08 Maret 2015

Ahok dan DPRD Perlu Belajar Lagi Komunikasi

Hingar-bingar perseteruan antara Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan DPRD DKI Jakarta soal RAPBD 2015 sungguh mengesalkan sekaligus mencemaskan. Mengesalkan, karena perseteruan itu berlarut-larut sehingga menyita energi dan waktu kedua belah pihak secara tidak perlu.

Kedua belah pihak bukannya mencari solusi yang bersifat win win, sehingga masing-masing tak kehilangan muka atau merasa menjadi pecundang. Mereka malah larut dalam perang pernyataan yang cenderung tidak mengindahkan etika sosial.

Dalam konteks itu, Ahok maupun pihak DPRD terkesankan tidak mampu menjalin dialog secara baik. Bahkan forum dialog yang difasilitasi Kemdagri justru mereka jadikan sebagai ajang saling caci. Kedua belah pihak tidak menunjukkan keinginan untuk segera menyelesaikan perseteruan secara baik.

Karena itu pula, perseteruan antara Ahok dan DPRD ini menjadi mencemaskan. Fungsi pemerintahan dikhawatirkan terganggu -- atau bahkan bukan mustahil lumpuh -- sehingga kepentingan publik niscaya menjadi korban. Berbagai jalan raya yang rusak digerus hujan, misalnya, kini terbengkalai alias tidak mendapat sentuhan perbaikan. Atau, contoh lain, anak yatim piatu di berbagai panti asuhan terancam telantar.

Perselisihan, dalam konteks apa pun, adalah soal biasa. Meski begitu, perselisihan tidak boleh berubah menjadi laiknya pertarungan dua musuh bebuyutan seperti ditunjukkan Ahok dan DPRD dalam beberapa pekan terakhir. Perselisihan di antara mereka sudah melampaui batas kewajaran dan kapatutan, sehingga berlarut-larut serta emosional.

Ahok maupun pihak DPRD terkesankan tidak mampu mengendalikan diri dan dirasuki keinginan saling menyalahkan dan saling mengalahkan. Dalam konteks itu, mereka tak hirau menabrak norma-norma etika.

Selain itu, masing-masing pihak juga tidak menjadikan kepentingan publik terkait peran dan fungsi pemerintahan sebagai hal yang mereka jaga bersama. Mereka lupa bahwa pemerintahan harus tetap berperan dan berfungsi normal.

Alhasil, Ahok maupun DPRD harus belajar lagi membangun komunikasi politik yang santun, menyejukkan, produktif, dan bermanfaat bagi kepentingan warga DKI Jakarta. Pertikaian frontal kedua pihak, terutama dalam beberapa pekan terakhir, bukan cuma melahirkan kegaduhan di ruang publik. Pertikaian itu juga menumbuhkan benih-benih keretakan sosial.

Sementara itu, sebagai pejabat publik, Ahok juga perlu lebih mengindahkan tata krama dan kepatutan dalam berinteraksi dengan masyarakat. Selama ini dia cenderung tidak tampil sebagai pimpinan yang menenteramkan dan mengayomi. Membentak-bentak atau bahkan menantang warga beradu fisik sungguh tidak patut sama sekali dilakukan pemimpin setingkat Gubernur DKI Jakarta.

Menghadapi masyarakat yang beraneka ragam latar belakang dan kepentingan jelas tidak selalu nyaman dan tidak menyenangkan. Justru  itu pemimpin seperti Ahok wajib memiliki watak sabar, toleran, adil, dan terutama mengindahkan nilai-nilai etika serta kepatutan sosial. Sikap-tindak pemimpin berangasan bukan hanya mematrikan kesan arogan atau pongah, namun juga diam-diam menumbuhkan kebencian publik.

Kebencian atau antipati itu sudah mulai tumbuh. Itu antara lain ditunjukkan Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ). Mereka mendukung upaya-upaya pelengseran Ahok bukan lantaran tidak setuju atau antiprinsip good corporate governance diterapkan di lingkungan pemerintahan DKI Jakarta, melainkan terutama muak dan resah oleh sikap-tindak Ahok selaku pemimpin yang mereka nilai pongah serta kurang beretika.

Ahok tak boleh memandang remeh fenomena sosial seperti ditunjukkan GMJ atau ormas-ormas lain yang terang-terangan melakukan perlawanan terhadap kepemimpinannya. Boleh jadi, itu adalah fenomena gunung es atau bola salju.

