Penaikan suku
bunga acuan Bank Indonesia (BI) alias BI Rate sebesar 50 basis poin menjadi 7
persen membawa konsekuensi plus dan minus. Laju inflasi, misalnya, sangat
mungkin tertahan. Inflasi, yang sekarang ini begitu nyata menunjukkan gelagat
mengkhawatirkan, amat bisa diharapkan tak keterusan bablas menyentuh langit
tinggi.
Di sisi lain,
tekanan terhadap nilai tukar rupiah juga boleh jadi mereda. Bahkan mungkin saja
kurs rupiah, yang dalam beberapa pekan terakhir babak-belur, perlahan-lahan
berbalik menjadi menguat.
Kecenderungan itu
bukan mustahil, karena pemilik modal sangat mungkin tergerak mengonversi dana
valas -- termasuk dolar AS -- ke rupiah. Kemungkinan tersebut masuk akal,
karena kenaikan BI Rate membuat bunga simpanan dalam rupiah jelas menjadi lebih
atraktif.
Itu pula yang
bisa diharapkan membuat cadangan devisa di BI tak terus terkuras untuk
keperluan operasi stabilisasi rupiah. Dengan kurs rupiah yang menjadi stabil,
BI menjadi tak perlu lagi melakukan intervensi ke pasar uang.
Pada gilirannya
pula, kenyataan tersebut mewujudkan sentimen positif bagi pemilik dana.
Sentimen tersebut bahkan sudah langsung direspons positif pelaku di pasar modal
dalam negeri, sehingga indeks harga saham gabungan (IHSG) kemarin ditutup
menguat signifikan, yaitu 91,49 poin atau 2,23 persen dibanding saat penutupan
perdagangan Kamis lalu.
Kurs rupiah juga
memperlihatkan gambaran serupa. Berdasarkan kurs tengah BI, kemarin, transaksi
rupiah-dolar AS ditutup menguat 12 poin dibanding posisi penutupan transaksi
Kamis. Itu merupakan pertanda awal bahwa kepercayaan pemilik dana terhadap
rupiah, yang belakangan ini cenderung meluntur, pulih kembali.
Memang, beberapa
faktor lain turut menentukan arah penguatan kurs rupiah dalam hari-hari
mendatang ini. Misalnya isu kebijakan bank sentral AS yang bisa saja menjadi
sentimen yang menahan pergerakan positif rupiah. Tetapi, isu seperti itu tidak
lantas menahan pemulihan kepercayaan pemilik dana terhadap rupiah.
Meski begitu,
penaikan BI Rate ini bukan tanpa risiko. Bahkan risiko tersebut bisa
mencemaskan. Itulah: perbankan nasional tergiring memasuki zona bahaya terkait
beban cost of fund dan risiko kredit bermasalah. Risiko tersebut hampir pasti
meningkat seiring kenaikan bunga pinjaman.
BI Rate memang
bukan kewajiban yang harus diikuti perbankan dengan menaikkan bunga pinjaman.
BI Rate sekadar acuan. Artinya, setelah BI Rate naik, bank boleh melakukan
penyesuaian bunga pinjaman ataupun tidak.
Tetapi, dalam
hitung-hitungan ekonomis, perbankan nyaris tak punya pilihan lain kecuali
merespons penaikan BI Rate dengan mengerek bunga pinjaman. Jadi, meski disadari
meningkatkan risiko kredit bermasalah, bunga pinjaman di bank-bank dalam negeri
hampir pasti meningkat.
Bagi khalayak
luas, khususnya investor, kenaikan bunga pinjaman jelas menyulitkan. Biaya
investasi menjadi mahal. Karena itu, kegiatan investasi pun mungkin jadi
tersendat. Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi nasional sulit dipacu. Target
pertumbuhan yang dicanangkan pemerintah semakin berat untuk bisa diraih.
Namun
mudah-mudahan kecenderungan itu hanya berlangsung sementara. Toh BI sendiri
berkomitmen bahwa penaikan BI Rate ke level 7 persen sekadar tindakan temporer
dalam rangka meredam sentimen negatif yang melucuhkan kurs rupiah.
Jadi, setelah
nanti kurs rupiah kokoh-stabil, BI Rate bisa diharapkan diturunkan lagi. Dengan
demikian, kehidupan ekonomi bisa kembali bergairah lagi.***
Jakarta, 30
Agustus 2013