Ketegasan sikap
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali diuji. Kali ini menyangkut manuver
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang terang-terangan menentang rencana penaikan
harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi, sementara PKS merupakan anggota koalisi
partai pendukung pemerintahan SBY-Boediono.
Sebagai pimpinan
koalisi, SBY sungguh patut memberikan tindakan terhadap PKS. Bagaimanapun,
manuver PKS itu menampar harkat kepemimpinan SBY dalam koalisi. Justru itu,
jika PKS tak ditindak -- terlepas bagaimana bentuk tindakan itu --, berarti SBY
membiarkan diri dilunjak.
Itu bisa punya
konsekuensi tidak kecil. Pertama, terutama di mata publik, SBY bisa makin lekat
dengan stempel "tak bernyali". Padahal di sisa masa bakti yang efektif
tinggal sekitar setahun sekarang ini, stempel itu perlahan-lahan harus bisa
dihilangkan.
Konsekuensi
kedua, koalisi partai menjadi tidak solid, sekaligus kehilangan makna
substantif. Bukan saja koalisi tak lebih menjadi sekadar wadah bagi-bagi kekuasaan,
melainkan juga partai-partai lain dalam koalisi pada gilirannya bisa pula
menjadi berani ngelunjak. Apalagi, jika merunut ke belakang, partai-partai lain
itu -- minus Partai Demokrat -- juga memiliki "bakat nakal".
Konsekuensi lebih
jauh, ke depan ini SBY bisa acap kesulitan merealisasikan rencana-rencana
kebijakan strategis pemerintah. Padahal sisa masa bakti yang tinggal sekitar
setahun ini harus benar-benar bisa dimanfaatkan SBY untuk mengukir prestasi
gemilang. Kalau tidak, SBY tak akan dikenang publik secara manis.
Sejauh ini,
reaksi Presiden terhadap manuver PKS itu baru sebatas memberi sindiran. Antara
lain, dia menyebutkan bahwa rencana penaikan harga BBM subsidi mendapat
penolakan banyak pihak, termasuk dari sebuah institusi politik. Tak sulit
ditebak kepada siapa sindiran itu dialamatkan: ya kepada PKS.
Di luar sindiran,
sempat beredar isu bahwa PKS sudah didepak dari koalisi partai pendukung
pemerintah. Ini terkait ketidakhadiran tiga menteri asal PKS dalam rapat sidang
kabinet, Rabu lalu, yang dipimpin langsung oleh Presiden SBY. Meski
terkonfirmasi lewat Jubir Kepresidenan Julian Aldrian Pasha, toh isu tersebut
sejauh ini tak sedikit pun disinggung SBY.
Tetapi, sekali
lagi, SBY patut mengambil tindakan terhadap PKS atas manuvernya menentang
rencana pemerintah menaikkan harga BBM subsidi ini.
Boleh jadi, hati
kecil SBY juga memiliki keinginan besar untuk menjewer PKS -- termasuk,
barangkali, mendepaknya dari barisan koalisi partai pendukung pemerintah.
Namun, soalnya, SBY niscaya sedang membuat kalkulasi politik. SBY tentu sadar
betul bahwa tindakan apa pun yang dia jatuhkan terhadap PKS, itu pasti
melahirkan riak politik.
SBY tentu tak
menghendaki riak politik itu kelewat besar -- apalagi jika sampai berubah
menjadi badai -- karena bisa mengganggu konsentrasi pemerintahan yang justru
harus fokus menuntaskan tugas. Ini berarti, sangat mungkin tindakan yang
dijatuhkan SBY kepada PKS -- andai itu memang ternyata dilakukan -- tak bakal
sampai berupa mendepaknya dari koalisi.
Jadi, apa yang
mungkin dilakukan SBY adalah maksimal mengurangi jatah PKS di kabinet. Mungkin
satu menteri asal PKS dilengserkan atas nama penegakan disiplin koalisi dan
harkat kepemimpinan SBY di koalisi.
Tentang itu, SBY
sudah punya pegangan: konsekuensi politik yang mungkin lahir bisa jadi sekadar
riak sesaat. Itu sudah terbukti dalam pelengseran seorang menteri asal PKS,
beberapa waktu lalu, menyusul "kenakalan" partai tersebut terkait
penyikapan politik terhadap kasus Bank Century.***
Jakarta, 14 Juni
2013