07 Januari 2009

Perbankan

Jangan Sekadar Jadi Goodwill

Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan suku bunga acuan (BI Rate). Kali ini penurunan itu sebesar 50 basis poin, sehingga BI Rate sekarang bertengger di posisi 8,75 persen. Masih relatif tinggi, memang.

Kita menilai, langkah BI menurunkan kembali BI rate ini sebagai wujud kemauan baik (goodwill) mereka mendukung upaya pemerintah menangani tekanan imbas krisis keuangan global terhadap kehidupan ekonomi nasional. Terlebih lagi laju inflasi juga sudah mulai cenderung jinak. Artinya, inflasi tak bisa lagi dianggap BI sebagai momok yang harus dikerangkeng dengan mengerek BI Rate tinggi-tinggi.

Jadi, secara kondisional-objektif BI memang tak cukup punya alasan lagi ogah-ogahan menurunkan BI Rate. Karena itu, kita sungguh mengapresiasi langkah BI yang dalam sebulan terakhir sudah dua kali menurunkan BI Rate. Namun kita berharap langkah tersebut tak hanya berhenti hingga di situ. Kita ingin agar penurunan BI Rate ini masih dilakukan lagi pada bulan-bulan mendatang. Itu tadi, karena BI Rate di level 8,75 persen pun masih relatif tinggi.

Kita khawatir BI Rate yang kini bertenger di posisi 8,75 persen belum juga menjadi insentif bagi perbankan nasional untuk segera menurunkan bunga pinjaman. Bukan tidak mungkin, karena berbagai alasan -- termasuk karena faktor insefisiensi industri perbankan nasional -- penurunan BI Rate ke tingat 8,75 persen sekadar berdampak menurunkan bunga simpanan. Sementara bunga pinjaman cenderung dipertahankan alias tidak ikut diturunkan.

Kondisi itu jelas sungguh tidak sehat. Sekarang ini saja, selisih bunga simpanan dan bunga pinjaman di perbankan nasional rata-rata mencapai 5,2 persen. Itu jauh di atas rata-rata di tingkat global. Tak mengherankan sektor riil di dalam negeri pun bisa terkondisi tetap meranggas. Padahal imbas krisis keuangan global justru kian menuntut sektor riil segera bangkit. Karena itu pula, penurunan BI Rate pun -- jika hanya berhenti di level 8,75 persen -- bisa-bisa sekadar menjadi good will BI alias tidak menjadi faktor yang menunjang kebangkitan sektor riil.

Patut pula diakui, dibanding di kalangan negara maju, tingkat suku bunga acuan di negeri kita, meski sudah turun ke level 8,75 persen, masih kelewat menjulang. Tingkat bunga acuan di AS (The Fed Fund), misalnya, kini bahkan praktis nol persen. Bank sentral AS sadar betul bahwa itu merupakan kebutuhan dan tuntutan kondisional untuk mendukung program penanganan krisis keuangan yang digulirkan pemerintah AS.

Jadi, berdasar perpektif itu, BI Rate pun beralasan diturunkan lebih jauh lagi pada bulan-bulan mendatang ini. Setelah inflasi bukan lagi menjadi momok, BI patut segera mengejar ketertinggalan selama ini: menurunkan bunga acuan ke level yang benar-benar bisa menggairahkan sektor riil. Terlebih lagi, sebagaimana diakui BI sendiri, imbas dampak krisis keuangan global terhadap ekonomi nasional sekarang ini sudah bukan lagi ancaman yang harus diwaspadai. Imbas itu sudah mulai bergulir nyata.

Justru itu, BI perlu memberi dukungan lebih optimal terhadap upaya pemerintah dalam menangani imbas dampak krisis keuangan global ini. Pemerintah tak boleh seolah dibiarkan berkutat sendirian dalam menyelamatkan ekonomi nasional dari gempuran krisis keuangan global. Program-program yang disiapkan untuk itu, terutama program stimulus ekonomi berupa insentif fiskal senilai Rp 50 triliun, tak boleh sampai menjadi mandul akibat terdistorsi faktor lain yang di luar kendali pemerintah.

Untuk itu, penurunan BI Rate secara berlanjut hingga ke level yang benar-benar kondusif merupakan pilihan strategis yang patut ditempuh BI. Apalagi BI Rate pada dasarnya memang bisa difungsikan sebagai instrumen handal dalam menopang pertumbuhan ekonomi maupun stabilisasi nilai tukar rupiah.***

Jakarta, 7 Januari 2009

Tidak ada komentar: