12 November 2008

Blanket Guarantee Sudah Mendesak

Penjaminan menyeluruh (blanket guarantee) atas kewajiban perbankan tampaknya mendesak dilakukan pemerintah. Mendesak, karena -- seperti diungkapkan Bank Indonesia (BI) -- belakangan ini makin menggejala tindak pengalihan dana dari perbankan nasional ke luar negeri.

Sangat boleh jadi, deposan tidak cukup merasa tenang untuk terus menyimpan dana mereka di perbankan nasional. Memang, pemerintah sudah menggelar program penjaminan atas dana masyarakat di perbankan nasional. Tetapi penjaminan itu bersifat terbatas, yakni hanya mencakup dana maksimal Rp 2 miliar. Dana di atas jumlah itu, sama sekali tak dijamin pemerintah.

Artinya, nasib dana di atas Rp 2 miliar bisa amblas tak karuan kalau saja bank yang menjadi tempat menyimpan dana itu mengalami kebangkrutan. Padahal, di tengah krisis keuangan global sekarang ini, risiko bangkrut atau tak mampu lagi memenuhi kewajiban begitu pekat membayangi perbankan di mana pun. Tak terkecuali di Indonesia.

Karena itu, gejala pengalihan dana dari perbankan nasional ke mancanegara belakangan ini, khususnya ke negara-negara yang sudah menerapkan blanket guarantee, sungguh tindakan rasional. Langkah tersebut jelas merupakan tindak pengamanan agar dana terbebas dari kemungkinan amblas bersama kebangkrutan bank yang bisa tiba-tiba terjadi.

Tapi gejala pengalihan dana ke luar negeri ini juga merisaukan karena niscaya berimplikasi negatif terhadap stabilitas ekonomi di dalam negeri. Yang sudah pasti saja, seperti sudah mulai terlihat, kurs rupiah tertekan.

Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurs rupiah sekarang ini benar-benar dalam pertaruhan. Betapa tidak, karena dana di perbankan nasional yang tidak tercakup program penjaminan bernilai sekitar Rp 590 triliun. Kalau saja dana tersebut terus mengalir deras ke luar negeri, bisa dipastikan kurs rupiah ambrol ke level terburuk.

Jadi, arus pengalihan dana dari perbankan nasional ke mancanegara ini harus segera dihentikan. Dalam konteks ini, penerapan blanket guarantee oleh pemerintah merupakan jawaban strategis. Dengan itu, deposan tak beralasan lagi waswas atas keselamatan dana mereka di perbankan nasional. Bahkan bukan tidak mungkin, dana yang telanjur dialihkan ke mancanegara pun menjadi mengalir balik masuk ke perbankan nasional. Jelas, karena itu, kurs rupiah pun bisa diharapkan menguat kembali. Paling tidak, kurs rupiah tidak terus melorot seperti gejala yang berlangsung selama beberapa pekan terakhir ini.

Di sisi lain, iklim perbankan nasional juga bisa kembali sehat. Program blanket guarantee -- notabene tidak sekadar menjamin dana masyarakat yang tersimpan di bank, melainkan juga menjamin semua kewajiban bank, seperti pembayaran ekspor-impor -- memungkinkan gejala tidak saling percaya yang kini melanda perbankan nasional menjadi pupus. Masing-masing tak bakalan saling menaruh prasangka bahwa pihak lain berisiko gagal memenuhi kewajiban antarbank. Dengan demikian, bunga fasilitas pinjaman antarbank untuk tempo semalam (over night) pun niscaya turun ke tingkat yang lebih rasional. Pada gilirannya, itu bisa diharapkan berimbas positif terhadap tingkat bunga pinjaman bank kepada masyarakat.

Karena itu, mestinya pemerintah tidak bersikap enggan ataupun lelet dalam menanggapi kebutuhan menyangkut penerapan program blanket guarantee ini. Sikap enggan maupun lelet sungguh berisiko. Sikap enggan sama saja membiarkan perbankan nasional dilanda krisis kepercayaan, dan karena itu bisa melahirkan risiko serius yang bersifat sistemik. Sikap lelet juga tidak bagus karena pengalihan dana dari perbankan nasional ke mancanegara terus berlangsung dengan tendensi yang cenderung membesar, sehingga stabilitas ekonomi-keuangan di dalam negeri berisiko telanjur rusak ketika blanket guarantee kelak diterapkan.

Walhasil, sekali lagi, program blanket guarantee kini sudah menjadi kebutuhan mendesak. Jadi, kenapa tidak?***

Jakarta, 12 November 2008

Tidak ada komentar: