19 Desember 2013

Konsistensi KPK

Dalam menangani kasus korupsi yang diduga melibatkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah -- juga sejumlah kasus lain -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan sikap-tindak gesit dan penuh semangat. Ratu Atut ditetapkan sebagai tersangka hanya dalam tempo beberapa pekan setelah KPK membongkar kasus suap dengan aktor utama Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Bahkan adik Atut -- Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan --  sudah lebih dulu diberi status serupa dan dikurung di tahanan KPK sejak beberapa waktu lalu.

KPK menyatakan Ratu Atut dan Wawan terlibat tindak pidana suap dalam pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, Banten, di Mahkamah Konstitusi; serta tindak pidana korupsi dalam pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten. KPK juga konon tengah melakukan pendalaman dan pengumpulan fakta hukum terkait indikasi keterlibatan anggota lain keluarga besar Ratu Atut -- entah dalam kasus yang sama ataukah kasus lain lagi.

Kasus yang menjerat Ratu Atut merupakan hasil pendalaman dan pengembangan yang dilakukan KPK atas kasus yang melibatkan Akil Mochtar, khususnya dugaan suap dalam pengurusan sengketa Pilkada Lebak di Mahkamah Konstitusi. Sementara kasus korupsi dalam pengadaan alat kesehatan ditelisik KPK berdasar info masyarakat, menyusul pengungkapan kasus suap yang diduga melibatkan Wawan.

Gerak langkah KPK yang trengginas menangani kasus yang menjerat Raut Atut ini -- juga sejumlah kasus lain, seperti kasus suap yang melibatkan Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini ataupun kasus korupsi dalam pengadaan simulator mengemudi yang menjerat Kepala Korlantas Mabes Polri Irjen Pol  Djoko Susilo -- jelas patut diapresiasi.

Sikap itu bukan hanya menunjukkan semangat tinggi, melainkan juga menjadi perwujudan komitmen KPK menegakkan prinsip equality before the law. Entah jenderal, entah kongmerat, entar gubernur, entah politisi Senayan, entah petinggi parpol --  semua diperlakukan sama di depan hukum.

Tetapi sikap seperti itu tak konsisten diperlihatkan KPK. Dalam beberapa kasus yang diduga melibatkan pusat kekuasaan, seperti kasus bailot Bank Century, KPK terkesankan bersikap ogah-ogahan menggarap aktor-aktor di pusat kekuasaan ini. Seolah KPK kehilangan semangat dan nyali. Dalam bahasa lugas, KPK tampak bersikap tebang pilih.

Yang aktual, sikap itu diperlihatkan KPK dalam menghadapi keterangan mantan Direktur Keuangan Grup Permai Yulianis. Bekas anak buah terpidana korupsi proyek Wisma Atlet M Nazaruddin itu beberapa kali menyebut putera Presiden Yudhoyono yang juga Sekjen Partai Demokrat, Eddie Baskoro alias Ibas, ikut menerima uang dari Nazaruddin.

Yulianis membeberkan ihwal itu saat bersaksi pada persidangan kasus korupsi dengan terdakwa Kepala Biro Perencanaan Kemenpora Deddy Kusdinar. Menurut Yulianis, ada aliran uang sebesar 200.000 dollar AS kepada Ibas. Aliran tersebut tercatat dalam pembukuan yang dia pegang.

Yulianis juga mengaku bahwa kesaksian itu dia sampaikan pula saat diperiksa oleh penyidik KPK. Tetapi, memang, keterangan dia kepada penyidik ini tidak masuk berita acara pemeriksaan -- sesuatu yang di luar kehendak dan di luar kuasa Yulianis.

Meski pengakuan Yulianis itu begitu gamblang, toh KPK terkesankan ogah melakukan tindak lanjut dengan antara lain seharusnya sigap meminta keterangan Ibas. Bahkan, Ketua KPK Abraham Samad tanpa tedeng aling-aling menafikan keterangan Yulianis dengan mengatakan perempuan tersebut aneh -- karena dia menilai Yulianis hanya mengutarakan keterangan soal Ibas ini dalam persidangan dan  tidak masuk berita acara pemeriksaan.

Sikap Abraham itu pula yang mendorong Yuslianis beberapa hari lalu mengajukan protes. Dia menuntut Abraham mencabut pernyataannya tentang Yuslianis yang dia sebut sebagai orang aneh.

Bagi publik, sikap Yuslianis yang begitu kukuh mengenai Ibas ini meerupakan petunjuk bahwa perempuan itu tidak main-main. Justru itu, menjadi aneh jika KPK tak bersemangat atau bahkan hilang nyali untuk melakukan tindak lanjut sebagaimana mestinya: meminta keterangan Ibas. Keanehan ini pada akhirnya bisa bermuara pada kesan bahwa KPK hanya trengginas bertindak terhadap kasus yang tidak bersinggungan dengan pusat kekuasaan.***

19 Desember 2013

18 Desember 2013

UU Desa, Lega dan Cema

Persetujuan DPR agar RUU Desa disahkan Presiden menjadi undang-undang, kemarin, memunculkan kelegaan sekaligus kecemasan. Lega, karena undang-undang tersebut jelas kental bersemangat mengangkat kesejahteraan masyarakat desa, termasuk perangkat desanya sendiri.

Tapi keberadaan UU Desa ini juga mencemaskan. Bukan tidak mungkin nanti terjadi berbagai tindak penyelewengan dalam penggunaan anggaran desa, sehingga tujuan mulia undang-undang ini -- mengangkat kesejahteraan masyarakat desa -- banyak terganggu.

Karena itu, bukan tidak mungkin kelak muncul koruptor-koruptor tingkat desa sebagaimana fenomena korupsi di tingkat pemerintahan lebih atas yang demikian marak. Mungkin juga, karena besaran dan pengucuran anggaran desa ditentukan pemkab/pemkot, UU Desa ini melahirkan pula tindak penyimpangan berupa pemotongan anggaran ataupun pungli oleh oknum pejabat di tingkat kabupetan/kota.

Di sisi lain, UU Desa juga menyimpan potensi bara yang bisa mengoyak stabilitas kehidupan sosial di tingkat desa. Konflik antarelite desa bisa meningkat -- terutama terkait pemilihan kepala desa. Belum lagi praktik politik uang juga hampir pasti tumbuh subur dalam setiap perhelatan pemilihan kepala desa, sehingga nilai-nilai idealisme di desa bisa tercemar.

Dari sisi kelembagaan, kelahiran UU Desa merupakan tonggak bersejarah. Bersejarah, karena kerangka pemerintahan di tingkat desa, termasuk hak-hak dan kewajiban desa, resmi diatur. Masa jabatan kepala desa, misalnya, ditetapkan enam tahun dan bisa diperpanjang maksimal hingga tiga kali. Perangkat desa juga saban bulan menikmati gaji tetap dari pemerintah.

Selama ini, perangkat desa tidak mendapatkan gaji resmi sebagaimana lazim dinikmati pejabat publik. Kesejahteraan perangkat desa selama ini melulu disandarkan kepada hasil pemanfaatan tanah bengkok plus belas kasih masyarakat.

Selain gaji, perangkat desa juga sekarang menikmati jaminan kesehatan yang diberikan pemerintah. Jadi, bagi perangkat desa, UU Desa bukan cuma menjadi tonggak sejarah, melainkan juga sungguh menyejahterakan. Karena itu, perangkat desa sungguh patut menyambut kelahiran undang-undang tersebut dengan suka cita. Terlebih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemarin langsung berkomitmen segera melakukan pengesahan.

Bagi masyarakat desa sendiri, UU Desa tak terkecuali patut disambut gembira -- karena menjanjikan kesejahteraan. Ini terutama terkait alokasi anggaran yang bernilai antara Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar per tahun untuk setiap desa. Anggaran tersebut melulu untuk proyek-proyek pembangunan di tingkat desa. Itu pun proyek-proyek yang bersifat produktif secara sosial-ekonomi bagi masyarakat desa, seperti pembangunan prasarana jalan, jembatan, atau irigasi desa.

Namun justru itu, implementasi UU Desa menuntut pengawasan ekstra ketat. Bagaimanapun, untuk tingkat desa, anggaran Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar per tahun bukan jumlah kecil. Maka harus diatur rinci pihak dan tindak pengawasan agar dana tersebut tidak dimanipulasi atau diselewengkan menjadi bancakan oleh oknum-oknum yang memiliki akses kuasa.***

18 Desember 2013

17 Desember 2013

Bahaya Laten Kekuasaan

Menjadi pejabat publik di negeri kita ini sangat berat dan tidak mudah. Godaan yang harus dihadapi, yang bisa menjerumuskan ke arah tindak penyelewengan kekuasaan, sungguh bukan main. Godaan itu bukan cuma datang dari lingkungan eksternal, melainkan juga dari lingkaran dalam sendiri -- entah teman, kerabat, atau keluarga.

Bahkan sebagaimana tecermin dalam beberapa kasus korupsi yang bergulir ke pengadilan, godaan dari lingkaran dalam jauh lebih serius. Saking seriusnya, godaan itu bisa berubah menjadi tekanan yang sangat merongrong kekuasaan di tangan pejabat publik. Direstui ataupun tidak, mereka memanfaatkan kekuasaan sang pejabat entah untuk keuntungan sendiri maupun bersama, juga untuk kepentingan pihak lain.

Tentang itu, simak saja kasus korupsi proyek Hambalang. Dalam persidangan kasus tersebut terungkap bagaimana Andi Zulkarnaen Anwar -- akrab dikenal sebagai Choel Mallarangeng -- diduga merongrong kekuasaan sang kakak,  Andi Alifian Mallarangeng -- kala menjabat Menpora. Saksi yang dihadirkan dalam persidangan  menyatakan bahwa Choel meminta rente alias fee kepada pihak yang dinyatakan sebagai pemenang proyek. Konon, fee itu tak lain untuk sang kakak sendiri -- karena dia enggan meminta langsung kepada pemenang proyek.

Contoh lain, kasus hukum yang membelit Luthfi Hasan Ishaaq tak lepas dari sepak-terjang sang sohib, Fathanah. Dengan sepengetahuan atau restu Luthfi, Fathanah begitu leluasa bertindak sebagai makelar proyek di lingkungan Kemtan. Dalam konteks ini, Fathanah mentransaksikan pengaruh Luthfi sebagai orang nomor satu di Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pengaruh tersebut amat berharga karena institusi Kemtan dipimpin kader PKS.

Di lingkungan pemerintahan Provinsi Banten, peran makelar proyek itu diduga dilakukan oleh adik gubernur. Sang adik begitu leluasa mengatur siapa saja yang bisa menjadi pemenang proyek. Karena itu pula, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menyandangkan status tersangka kepada kakak beradik ini.

Kkekuasaan orang nomor satu di negeri kita juga tak terkecuali bisa dirongrong oleh lingkaran dalam. Sebagaimana pemberitaan sebuah koran Australia, yang mengutip bocoran data Wikileaks, Ibu Negara Ani Yudhoyono disebut acap ikut cawe-cawe dalam urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab sang suami, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meski dibantah pejabat-pejabat Istana, isu tersebut tak pelak seolah menjadi pembenaran bahwa jika tak pandai-pandai menjaga integritas, pejabat publik bisa dirongrong oleh lingkaran dalam sendiri.

Rongrongan itu tak pelak bisa membuat kekuasaan menjadi distorsif sekaligus koruptif. Kekuasaan tidak lagi terutama diacukan untuk kemaslahatan orang banyak, melainkan diselewengkan menjadi alat bagi kepentingan orang per orang atau kelompok di sekitar pemegang kekuasaan.

Jadi, lingkaran dalam bisa menjadi bahaya laten kekuasaan. Seorang pejabat publik boleh bersih dan punya komitmen besar menggunakan kekuasaan di tangannya bagi kepentingan rakyat banyak. Tetapi sahabat, kerabat, anak, istri, dan lain-lain yang masuk lingkaran dalam bisa diam-diam mendompleng sehingga kekuasaan menjadi distorsif dan koruptif.

Bagi masyarakat paternalistik seperti di Indonesia, potensi kekuasaan menjadi distorsif dan koruptif ini sungguh besar. Rongrongan lingkaran dalam lambat-laun bisa membuat pejabat berintegritas pun menjadi lumer dan akhirnya terdorong menyalahgunakan kekuasaan.

