Penaikan gaji
kepala daerah boleh-boleh saja. Sebagai wujud apresiasi atas pengabdian dalam
melayani masyarakat, penaikan gaji kepada kepala daerah memang sah-sah saja.
Terlebih kalau benar gaji mereka sekarang ini relatif tidak besar dibanding
beban kewajiban dan tanggung jawab yang mereka pikul.
Meski begitu,
penaikan gaji kepala daerah tak termasuk urgen -- terutama karena lebih
berdampak menyusahkan khalayak luas. Masyarakat kebanyakan menjadi susah karena
penaikan gaji kepala daerah -- seperti juga kebijakan-kebijakan lain yang punya
dampak inflatoar -- berdampak memicu kenaikan harga aneka barang dan jasa.
Beban kehidupan
masyarakat luas sekarang ini memang sangat tidak ringan. Itu terutama lantaran
harga barang dan jasa, wabil khusus kebutuhan pokok, telanjur berkali-kali
melonjak tanpa pernah turun ke titik semula. Sebelum isu penaikan gaji kepala
daerah ini mencuat pun, masyarakat sudah dibuat puyeng oleh harga daging sapi
sudah meroket tidak karu-karuan. Masyarakat lebih puyeng lagi karena belakangan
harga beberapa jenis kebutuhan pokok lain -- sebut saja telur dan sayuran --
ikut-ikutan menyusul melonjak.
Justru itu,
penaikan gaji kepala daerah -- notabene punya dampak inflatoar -- niscaya
menjadi pukulan tambahan yang "menyempurnakan" penderitaan masyarakat
luas. Beban hidup mereka menjadi semakin berat dan babak-belur.
Terutama bagi
masyarakat lapisan bawah, beban itu semakin menyesakkan. Menyesakkan, karena
mereka sama sekali tak memiliki bantalan yang bisa diandalkan berfungsi sebagai
pengaman. Kaum pekerja, misalnya, tak menikmati perbaikan pendapatan. Bahkan
penaikan upah minimum yang digariskan pemerintah pun ditangguhkan karena
mengundang keberatan pihak pengusaha.
Di sisi lain,
kondisi kehidupan kaum petani juga tidak lebih baik. Akibat cuaca yang tidak
bersahabat, mereka harus mananggung risiko gagal panen. Sementara kalangan
pegawai negeri, termasuk anggota TNI dan Polri, memang agak mending karena bisa
menikmati kenaikan gaji.
Namun, secara
substansif, kenaikan gaji pegawai negeri pun relatif tak banyak bermakna. Itu
tadi, karena harga kebutuhan pokok telanjur lebih dulu terpicu melejit. Jadi,
seperti juga kelompok pekerja maupun petani, beban hidup pegawai negeri pun
pada dasarnya menyesakkan juga.
Menimbang
kenyataan itu pula, penaikan gaji kepala daerah sungguh terasa mengusik. Bukan
hanya mengundang kecemburuan kelompok sosial lain, melainkan terutama karena
memicu kembali kenaikan harga barang dan jasa. Artinya, penaikan gaji kepala
daerah ini berdampak menyengsarakan kehidupan khalayak luas.
Di sisi lain,
tanpa harus dikait-kaitkan dengan soal kinerja keseharian kepala daerah pun,
penaikan gaji itu juga tidak urgen bahkan menurut konteks kesejahteraan mereka
sendiri selama ini. Secara keseluruhan, jabatan kepala daerah masih relatif
memberikan kesejahteraan yang memadai. Paling tidak, toh tidak pernah tertoreh
kabar soal kepala daerah yang keleleran dalam soal kesejahteraan.
Itu pula,
sebenarnya, yang membuat jabatan kepala daerah menjadi impian dan incaran
banyak orang. Seperti tecermin dalam berbagai perhelatan pilkada, orang (calon)
rela mengeluarkan biaya berpuluh atau beratus miliar rupiah untuk bisa merebut
kursi kepala daerah.
Walhasil, posisi
kepala daerah menjanjikan kesejahteraan relatif menggiurkan. Bahkan tanpa harus
melakukan penyimpangan kewenangan, kepala daerah tak beralasan mengeluhkan soal
kesejahteraan.
Jadi, kenapa gaji
kepala daerah dinaikkan?***
Jakarta, 22
Februari 2013