Karena itu, gaya kepemimpinan Ahok harus berubah menjadi menyejukkan tapi tetap lugas dan tegas.***

Jakarta, 8 Maret 2015

05 Maret 2015

Jangan Anggap Remeh Gejolak Harga Pangan

Spekulasi bahwa harga gula di dalam negeri potensial meroket seperti harga beras, daging, dan sejumlah bahan pokok lain sungguh tidak berlebihan. Itu karena pasokan gula ke pasar kemungkinan menyusut sebagai konsekuensi atas konflik diplomatik Indonesia dengan Brasil dan Australia terkait eksekusi hukuman mati terpidana kasus peredaran narkoba. Konflik diplomatik kemungkinan mengganggu hubungan dagang kita dengan kedua negara, termasuk impor gula.

Selama ini, Brasil merupakan salah satu sumber utama kita dalam mengimpor gula. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), tahun lalu kita mengimpor gula mentah (raw sugar) dari Brasil sebanyak 427.493 ton.

Angka itu sekitar 13,4 persen dari rata-rata total impor gula mentah Indonesia. Dalam kondisi tertentu, persentase impor gula dari Brasil ini bisa mencapai 15 persen atau bahkan 20 persen.

Australia juga sumber utama kita dalam mengimpor gula ini. Volume impor gula mentah dari Australia rata-rata hampir mencapai 400.000 ton per tahun atau sekitar 12,2 persen dari total impor gula mentah kita.

Di luar kedua negara itu, kita juga biasa mendatangkan gula dari Thailand, India, dan beberapa negara Afrika.

Seperti juga beras ataupun daging, kita terpaksa mengimpor gula karena produksi di dalam negeri tidak memadai. Produksi gula kita maksimal sekitar 2,5 juta ton per tahun, sementara kebutuhan konsumsi sekitar 5,7 juta ton per tahun -- termasuk kebutuhan untuk industri. Alhasil, setiap tahun kita harus mengimpor gula mentah rata-rata 3,2 juta ton.

Di tengah konflik diplomatik kita saat ini dengan Brasil dan Australia, sekitar 30 persen atau hampir 1 juta ton kebutuhan gula impor, yang selama ini didatangkian dari kedua negara itu, kemungkinan terganggu. Sementara alternatif sumber impor bukan perkara mudah bisa didapat. Impor dari Thailand, misalnya, tak bisa serta-merta dilipatgandakan. Paling tidak, perlu proses pembicaraan atau negosiasi yang niscaya relatif panjang untuk bisa mengkonversi impor gula dari Brasil dan Australia ke Thailand ini.

Alhasil, dalam situasi seperti itu harga gula di dalam negeri memang potensial meroket. Bukan cuma gula, melainkan juga aneka produk makanan dan minuman yang mengandung bahan gula sebagai pemanis rasa.

Itu tak pelak lagi akan menjadi pukulan tambahan bagi masyarakat luas setelah babak belur dihajar kenaikan harga beras, daging, dan sejumlah bahan pangan lain. Belum lagi harga bahan bakar minyak (BBM), gas elpiji, dan tarif listrik juga naik lagi.

Gejolak harga aneka bahan kebutuhan pokok itu harus diwaspadai, karena bisa menjadi malapetaka. Harga pangan saja berkontribusi sekitar 50 persen terhadap laju inflasi. Artinya, daya beli masyarakat melorot signifikan akibat kenaikan harga pangan ini. Itu juga berarti, penduduk hampir miskin menjadi jatuh miskin, dan  penduduk yang sudah miskin menjadi semakin miskin.

Karena itu, pemerintah harus waspada. Gejolak harga aneka kebutuhan pokok sekarang ini tak boleh dianggap enteng. Gejolak tersebut harus bisa segera diatasi sebelum keluhan masyarakat berubah menjadi kemarahan sosial yang bisa berdampak menggoyahkan stabilitas politik di dalam negeri.

Patut disadari, keberhasilan pemerintah mengendalikan harga aneka kebutuhan pokok masyarakat ini akan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan Presiden Jokowi. Kalau gejolak harga itu tak bisa diatasi, maka publik akan memvonis Jokowi  gagal menyejahterakan rakyat.

Patut disadari pula bahwa kekecewaan rakyat terhadap kinerja pemerintah ini setiap saat bisa berubah menjadi kemarahan atau bahkan keberingasan sosial. Sejarah sudah membuktikan itu.***

Jakarta, 5 Maret 2015

02 Maret 2015

Pulihkan Rasa Aman

Tindak perampasan sepeda motor belakangan ini, yang bisa dikatakan marak -- terutama di Tangerang, Bekasi, dan Depok -- telah membuat masyarakat dicekam ketakutan. Aparat kepolisian harus memberantas tindak kejahatan begal sepeda motor ini. Sebagai pelindung masyarakat, polisi wajib mengembalikan rasa aman khalayak luas.

Masyarakat kini dicekam waswas mengendarai sepeda motor -- terutama di malam hari -- karena pelaku pembegalan bukan cuma merampas kendaraan, melainkan juga tak segan melukai korban secara sadistis. Seperti kasus di Jalan Margonda dan Jalan Juanda, Depok, Januari  lalu, pelaku menusuk korban berkali-kali hingga tewas.

Para pelaku pembegalan motor tampaknya memang bukan cuma berbekal nyali besar bin nekad, melainkan juga -- seperti berbagai laporan yang diterima polisi -- melengkapi diri dengan senjata berupa pisau, golok, samurai, bahkan juga senjata api. Mereka biasa beraksi di malam hari, terutama di jalur jalan yang sepi dan minim penerangan.

Polisi mencatat, tindak pencurian sepeda motor di wilayah hukum Polda Metro Jaya selama Januari 2015 saja mencapai 260 kasus -- notabene sebagian besar berupa aksi pembegalan. Rangkaian kasus pembegalan sepeda motor itu tak pelak membuat rasa aman masyarakat nyaris sirna. Padahal, tak sedikit masyarakat Tangerang, Bekasi, juga Depok mencari nafkah di Jakarta dan biasa pulang setelah hari larut.

Mereka yang mengandalkan sepeda motor sebagai sarana transportasi itu otomatis sangat berisiko menjadi korban tindak pembegalan dalam perjalanan pulang di malam hari. Wajar kalau kelompok tersebut hari-hari ini dicekam kecemasan.

Kecemasan masyarakat atas kemungkinan menjadi korban begal sepeda motor ini kian menjadi karena polisi terkesankan tidak berdaya atau paling tidak  kewalahan. Polisi seperti keteteran dalam mengatasi tindak kejahatan tersebut.

Memang polisi sudah membekuk sejumlah pelaku tindak pembegalan ini. Beberapa terduga pelaku bahkan ditembak hingga mati. Tetapi itu tak serta-merta membuat keresahan masyarakat lantas sirna, karena laporan korban pembegalan sepeda motor terus saja berdatangan ke kantor polisi.

Kenyataan itu tak boleh terus berlangsung. Ketakutan dan kegeraman masyarakat terhadap kejahatan begal motor tak boleh sampai berkembang menjadi aksi massa main hakim sendiri terhadap pelaku yang tertangkap.

Adalah berbahaya jika amuk massa main hakim sendiri dengan cara menghajar pelaku hingga babak belur atau bahkan membunuhnya secara sadistis dianggap sebagai cara efektif memberantas kejahatan. Itu berbahaya karena bisa membuat tertib bermasyarakat menjadi kacau, sekaligus meruntuhkan moral khalayak luas.

Selain itu, marwah kelembagaan polisi juga jelas menjadi hancur. Di tengah fenomena massa main hakim sendiri secara beringas dan sadistis terhadap pelaku kejahatan, polisi tidak lagi dianggap serta tidak dihargai sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.

Fenomena seperti itu sungguh tak boleh terjadi. Oleh sebab itu, tindak kejahatan begal sepeda motor yang sudah meresahkan masyarakat harus segera bisa diberantas. Polisi wajib mengerahkan segala daya, sehingga rasa aman di masyarakat bisa pulih.

Sungguh aneh jika polisi seperti tak berdaya menghadapi kejahatan begal motor ini. Aneh, karena polisi jelas memiliki kemampuan hebat untuk memberantas aksi-aksi kejahatan, termasuk tindak pembegalan sepeda motor. Bukankah polisi bahkan mampu memerangi kejahatan terorisme yang lebih njelimet ketimbang fenomena begal motor?

Polisi sebenarnya sudah mengidentifikasi peta kejahatan begal sepeda motor ini. Polisi menyebut bahwa pelaku begal tersebut di Jabotabek adalah kelompok Lampung, kelompok Indramayu, kelompok Malingping, dan kelompok Palembang. Polisi juga sudah mengidentifikasi bahwa aksi begal sepeda motor di Jabodetabek terutama sering terjadi di 54 titik.

Karena itu, sama sekali tidak masuk akal kalau tindak pembegalan sepeda motor tetap marak seperti sekarang ini. Mengapa polisi seperti keteteran?***

Jakarta, 2 Maret 2015