Kegalauan Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) mengenai peluang Partai Demokrat dalam memenangi Pemilu
2014 sungguh wajar dan masuk akal. Pidato SBY di forum Silaturahmi Nasional
Partai Demokrat di Sentul, Bogor, akhir pekan lalu, jelas memberi isyarat. SBY
sadar betul betapa Partai Demokrat saat ini sulit diharapkan mampu
mempertahankan kesuksesan gilang-gemilang yang mereka raih dalam Pemilu 2009.
Sebagaimana
tecermin dalam sejumlah hasil survei belakangan ini, elektabilitas Partai Demokrat
kini terpuruk di bawah 10 persen. Kenyataan itu tak terelakkan karena citra
Partai Demokrat di mata publik telanjur jeblok. Partai yang dibidani SBY ini
kuyup dengan isu korupsi, menyusul kasus rasuah yang menyeret sejumlah elite
mereka ke Pengadilan Tipikor. Bahkan sang ketua umum partai, Anas Urbaningrum,
juga tersandera isu berbau rasuah ini.
Karena itu,
slogan antikorupsi yang semasa kampanye Pemilu 2009 begitu gencar disuarakan
Partai Demokrat, kini seolah menjadi bumerang. Bahkan sebuah stasiun televisi
seperti sengaja mengolok-olok partai tersebut dengan acap menayangkan ulang
iklan kampanye itu. Tayangan itu hari-hari ini terasa menjadi olok-olok karena
sebagian tokoh yang menyuarakan slogan antikorupsi dalam iklan itu justru
sekarang menjadi terdakwa atau terpidana kasus korupsi.
Dalam situasi
seperti itu pula, soliditas di internal Partai Demokrat ini meluntur. Harmoni
dan kekompakan sebagai sebuah tim memudar. Antarfaksi terlibat gontok-gontokan
atau bahkan saling sikut. Pemecatan Ruhut Sitompul dari kepengurusan partai
menjadi salah satu bukti kerasnya saling sikut antarfaksi ini.
Tak bisa tidak,
SBY harus segera melakukan penyelamatan. Bukan semata karena SBY secara
struktural menjabat Ketua Dewan Pembina, melainkan terutama karena dia juga
merupakan satu-satunya figur yang bisa menyolidkan kembali internal partai. SBY
adalah faktor perekat bagi keutuhan Partai Demokrat.
Soliditas dan
kekompakan di internal Partai Demokrat memang niscaya harus dibangun kembali.
Jika tidak, langkah-langkah partai tersebut menapaki persaingan dalam Pemilu
2014 niscaya terseok-seok. Justru itu, raihan suara pun kemungkinan lebih buruk
dari perkiraan seperti tecermin dalam berbagai hasil survei mutakhir.
SBY juga dituntut
membersihkan Partai Demokrat dari isu-isu korupsi. Jelas, upaya ke arah itu tak
cukup hanya dilakukan dengan menyatakan permintaan maaf kepada publik atas
banyaknya kader Partai Demokrat terlibat kasus korupsi. Suka tidak suka, SBY
juga harus menunjukkan tindakan konkret terkait keterlibatan sejumlah kader
dalam kasus korupsi ini. Intinya, SBY jangan membiarkan Partai Demokrat menjadi
bunker bagi kader-kader yang terlibat kasus korupsi.
Secara
psikologis, langkah ke arah itu mungkin tidak gampang karena kader-kader
bersangkutan merupakan figur potensial -- atau di waktu lalu berjasa besar
terhadap partai. Tetapi dalam sisa waktu sekarang ini, yang relatif tidak
banyak lagi menjelang laga Pemilu 2014, SBY hampir tidak punya pilihan lain
kecuali menindak tegas kader-kader yang terindikasi kuat berkubang dalam tindak
korupsi ini.
Jadi, sepatutnya
SBY tidak sekadar menunjukkan kegalauan atas prospek Partai Demokrat terkait
Pemilu 2014 ini. Kagalauan itu juga harus dijabarkan menjadi tindak
penyelamatan partai secara pasti, tegas, lugas, dan nyata.***
Jakarta, 16
September 2012