Justru karena merupakan lingkaran dalam, bahaya laten yang menyertainya jelas tak bisa dienyahkan begitu saja. Justru itu, kunci masalah terletak pada integritas sang pejabat sendiri. Dalam konteks ini, komitmen moral dan nurani menjadi pijakan yang menentukan apakah pejabat itu bisa teguh memegang integritas atau menjadi pengkhianat bagi dirinya sendiri.(*)

17 Desember 2013

11 Desember 2013

Antisipasi Isu Tapering

Nilai tukar rupiah belum juga menunjukkan tanda-tanda bisa stabil. Titik keseimbangan baru, setelah kurs rupiah ini lebih dari 20 persen terdepresiasi sejak awal tahun, belum juga terbentuk. Kecenderungasn yang terjadi, rupiah masih saja terus tertekan. Kemarin, misalnya, rupiah kembali terperosok ke level psikologis Rp 12.000 per dolar. Bahkan di sebuah bank swasta nasional, kemarin kurs jual rupiah sempat menyentuh Rp 12.120 per dolar.

Nilai tukar rupiah yang cenderung terus melemah ini jelas membuat kehidupan ekonomi nasional menjadi menggerahkan. Jajaran korporat, misalnya, harus menanggung risiko pembengkakan beban utang luar negeri. Di sisi lain, kredit perbankan juga melambung, sementara daya beli masyarakat menyusut karena aneka harga barang konsumsi -- terutama yang bersentuhan dengan impor -- terus meroket. 

Kenyataan itu sungguh mengenaskan karena Bank Indonesia (BI) maupun pemerintah sudah melakukan upaya pengendalian yang terbilang signifikan. Selain intensif mengintervensi pergerakan kurs dengan menggelontorkan dolar ke pasar uang, BI juga bertubi-tubi mengerek suku bunga acuan alias BI Rate sebesar 175 basis poin sejak Juni lalu hingga menjadi 7,5 persen sekarang ini. Selain itu, BI memainkan pula instrumen moneter lain seperti Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI), hedging, swap-reswap, juga pembelian valas hasil ekspor dengan tenor dan varian yang lebih atraktif.

Di lain pihak, Agustus lalu pemerintah meluncurkan paket stimulus fiskal yang terutama disiapkan sebagai instrumen untuk mengatasi defisit transaksi berjalan. Masalah tersebut disadari benar merupakan salah satu faktor yang serius menekan kurs rupiah. 

Namun, itu tadi, pergerakan rupiah tetap bergeming dengan kecenderungan melemah. Seolah-olah paket kebijakan fiskal yang diluncurkan pemerintah tak diyakini pelaku pasar uang bisa efektif mengatasi masalah defisit transaksi berjalan. Terlebih lagi, memang, impor bahan bakar minyak (BBM) -- faktor utama yang menorehkan defisit transaksi berjalan -- tetap tinggi. Lalu, implementasi paket kebijakan fiskal sendiri masih harus dijabarkan menjadi kebijakan-kebijakan operasional.

Begitu pula serangkaian kebijakan moneter yang ditebar BI tak serta-merta membuat dana investasi portofolio asing tetap ngendon di pasar uang dalam negeri -- ditanamkan dalam deposito dan berbagai instrumen surat berharga. Secara pasti, dana investasi portofilio asing ini terus saja mengalir ke mancanegara.

Di sisi lain, kalangan eksportir juga tidak otomatis berbondong-bondong menarik masuk dana valas hasil ekspor ke dalam negeri. Mereka terkesankan tetap lebih merasa nyaman memarkir dana hasil ekspor itu di luar negeri.

Jadi, intinya, upaya pemerintah menahan laju depresiasi rupiah kalah seksi oleh isu tentang rencana bank sentral AS melakukan pengurangan stimulus moneter (tapering off). Sentimen negatif ini semakin pekat membayang, sehingga rupiah pun hari-hari ini terus tertekan.

Tak bisa tidak, karena itu, pemerintah perlu segera meluncurkan lagi kebijakan antisipatif yang  bisa mendinginkan tensi psikologi pelaku di pasar uang. Jika tidak, kita khawatir kurs rupiah bablas masuk jurang karena investasi portofio serta-merta mengalir deras ke AS manakala tapering off direalisasikan. Kabijakan antisipatif ini terutama perlu dilakukan di sisi fiskal, karena antisipasi di sektor moneter sendiri bisa dikatakan sudah pol.***

11 Desember 2013

09 Desember 2013

Permisif Korupsi?


Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bahwa negara harus membela pejabat pemerintah yang terjebak korupsi, sungguh terasa mengusik. Pernyataan yang diutarakan Senin lalu dalam acara peringatan Hari Antikorupsi se-Dunia dan Hari HAM itu serta-merta menorehkan kesan bahwa SBY permisif terhadap praktik korupsi. Seolah-olah tindakan korupsi tidak selalu merupakan perbuatan hina dan jahat.

SBY menjelaskan bahwa korupsi bisa merupakan tindakan yang disengaja, dan bisa pula merupakan perbuatan yang tidak dilandasi niat pelaku. Nah, untuk korupsi kategori pertama, SBY bilang good bye. Artinya, pelaku (baca: pejabat pemerintah) tak perlu dibela. Biarkan dia dikenai sanksi hukum secara maksimal.

Sementara untuk perbuatan korupsi yang tidak dilandasi niat pelaku, dalam pandangan SBY, negara harus memberikan pembelaan. Itu karena dalam konteks tersebut korupsi bukan lagi merupakan perbuatan jahat. Korupsi terjadi bukan karena pelaku memang punya niat melakukan perbuatan tersebut, melainkan lebih karena dia tidak paham mengenai praktik korupsi.

Tidak jelas, apakah pernyataan SBY itu merujuk kepada kasus mantan Menpora Andi Alifian Mallarangeng yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka perkara dugaan korupsi proyek Hambalang? Yang pasti, di tengah praktik korupsi di Indonesia yang merajalela dan menggurita sekarang ini, pernyataan itu terasa enah atau bahkan naif. Bagaimana mungkin ada pejabat pemerintah tidak bisa membaca praktik-praktik rasuah sehingga dia terjebak kasus korupsi?

Lagi pula, bukankah pemerintah sendiri sudah menerbitkan perangkat peraturan menyangkut upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi sebagaimana tertuang dalam Inpres No 17/2011? Bahkan inpres tersebut dilengkapi dengan sejumlah program dan rencana aksi segala?

Jadi, dengan adanya Inpres No 17/2011, setiap pejabat pemerintah mestinya tahu batas-batas perbuatan beraroma korupsi dan tidak. Karena itu, sungguh sulit mengandaikan ada pejabat pemerintah sampai tidak tahu atau tidak paham praktik korupsi. Kalaupun sampai ada pejabat yang terjerat kasus korupsi karena dia tidak bisa mengenali praktik rasuah, itu sungguh keterlaluan dan konyol. Sebagai pejabat, dia jelas tidak kredibel alias tidak layak punya posisi strategis di pemerintahan.

Karena itu, benar kata Ketua KPK Abraham Samad: pejabat pemerintahan mutlak harus cerdas, sehingga dia tak bisa terjebak praktik korupsi. Pejabat pemerintahan tidak boleh merupakan pribadi lugu atau apalagi naif sehingga tak bisa mengenali batas-batas perbuatan hina dan jahat seperti korupsi dengan perbuatan amal saleh.

Walhasil, konstatasi SBY soal korupsi sebagai tindakan yang disengaja dan korupsi yang tidak dilandasi niat pelaku bisa menyesatkan. Bagaimanapun, di Indonesia ini setiap kasus korupsi sulit diasumsikan tanpa kesadaran atau bahkan tanpa niat pelaku. Yang mungkin terjadi, pelaku pura-pura tidak tahu atau bermuslihat tidak mengerti praktik korupsi.

karena itu pula, negara tidak patut memberikan pembelaan terhadap pejabat pemerintah yang terlibat korupsi berdasar asumsi bahwa pejabat itu tidak paham praktik rasuah. Biarkan proses hukum bergulir sebagaimana seharusnya. Toh mekanisme hukum mengenal asas praduga tak bersalah. Mekanisme hukum juga memberikan hak orang yang terbelit kasus hukum untuk memperoleh pembelaan hukum.
     Lagi pula, bukankah di negara Indonesia ini siapa pun berkedudukan sama di muka hukum?***

Jakarta, 9 Desember 2013

06 Desember 2013

Teladan Delegasi India

Sikap delegasi India dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Nusa Dua, Bali, sungguh patut diteladani. Demi kepentingan nasional India, mereka kukuh pada pendirian yang sejak awal mereka perjuangkan. Sikap mereka tak lantas lumer oleh lobi intensif delegasi-delegasi lain, meski karena itu mereka menjadi lain sendiri.

