06 November 2008

Realistis terhadap Obama

Kemenangan Barack Obama dalam Pemilihan Presiden AS mendapat sambutan gegap-gempita. Bukan saja di dalam negeri AS sendiri, melainkan juga di berbagai penjuru dunia. Tak terkecuali di Indonesia. Bahkan dibanding bangsa-bangsa lain, ekspresi kita dalam menanggapi kemenangan Obama ini terkesan agak istimewa.

Kita sebagai warga Indonesia tak bisa menyembunyikan rasa suka-cita terhadap kemenangan Obama bukan semata karena Obama menampilkan citra pemimpin yang mempesona. Juga bukan lantaran kita sudah muak oleh gaya George W Bush selama memimpin AS yang lebih mirip koboi, sehingga Obama pun kita lihat sebagai sosok antitesis.

Di samping alasan-alasan itu, kita ikut bersuka-cita atas kemenangan Obama juga karena kita memiliki ikatan emosional dengan Obama. Masa kecil Obama yang selama beberapa tahun dihabiskan di Jakarta membuat kita merasa sebagai bagian dari keluarga besar Obama. Karena itu, kita merasa kemenangan Obama merebut posisi orang nomor satu di AS sebagai kemenangan kita juga.

Sikap seperti itu wajar-wajar saja. Tidak berlebihan. Larut dalam romantisme kadang memang sulit dihindari. Namun sungguh tidak boleh terjadi jika kita lantas berasumsi bahwa Obama sebagai pemimpin AS serta-merta akan memberi perhatian khusus kepada kita. Juga jangan sesekali bermimpi bahwa di bawah kepemimpinan Obama, pemerintah AS memberi perlakuan istimewa terhadap kita.

Perlu disadari bahwa di mana pun dan siapa pun, pimpinan sebuah negara niscaya sangat memprioritaskan kepentingan nasional masing-masing. Dia tak bakal mau mempertaruhkan posisinya sendiri demi alasan-alasan yang sama sekali tidak strategis bagi negaranya.

Begitu pula Obama. Dia baru mungkin memberi perhatian terhadap negara atau bangsa lain -- tak terkecuali terhadap kita, Indonesia -- semata jika negara atau bangsa itu memberi manfaat strategis terhadap kepentingan nasional AS. Jelas sungguh naif jika Obama serta-merta memperlakukan kita secara istimewa hanya karena alasan romantis: bahwa dia pernah tinggal di Jakarta selama beberapa tahun.

Jadi, sepanjang secara objektif dinilai tidak termasuk strategis -- dalam arti bisa memberikan banyak manfaat terhadap kepentingan nasional AS -- kita tetap tidak menjadi siapa-siapa bagi Obama sebagai Presiden AS.

Di samping itu, orientasi dan kebijakan politik luar negeri AS sendiri di bawah kepemimpinan Obama, tidak bisa tidak, mesti berada dalam bingkai atau koridor Partai Demokrat sebagai partai yang menaunginya. Mustahil Obama lepas dari paradigma ini, kecuali dia sudah tidak waras secara politik.

Partai Demokrat sendiri sangat sensitif terhadap isu-isu hak asasi manusia, lingkungan hidup, juga secara ekonomi sangat proteksionistis. Karakter ini sudah demikian kental, sehingga siapa pun tokoh Partai Demokrat yang menjadi orang nomor satu di AS niscaya sensitif pula terhadap isu-isu itu. Berbagai orientasi, strategi, ataupun kebijakan yang dia gariskan hampir selalu bertautan dengan isu-isu itu. Tak terkecuali dalam konteks kebijakan politik luar negeri. Saat posisi presiden diduduki tokoh Partai Demokrat, Bill Clinton (1993-2001), misalnya, kita mendapat tekanan politis pemerintahan AS terkait isu pelanggaran HAM di Timtim dan Irian Jaya (kini Papua).

Di bawah kepemimpinan Obama pun, bukan tidak mungkin sikap politik yang tidak menyenangkan itu kita alami lagi. Tentu itu kalau kita dinilai bermasalah dalam konteks isu-isu sensitif di mata Partai Demokrat.

Jadi, kita tak perlu berlebihan berharap kepada Obama setelah kelak dia resmi berperan sebagai Presiden AS. Bagaimanapun, sikap dan kebijakan AS terhadap kita di bawah kepemimpinan Obama ini belum tentu lebih baik daripada pemerintahan Bush selama ini.***

Jakarta, 6 November 2008

Tidak ada komentar: