kabinet menjadi lebih trengginas dan
efektif menjawab berbagai tantangan dan kebutuhan mendesak.
Di tengah arus tantangan yang tidak
bertambah ringan, kinerja kabinet terasa tidak bisa lagi terus-terusan
dibiarkan berdasar semangat easy going seperti selama ini.
Terlebih beberapa
personel kabinet dililit masala, khususnya terlibat kisruh dugaan suap atau
korupsi dan terbaring sakit. Ibarat kandaraan, kabinet sudah saatnya ganti oli,
busi, dan ban agar beban masalah yang melingkungi kehidupan rakyat tidak
bertambah kompleks.
Nah, sebagai pemegang hak prerogatif dalam
urusan penggantian personel kabinet, Presiden jangan sampai kehilangan
momentum. Sekarang ini saat paling tepat untuk melakukan reshuffle. Mumpung
masih cukup waktu untuk melajukan lebih cepat kendaraan yang bernama kabinet ke
tujuan: memperbaiki sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat.***