27 Agustus 2014

ONTOHOD

Setelah cukup lama ditunggu, bus kota itu akhirnya muncul juga. Seolah terengah di tengah riuh lalu-lintas yang terik dipanggang matahari, bus menepi dan kemudian berhenti di depan halte. Saya lihat, bus tak dijejali penumpang seperti saat jam berangkat ataupun bubar kantor.

"Bulus, Bulus! Lebak Bulus!" teriak kondektur mewartakan jurusan yang dituju.

Saya bergerak cepat naik bus itu lewat pintu depan. Seorang penumpang lain berbuat serupa lewat pintu belakang, tempat kendektur menggelantung.

Di perut bus tak ada penumpang yang berdiri. Saya celingukan mencari-cari tempat duduk yang masih kosong. Ah, kursi di sisi kanan baris keempat dari depan masih menyisakan satu-satunya tempat duduk tanpa penumpang. Hup, saya bergerak gesit. Tak mau terdahului penumpang lain yang tadi naik lewat pintu belakang.

Alhamdulillah tempat duduk itu berhasil saya kuasai. Seorang lelaki bertubuh gempal dan agak kumal tak acuh saja saat saya menjatuhkan pantat di sampingnya. Sementara penumpang yang tadi naik lewat pintu belakang akhirnya berdiri bergelantungan di gang dekat tempat duduk saya. Orang itu tinggi, berkulit bersih, dan bertubuh atletis. Kumis tipis menghias bibirnya yang sedikit menghitam. Sementara rambutnya yang pendek dan klimis disisir ke belakang.

Bus bergerak lagi. Suara mesinnya menderum keras mengalahkan deru lalu-lintas kendaraan di jalan yang kebetulan siang itu tak dihadang kemacetan.

Di halte berikutnya, empat penumpang naik lewat pintu depan -- dan entah berapa orang lewat pintu belakang. Salah satu yang naik lewat pintu depan adalah seorang wanita muda bertubuh sintal. Dia langsung memilih tempat -- berdiri menggelantung -- di ujung gang depan, dekat tempat duduk sopir.

Mungkin merasa tak enak hati, atau boleh jadi juga karena halte tujuannya sudah dekat, pemuda ceking di kursi paling depan berdiri dan memberikan tepat duduknya kepada perempuan sintal itu. Dia sendiri kemudian menggelantung persis di sisi kiri tempat duduknya semula.

Melihat itu, lelaki gempal di samping saya mendengus sambil berbisik. "Lihat pemuda ceking itu. Dia ngasih tempat duduknya kepada perempuan itu belum tentu karena dia memang gentle," katanya. Jelas bisikan orang itu ditujukan kepada saya.

"Maksud Anda?" ujar saya tak kuasa menahan heran.

"Lha, iya. Dia memberikan tempat duduknya kepada wanita itu boleh jadi bukan karena dia menghargai dirinya sendiri sebagai lelaki yang harus menghormati wanita," ujar lelaki gempal itu lagi.

Saya diam. Saya merasa tidak tertarik menanggapi. Tapi, eh, si gempal nyerocos lagi. Seperti tak peduli bahwa saya tak berminat mengobrol dengannya.

"Gua yakin, dia menyerahkan tempat duduknya kepada wanita itu sebagai akal bulus. Cuma modus, Bung," kata si gempal.

"Modus? Modus bagaimana?" tanpa sadar saya terpancing juga.

"Iya modus. Modus untuk melecehkan wanita itu. Dia memilih berdiri bergelantungan agar bisa leluasa melakukan pelecehan seksual. Coba saja lihat nanti kalau penumpang padat. Dia pasti beraksi. Dan wanita yang dia kasih tempat duduk itu adalah sasarannya," kata si gempal lagi.

"Ah, Anda berburuk sangka," ujar saya.

"Lha, gua pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri kok bagaimana lelaki seperti dia melakukan pelecehan seksual di atas bus kota. Korbannya bahkan ibu-ibu."

"Benarkah?"

***

Si gempal menarik napas. "Kejadiannya sekitar tiga atau empat bulan lalu. Di bus jurusan ini pula. Saat itu sore. Jam bubaran kantor," katanya kemudian.

Saya diam. Menunggu lanjutan ceritanya.

"Bus kala itu sudah penuh," kata si gempal lagi tanpa saya minta. "Jadi, penumpang yang naik pun harus rela berdiri. Tapi gua sendiri, karena naik saat penumpang bus masih agak lengang, kebagian tempat duduk. Ya, di posisi seperti sekarang ini. Di kursi baris keempat dari depan.

Meski sudah berjejal, bus masih saja menjaring penumpang. Nah, di sebuah halte, antara lain seorang wanita muda naik. Bodinya sintal kayak wanita yang kini duduk di depan itu. Dengan susah-payah, wanita itu berupaya menerobos jejalan penumpang. Upayanya tidak sia-sia. Dia akhirnya bisa mendapat posisi -- berdiri di belakang tempat duduk sopir, menghadap jendela.

Persis di belakang wanita itu, berdiri pula seorang pemuda. Kayaknya mahasiswa. Di punggungnya nemplok tas ransel. Seperti kemejanya, celana yang dikenakan pemuda itu terlihat longgar.

Bus bergerak lagi. Di halte berikutnya, beberapa penumpang turun. Tapi penumpang yang naik lebih banyak ketimbang yang turun. Jadinya, bus makin sesak. Penumpang kian berimpitan serupa ikan sarden.

Di antara penumpang yang baru naik itu adalah sepasang laki-perempuan. Belakangan ketahuan bahwa mereka suami-istri. Sang istri berwajah lumayan cantik. Umurnya mungkin belum tiga puluh. Sementara sang suami kira-kita berumur empat puluh. Tampangnya sedikit sangar.

Boleh jadi karena tampang sangar lelaki itu pula maka penumpang-penumpang lain bergeser menggeliat untuk memberi ruang bagi pasangan suami-istri itu memepet ke bagian depan. Mereka kemudian memilih posisi berdiri berhimpitan di samping kanan mahasiswa bercelana longgar tadi.

Sementara itu, memanfaatkan kepadatan penumpang, si mahasiswa merapatkan badannya ke bagian belakang bodi si wanita sintal. Tak cuma itu, dasar ontohod, lelaki muda itu menggesek-gesekkan anunya ke bokong si sintal.

Awalnya si sintal kelihatan tidak ngeh bahwa dia dikerjain si ontohod. Maklum penumpang dalam bus berdesakan. Tapi lama-lama si sintal sadar juga. Cuma kayaknya dia tak berani berteriak. Mungkin takut atau mungkin juga malu. Hanya ekspresi wajahnya nyata sekali kelihatan senewen kepada si mahasiswa ontohod itu.

Merasa dikerjain tak senonoh, si sintal bergerak mengubah posisi. Meski tidak mudah, dia akhirnya bisa beralih posisi jadi di belakang si ontohod. Tapi entah bagaimana, si ontohod sendiri tahu-tahu jadi menghadap wanita yang tadi naik bersama si sangar. Sementara posisi si sangar malah di belakang si sintal.

Nah, pemuda itu memang benar-benar ontohod! Wanita pasangan si sangar pun segera dia kerjain pula. Persis seperti sebelumnya dia ngerjain si sintal. Gua yakin, si sintal sendiri tahu kelakuan bejat itu pemuda ontohod. Cuma, lagi-lagi dia memilih diam dan hanya pasang mimik senewen.

Namun kemudian gua lihat pasangan si sangar menyadari apa yang terjadi. Wanita itu seketika berteriak. "Eh, apa-apaan kamu, bedebah? Kurang ajar kamu, ya!"

Mendengar itu, si sangar pun terlihat kaget. "Kenapa, Mam?"

"Ini, Pah. Orang ini mepet-mepet dan gosok-gosokin anunya ke bokongku! Kurang ajar dia!" kata wanita itu makin sewot.

Emosi si sangar seketika tersulut. Tanpa banyak cingcong lagi, dia melayangkan tinjunya. Buk, buk, buk! Tiga bogeman dia daratkan di kepala si ontohod. "Setan lu, ya! Berani-beraninya bini gua lu perlakukan gak senonoh!" kata si sangar sambil melayangkan lagi tinjunya ke muka si ontohod.

Menyadari apa yang terjadi, beberapa penumpang lain ikut-ikutan membogem si ontohod. Suasana di dalam bus praktis jadi gaduh sehingga sopir pun menghentikan laju bus. Kesempatan itu dimanfaatkan si sangar untuk menyeret turun si ontohod. Istrinya bergegas ikut turun sambil tak henti memuntahkan makian.

Gua gak tahu apa yang selanjutnya terjadi karena bus segera bergerak lagi lantaran diprotes banyak pengendara lain di belakang dengan ramai-ramai membunyikan klaksok. Cuma gua sempat lihat sekilas, di pinggir jalan itu si sangar masih meneruskan menghujani si ontohod dengan pukulan...."

Saya manggut-manggut. Takjub oleh cerita si gempal barusan.

***

Tanpa saya sadari, bus sudah tak lengang lagi. Penumpang berdesakan. Saya lihat, si atletis -- lelaki yang tadi naik bersamaan dengan saya -- masih berdiri berhimpitan dengan penumpang lain.

Begitu juga pemuda ceking yang tadi memberikan tempat duduknya kepada wanita sintal. Posisi si ceking kini sudah bergeser sedikit ke belakang. Tak lagi persis di samping kiri si sintal.

Saya tersenyum seraya mencolek si gempal di sebelah saya. "Pemuda itu tidak melakukan apa-apa," kata saya berbisik seraya menunjuk ke arah si ceking dengan gerakan mata. "Anda salah sangka tentang pemuda itu. Dia pemuda baik-baik," kata saya setengah meledek.

Si gembal tak bicara. Dia membuang pandangan ke luar jendela seraya mengangkat bahu. Sama sekali tak terlihat rasa bersalah.

Di pintu belakang, kondektur lagi-lagi terdengar berteriak-teriak. Pergtanda bus mendekati halte. "Bulus, Bulus! Lebak Bulus!"

Bus menepi. Sejumlah penumpang turun dengan susah-payah menembus rapatnya penumpang lain yang bergelantungan. Si ceking termasuk ikut turun. Sejurus kemudian, sejumlah panumpang baru gantian naik. Seorang perempuan berusia 50-an, tanpa peduli penumpang lain yang berdesakan, langsung menerobos mencari posisi di tengah. Si altetis terlihat bijak. Dia bergeser sedikit ke belakang, sehingga perempuan itu mendapat ruang di depannya. Perempuan itu lalu berdiri bergelantungan, persis di samping kiri tempat saya duduk.

Ah, saya jadi merasa tak nyaman. Saya tak bisa membiarkan ibu-ibu berdiri berdesakan di depan hidung saya.

Nurani saya mendorong saya berdiri dan menyerahkan tempat duduk kepada perempuan setengah baya berpenampilan menor itu. Tapi sebelumnya saya sempatkan berbisik kepada si gempal. Menggoda.

"Anda jangan mengira saya hendak berbuat yang tidak-tidak terhadap ibu ini. Saya lelaki baik-baik," kata saya. Si gempal mendelik tanpa berkata-kata.

Maka saya dan perempuan menor itu berganti tempat. Saya kini ikut berdiri bergelantungan sambil berdesakan. Persis di belakang saya adalah si atletis.

Saya menebar pandangan ke luar jendela. Yeah, tempat saya turun tinggal tiga halte lagi.

Bus baru bergerak lagi ketika saya merasakan tubuh si atletis kian merapat ke tubuh saya. Pasti itu efek pergerakan bus, pikir saya. Tapi lama-kelamaan saya menjadi tak enak. Bukan saja tubuh si atletis tetap menempel rapat ke badan belakang saya, tapi saya juga merasakan bokong saya didesak-desaknya.

Saya menoleh ke belakang, dan segera beradu pandang dengan si atletis. Muka kami saling berhadapan dalam jarak hanya terpaut beberapa senti. Alamaaak, si atletis tersenyum genit sambil mengedipkan sebelah matanya. Ontohoood!

Bulu kuduk saya seketika merinding. Seketika pula saya berteriak kepada sopir. "Kiri, Bang! Stop, stop, stop! Stooooooop!!!"***

 

Jakarta, 17 Mei 2011



Catatan: 

Ontohod adalah umpatan Sunda untuk orang yang melakukan perbuatan kurang/tidak patut.