Delegasi India jelas sadar betul bahwa sikap mereka itu bisa membuat mereka dicap sebagai biang penyebab kegagalan konferensi WTO di Bali. Padahal cap tersebut berkonotasi sangat buruk karena konferensi WTO di Bali sejak jauh hari sangat diharapkan dunia internasional mengakhiri kebuntuan perundingan Putaran Doha yang sudah berlangsung sejak 12 tahun lalu.

Toh delegasi India bergeming. Mereka tak gampang menyusut karena sikap tersebut punya implikasi serius terhadap kepentingan nasional India. Bagi mereka, lembek dalam berunding sama saja dengan  menyerahkan kedaulatan India terhadap agenda-agenda WTO. Padahal agenda-agenda itu tidak selalu menguntungkan kepentingan nasional mereka selaku negara berkembang. Sebab, diakui ataupun tidak, agenda-agenda WTO cenderung menguntungkan kelompok negara maju.

Jadi, sikap delegasi India dalam konferensi WTO di Bali ini jelas tidak bersifat membabi-buta. Mereka memiliki alasan sangat mendasar: kepentingan nasional India, yang bersifat fundamental, tak boleh diobral. Dalam konteks WTO, kepentingan nasional India yang bersifat fundamental ini adalah nasib petani dan pertanian mereka yang harus aman terlindungi, sehingga tidak menjadi korban konyol perdagangan global. 

Nah, sikap itu yang sungguh patut diteladani oleh para perunding kita dalam berbagai forum perjanjian internasional. Tanpa mengurangi apresiasi terhadap keinginan baik dan kerja keras dalam mengikuti perundingan-perundingan internasional, sikap mereka selama ini terkesankan lembek. Tidak seperti delegasi India dalam konferensi WTO di Bali, mereka cenderung tak menunjukkan sikap militan dalam memperjuangkan kepentingan nasional yang bersifat fundamental ini.

Bahkan, secara umum, para perunding kita terkesankan kelewat gampang menerima atau menyetujui klausul-klausul perjanjian internasional. Mereka seolah mengabaikan faktor kesiapan dan kamampuan fundamental kita untuk melaksanakan klausul-klausul itu.

Dalam konteks itu, para perunding kita sepertinya mudah terbuai oleh potensi manfaat atau keuntungan sebuah perjanjian. Seolah-olah manfaat itu sudah pasti bisa kita nikmati. Mereka seolah alpa bahwa jika tak didukung kesiapan dan kemampuan sendiri, perjanjian itu juga punya implikasi yang bisa merugikan kepentingan nasional.

Karena itu, tidak mengherankan sejumlah perjanjian internasional yang ikut kita sepakati -- khususnya perjanjian bilateral ataupun regional tentang liberalisasi perdagangan dan investasi -- membuat kepentingan nasional seolah tergadai. Banjir aneka produk impor sekarang ini adalah implikasi nyata perjanjian-perjanjian itu.

Banjir aneka produk impor cenderung  merugikan kepentingan nasional lantaran produk-produk serupa yang kita hasilkan kalah bersaing. Jadi, karena faktor kesiapan dan kemampuan kita tidak mendukung, perjanjian-perjanjian itu lebih mengondisikan negeri kita sebagai pasar bagi produk barang dan jasa mitra dagang. Kita sendiri relatif sedikit mampu melakukan ekspansi dagang ke mancanegara.

Maka, sekali lagi, kesadaran dan militansi delegasi India di forum konferensi WTO di Bali sungguh patut diteladani. Terlebih India juga tergolong negara berkembang seperti kita.**

6 Desember 2013