Pergerakan nilai
tukar rupiah terasa makin merisaukan. Merisaukan, karena kurs rupiah dibanding
dolar AS dewasa ini cenderung terus tertekan. Merisaukan, karena kondisi
tersebut merupakan pertanda bahwa pamor rupiah meluntur.
Juga merisaukan,
karena kondisi tersebut memiliki implikasi serius terhadap ekonomi nasional
secara keseluruhan. Beban utang luar negeri, misalnya, otomatis menjadi lebih
membengkak.
Lebih merisaukan
lagi, kecenderungan kurs rupiah yang terus melunglai terhadap dolar AS ini
sudah menggejala sejak awal tahun lalu. Hasil kajian Invesment Research USB --
sebuah bank besar yang berkedudukan di Swis -- bahkan mengungkapkan bahwa
rupiah merupakan satu-satunya mata uang di lingkungan ASEAN yang konstan mengalami
pelemahan nilai tukar terhadap dolar AS selama rentang Januari 2012 hingga
medio Mei 2013 ini.
Berbeda dengan
rupiah, selama periode Januari 2012 hingga medio Mei 2013, mata uang seperti
peso Filipina, dolar Singapura/Brunei Darussalam, ringgit Malaysia, dan baht
Thailand praktis menunjukkan tren menguat. Jadi, kurs rupiah melenggang
sendirian di jalur berbeda dengan mata-mata uang lain di ASEAN. Padahal selama
tahun 2011, pergerakan kurs rupiah dibanding dolar AS ini tak terkecuali
memperlihatkan grafik menguat seperti mata-mata uang lain di ASEAN.
Menurut data di
Bank Indonesia, nilai tukar rupiah selama tahun 2011 stabil di level 8.391
hingga 8.900 per dolar AS. Namun mulai Januari 2012, kurs rupiah terus melemah
dari posisi 9.079 menjadi 9.714 per dolar AS pada 17 Mei 2013.
Di pasar uang,
Jumat kemarin posisi rupiah memang menguat 9 poin dibanding Kamis lalu di level
9.811 per dolar. Namun secara keseluruhan, penguatan itu tidak serta-merta
melegakan. Mungkin itu cuma gejala sesaat, sehingga belum bisa menjadi indikasi
bahwa pergerakan rupiah mulai kembali ke jalur yang benar.
Boleh jadi,
seperti analisis Bank Indonesia, kurs rupiah cenderung terus tertekan karena
neraca transaksi berjalan belakangan ini rapuh. Hingga kuartal I/2013, neraca
transaksi berjalan ini defisit 6,6 miliar dolar AS. Sementara neraca transaksi
berjalan negara-negara lain di ASEAN pada saat bersamaan mencatatkan surplus.
Namun boleh
diyakini, neraca transaksi berjalan yang rapuh bukan satu-satunya faktor.
Rencana penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi yang terus menggantung
dalam keraguan dan ketidakyakinan pemerintah juga turut memberi kontribusi
terhadap tren depresiasi rupiah ini. Dalam konteks itu, dunia bisnis --
termasuk pelaku pasar uang -- kehilangan pegangan, dan karena itu terdorong
melakukan ekspektasi-ekspektasi yang membuat kurs rupiah makin tertekan.
Tren pelemahan
nilai tukar rupiah ini jelas harus bisa segera diakhiri. Bagaimanapun, tren itu
secara psikologis sudah menjadi kanker yang berbahaya. Dengan kurs yang
sekarang ini sudah terdepresiasi relatif dalam dibanding posisi akhir tahun
2011, pelaku pasar uang makin tidak nyaman dan tidak percaya diri menggenggam
rupiah. Artinya, sepanjang sinyal-sinyal positif dan meyakinkan tidak diperlihatkan
pemerintah maupun Bank Indonesia, kurs rupiah sangat potensial terus tertekan.
Upaya mengakhiri
tren pelemahan kurs rupiah ini tak cukup ditempuh lewat intervensi ke pasar
uang. Bahkan bisa-bisa langkah tersebut justru makin mengikis kepercayaan
pelaku pasar uang terhadap rupiah -- karena cadangan devisa berisiko terkuras.
Membalikkan arah
pergerakan kurs rupiah ke jalur yang konstan menguat -- atau ke titik
keseimbangan baru -- bagaimanapun menuntut langkah taktis di pihak Bank
Indonesia maupun pemerintah. Langkah tersebut, tak bisa tidak, harus berangkat
dari akar masalah yang selama ini membuat kurs rupiah tertekan. Justru itu,
akar masalah tersebut harus mampu
diidentifikasi.***
Jakarta, 31 Mei
2013