Kematian

TIBA-TIBA aku dicekam suasana kematian. Suasana maut itu terasa hadir di sekelilingku, ke mana pun aku pergi. Mencekam. Menyeramkan. Kematian terasa sangat dekat dan seperti segera menjemputku. Terlebih dalam suasana malam seperti sekarang ini. Terasa sangat sepi dan dingin. Detak-detak jam di dinding seolah mengabarkan saat-saat terakhirku. Detak-detak itu seperti menghitung denyut nadiku sampai suatu ketika aku benar-benar mati.

Suasana maut ini mulai membayangiku sesaat setelah kematian Bodin, kawan karibku. Seperti biasa, pagi itu aku dan Bodin lari pagi menyusuri jalan yang masih lengang. Tetapi pagi itu, dengan sangat tiba-tiba, sebuah mobil menyambar Bodin dari sampingku. Seketika Bodin mati dengan dada remuk. Darahnya menggenang di aspal yang hitam. Sedang mobil yang merenggut nyawanya kabur entah ke mana. Tinggal aku sendirian antara kaget, bingung, dan ngeri. Angin pagi yang dingin seketika menghadirkan suasana mencekam, seperti mengabarkan  giliran kematianku.

Sejak itu aku merasa maut ada di mana-mana, mengintai setiap orang. Dan siang tadi, Ceu Romlah yang mendapat giliran. Dia mati setelah terjatuh di kamar mandi. Begitu mudahnya sebuah kemartian terjadi! Padahal Ceu Romlah masih muda dan sehat walafiat.

Sekarang, setelah kematian Ceu Romlah, makin jelas terasa: kematian itu segera menjadi giliranku. Tidak siapa-siapa lagi. Ya, nyawaku tak lama lagi melayang!

Tapi tidak. Aku tak ingin mati. Aku harus meninggalkan suasana maut ini. Aku harus pergi dari tempat ini. Sekarang juga!

AKU bersyukur. Sampai di kampung, ternyata nyawaku masih utuh menyatu dengan jasadku. Dan anehnya, justru di tempat kelahiranku ini suasana maut itu tak terasa lagi. Di sini, aku tak lagi merasa dibayang-bayangi kematian. Sekarang aku merasa tenteram. Suasana di sini terasa hangat. Tak lagi mencekam dan menakutkan.

Melihat kedatanganku, ibu tak dapat menyambunyikan keheranannya. Mungkin karena aku pulang tidak pada musimnya.

“Kok pulang secepat ini, Jo? Mestinya kan baru bulan depan kamu pulang,” ujar ibu.

“Iya, Bu. Kangen kepada semua yang di sini,” jawabku berbohong.

Malam harinya, kepada ibu aku ceriterakan kegelisahanku. Aku beberkan soal bayangan maut yang terasa terus mengintaiku, sekalian kukabarkan kematian Bodin yang sangat tiba-tiba.

Mendengar itu, ibu hanya tersenyum sambil menggeleng-geleng kepala. Sedangkan Budi, adikku, tertawa-tawa mengejek. “Ha ... Kecing. Kakak kecing! Sebenarnya kakak takut sama hantu Kak Bodin,” kata Budi mengolok-olok.

“Tidak, Bud. Sama sekali aku tidak takut sama hantu. Lagi pula aku tak percaya pada hantu gentayangan,” kataku menangkis olok-olok adikku.

“Terus, kenapa sampai kabur ke sini segala?” ujar Budi lagi, masih mengejekku.

“Aku ke sini karena takut akan suasana kematian yang tiba-tiba menghimpitku. Aku merasa seperti mau mati!”

Budi kembali tertawa. Tetap mengejek.

“Jo ...” kata ibu setelah Budi beranjak pergi ke kamarnya, “Perkara kematian tak perlu kita takuti. Kapan saja dan di mana saja, kalau memang sudah waktunya mati, kita pasti mati juga. Yang penting kita harus siap menyongsong kematian itu.”

“Justru itu, Bu. Saya belum siap. Saya merasa masih terlalu muda untuk mati.”

Ibu tersenyum. “Siapa pun orangnya, kalau menyangkut soal mati, pasti selalu merasa belum siap. Tapi, Jo, kematian tidak pernah mengenal siap dan tidak siap. Tua, muda, sakit, ataupun sehat, kalau memang sudah waktunya mati pasti mati juga. Kematian tidak pernah kenal kompromi. Oleh sebab itu, seperti ibu bilang tadi, kita harus senantiasa siap untuk mati. Artinya, kita harus mempersiapkan diri. Berbuat amal baik seperti pesan agama.”

Lama sekali kurenungkan kata-kata ibu itu. Bahkan sampai larut malam. Mungkin benar, selama ini aku kurang bersiap menghadapi kemungkinan mati yang bisa terjadi kapan saja. Aku terlalu larut dalam kesenangan duniawi.

Tapi benarkah aku mesti bersiap menyongsong kematian? Ah, aku tak mau mati terlalu dini. Aku masih sangat mencintai dunia.

SEMINGGU lebih aku tinggal di kampung, menghindari suasana kematian. Selama itu pula kuliahku terbengkalai. Tetapi selama itu pula aku bisa merasakan ketenteraman. Di kampung, aku bisa terbebas dari suasana yang mencekam dan menghimpit. Aku merasa tenang dan dapat menghirup kehidupan dengan penuh nikmat.

Hari ini kuputuskan kembali ke Bandung. Tak berapa lama lagi ujian akhir semester berlangsung. Harapanku, di Bandung aku memperoleh ketenteraman seperti di kampung: tak dibayang-bayangi lagi oleh suasana kematian. Aku berharap bisa belajar dengan tenang, mempersiapkan diri menghadapi tentamen.

Sebelum berangkat, sekali lagi ibu menasihati. “Kematian sama sekali tak perlu ditakuti, Jo. Kalau sudah waktunya, kematian pasti datang juga. Tak bisa ditampik. Tak bisa dielaki. Karena itu, yang penting kamu senantiasa siap menghadapi kemungkinan dijemput maut. Kita bersiap dengan mengumpulkan amal ibadah sebanyak mungkin. Cuma itu ....”

ANEH. Sampai di tempat kost, suasana mencekam itu menyergap lagi. Sangat menekan perasaanku. Detak-detak jam di dinding seperti kembali mengingatkan bahwa ajalku segera tiba! Duh, bagaimana ini? Mengapa kematian di sini terasa begitu akrab menguntitku? Benarkah aku segera dijemput ajal?

Tiba-tiba pintu diketuk orang dari luar. Sejenak aku mematung. Ragu. Apalah itu malaikat yang akan mencabut nyawaku? Algojo misterius?

Pintu diketuk lagi. Sedikit lebih keras. Aku makin tegang. Sekarangkah ajalku?

“Jo ...” suara di balik pintu.

Ah, bukan. Di luar itu bukan malaikat pencabut nyawa. Aku kenal betul suara itu. Pasti Waska, teman kuliahku.

Benar saja. Ketika pintu kubuka, Waska berdiri sambil menebar senyum khasnya. “Ke mana saja kau selama ini, Jo” katanya seraya masuk. Waska lalu  duduk di bibir tempat tidurku.

“Aku mudik, Was,” jawabku pendek saja.

“Lho, bukan musimnya kok mudik?”

“Yah, keuangan macet. Terpaksa!” jawabku berbohong.

Waska tersenyum. Giginya putih bersih seperti kata iklan. “Kau sudah tahu, ibunya kawan kita, Apuy, meninggal?” katanya kemudian.

“Ha?!!”

Bukan karena ibunya Apuy itu yang membuatku kaget bukan kepalang. Tapi soal kematian. Ya, kematian! Lagi-lagi kematian. Gila! Setelah ibunya Apuy, lalu giliran siapa? Aku?

“Kok bengong, Jo?”

“Oh, aku ... Aku sangat kaget. Tak menyangka kawan kita Apuy mendadak kehilangan ibu. Kasihan dia ...”

“Yah, begitulah ...”

“Sakit apa gerangan ibunya Apuy itu?”

“Sama sekali tidak sakit. Malah pagi hari sebelum mati itu dia katanya ikut arisan ibu-ibu di kampung tempatnya tinggal.”

Aku menarik napas dalam-dalam. Bayangan kematian terasa kian dekat. Kian mencekam. Dingin. Oooo, maut segera menyambarku!

“Jo, kau percaya terhadap hal-hal aneh?” kata Waska menyentak kesadaranku.

“Maksudmu?”

“Begini. Kata orang, kalau di malam hari pintu diketuk orang dari luar, tapi saat dilihat tak ada siapa-siapa, konon itu pertanda bakal ada kematian di rumah itu.”

“Was!”

“Nah, sehari sebelum ibunya Apuy meninggal, katanya Apuy mengalami kejadian begitu. Dua kali Apuy terjaga dari tidur karena pintu rumah diketuk dari luar. Tapi setiap kali dilihat, Apuy tidak melihat siapa-siapa di depan pintu itu.”

“Was!”

AKU merasa kian tak tenteram. Jiwaku teramat gelisah. Suasana malam terasa sangat sepi, dingin, dan mencekam. Menyeramkan. Maut kian terasa mendekat. Napasku sesak, sementara jantung berdebur kencang. Keringat dingin meleleh deras. Bayangan-bayangan menyeramkan terpampang jelas di mataku. Teramat menakutkan. Ah, mungkin ini awal kematianku. Mati perlahan-lahan. Ya, barangkali aku sedang sekarat. Tak lama lagi malaikatul maut menjemputku. Dan ruangan ini, kamar ini, telah lebih dulu mati. Dingin. Basah. Lembab. Kamar ini telah menjadi kuburku yang pertama.

“Tok-tok-tok-tok-tok!!”

Nah, kabar kematian telah datang! Maut tak lama lagi menjemput. O, dunia ... selamat tinggal!***

Bandung, 6 Januari 1985

Rorongo

Hari makin beranjak siang. Tamu terakhir baru saja keluar. Sekretaris sudah menginfokan bahwa tak ada lagi tamu yang harus saya hadapi. Maka saya pun mulai memeriksa setumpuk dokumen yang tadi disorongkan sekretaris untuk saya tanda tangani.

Tapi belum juga saya menggoreskan satu tanda tangan pun, ponsel yang saya taruh di atas meja kerja menggemakan nada panggil. Dalam ruang senyap yang kini hanya dihuni saya seorang, nada panggil itu terdengar demikian nyaring.

Di layar ponsel itu tertulis nama istri saya, Noedonto, selaku pemilik nomor telepon yang memanggil. Saya memencet tombol receive calls. Dan begitu ponsel menempel di telinga, suara Noedonto di seberang sana seketika menghambur.

"Halo, Pah! Bagaimana?"

"Bagaimana apanya?"

"Pak Berehan sudah nelpon?"

Saya menarik napas panjang. Tak berselera meladeni omongan Noedonto. Saya sudah bisa menebak ke mana arah bicaranya. "Belum," kata saya kemudian. "Atau mungkin dia tidak akan menelepon."

"Ah, coba Papah yang menelepon dong! Papah jangan cuma diam menunggu."

Saya lagi-lagi menghela napas. "Buat apa?"

"Lha, Papah ini bagaimana? Mama kan sudah bilang, mintalah sesuatu. Pak Berehan pasti dengan senang hati mengabulkan ..."

Saya diam. Oh, intimidasi itu kembali menghujam. Saya merasa tertekan.

"Pah! Bilang sama Pak Berehan: kita minta dibelikan apartemen! Lengkap dengan satu set perabotan luks, termasuk pesawat televisi ukuran jumbo plus home theater system. Lokasi apartemennya jangan di daerah pinggiran, tapi minta yang di daerah elite seperti Kuningan atau Senayan. Minta pula mobil terbaru. Mobilnya Alphard saja, seperti banyak dipakai orang-orang top di Jakarta ini."

Saya tetap diam. Dada serasa sesak. Sebagai birokrat, gaji saya sebenarnya terbilang memadai. Tapi untuk beli apartemen plus mobil mewah, saya angkat tangan. Tabungan saya tak akan mencukupi. Namun masak karena itu saya mesti menjatuhkan martabat dan integritas pribadi dengan meminta orang membelikan sesuatu yang tak mampu saya jangkau? Lagi pula, tak pernah tebersit dalam pikiran saya keinginan memiliki apartemen ataupun kendaraan mewah.

"Permintaan itu tidak berlebihan kok, Pah. Proyek yang diincar Pak Berehan kan bukan kelas ecek-ecek, tapi kelas jumbo. Jadi, wajarlah kita minta apartemen dan mobil sebagai success fee," tutur Noedonto.

Saya tetap diam. Kepala terasa pening. Noedonto dalam beberapa hari terakhir menjadi mengesalkan sekaligus memuakkan -- karena omongan itu-itu terus yang dia jejalkan kepada saya. Yang membuat saya muak, Noedonto sudah tak mengindahkan lagi tata krama. Saya, lelaki yang telah menjadi suaminya selama 25 tahun lebih, kini dia perlakukan bak kacung. Dia seenaknya saja memberi perintah dan mendikte-dikte saya.

"Pah! Kok diam? Papah denger Mamah, gaaaak?"

"Hmmm ..." Mau tak mau saya harus memberi reaksi agar kemarahan Noedonto tidak terpantik.

"Ingat lho, Pah. Jangan malu, jangan sungkan! Lumrah kok minta success fee. Apalagi Pak Berehan kan teman lama Papah. Jadi, ayolah, Pah! Jangan kecewakan Mamah ...."

Lagi-lagi saya harus memberi reaksi. Tapi, seperti tadi, reaksi saya cukup berupa gumaman ala kebo lagi kebelet: "Hmm ..."

"Pokoknya Papah harus singkirkan segala keengganan. Papah harus yakin bahwa permintaan seperti itu wajar dan lumrah. Teman-teman Papah di kantor juga pasti biasa berbuat begitu."

"Hus! Mama tidak patut ngomong begitu."

"Lah, Papah! Apa Papah yakin bahwa kolega-kolega Papah lurus-lurus saja seperti Papah?"

Saya merasa kian pening. Noedonto sungguh sudah menjadi rorongo. Ingin rasanya saya membanting ponsel atau berteriak memaki. Biar Noedonto tahu bahwa saya sungguh-sungguh muak.

***

Terus-terang, saya menyesal telah bercerita kepada Noedonto perihal Berehan -- teman lawas yang kini menjadi pengusaha papan atas -- belum lama ini menelepon saya. Berehan khusus menelepon untuk meminta bantuan saya: mengawal perusahaannya agar bisa tampil sebagai pemenang tender proyek pembangunan gedung baru di institusi tempat saya mengabdi sebagai birokrat.

Permintaan itu membuat saya kaget sekaligus bingung. Kaget, karena saya tak mengira bahwa Berehan ambil bagian dalam tender proyek bernilai hampir satu triliun rupiah itu. Saya juga bingung karena bagi saya permintaan Berehan sungguh musykil. Ya, karena proyek itu menjadi sorotan banyak pihak, sehingga sekecil apa pun "permainan" jelas menjadi sangat riskan.

Tapi riskan ataupun tidak, bagi saya, tindakan mengawal -- atau apa pun namanya -- sebuah perusahaan agar menjadi pemenang tender adalah tidak patut. Curang! Tindakan itu juga jelas-jelas menuntut saya harus menggadaikan integritas yang selama ini saya bangun dengan susah-payah.

Karena itu, secara halus saya menolak permintaan Berehan. Tapi, seperti sudah saya duga, Berehan tak menyerah begitu saja. "Kamu jangan naif! Kamu punya posisi strategis. Sebagai pejabat eselon satu, kamu tentu punya akses, selain juga memiliki pengaruh kuat di lingkungan kerjamu. Omonganmu pasti didengar. Jadi, bagi kamu, panitia lelang tak sulit diatur-atur dan diarahkan!"

Saya kecewa bahwa Berehan punya pandangan seperti itu. Tapi justru itu pula, saya pun makin gigih menolak permintaannya. Berehan sendiri tetap berkukuh mendesak. Akhirnya, sampai percakapan via telepon itu berakhir pun, kami tetap bersimpang jalan. Tapi saya menduga bahwa Berehan pasti menelepon lagi dalam kesempatan mendatang. Sebagai teman karibnya di masa lalu, saya tahu persis watak dia: pantang menyerah!

Dugaan saya tidak keliru. Beberapa hari kemudian Berehan menelepon saya lagi. Kali ini dia meminta saya untuk bertemu muka dengannya di suatu tempat. Dia beralasan: "Masak kita berinteraksi melulu via telepon atau lewat facebook. Sesekali kita perlu bersua muka agar pertemanan kita tetap hangat seperti zaman kita di SMA dulu."

Saya meyakini, ajakan itu lebih merupakan upaya Berehan untuk menaklukkan saya agar memenuhi permintaannya. Maka saya pun menyepakati ajakannya. Maksud saya, dengan bertemu muka, saya bisa lebih menegaskan sikap bahwa saya tidak sudi merecoki urusan yang bukan tanggung jawab langsung saya.

Maka setelah bersepakat, pada suatu siang kami pun bertemu di sebuah restoran. Tapi dugaan saya bahwa Berehan akan berupaya mendesak saya agar memenuhi permintaannya ternyata keliru. Sama sekali di luar perkiraan, Berehan tak menyinggung sedikit pun soal tender. Dia lebih banyak mengungkit kenangan manis kami dalam merajut persahabatan semasa di SMA dulu.

Pertemuan itu sendiri, yang hanya dihadiri kami berdua,  berlangsung sekitar setengah jam saja. Dengan alasan ditunggu urusan penting, Berehan pamit ketika saya belum berkesempatan menegaskan sikap saya menolak permintaannya soal merecoki proses tender.

Nah, sebelum beranjak pergi, Berehan menyerahkan sebuah kado yang dibungkus dengan indah. "Ini tanda persahabatan kita. Tolong diterima ... " katanya.

Setiba kembali di kantor, saat kado itu dibuka, saya tercengang. Betapa tidak, karena isi kado adalah sepasang jam tangan mewah plus amplop berisi uang dalam pecahan dolar Amerika senilai 50.000. Waw!

Saya segera berkesimpulan bahwa itu pasti berkaitan dengan kepentingan Berehan menaklukkan saya. Kado itu niscaya merupakan jerat untuk membuat saya bisa dia perlakukan bak kebo dicucuk hidung.

Karena itu, dengan rasa kesal bercampur marah, keesokan harinya -- ketika hari sudah larut -- saya menemui Berehan di rumahnya. Kado pun saya kembalikan.

Berehan kelihatan tidak senang. Tapi saya tak peduli.

Saya tak sudi coba diperlakukan bak kebo dicucuk hidung. Meski begitu, saya tetap berusaha agar pertemanan kami jangan sampai menjadi rusak.

Boleh jadi Berehan pun berpikiran serupa. Dia kelihatan segera membuang rasa tidak senangnya. Tapi dia juga kemudian mati-matian meminta saya agar membawa pulang kado. "Apanya yang salah aku ngasih kamu kado? Ini tanda persahabatan kita! Tolong hargai keinginan baikku," ujarnya.

Namun saya tak mau kendur. Sikap saya tak goyah sedikit pun. Tetap menolak kado. Maka, untuk beberapa saat, kami saling berkukuh pada sikap masing-masing.

Suasana tidak enak itu akhirnya sedikit cair karena kemudian Berehan mengalah. "Tapi kapan pun perlu bantuan, kamu jangan ragu ataupun sungkan bilang kepadaku. Aku, sahabatmu, selalu siap membantumu," katanya. Saya merasa kalimat terakhir, yang mendapat penekanan khusus, lebih merupakan sindiran atau bahkan intimidasi.

Setelah kejadian itu, Berehan sempat beberapa kali menelepon saya. Lagi-lagi dia memohon bantuan agar saya mengawal perusahaannya. Namun saya bergeming.

Rangkaian kontak dengan Berehan itu pula yang kemudian saya ceriterakan kepada Noedonto. Darinya saya berharap dukungan moral. Saya butuh peneguhan bahwa integritas pribadi memang harus dipertahankan mati-matian. Saya juga perlu masukan Noedonto untuk menjaga pertemanan saya dengan Berehan tidak menjadi rusak.

Namun ternyata saya keliru. Sikap Noedonto sama sekali di luar dugaan. Selain menyesalkan sikap saya menolak kado, dia justru meminta saya menyanggupi permintaan Berehan! Bagi dia, permintaan itu peluang emas untuk meraih mimpi yang diam-diam dia pendam: memiliki apartemen dan kendaraan mewah.

"Mantu kita belum punya mobil. Kasihan anak dan cucu kita. Ke mana-mana bisanya cuma naik motor. Jalan ke mal saja mereka harus kepanasan atau kehujanan. Jadi, mobil Terrano kita yang sudah uzur itu biar buat mereka saja. Untuk gantinya, kita minta mobil baru kepada Pak Berehan," kata Noedonto beralasan.

Dia melanjutkan omongannya: "Mamah juga pengen kita punya apartemen. Buat investasi, Pah. Dua tahun lagi Papah pensiun. Nah, kalau Papah pensiun nanti, apartemen itu kita sewakan sehingga kita tetap punya penghasilan ...."

***

Dua minggu berlalu sejak kali terakhir Berehan menelepon. Saya merasa lega karenanya. Namun di sisi lain saya justru makin tertekan oleh sikap Noedonto yang tak bosan-bosan mengindoktrinasi saya supaya merangkul Berehan dan membangun kolusi.

Seperti pagi ini: sebelum saya berangkat ke kantor, dia lagi-lagi mengindoktrinasi. Ujarnya: "Sudahlah, Pah. Buang keraguan itu! Mantapkan saja! Teleponlah Pak Berehan sekarang juga! Bilang kepadanya bahwa Papah siap membantu kepentingan dia. Lalu Papah katakan terus-terang: minta dibelikan apartemen plus sebuah tunggangan terbaru ..."

Saya menghela napas. Kesal dan jengkel memenuhi rongga dada.

"Ayo, Pah! Mantapkan saja hati Papah ..." Noedonto mendesak.

Saya menatapnya beberapa jenak. Saya merasa sudah tidak tahan lagi. Saya ingin muntah. Saya juga ingin berteriak keras. Ingin memaki. Tapi yang keluar dari mulut saya malah nada lemah: "Baiklah ...."

Dengan perasaan sangat berat, saya kemudian mengeluarkan ponsel. Terus memencet menu phone book serta kemudian melakukan dialing.

Noedonto terlihat berbinar-binar ketika saya menunggu sambungan telepon terhubung.

"Halo ..." suara di seberang sana sangat saya hapal. "Tumben nelpon pagi-pagi begini. Mudah-mudahan ini kabar gembira," katanya lagi.

Saya menelan ludah. Sekadar untuk memantapkan diri. Kemudian kata saya dengan suara bergetar: "Maaf, Pak. Anu ... Mulai hari ini, jam ini, detik ini saya mengundurkan diri. Suratnya segera saya susulkan hari ini juga."

Saya yakin, di seberang sana Pak Baliut, atasan saya di kantor, melongo. Bengong. Saya juga melihat Noedonto mengernyit tak mengerti. Tapi masa bodoh! Saya justru merasa lega karena terbebas dari rorongo.***



Catatan: 

Rorongo (Sunda) secara harfiah berarti laron. Tapi dalam keseharian, rorongo acap digunakan sebagai kiasan atas situasi/kondisi yang merongrong dan menekan.

 

Jakarta, 12 Juni 2011

Mudik Lebaran

Setiap lebaran aku selalu pulang kampung. Mudik. Tak terkecuali lebaran kali ini. Segala persiapan sudah beres. Jadi, tinggal berangkat saja. Beberapa hari lalu mobil sudah kubawa ke bengkel: ganti oli plus servis mesin dan penyejuk udara alias AC. Dengan demikian, meski terbilang sudah uzur, mobilku tetap nyaman dan bisa diharapkan tidak mogok di perjalanan.

Sementara itu, oleh-oleh buat ibu di kampung sudah dibungkus rapi dalam rupa kado dengan hiasan pita sehingga berkesan istimewa. Beberapa kardus juga sudah pula dilakban. Isinya: bingkisan untuk beberapa kerabat, terutama Nung yang sehari-hari menemani dan merawat ibu. 

Nanti pagi menjelang adzan shubuh, ketika orang-orang sedang santap sahur, aku bersama istri dan anakku semata wayang mulai meluncur meninggalkan Jakarta. Mudah-mudahan arus kendaraan di jalur pantura sudah tidak macet lagi seperti heboh diberitakan di televisi tadi sore. Tapi kalaupun perjalanan mudik lebaran ke arah timur Jakarta ini masih dihadang macet parah, aku sudah siap mental. Paling tidak, pengalaman bermacet-macet saat mudik lebaran di tahun-tahun yang lalu telah membuat mentalku tahan banting. Jadi, hadangan kemacetan lalu lintas di perjalanan tak bakal membuatku senewen. 

Boleh jadi, sikap mentalku membaja juga karena aku demikian bersemangat menyongsong mudik lebaran ini. Ya, karena bagiku mudik lebaran sudah menjadi semacam ritual tahunan. Mudik lebaran kuanggap sebagai momen istimewa yang tak boleh dilewatkan begitu saja. Dengan mudik lebaran, aku bisa bersilaturahmi dengan keluarga di kampung. Terutama dengan ibu yang sudah sepuh. 

Lebih dari itu, mudik lebaran juga menjadi istimewa karena membuatku merasa bisa berbakti kepada ibu: menunjukkan perhatian sekaligus memohon ampun dan doa. 

Karena itu, setiap kali selesai sungkem kepada ibu di pagi pertama idul fitri, aku selalu merasa sangat bahagia. Batinku terasa mendadak jadi lapang. Jiwa dan pikiranku jadi kembali jernih dan segar. Tak lagi sumpek akibat sehari-hari terus didera berbagai masalah. 

Boleh jadi, momen idul fitri membuatku merasa tercerahkan secara spiritual karena dalam keseharian aku senantiasa dibebani oleh pikiran tentang ibu. Hati kecilku tak bisa menerima kenyataan bahwa ibu yang sudah sepuh hidup jauh dari kami, anak-anaknya. Terus-terang aku merasa berdosa. Mestinya kami yang sehari-hari menjaga dan merawat ibu di hari tuanya sekarang ini. 

Aku malu kepada Nung. Saudara sepupuku itulah yang selama ini berbaik hati menggantikan kami mendampingi ibu. Nung bukan saja sehari-hari menemani ibu, melainkan juga merawatnya dengan telaten. Pokoknya, berkat Nung, kami tak beralasan mencemaskan soal ibu di kampung.

Tapi sampai kapan? Kalau suatu hari nanti Nung mendapat jodoh, apa mungkin dia tetap bisa mengurus ibu seperti selama ini? Rasanya tidak! Aku yakin, suami Nung nanti -- siapa pun dia -- hampir pasti berkeberatan kalau Nung tetap mengurus ibu. Terlebih lagi kalau Nung nanti dibawa suaminya keluar dari kampung kami. 

Andai pun setelah berkeluarga nanti ternyata tetap tinggal di kampung kami, Nung boleh jadi tak bakal mendapat izin suaminya untuk tetap mengurus ibu! Atau kalaupun suami Nung memberi izin sekalipun, dan Nung sendiri masih bersedia merawat ibu, situasinya tentu lain. Paling tidak, perhatian Nung jelas tak bisa diharapkan lagi sepenuhnya untuk ibu. Sebagai istri dan mungkin ibu anak-anaknya, perhatian Nung kepada ibu niscaya tak mungkin lagi bisa seperti selama ini. 
Sebenarnya, kami -- tiga bersaudara anak ibu -- sudah berulang kali membujuk ibu agar tinggal bersama salah satu di antara kami di rantau. Entah dengan aku di Jakarta. Atau dengan Mbak Rum di Palembang. Atau juga dengan Mas Tono di Banjarmasin. Tapi ibu kukuh menampik. Ibu beralasan, tak bisa kerasan hidup di luar kampung halaman kami. 

Boleh jadi, batin atau psikologi ibu memang amat kuat terikat dengan lingkungan kampung kami. Namun alasan yang lebih mungkin, menurutku, ibu enggan hidup bersama kami karena dia sungkan merepotkan anak-cucunya sendiri. Mungkin juga ibu khawatir kalau-kalau suatu saat berkonflik dengan mantunya seperti cerita-cerita pengalaman tetangga ibu di kampung. 

Tapi apa pun yang menjadi alasan ibu, aku tak pernah bisa benar-benar nyaman dan tenang oleh kenyataan bahwa ibu menjalani sisa hidup di kampung tanpa diurus oleh anak-anaknya sendiri. Bagiku, meski didampingi Nung yang bisa diandalkan, ibu tetap saja seolah-olah hidup telantar. 

Karena itu, ibu senantiasa menjadi beban pikiranku. Terlebih karena di luar momen lebaran aku nyaris tak pernah bisa sempat menengok ibu. Kesibukan di kantor benar-benar membelengguku. Libur akhir pekan selama dua hari sepenuhnya kumanfaatkan untuk beristirahat: agar pada pekan berikutnya aku mampu menjalani kesibukan tanpa loyo. Sementara kalaupun tergelar hari besar nasional, sehingga kantor libur, kesempatan untuk pulang kampung tetap tak serta-merta bisa kumanfaatkan. Selalu saja ada halangan yang membuatku tak bisa menyempatkan pulang kampung untuk menengok ibu. Halangan itu terutama ajakan atasanku di kantor untuk menemaninya memancing di laut!

Memang, bisa saja aku menolak ajakan bosku itu -- meskipun dengan perasaan rikuh dan sungkan. Tapi, jujur saja, aku sendiri menikmati keasyikan memancing ini. Terlebih lagi bosku biasa memberiku tips sebagai penghargaan atas kesediaanku menemaninya memancing. Lumayan buat menambah-nambah uang dapur!

Karena itu, ajakan bos untuk menemaninya memancing di laut hampir tak pernah kuasa kutampik. Akibatnya, itu tadi, setiap kesempatan untuk menengok ibu di kampung saat hari libur nasional pun menguap begitu saja.

Memang, libur dalam rangka cuti tahunan bisa menjadi kesempatan lain untuk itu. Tapi, soalnya, aku justru selalu mengambil cuti bersamaan dengan momen lebaran. Alasanku sederhana saja: selain agar bisa berlibur lebih panjang, juga karena ketika lebaran aku mengantungi uang tunjangan hari raya. Nah, itu menjadi bekal bagi kami untuk bersenang-senang menikmati libur, termasuk untuk ongkos pulang kampung. 

Sementara itu, dua kakakku pun sami mawon. Sama-sama jarang menengok ibu di kampung. Bahkan Mas Tono sudah tiga kali lebaran secara berturutan tidak mudik. Tahun ini, dia juga tak bisa berlebaran di kampung karena pergi beribadah umrah sekeluarga. 

Satu lagi kakakku, Mbak Rum, juga tak lebih baik dalam memberikan perhatian terhadap ibu ini. Kesempatan dia pulang kampung -- termasuk mudik lebaran -- sangat tergantung kesadaran suaminya. Sayangnya, kesadaran itu sungguh tipis! Seingatku, selama hampir dua puluh tahun ikut suami di Palembang, Mbak Rum baru empat atau lima kali berlebaran di kampung. Di luar itu, dia praktis tak pernah mudik. Dia seolah tak peduli terhadap ibu. Oh.

***

Adzan shubuh masih berkumandang ketika bungsuku, Joyo, tiba di rumah. Sama seperti istri dan anaknya yang semata wayang, Joyo kelihatan lelah sekali. Bisa kumengerti, karena -- seperti pengakuan dia kemudian -- mereka menempuh perjalanan Jakarta-Purwodadi praktis selama 24 jam penuh. Kemacetan parah hampir di sepanjang jalur yang dilalui membuat perjalanan tidak normal -- dan karena itu sangat melelahkan. Terlebih lagi buat Joyo sendiri, karena dia harus menyetir mobil tanpa tergantikan. Maklum, istrinya tak bisa mengemudi. Anaknya juga masih terbilang kecil untuk diserahi tugas sekadar menyelingi Joyo menyetir.

Bagiku, kehadiran Joyo di sini untuk merayakan lebaran sungguh mengharukan. Pertanda kepedulian dan kecintaannya terhadapku, ibunya, begitu dalam. Dia tak hirau dan tak gentar oleh perjuangan berat menempuh perjalanan mudik ke kampung halamannya ini. Dia juga tak pernah kapok mengulangi perjalanan yang melelahkan sekaligus menjengkelkan itu, sehingga tiap lebaran dia selalu pulang kampung -- semata agar bisa berlebaran bersamaku.

Joyo memang sangat perhatian. Meski pulang kampung hanya setahun sekali -- saban lebaran -- dia acap menelepon. Mengecek keadaanku, entah langsung berbicara denganku ataupun melalui Nung yang sehari-hari menjagaku. Joyo tampaknya selalu khawatir kalau-kalau aku jatuh sakit atau mengalami kesulitan dalam menempuh sisa hidupku. Dia juga rutin mengirim uang untuk segala keperluanku. 

Joyo beda dengan dua kakaknya, Tono dan Rum. Dua kakanya itu hanya sesekali saja menelepon -- menanyakan keadaanku. Mereka juga jarang pulang kampung, termasuk saat lebaran. Bahkan lebaran kali ini pun mereka tak bisa mudik. Sejak beberapa hari kemarin, mereka sudah berkirim kabar tentang itu -- tentu dengan alasan masing-masing yang sepenuhnya bisa kuterima dan kumaklumi. 

Jadi, lagi-lagi hanya Joyo sekeluarga yang menemaniku berlebaran kali ini. Sementara Tono dan Rum, seperti yang sudah-sudah, pasti nanti siang menyampaikan salam idul fitri via telepon. 

Joyo sendiri, usai beberapa saat menumpahkan kangen setiba di rumah, pamit ke kamar tidur menyusul anaknya yang sudah lebih dulu melanjutkan mimpi. Tak lama kemudian, dengkuran Joyo terdengar nyaring seolah ingin mengalahkan gema takbir di masjid yang dipancarkan melalui pengeras suara. Sementara mantuku yang imut, istri Joyo, beranjak ke kamar mandi dan sesudahnya kemudian bergabung dengan Nung di dapur menyiapkan hidangan lebaran. 

Joyo bangun kembali -- tepatnya dibangunkan istrinya -- ketika orang-orang bubar dari masjid usai melaksanakan shalat idul fitri. Joyo segera membersihkan badan dan bersalin busana dengan baju koko plus sarung. Kepalanya dibiarkan tanpa pici yang lazim dikenakan banyak orang. 

Sebelum tetangga dekat datang bertamu untuk bersilaturahmi idul fitri, Joyo -- diikuti istri dan anaknya -- sungkem di pangkuanku. Dengan suara bergetar, Joyo memohon pengampunanku. Dia menyatakan penyesalan karena tak bisa mengurus aku, ibunya, sebagaimana seharusnya dilakukan anak yang berbakti. 

***

Usai acara sungkeman, ibu bergegas beranjak ke kamarnya. Wajahnya mendung. Seperti memendam sesal. Bagiku, itu aneh. Tak pernah ibu terlihat seperti itu. Apalagi di hari idul fitri. Memang, acara sungkeman selalu menggugah rasa haru sehingga air mata kami pun tak terbendung lagi menetes. Tapi biasanya itu hanya sesaat. Cuma ketika sungkeman berlangsung. Setelah itu biasanya suasana segera berubah cerah ceria.

Karena itu, aku menangkap kesan aneh ketika usai sungkeman kali ini wajah ibu terlihat mendung seperti tersaput kekecewaan. Terdorong rasa heran, aku pun menyusul masuk ke kamar ibu. Istri dan anakku tidak ikut. Mereka memilih beringsut ke ruang depan. Bergabung bercengkrama dengan sanak saudaraku. 

Di kamar, kudapati ibu duduk di bibir ranjang tua sambil terisak pelan. Aku terpana. Tak mengerti apa yang terjadi. Tapi tak urung aku duduk di samping ibu. 

"Ibu kenapa? Ingat bapak, ya?" kataku menebak-nebak. "Ibu tak usah bersedih. Nanti siang kita berziarah ke makam bapak."

Ibu menoleh. Lalu menatapku dalam-dalam. Ibu terlihat ingin berkata-kata. Tapi seperti ragu, sehingga tak sepatah kata pun keluar dari mulut ibu. 

"Ada apa, Bu? Katakan ..." 

Ibu menghapus air matanya dengan ujung kerudung yang dia kenakan. Lalu, dengan sendu, dia berkata: "Jo, terima kasih. Kamu sangat perhatian kepada ibu ..."

Aku mengangguk sambil tersenyum. Tangannya kugenggam penuh cinta. 

"Jo, tiap lebaran selalu kamu sempatkan pulang. Aku senang. Senaaaang sekali. Tapi ..."

"Tapi kenapa, Bu?"

Ibu menghela napas. Nyata sekali beban berat memenuhi rongga dadanya. "Tapi aku juga kecewa, karena apa yang kuharap-harapkan setiap lebaran tiba tidak juga menjadi kenyataan."

"Ibu berharap apa?"

Ibu membuang pandangan ke langit-langit kamar sambil menggeleng lemah. 

"Katakanlah, Bu ..." aku mendesak.

Ibu menatapku lagi. Pandangannya menusuk. Membuat batinku bergetar. Lalu katanya: "Jo ... Aku ingin kamu bersyahadat lagi. Setiap kali lebaran tiba, aku selalu berharap itu kau lakukan. Tapi dari lebaran satu ke lebaran lain, selalu saja aku harus menelan kekecewaan ..."

Aku terdiam. Kepala tertunduk. 

"Terus-terang, Jo. Aku tak pernah bisa ikhlas menerima kenyataan bahwa kamu berganti keyakinan. Aku kecewa sekali. Aku bukan tak merestui pernikahanmu. Tapi aku sungguh tak ikhlas bahwa pernikahan membuatmu berganti keyakinan."

Aku makin tertunduk. Tak sanggup berkata-kata. Hatiku serasa disayat-sayat.***

Jakarta, 26 Juni 2011

Pak Tua Tambal Ban

Sial! Ban belakang tiba-tiba gembos. Pasti kena paku. Pasti paku ranjau yang sengaja ditebar orang culas. Orang yang mengais rezeki dengan cara gampangan tapi merugikan orang lain. Huh! Pasti di dekat sini ada tukang tambal ban. Pasti dia ini orang culas itu. Atau paling tidak dia adalah konco orang yang telah menebar paku di jalan ...

Aku kemudian menyeret motor dengan sedikit enggan bercampur mangkel. Tapi aku mencoba tabah. Juga berharap tak terlalu jauh harus menyeret motor -- sebelum kudapatkan tukang tambal ban. Di dalam hati aku terus mengutuk-ngutuk orang sialan yang telah menebar ranjau paku di jalan.

Angin berhembus. Tidak kencang tapi lumayan menusuk. Sementara suasana di jalan yang kususuri lengang. Hanya satu-dua kendaraan melaju. Maklum malam sudah larut. Hari bahkan sudah berganti. Hari baru sudah mulai bergulir.

Aku sangat akrab dengan suasana jalanan yang lengang itu. Maklum karena tiap hari aku hampir selalu pulang larut malam. Profesi sebagai reporter di sebuah harian memaksaku pulang ketika kebanyakan orang sudah jauh lelap di alam mimpi.

***

Entah berapa jauh jarak sudah ketempuh sambil menyeret motor ketika seseorang menyapaku. Orangnya, bersama seorang lelaki lain, duduk di bangku kayu di depan kios penjual rokok. Sinar lampu di kios itu lumayan menampakkan sosok keduanya. Yang satu, lelaki dekil dengan rambut agak panjang dikucir. Sementara yang satu lagi, yang bermain gitar, sedikit gempal dan beranting sebelah di telinga kiri.

"Kenapa, mas? Ban gembos?" kata si dekil sambil berdiri. Sementara si gempal tak acuh. Dia terus saja mengocok gitar dan menyanyikan entah lagu apa. Suaranya boleh juga.

Belum juga aku menjawab, si dekil berkucir sudah bicara lagi. "Di situ tuh ada tukang tambal," katanya menunjuk ke arah depan.

Aku menghentikan langkah. Mencoba mengatur napas yang sudah agak memburu. Badan yang dibungkus jaket kulit terasa basah oleh peluh.

"Sebelah mana, Bang?" kataku. Dalam hati aku mengutuk-ngutuk: ini orang pasti konco tukang tambal ban juga. Anggota komplotan penebar ranjau paku! Dia sengaja nongkrong di tempat ini untuk memantau sekaligus mengarahkan korban ranjau paku seperti aku sekarang menuju tukang tambal ban. Phui!

Si dekil bergerak selangkah ke arahku. "Tuh, di depan sana kan jalan ini bercabang. Yang kanan menurun itu menuju underpass. Nah, tambal ban di jalan yang kiri. Abis tenda penjual nasi uduk, dia di situ tuh," katanya.

Tempat yang ditunjuk si dekil tak terbilang jauh. Paling seratusan meter. Semangatku untuk mendorong motor jadi berlipat. Maka setelah dengan sedikit enggan menyatakan terima kasih kepada di dekil, aku kembali bergerak menuju titik yang menjadi tempat tukang tambal ban berada.

***

Tukang tambal ban itu adalah lelaki tua berkepala botak. Sebagian rambutnya sudah memutih. Kontras dengan kulitnya yang legam. Meski sudah tua -- mungkin berumur sedikit di atas 60 tahun -- otot lelaki itu masih terlihat kuat. Dalam hati aku mengoceh: ini dia menusia culas itu. Ini dia orang yang mengais rezeki dengan cara menabur ranjau paku di jalan raya.

Tanpa berkata-kata, aku menyerahkan motorku diambil-alih Pak Tua itu. Juga tanpa berkata-kata, Pak Tua kemudian membongkar ban belakang motorku. Dengan sepenuh tenaga, ban luar dia cungkil-cungkil hingga ban dalam jadi terkuak. Lalu dengan gerakan kasar, ban dalam dia tarik-tarik sampai terjulur ke luar.

Huh, aku sudah hapal. Kekasaran itu bukan sekadar soal kebiasaan atau karakter. Kekasaran itu lebih merupakan cara culas pula untuk membuat ban dalam menjadi rusak. Ya, ban dalam sengaja dibikin rusak sehingga harus diganti dengan ban baru. Dan ban baru itu pasti sudah disiapkan Pak Tua sebagai dagangan.

Jadi, orang seperti Pak Tua ini lebih merupakan pedagang yang berkedok tukang tambal ban. Pedagang yang memanfaatkan kondisi darurat orang untuk keuntungan pribadinya. Aku tahu persis keculasan seperti itu. Ya, karena aku sudah beberapa kali menjadi korban -- gara-gara ban gembos. Hampir saban kali ban bocor dalam perjalanan, terutama saat larut malam  seperti sekarang, ujung-ujungnya ya ban dalam harus diganti dengan  ban baru. Nah, di tengah situasi darurat, pedagang culas berkedok tukang tambal ban pun tampil bak dewa penyelamat.

Sialan! Lagi-lagi kini aku harus jadi korban permainan culas orang berkedok tukang tambal ban. Tapi mau bagaimana lagi? Motor tak mungkin kuseret sampai ke rumah. Jarak yang harus kutempuh masih jauh. Jadi, ya suka tidak suka, aku harus manut terhadap permainan yang digelar Pak Tua. Meski haqqul yakin ban belakang cuma bocor, aku siap mengeluarkan uang buat belanja ban baru.

Uang di dompet kurasa cukup untuk itu. Tak mungkin tekor. Harga ban dalam di Pak Tua ini, seperti yang sudah-sudah di tempat lain, paling-paling lima puluh ribu. Mahal, memang.  Harga ban baru di bengkel cuma dua puluh lima ribu. Tapi, yah, namanya juga kondisi darurat: selalu banyak hal jadi abnormal. Jadi, aku pasrah saja kalau harga ban dalam di Pak Tua ini juga selangit.

***

Pak Tua kubiarkan sibuk sendiri. Aku sama sekali tak merasa perlu memelototinya. Aku lebih memilih mengaso di bangku kayu yang memanjang di emperan toko. Dua lelaki yang duduk bersisian di bangku itu menoleh sekilas ketika aku berdehem memberi isyarat tentang kehadiranku. Kedua orang itu lalu beringsut sedikit --  memberi ruang untukku. Setelah itu pandangan mereka lekat lagi ke layar telivisi ukuran mini yang ditaruh di atas kotak kayu bekas kemasan buah jeruk. Televisi itu -- pasti milik Pak Tua -- sedang menampilkan siaran berita.

Di layar televisi itu, seorang tokoh parpol -- yang santer disebut-sebut menerima aliran dana hasil korupsi -- terlihat dirubung insan pers. Tampaknya dia sedang meladeni berondongan pertanyaan wartawan. Ah, aku jadi tertarik. Ingin menyimak apa yang dia omongkan.

"Tuduhan bahwa saya terima dana, itu tidak betul. Tuduhan itu ngawur. Orang yang melontarkan tuduhan itu sedang berhalusinasi," kata sang tokoh penuh percaya diri.

"Tapi keterangan saksi-saksi justru membenarkan tuduhan itu," kata seorang wartawan.

"Mereka juga sedang mengalami halusinasi," ujar sang tokoh. Tetap percaya diri.

"Di persidangan, salah satu saksi bahkan menunjukkan bukti-bukti tentang aliran dana kepada Anda," kata seorang wartawan lain seolah ingin meruntuhkan kepercayaan diri sang tokoh.

"Begini saja ..." kata sang tokoh, "satu sen saja saya terbukti menerima dana itu, gantung saya di Monas!"

Aku tergelak. Juga dua orang di sampingku.

***

Entah berapa lama aku larut memelototi siaran televisi. Tahu-tahu Pak Tua membuyarkan perhatianku. Dia bilang bahwa motorku sudah selesai dikerjakan. Jadi aku sudah bisa meneruskan perjalanan.

"Lho, bannya? Tidak diganti?" kataku heran.

"Ah, tak harus diganti kok! Bannya cuma bocor kena paku. Jadi, cukup ditambal saja," kata Pak Tua seolah sengaja ingin menekankan bahwa vonisku tentang dirinya -- pedagang ban berkedok tukang tambal ban -- adalah ngawur.

Aku masih setengah tak percaya ketika Pak Tua bicara lagi. "Bannya bagus. Bukan ban abal-abal yang begitu ditarik ke luar langsung ambrol," katanya.


Aku tak menanggapi omongan Pak Tua. Aku tak semangat meneruskan percakapan. Aku ingin cepat-cepat meneruskan perjalanan. Pulang. Hari sudah semakin larut.

Maka selembar uang lima puluh ribu pun kuasongkan kepada Pak Tua. "Tak usah pakai kembalian, Pak. Ambil saja semua," ujarku. Bukan berlagak sok dermawan sih. Uang sebesar itu aku ikhlaskan untuk Pak Tua, ya anggap saja sebagai wujud terima kasihku karena dia telah menolong mengatasi kesulitanku. Meski ternyata tak perlu ganti ban, toh dari awal aku sudah memastikan diri rela melepas uang lima puluh ribu. Hitung-hitung buang sial gara-gara ban gembos. Jadi, ya sudah. Kerelaan itu tak boleh dibatalkan. Lagi pula sekali-sekali bikin orang senang, kenapa tidak!

Namun sungguh di luar dugaan, Pak Tua ternyata menampik keinginan baikku. Dia mengasongkan uang kembalian.

"Sudah, tak usah pakei kembalian! Simpan saja. Buat Bapak semua," kataku sambil menampik lembaran uang yang diasongkan Pak Tua.

"Jangan begitu ... Hak saya cuma delapan ribu sebagai ongkos tambal ban. Saya tak boleh menerima lebih dari itu ..." kata Pak Tua seraya tetap mengasongkan uang kembalian.

"Saya ikhlas kok, Pak. Lagi pula bapak sudah menolong saya mengatasi kesulitan saya. Sudah sepatutnya saya berterima kasih," ucapku.

"Saya menghargai itu. Tapi tolong jangan wujudkan rasa terima kasih dengan uang. Jadi, ambillah ini uang kembalian. Ini uangmu," kata Pak Tua sambil menyelipkan uang kembalian itu ke saku bajuku.

Aku benar-benar terpana. Selain menyesal telah berburuk sangka mengenai moral Pak Tua sebagai tukang tambal ban, aku juga terpana lantaran sama sekali tak siap berhadapan dengan orang itu. Tiba-tiba aku sadar, Pak Tua ini sungguh manusia langka. Tidak rakus dan kini kuyakini sepenuhnya bahwa dia jujur serta tulus dalam berbuat.

Ah, aku jadi ingat politisi yang tadi diberitakan di televisi. Kalau saja punya moral seperti Pak Tua ini, sang politisi tentu sama sekali tak perlu sampai berkoar siap digantung di Monas segala -- sekadar untuk meyakinkan orang bahwa dia jujur dan bersih.(*)

26 Agustus 2014

Emak

KALAU saja perempuan tua itu bukan emakku sendiri, mungkin sudah sejak lama aku paksa dia keluar dari rumah ini. Aku usir dia! Aku tak akan peduli dia pergi ke mana atau hidup dengan siapa setelah itu. Aku juga tak akan peduli bagaimana dia kemudian hidup di luar sana. Kelaparan kek, kedinginan kek, jadi gembel kek -- sebodo amat! Aku tak akan peduli. Pokoknya, begitu dia sudah tak di rumah ini lagi, aku pasti bisa merasa plong. Aku pasti merasa terbebas dari himpitan yang selama ini menyesakkan. Aku pasti tak akan lagi didera oleh keruwetan dan kejengkelan mengurus seorang perempuan tua.

Tetapi perempuan tua itu adalah emak. Perempuan yang telah melahirkan dan membesarkanku seorang diri (ayah meninggal saat aku baru tiga tahun) hingga aku menjadi wanita sempurna sekarang ini: punya suami yang penuh cinta serta dua anak yang sedang lucu-lucunya. 


Jadi, meski emak hampir setiap saat membuatku merasa jengkel atau bahkan mangkel, aku tak mungkin mengusirnya. Mustahil! Aku masih waras untuk berbuat durhaka kepada emak. Jangankan mengusir, memarahinya saja aku enggan. Kalaupun sesekali aku kelepasan menunjukkan ekspresi marah karena sikap dan tindakan emak yang menjengkelkan, seketika itu pula terbit penyesalan. Penyesalan yang teramat dalam. Aku takut, sangat takut, emak sakit hati. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka. Bagaimanapun aku harus hormat dan memperlakukan emak dengan penuh kasih sayang.

Namun mencurahkan kasih sayang kepada emak adalah perjuangan yang sangat melelahkan. Ya, karena dalam usia yang hampir 90 tahun sekarang ini, keseharian emak sangat mengurasku secara fisik maupun psikis. Secara fisik, aku dibuat teramat repot mengurus tetek bengek keseharian emak. Mulai dari menyiapkan makanan khusus untuk orang uzur, memandikan dan mendandani, mencuci pakaian, membersihkan tempat tidur, dan banyak lagi.

Kesibukan rutin tiap hari itu acap masih ditambah oleh pekerjaan-pekerjaan lain yang tidak terduga -- tapi hampir selalu bikin mangkel alias menjadi beban psikis. Pekerjaan-pekerjaan itu biasanya lahir karena kebiasaan buruk atau akibat ulah emak sebagai orang pikun. Misalnya aku acap harus menjemur kasur dan mencuci sprei yang basah kuyup oleh ompol emak. Atau membersihkan kotoran emak yang berceceran di lantai gara-gara emak kebelet dan telat bergerak ke kamar kecil. Tidak jarang pula emak menyenggol piring atau gelas sampai pecah berantakan, sehingga aku harus jungkir balik membersihkan pecahan kaca supaya tak sampai melukai kami -- penghuni rumah.

***

Sebagai manusia yang sudah dilanda pikun, emak bukan saja pelupa yang akut. Lebih dari itu, sikap maupun tindakan emak juga acap menyerupai kanak-kanak. Menjelang tidur, misalnya, emak harus dibujuk-bujuk agar mau pipis dulu. Jika tidak, emak pasti ngompol saat tidur. Padahal, karena tidak mau kasurnya dialasi plastik dan kain gombal, ompol emak menjadi perkara yang menjengkelkan. Kasur dan selimut bukan hanya jadi basah, tapi juga berbau pesing sehingga harus segera dibersihkan dan dikeringkan agar kamar emak tidak berubah menjadi serupa kakus di terminal. Juga agar emak tidak menjadi sakit gara-gara kemudian tidur di kasur lembab bekas ompol.

Jika sakit, emak menjadi tambah merepotkan. Meski cuma sedikit demam atau batuk-batuk, misalnya, emak sunguh-sungguh menjadi kolokan. Bukan cuma mengeluhkan ini-itu secara mengada-ada, melainkan juga emak suka ingin ditemani terus sambil minta dipijati atau dikipasi. Ditinggal sebentar saja, emak pasti ngambek. Kalau tidak jadi ogah makan bubur atau minum obat, emak bersungut-sungut mengatai aku tidak mau mengurus orangtua.

Jadinya, selama emak sakit, pekerjaan-pekerjaan lain di rumah menjadi terbengkalai. Aku tak bisa ke pasar atau ke warung, tak bisa memasak, tak bisa beres-beres rumah, juga tak bisa memandikan dan mengantar ke sekolah dua anakku yang masih kecil-kecil. Untung suamiku penuh pengertian. Dia bukan hanya tidak mengeluhkan keadaan, melainkan juga mau mengambil alih sebagian pekerjaanku yang mampu dia tangani selagi aku harus mengurus emak -- sampai emak pulih kembali. Bahkan suamiku juga menyemangatiku agar tetap telaten dan ikhlas mengurus emak.

Aku sendiri selalu berupaya agar bisa ikhlas dalam mengurus emak ini. Entah emak dalam keadaan sehat maupun selagi jatuh sakit. Aku sadar betul bahwa mengurus emak adalah kewajibanku sebagai anak. Mengurus emak adalah kesempatan bagiku untuk berbakti kepada orangtua. Istilahnya, mumpung emak masih hidup. Jadi, aku harus berbuat sebaik-baiknya kepada emak. Agar tidak timbul penyesalan di kemudian hari manakala emak sudah dipanggil ke haribaan-Nya.

Karena itu pula, aku selalu berupaya membuang jauh-jauh segala bisikan di batin yang memang kadang muncul -- bisikan yang bisa meluruhkan keikhlasanku dalam mengurus emak ini. Aku selalu berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa pengabdianku mengurus emak tak boleh menjadi sesuatu yang sia-sia. Pengabdianku mengurus emak harus menjadi upaya meraih ridha Allah SWT, sekaligus sebagai wujud cinta kasih anak kepada orangtuanya.

Meski begitu, aku toh manusia biasa. Aku bukan dewa atau malaikat yang bisa menerima kondisi apa pun. Nah, dalam mengurus emak ini, kadang aku tak bisa mengelaki perasaan lelah, kecewa, mangkel, jengkel, atau bahkan marah. Itu terutama manakala emak berulah aneh-aneh. Misalnya emak seperti sengaja buang hajat di celana gara-gara aku tak mengabulkan permintaannya dibelikan es krim. Kataku, es krim tidak baik buat kesehatan orang tua seperti emak -- antara lain bisa bikin mencret-mencret. Eh, beberapa saat kemudian emak melepas hajat mencret di celana. Seolah-olah emak ingin mengatakan bahwa tanpa makan es krim pun orang bisa mencret dan kedodoran beol di celana.

Di lain waktu, emak mengomel-ngomel gara-gara aku telat menyiapkan sarapan untuknya. Seolah-olah aku tak menaruh perhatian lagi kepada emak. Padahal soalnya semata tukang bubur langganan terlambat lewat.

Emak juga suka berantem dengan anakku yang notabene masih bocah. Berantem rebutan remote televisi. Dua anakku ingin menonton film kartun, sementara emak tak ingin menikmati tayangan reality show yang menghiba-hiba itu. Dua-duanya tidak mau mengalah. Nah, kalau dengan sehalus dan sebijak mungkin aku memilih berpihak kepada anakku, emak ngambek. Dia lantas mengurung diri di kamar sampai pagi menjelang. Mogok makan. Juga seperti sengaja ngompol di tempat tidur.
  
Pernah pula emak beberapa kali membuat aku sakit hati. Ya, sakit hati. Emak diam-diam pergi ke tetangga, lalu mengata-ngatai aku sebagai anak yang menelantarkan orangtua. Kepada tetangga, emak juga meminta makan. Dia beralasan, hari itu aku tidak memberi emak makan gara-gara semalam emak ngompol di kasur. Emak juga berceloteh bahwa aku tidak pernah memberi makan secara layak. Makanan yang kusuguhkan, katanya, selalu makanan sisa yang sudah basi.

Di lain kesempatan, emak juga berceloteh kepada tetangga bahwa aku menghendaki emak cepat mati. Emak berdalih bahwa aku tak pernah mau tahu manakala emak terbaring sakit. Jangankan membawa emak ke dokter atau rumah sakit, katanya, bahkan sekadar membelikan obat warung pun tidak.

Aku benar-benar syok dan sakit hati mendengar info seperti itu dari tetangga. Tapi aku yakin, tetangga tak percaya begitu saja terhadap omongan emak. Mereka tentu melihat sendiri bagaimana selama ini aku memperlakukan emak begitu baik dan telaten. Sama sekali aku jauh dari gambaran anak durhaka. Mereka juga pasti tahu dan mafhum bahwa kelakuan manusia tua dan pikun memang suka membual. Biasanya karena dia kecewa lantaran keinginannya yang kurang patut tidak dikabulkan.

Meski begitu, aku tetap dongkol setengah mati. Juga sakit hati. Ocehan bohong emak kepada tetangga benar-benar membuat aku seolah anak yang sungguh tidak berbakti. Seolah-olah aku anak yang telah begitu tega menelantarkan orangtua yang sudah uzur.

***

Aku pernah beberapa kali curhat kepada suami ihwal kedongkolan dan sakit hatiku oleh ulah emak ini. Namun dengan lemah-lembut, suami meminta aku agar bersabar dan tawakal. Menurut dia, perasaan itu harus dilawan oleh keikhlasan merawat emak yang suah uzur. Perasaan itu, katanya, adalah ujian. Mungkin ujian dari Allah SWT, mungkin juga ujian dari emak sendiri. Ujian yang akan membuat amalku merawat orangtua benar-benar beroleh keridhaan Allah.

Pernah pula aku curhat sekaligus meminta kepada Teh Susan, kakakku nomor tiga, agar menyambat emak untuk tinggal sementara bersama keluarganya. Sekadar agar aku bisa rehat sejenak dari keruwetan dan kelelahan mengurus emak. Tapi Teh Susan cuma angkat bahu. Dia beralasan tidak punya cukup waktu buat mengurus emak. Untuk mengelola butik khusus muslimah saja dia mengaku sudah kekurangan waktu.

Kakakku nomor dua, Kang Budi, juga mengelak mengambil alih sementara tanggung jawab mengurus emak ini. "Tak mungkin bisa kami merawat emak di sini. Mau ditaruh di mana? Buat kami sekeluarga saja, rumah ini sudah sesak. Tolong pahami," kata Kang Budi. Beranak lima plus seorang istri, kehidupan Kang Budi memang pas-pasan saja. Jadi, Kang Budi memang sangat beralasan mengelak menampung emak. 


Kakakku nomor satu, Kang Dadang, angkat tangan pula. Dia juga tak kurang punya alasan. "Bukan tak ingin gantian mengurus emak. Tapi soalnya, kehadiran emak di sini pasti bikin ruwet rumah tanggaku. Maaf, istriku tak akan mau dibuat tambah repot oleh kehadiran emak di tengah kami. Kau tahu sendiri kan watak kakak iparmu ..." ujar Kang Dadang berbisik. Aku bisa maklum. Kang Dadang memang tipe suami dalam kepitan ketiak istri.

Lalu bagaimana dong? Aku ingin sebentar saja terbebas dari beban mengurus emak. Aku ingin menikmati hidupku sendiri sejenak saja ...

Aku terisak sendiri. Kutahan-tahan agar isakku tak sampai membangunkan suami yang lelap di sampingku. Namun makin kutahan, pedih di hati makin terasa. Pedih bercampur sesal tak terkira. Hening malam seolah ikut mengiris-iris hatiku.

Entah sudah berapa lama aku larut dalam kesedihan ini. Sampai akhirnya perlahan aku membangunkan suamiku. Aku tak kuat lagi menahan sesal sendiri.

"Kenapa, Mam? Kok menangis?" kata suami sambil membuka matanya lebar-lebar.

"Pap, besok kita jemput emak, ya. Emak harus kita bawa pulang. Emak tak boleh tinggal di panti jompo. Biarkan emak tetap hidup bersama kita. Apa pun yang terjadi, emak harus ada di tengah kita ... "

"Benar nih? Yakin?" kata suamiku seolah mencemooh.

Aku mengangguk. Mantap.
  
"Jadi, kenapa kemarin dulu begitu ngotot mengirim emak ke panti jompo?"
  
Aku mengunci mulut. Air mata meluncur ke pipi tanpa mampu kutahan. Aku merasa terpojok. Ingin kukatakan kepada suami bahwa aku sangat menyesal telah mengirim emak ke panti jompo. Meski cuma baru tiga hari, ketidakhadiran emak di tengah kami ternyata membuatku mendadak terhempas ke dalam kehampaan. Sangat dalam. Aku merasa sangat kehilangan emak. Juga merasa sangat berdosa. Seolah-olah aku telah membuang emak.
  
Ah, aku sungguh tak mau kehilangan emak. Aku tak mau jauh dengan emak. Karena itu, kini aku terus meyakinkan diri sendiri bahwa aku sanggup mengurus emak tanpa harus merasa letih, jenuh, dongkol, atau apalagi senewen. Aku siap mengurus emak dengan segenap keikhlasan.***

Lelaki Gendeng

Seisi kampung kami mendadak geger. Semua orang kaget sekaligus terheran-heran. Keheranan mereka tertuju kepada seorang wanita bernama Maira, salah satu warga kampung kami. Mereka terheran-heran karena Maira hamil. Bidan di desa kami memastikan bahwa kehamilan wanita itu  kini memasuki bulan keempat.

Kalau bukan bidan yang memastikan kehamilan itu, kami tak bakalan sedikit pun percaya. Betapa tidak, karena Maira  bukan cuma tidak punya suami,  melainkan juga karena didekati lelaki pun rasa-rasanya hampir mustahil. Hanya lelaki tolol atau bahkan kurang waras yang sudi mendekati dan menikmati tubuh Maira ini.

Sebagai wanita yang terbilang masih muda -- sedikit di atas 20 tahun --,  Maira sama sekali tidak mengundang minat kaum lelaki. Pesona raut wajahnya jauh di bawah rata-rata. Dia sama sekali tidak bisa dikatakan cantik. Bahkan sedikit menarik pun tidak! Badan Maira juga tidak tergolong bahenol alias tidak molek. Badan Maira kerempeng dan di beberapa bagian  bernoda kehitaman bekas koreng. Sudah begitu, kulitnya juga dekil. Satu hal lagi, badan Maira selalu meruapkan aroma tidak sedap karena jarang ganti busana dan malas mandi!

Tapi yang paling parah adalah bahwa mental Maira ini terbelakang. Meski fisik sudah termasuk dewasa, mental Maira lebih mirip anak usia taman kanak-kanak! Konon, mental Maira tidak berkembang sebagaimana mestinya. Entah kenapa. Mungkin bawaan sejak lahir.

Jadi, Maira lebih merupakan anak balita dalam tubuh wanita dewasa. Dalam bahasa lugas, ya itu tadi: dia terbelakang secara mental. Atau, seperti kata sebagian orang di kampung kami, dia adalah wanita idiot.

Karena itu, sungguh mengherankan bahwa Maira kini berbadan dua. Orang-orang di kampung kami pun wajar menjadi bertanya-tanya: siapakah kiranya lelaki gendeng yang telah menanam benih di rahim Maira ini? Kok bisa-bisanya lelaki itu punya gairah menikmati tubuh Maira!

Ah, siapa pun dia, pasti lelaki itu punya kelainan jiwa. Lelaki itu pasti tidak waras.

***

Maira adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Dua adiknya laki-laki. Dua-duanya merantau ke Jakarta sejak beberapa tahun terakhir -- dan hanya pulang sebentar saja saban Lebaran. Entah apa pekerjaan mereka di kota besar itu. Ibu mereka, saban kali ditanya orang, selalu bilang bahwa dua anak lelakinya yang sudah remaja itu kerja serabutan. "Pokoknya kerja apa saja. Yang penting menghasilkan uang, sehingga tidak menjadi beban keluarga," kata wanita yang kelihatan jauh lebih tua ketimbang usianya yang menurut dia sendiri sekitar 40-an tahun itu.

Sudah hampir sepuluh tahun ini wanita itu menjanda. Suaminya -- ayah Maira dan dua adiknya -- meninggal secara tragis. Dia terkubur hidup-hidup dalam insiden longsornya bukit pasir di desa kami. Bukit pasir itu adalah gantungan hidup sejumlah warga kampung kami, termasuk ayah Maira.

Tapi itu dulu. Sekarang  tidak lagi. Penggalian pasir di bukit itu kini dilakukan menggunakan alat-alat berat milik seorang tauke. Tauke itu pula yang sekarang menjadi juragan pasir di kampung kami setelah dia menukar bukit milik Ki Arjan itu dengan sebuah mobil minibus plus sejumlah uang. Ki Arjan sendiri, setelah tidak lagi menjadi bandar pasir, sekarang tampil sebagai juragan ojek sepeda motor. Nah, sejumlah orang yang dulu mengais rezeki dengan menambang pasir, kini menjadi penyewa dan pengemudi ojek milik Ki Arjan. Sebagian lagi menjadi kuli angkat pasir ke truk di bukit yang sekarang dikuasai tauke itu.

***

Ibu Maira -- oya, namanya Mak Rohi -- juga mengais rezeki di bukit itu dengan menjadi penjual asongan nasi uduk ikan jambal. Mungkin karena murah, nasi uduk Mak Rohi digemari kuli angkat pasir maupun sopir dan kernet truk. Jadi, Mak Rohi tak kesulitan menjajakan dagangan. Nasi uduknya selalu habis terjual. Tapi, memang, dagangan Mak Rohi tak pernah  banyak. "Kalau bikin banyak, takut tidak habis. Kan banyak saingan," kata Mak Rohi beralasan.

Namun alasan sesungguhnya adalah Mak Rohi kurang modal.
Dia tak mampu menyisihkan sebagian keuntungan untuk menambah modal. Semua keuntungan dari berjualan nasi uduk selalu habis untuk ongkos hidup sehari-hari Mak Rohi bersama Maira.

Kemelaratan memang terus membelit kehidupan Mak Rohi sejak dulu. Hidup susah dan miskin sudah menjadi sejarah hidup Mak Rohi -- bahkan sejak dia belum lahir. Dia mewarisi kemiskinan dari orangtuanya.

Namun Mak Rohi tak pernah mengeluh. Dia selalu tabah menghadapi kesulitan hidup. Tak terkecuali setelah kini Maira ketahuan hamil entah oleh siapa. Mak Rohi tidak meradang menyesali nasib. Bahwa Maira hamil tanpa jelas siapa lelaki yang harus bertanggung jawab, Mak Rohi tak ambil pusing.

"Dipikir juga percuma saja karena memang kita tidak tahu siapa yang harus dimintai tanggung jawab! Coba, emang siapa kira-kira lelaki yang telah bikin anakku bunting ini? Sampeyan berani tunjuk hidung? Hayooo ..." kata Mak Rohi kepada orang-orang yang sok ikut campur urusan orang lain.

Maira  sendiri sudah ditanyai entah oleh berapa orang ihwal lelaki yang telah menghamilinya. Tapi jawaban Maira malah membingungkan karena terus berubah-ubah. Kepada haji Apud, misalnya, dia menunjuk bahwa lelaki yang telah menggaulinya adalah pemulung yang biasa beroperasi di kampung kami. Sementara kepada Gan Tubeng, Maira menyebut nama seorang lelaki penjual bubur. Lalu kepada Guru Danu, Maira mengaku digauli oleh tukang jahit keliling.

Entah berapa nama ditunjuk Maira sebagai lelaki yang telah menghamilinya itu. Pokoknya, setiap kali ditanya orang, jawaban Maira selalu berlainan. Maka orang-orang pun bingung. Warga kampung dibuat tak beroleh pegangan untuk sekadar membantu menyeret lelaki yang harus bertanggung jawab atas kehamilan Maira ini.

Meski begitu, setiap pengakuan Maira tentang lelaki yang telah menabur benih di rahimnya itu selalu saja mengundang heboh. Seolah-olah nama yang dibisikkan Maira hampir pasti adalah ayah si jabang bayi di perut Maira. Saat Maira menyebut lelaki pemulung, misalnya, orang-orang seketika riuh dan menjadi geram. Caci-maki terhadap pemulung itu serta-merta berhamburan sebagai ekspresi simpati mereka terhadap nasib Maira.

Tak hanya itu. Orang-orang juga  kemudian tergerak menciduk dan menginterogasi si pemulung. Lelaki itu nyaris dibogem beramai-ramai kalau saja tidak dihalangi Guru Danu dan Gan Tubeng -- karena dia menampik mentah-mentah tuduhan sebagai lelaki yang telah menghamili Maira. Orang-orang juga makin geram lantaran lelaki itu berkukuh membantah dan emoh menikahi Maira.

Persoalan baru kemudian kelar setelah si pemulung tertuduh itu dihadapkan langsung kepada Maira. Eh, tanpa sikap bersalah sedikit pun Maira ternyata menggeleng. "Bukan dia kok. Bukan!" katanya.

Terang saja orang-orang pun jadi bengong sekaligus mangkel. Mereka merasa telah dipermainkan oleh Maira.

"Jadi bukan orang ini yang telah menghamilimu?" ujar haji Apud mencoba memastikan.

Maira lagi-lagi menggelengkan kepala. "Bukaaaaaan ..." katanya seolah mengejek.

Haji Apud, juga orang-orang lain, menarik napas. Jengkel. "Jadi, siapa sebenarnya lelaki yang telah membuat perutmu membuncit itu?" kata Gan Tubeng menyela. "Ayo bilang dengan jujur biar kami bisa menyeret lelaki itu agar bertanggung jawab!"

Maira lantas menyebut si pedagang bubur. Tapi saat lelaki itu dipertemukan, Maira lagi-lagi menggeleng. Dia menampik lelaki itu sebagai ayah jabang bayi dalam kandungannya.

Kejadian serupa terulang hingga beberapa kali dan melibatkan beberapa nama lelaki. Maira seperti sengaja mempermainkan orang sekampung. Karena itu, orang-orang pun menjadi kesal sekaligus tidak peduli lagi terhadap kehamilan Maira. Tapi akibatnya, siapa lelaki yang telah menghamili Maira akhirnya tetap misterius. Cuma menjadi teka-teki. Kecuali Maira sendiri, tak seorang pun tahu siapa lelaki itu.

Namun haji Apud belakangan punya pikiran cemerlang. "Kita lihat saja nanti bayinya mirip siapa. Nah, lelaki yang mirip bayi itu pasti orang yang tekah menghamili Maira ..."

Orang-orang bergemuruh tanda setuju.

***

Waktu terus berjalan. Kehamilan Maira berlangsung tanpa kendala. Makin hari perutnya makin membuncit. Meski minim perawatan medis, dia tak sekalipun mengalami sakit-sakit ataupun kepayahan. Bahkan sekadar mengeluh pun tidak.

Nah, tadi sore Maira menunjukkan tanda-tanda hendak melahirkan. Orang-orang pun seketika heboh. Maira segera dilarikan beberapa warga ke bidan di ujung desa, menggunakan mobil milik Gan Tubeng. Istriku ikut mengantar.

Selepas adzan isha, istriku muncul di rumah. Tiga anak gadisku segera merubung ibunya. Berondongan pertanyaan seputar persalinan Maira pun menghambur dari mulut mereka.

"Maira sudah selamat melahirkan. Dia masih dirawat di tempat bidan," kata istriku.

"Bayinya?" kata si bontot.

"Bayinya juga selamat dan sehat. Bayinya laki-laki."

"Mirip siapa bayinya, Mah?" kata si bontot lagi.

"Iya, Mah. Mirip siapa bayi itu?" kata si sulung  menimbrung karena tak sabar menunggu jawaban.

Istriku menggelengkan kepala. "Gak tahu mirip siapa. Kayaknya tidak mirip siapa-siapa di kampung kita ini," katanya.

Ohh, aku lega sekali. Bayi Maira tak mirip siapa pun! Berarti topengku aman. Berarti orang-orang tetap tak bakal tahu bahwa akulah lelaki gendeng itu. Hahahahaa ... (*)

Krisis BBM Subsidi

Kalangkaan bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar, yang saat ini melanda sejumlah daerah, harus segera diatasi. Jika tidak, dampak sosial-ekonomi yang mungkin timbul bisa sangat mahal. Selain aktivitas ekonomi terhambat, khalayak luas bisa marah sehingga risiko sosial pun bukan tidak mungkin harus ditanggung.

Sekarang ini saja, dampak sosial-ekonomi kelangkaan BBM subsidi ini sudah mulai menggejala. Di Kabupaten Bandung, misalnya, angkutan umum untuk sejumkah rute banyak yang tak bisa beroperasi karena kesulitan memperoleh premium atau solar.

Kesulitan itu juga membuat banyak kendaraan pribadi -- entah mobil ataupun sepeda motor -- terpaksa dirumahkan, karena BBM nonsubsidi juga tidak mudah bisa diperoleh akibat keterbatasan infrastruktur SPBU. Jelas, karena itu, aktivitas sosial-ekonomi menjadi kacau: mobilitas manusia maupun distribusi barang terhambat.

Justru itu, jika berlarut-larut, kesulitan memperoleh BBM subsidi ini niscaya membuat khalayak luas marah. Sementara kemarahan massa yang bersifat kumulatif amat berbahaya: mudah terpantik menjadi kerusuhan sosial.

Jadi, sekali lagi, kelangkaan BBM jenis premium dan solar saat ini harus segera diatasi. Solusi untuk itu jelas bukan menambah pasokan premium dan solar ke berbagai SPBU. Solusi seperti itu bukan saja tidak cerdas, melainkan juga konyol. Konyol, karena berisiko melahirkan krisis sangat parah: dalam hitungan minggu, premium dan solar benar-benar menghilang karena stok di tangan pemerintah tandas bin ludas.

Stok BBM subsidi di tangan pemerintah sendiri kini sudah menipis. Stok menyusut drastis karena catu BBM subsidi dalam APBNP 2014 dipangkas 2 juto kiloliter, sementara tingkat konsumsi justru cenderung naik terus. Dalam kondisi seperti itu, meski berisiko menimbulkan kelangkaan di tengah masyarakat, stok yang tersisa lantas dihemat agar mencukupi hingga akhir tahun.

Pemerintah seharusnya tidak puyeng memikirkan alternatif kebijakan untuk mengatasi kelangkaan BBM subsidi ini. Toh Bappenas sudah melakukan kajian menyangkut opsi-opsi kebijakan yang bisa ditempuh.

Opsi-opsi itu, pertama, menaikkan harga BBM subsidi secara reguler tiap 6 bulan sekali hingga akhirnya mencapai tingkat keekonomian. Kedua, mematok subsidi dalam satuan tertentu secara tetap, sehingga harga premium dan solar pun tiap saat berfluktuasi sesuai perkembangan pasar.

Kedua opsi itu, tentu, punya konsekuensi-konsekuensi ekonomi, sosial, maupun politik. Tetapi bukankah soal itu sudah dikaji mendalam oleh Dewan Energi Nasional? Bukankah kajian itu juga menyimpulkan bahwa secara prinsip kedua opsi layak diaplikasikan?

Karena itu, pemerintah tak beralasan menunda-nunda masalah.
Dalam konteks ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tak perlu lagi ragu dan memilih jaim. Bahkan, karena masa jabatan segera berakhir, soal memelihara citra diri di mata publik ini tak lagi relevan.

Artinya, bagi SBY, mengeksekusi kebijakan solutif atas masalah BBM subsidi di ujung masa pemerintahan sekarang ini tidak menjadi pertaruhan politis lagi. SBY tak berisiko harus menanggung implikasi yang secara politis bisa merugikan. Bahkan tindakan itu menguntungkan: SBY dapat menunjukkan diri bahwa dia bisa bersikap tegas.

Jadi, SBY sungguh tak patut mewariskan kisruh BBM subsidi sekarang ini kepada pemerintahan baru. Sikap tersebut bukan hanya membebani sekaligus menyulitkan pemerintahan baru, tetapi juga bisa kian mematrikan penilaian publik selama ini: bahwa SBY peragu bahkan di tengah kondisi kritis sekali pun.***
 

25 Agustus 2014

23 Agustus 2014

Pertumbuhan Ambisius?



Target pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen selama lima tahun ke depan, yang dicanangkan duet presiden-wapres terpi­lih Jokowi-Jusuf Kalla, bisa dikatakan ambisius -- tapi bisa juga realistis. Ambisius, kalau yang menjadi patokan adalah kinerja ekonomi nasional selama ini yang terbukti tidak kinclong.

Untuk bisa mencapai pertumbuhan 6 persen saja, kinerja ekonomi nasional selama lima tahun terakhir begitu ngos-ngosan. Bahkan dalam periode 2009-2014 itu, rata-rata per­tumbuhan ekonomi hanya di kisaran 5 persen.  

Namun target 7 persen yang dicanangkan duet Jokowi-Jusuf Kalla juga bisa dikatakan tidak muluk. Target tersebut realistis kalau saja prasyarat yang dibutuhkan bisa dipenu­hi. Juga tantangan kondisioal harus bisa diatasi.

Untuk itu, duet Jokowi-Jusuf Kalla harus benar-benar mengam­bil pelajaran dari kegagalan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengukir prestasi gemilang mengenai pertumbuhan ekonomi ini. Berbagai kelemahan harus bisa diiden­tifikasi dan dikoreksi.

Dalam periode 2009-2014, Yudhoyono menargetkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen per tahun. Namun realisasinya, itu tadi: rata-rata hanya di kisaran 5 persen per tahun. Problem neraca transaksi berjalan, yang selama tiga tahun terakhir didera defisit serius, memaksa pemerintahan Yud­hoyono justru mengerem laju pertumbuhan ekonomi ini.

Itu pula yang membuat pemerintahan Yudhoyono tak memasang target muluk menyangkut pertumbuhan ekonomi untuk tahun depan. Dalam pidato pengantar RAPBN 2015 di depan siding paripurna DPR, Jumat pekan lalu, Yudhoyono menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2015 diproyeksikan 5,6 persen.

Untuk bisa melampaui proyeksi itu, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tak bisa lain harus mampu mengatasi defisit transaksi berjalan. Untuk itu, ekspor harus digenjot. Ini jelas tidak mudah, namun juga tidak musykil sepanjang pintar mengatasi masalah dan jeli memanfaatan peluang.

Di sisi lain, impor harus bisa ditekan. Dalam konteks itu, pembatasan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) menjadi keharu­san karena sekarang ini nyata-nyata menjadi faktor yang begitu signifikan membengkakkan impor secara keseluruhan.

Laju pertumbuhan ekonomi juga ditentukan oleh faktor infras­truktur. Jika infrastruktur kedodoran alias morat-marit, pertumbuhan ekonomi sulit diharapkan melaju kencang dan tinggi.

Sekarang ini, ketersediaan infrastruktur nyata-nyata kedo­doran dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan untuk menggen­jot pertumbuhan ekonomi. Upaya-upaya untuk mengatasi kelema­han tersebut bukan tak dilakukan pemerintahan Yudhoyono. Namun sejauh ini hasil upaya tersebut tak sebanding dengan tuntu­tan kebutuhan.


Dalam konteks itu, sejumlah peraturan atau regulasi belum benar-benar menjadi motor yang melicinkan bagi kegiatan investasi di bidang infrastruktur ini. Proses pembebasan lahan, misalnya, masih saja lamban -- karena perizinan belum juga ringkas alias tidak efisien.

Itulah, antara lain, pekerjaan rumah yang harus menjadi prioritas kerja pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla untuk bisa menjulangkan pertumbuhan ekonomi sesuai target. Abai atau tak mampu menangani pekerjaan rumah tersebut, target pertum­buhan ekonomi 7 persen yang mereka canangkan pun niscaya cuma menjadi pepesan kosong.***

23 Agustus 2014

18 Agustus 2014

Mengapa Karen Mundur?



Pengunduran diri Karen Agustiawan dari posisi pucuk pimpinan Pertamina sungguh mengejutkan. Bukan saja karena pengunduran  diri itu begitu tiba-tiba, melainkan juga lantaran masa bakti Karen terbilang masih panjang. Setelah tahun lalu diperpanjang, masa jabatan Karen sebagai Dirut Pertamina seharusnya baru berakhir empat tahun lagi. 

Dalam memimpin Pertamina selama enam tahun terakhir, presta­si Karen tidak minus. Bahkan bisa dibilang dia berhasil mematrikan prestasi cemerlang. Dia antara lain sukses memba­ìwa Pertamina meraih penghargaan prestisius -- Fortune Global 500 -- sebanyak dua kali. Dengan penghargaan itu, Pertamina diakui sebagai salah satu perusahaan global yang berpengar­uh.

Walhasil, dari sisi kinerja, jelas Karen tak memiliki cukup alasan untuk mengundurkan diri. Sementara alasan ingin mengajar di Harvard University, AS, terasa mengada-ada. Bagaimanapun, menjabat Dirut Pertamina lebih prestisius ketimbang menjadi pengajar di Harvard.

Karena itu, spekulasi pun sontak merebak seputar latar belakang Karen mengajukan pengunduran diri sebagai orang nomor satu di Pertamina ini. Terlebih Menneg Dahlan Iskan menyebutkan bahwa keinginan mengundurkan diri itu sudah berkali-kali diajukan Karen kepadanya.

Keterangan Dahlan itu secara tidak langsung menjadi petunjuk bahwa Karen memiliki alasan lebih mendasar untuk mengajukan pengunduran diri ketimbang lantaran ingin mengajar di Har­ìvard. Mungkin Karen sudah tidak genah berlama-lama memimpin Pertamina. Mungkin dia sudah tidak tahan lagi terus duduk di pucuk BUMN tersebut. Kenapa?

Sudah menjadi rahasia umum bahwa BUMN acap mendapat inter­vensi atau bahkan tekanan kalangan orang berpengaruh, meski itu tak selalu terkuak ke permukaan. Tak terkecuali Pertami­na semasa dalam kepemimpinan Karen, tekanan pula.

Tentang itu sebut saja contoh kasus yang membelit (mantan) Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Rudy Rubiandini. Dalam proses persidangan di pengadilan terungkap bahwa Karen mendapat tekanan agar ikut menyetor fulus kepada oknum anggota parle­men guna memuluskan pembahasan anggaran Kementerian ESDM.

Bahwa Karen berkukuh menampik mengalirkan dana ke parlemen, itu tidak berarti dia lantas tak menanggung beban psikologis amat berat. Maklum, karena tekanan begitu bertubi dan itu dilakukan oleh bukan orang sembarangan.

Contoh lain tekanan yang dihadapi Karen dalam memimpin Pertamina ini adalah kasus penaikan harga gas elpiji 12 kg nonsubsidi, beberapa waktu lalu. Karen mendapat tekanan hebat sejumlah pihak yang berpengaruh, sampai-sampai dia terpaksa membatalkan penaikan harga gas elpiji 12 kg itu.

Langkah penaikan harga gas elpiji itu sendiri sebenarnya bukan terutama untuk membuat Pertamina menangguk laba, melainkan karena harga lama yang tidak memenuhi keekonomian sudah mengakibatkan keuangan BUMN tersebut babak-belur. Tetapi orang-orang yang berpengaruh tak mau tahu, karena ì mereka ingin tampil sebagai pahlawan di depan publik.

Kasus-kasus seperti itu secara psikologis jelas membebani. Akumulasi beban itu pula, sangat boleh jadi, yang membuat Karen akhirnya merasa tidak berguna jika terus bertahan memimpin Pertamina. Dalam konteks seperti ini maka keputusan dia mengundurkan diri lebih bisa dipahami ketim­bang alasan ingin mengajar di Harvard atau mengurus keluarga.

Tapi justru itu, tindakan Karen mengundurkan diri ini harus dijadikan momentum bagi perbaikan Pertamina maupun BUMN-BUMN lain. Menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru mengikis habis praktik memanfaatkan kekuasaan untuk mengin­
tervensi atau menekan BUMN. Jika tidak, BUMN tak akan pernah bisa optimal berfungsi menyejahterakan rakyat.***

18 Agustus 2014