Langkah sigap
ditunjukkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kemarin. Merespons
perkembangan ekonomi dunia yang menunjukkan gelagat mengkhawatirkan, Presiden
mendadak menggelar rapat koordinasi terbatas bidang perekonomian
yang diikuti
sejumlah menteri terkait, termasuk Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Komite
Ekonomi Nasional.
Kita patut mengapresiasi sikap tanggap
Presiden dalam menghadapi gelagat memburuknya ekonomi dunia ini. Sikap
antisipatif memang perlu karena perkembangan ekonomi dunia yang memburuk itu
sangat mungkin mengimbas terhadap ekonomi nasional. Dengan menyiapkan
langkah-langkah koordinasi antarinstansi, ekonomi nasional bisa diharapkan
tidak ikut-ikutan memburuk. Kalaupun terimbas, dampak yang kemudian lahir masih
mungkin tidak terlalu buruk.
Jadi, langkah Presiden mendadak menggelar
rapat yang khusus membahas koordinasi untuk mengantisipasi krisis ekonomi dunia
ini membuat kita tak beralasan cemas atau apalagi panik. Kalangan pemain pasar,
dalam konteks ini, barangkali bisa dibuat lega. Mereka tak perlu terus bersikap
paranoid seperti kemarin sebagaimana tecermin dalam anjloknya indeks harga
saham di Bursa Efek Indonesia.
Secara fundamental ekonomi, kita juga tak
cukup beralasan mencemaskan kemungkinan ekonomi nasional tersungkur oleh imbas
krisis global. Cadangan devisa, misalnya, jelas mantap: bernilai 122 miliar
dolar AS. Dengan posisi cadangan devisa serupa itu, tak masuk akal kalau arus
uang dan modal di pasar keuangan kita seketika berbalik mengalir deras ke luar.
Dengan itu pula, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga bisa diharapkan
tetap konsisten terjaga baik di level menggairahkan bagi kehidupan ekonomi.
Secara taktis-strategis, kita juga sudah
memiliki protokol manajemen krisis. Dengan itu, kita tak perlu sampai
termehek-mehek
manakala ekonomi nasional mengalami guncangan hebat, termasuk didera krisis
global. Terlebih lagi secara psikologis kita juga memiliki pengalaman bagus
dalam mengatasi imbas krisis ekonomi global ini.
Pengalaman itu tertorehkan tiga tahun lalu
ketika krisis ekonomi AS menjadi gelombang tsunami yang menerjang ekonomi
banyak negara, termasuk negara kita. Tapi ketika itu kita berhasil
meminimalisasi imbas krisis itu sehingga tsunami krisis AS relatif tak membuat
ekonomi kita ikut-ikutan porak-poranda.
Tetapi, memang, perkembangan ekonomi dunia
sendiri sekarang ini terasa membuat riskan -- karena bukannya menunjukkan
gejala menuju pemulihan, melainkan malah cenderung kian memburuk. Akibat krisis
utang berkepanjangan yang melanda sejumlah negara di belahan Eropa, juga
kondisi ekonomi AS yang menampakkan tanda-tanda di tubir krisis, kemarin
sejumlah pusat keuangan dunia pun berguncang hebat. Indeks harga saham di bursa
global maupun regional, termasuk bursa lokal kita sendiri, rontok secara
signifikan.
Tentu, kita berharap gejolak di pasar
keuangan dunia itu sekadar gejala sementara atau bahkan sesaat. Terutama di
pasar keuangan kita sendiri, mudah-mudahan gejolak itu mereda. Itu tadi, karena
dari sejumlah sisi kita tak beralasan bersikap risau atau apalagi panik --
kecuali fungsi koordinasi yang kemarin disiagakan Presiden lewat forum rapat
terbatas ternyata tidak jalan!
Itu patut digarisbawahi karena soal
kesungguhan melaksanakan fungsi-fungsi manajemen merupakan salah satu simpul
kelemahan pemerintahan Presiden SBY sekarang ini. Buktinya: bahkan sebagian
besar instruksi Presiden tentang program-program pembangunan pun sekadar
menjadi omongan doang alias omdo karena tak dilaksanakan menteri-menteri
terkait!***
Jakarta, 5
Agustus 2011