Setiap menjelang
Lebaran, jalur mudik selalu saja diperbaiki. Manakala hari sudah bergulir
mendekati momen Lebaran, kesibukan pengerjaan perbaikan jalan serentak
terhampar di banyak titik jalur mudik yang sebelumnya justru terkesan dibiarkan
amburadul.
Kesibukan itu
jelas menunjukkan upaya pemerintah menyulap jalur mudik agar bisa nyaman dan
aman dilalui. Bukan saja lubang-lubang ditutup dan permukaan jalan dibuat rata,
bahkan di sejumlah titik badan jalan dibongkar total serta selanjutnya dicor
beton.
Tetapi kenapa
perbaikan itu selalu saja dilakukan menjelang Lebaran? Kenapa sebelumnya
titik-titik kerusakan jalan justru seperti sengaja dibiarkan? Kenapa langkah
perbaikan tidak dilaksanakan sejak jauh-jauh hari, sehingga pekerjaan tidak
kedodoran? Bukankah justru karena kepepet momen
Lebaran, di banyak titik pekerjaan perbaikan itu menjadi tak bisa tuntas
atau bahkan asal-asalan saja sehingga jalur mudik pun tak sepenuhnya bisa mulus?
Tanpa mengurangi
penghargaan terhadap keinginan baik pemerintah menyiapkan jalur mudik menjadi
nyaman dan aman, tindak perbaikan jalan menjelang Lebaran adalah kebiasaan
buruk. Itulah: pemeliharaan fasilitas publik tidak menjadi program rutin dan
berkesinambungan. Pemeliharaan jalan, termasuk jalur mudik, tidak dipandang
sebagai kebutuhan guna menjamin kenyamanan dan keamanan jalan terus terjaga
setiap saat.
Dalam perspektif
lain, selama ini pemeliharaan fasilitas publik berupa sarana jalan sekadar
menjadi bagian tradisi mudik Lebaran. Karena itu, usai Lebaran, berbagai jalur
jalan nyaris tanpa sentuhan pemeliharaan yang bersifat serius. Terlebih, karena
cenderung dilakukan terburu-buru lantaran mengejar momen Lebaran, kualitas
pekerjaan perbaikan itu sendiri tidak selalu menjamin kelayakan jalan bisa
bertahan dalam jangka panjang.
Karena minim
pemeliharaan, kondisi berbagai jalur jalan usai Lebaran seolah sengaja
dibiarkan begitu saja. Jalan menjadi rusak atau bahkan amburadul pun sepertinya
tak mengusik perhatian pemerintah. Tindak pemeliharaan serius tak dilakukan
sampai muncul momen Lebaran berikutnya.
Walhasil,
pemeliharaan jalan lebih merupakan proyek tahunan. Proyek itu diwujudkan berupa
perbaikan yang tergolong masif dan bersifat serentak. Tapi ibarat legenda
Bandung Bondowoso yang harus membangun candi dalam tempo semalam saja,
perbaikan itu ditumpukan dalam rentang waktu sangat pendek: dua tiga pekan
menjelang Lebaran. Justru itu, mutu kelayakan jalan pun secara keseluruhan tak
terjamin bisa bertahan lama.
Kebiasaan buruk
itu -- perbaikan sarana jalan hanya dilakukan menjelang Lebaran -- patut
diberangus. Kebiasaan menjadikan pemeliharaan dan perbaikan jalan sebagai
proyek tahunan dalam rangka Lebaran sungguh tidak sehat. Tak sehat karena
seolah sarana jalan digunakan sekadar untuk mewadahi arus mudik.
Dalam perspektif itu,
sudah saatnya jalan raya benar-benar diperlakukan sebagai urat nadi kehidupan
bersama. Jalan raya adalah wahana lalu-lintas arus sosial, ekonomi, juga
budaya. Itu berarti, jalan raya jangan lagi cenderung diperlakukan sebagai
proyek tahunan yang diacukan sebatas untuk mewadahi arus mudik!