31 Januari 2013

Lelang Jabatan


Gubernur Joko Widodo berencana melelang jabatan di seluruh satuan kerja perangkat daerah di lingkungan Pemda DKI Jakarta. Untuk tahap pertama, rencana tersebut segera diterapkan terhadap jabatan lurah dan camat.

Bagaimana mekanisme lelang jabatan ini, belum jelas karena memang masih dalam perumusan. Yang pasti, lelang tak bakal bisa diikuti sembarang orang. Karena menyangkut masalah kepegawaian, lelang hanya mungkin diikuti oleh pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemda DKI Jakarta. Itu pun terbatas bagi PNS yang memenuhi syarat golongan kepegawaian untuk jabatan yang dilelang.

Lelang jabatan pasti beda dengan lelang barang atau proyek pekerjaan yang berorientasi nilai ekonomi. Lelang jabatan lebih merujuk kepada masalah kinerja. Jadi, dalam praktik nanti, lelang jabatan ini boleh jadi menyerupai ajang beauty contest.

Dalam konteks itu, tiap peminat hampir pasti diminta membeberkan visi dan misi masing-masing. Mereka juga kemungkinan harus menyodorkan program-program kerja dengan matriks capaian yang terukur. Dengan demikian, kemampuan dan komitmen kerja masing-masing tergambar jelas sekaligus mudah dinilai berdasarkan parameter tertentu. Makin bagus kemampuan dan komitmen itu, berarti kinerja orang bersangkutan lebih bisa diharapkan bagus pula.

Karena itu, gagasan lelang jabatan ini sungguh bernas lantaran secara kualitatif menjanjikan perbaikan dalam pengisian jabatan satuan kerja di lingkungan institusi pemerintahan. Dengan sistem lelang, paradigma pengisian jabatan satuan kerja yang tidak transparan serta cenderung subjektif praktis disingkirkan.

Selama ini, pengisian jabatan satuan kerja pemerintahan memang sekadar mengindahkan syarat kepegawaian. Faktor-faktor penentu lain melulu menjadi "hak prerogatif" pimpinan institusi bersangkutan. Catatan prestasi kerja, misalnya, bisa menentukan bisa pula -- tergantung pertimbangan subjektif sang pimpinan. Justru itu, pengisian jabatan satuan kerja pemerintahan pun kental bersifat subjektif.

Dengan kata lain, mekanisme pengisian jabatan satuan kerja pemerintahan selama ini tidak berorientasi kepada kinerja. Karena lebih ditentukan oleh faktor kedekatan sosial (almamater, daerah, agama, dan lain-lain), pengisian jabatan satuan kerja sejauh ini cenderung nepotis dan berorientasi kesetiaan atau pengabdian kepada pimpinan institusi.

Konsekuensinya, orang yang termasuk out-group -- kendati memiliki kemampuan dan komitmen kerja bisa diandalkan -- sulit bisa menjadi pejabat satuan kerja. Sebaliknya, karena tergolong in-group dengan pimpinan institusi, orang yang tidak becus kerja pun lebih berpeluang diangkat mengisi jabatan satuan kerja.

Jadi, rencana Gubernur Jowo Widodo melelang jabatan di seluruh satuan kerja daerah di lingkungan Pemda DKI Jakarta ini sungguh patut diapresiasi dan wajib didukung. Rencana tersebut sungguh bisa diharapkan menjadi langkah nyata untuk menghilangkan budaya nepotisme dalam praktik pemerintahan yang telanjur berurat-berakar.

Mekanisme pengisian jabatan satuan kerja pemerintahan melalui lelang juga memenuhi asas transparansi, fairness, dan objektif. Selebihnya, mekanisme tersebut menjadi terobosan ke arah perbaikan budaya kerja yang mengagungkan prestasi.

Karena itu pula, setelah melalui tahap uji coba nanti, mekanisme pengisian jabatan satuan kerja pemerintahan melalui lelang ini patut diterapkan dalam lingkup luas: bukan lagi hanya di lingkungan Pemda DKI Jakarta, melainkan di setiap organisasi pemerintahan di seluruh Indonesia.

Dengan kata lain, lelang jabatan satuan-satuan kerja pemerintahan ini patut disiapkan sebagai program nasional. Ya, kenapa tidak?***

Jakarta, 31 Januari 2013

25 Januari 2013

Rehabilitasi Jalan Raya

Bencana banjir yang melanda sejumlah daerah bukan hanya membuat banyak orang harus mengungsi, melainkan juga menyisakan persoalan serius menyangkut kondisi infrastruktur ekonomi -- terutama jalan raya. Di berbagai lokasi yang sempat tergenang banjir, permukaan jalan kini rusak-rusak. Lapisan aspal terkelupas atau jalan berlubang-lubang.

Kenyataan itu tak boleh dibiarkan berlarut-larut karena prasarana jalan adalah urat nadi ekonomi. Terlebih lagi bila itu termasuk jalan protokol di kota besar seperti Jakarta: selain mengemban fungsi ekonomi, jalan raya juga menjadi semacam etalase lingkungan kota. Jadi, jalan yang koyak-koyak dan berlubang di sana-sini bukan sekadar menganggu aktivitas sosial ekonomi, melainkan juga mencoreng keindahan dan kenyamanan kota.

Dalam sejumlah kasus, kondisi jalan raya yang rusak digerus banjir ini bahkan menjadi sumber malapetaka berupa kecelakaan lalu lintas -- entah tabrakan, terperosok, atau terguling. Korban jiwa kadang tak terhindarkan. Pengguna jalan, terutama pengendara sepeda motor, tewas terjengkang gara-gara kendaraan terperosok lubang.

Secara ekonomi, jalan raya yang bopeng-bopeng dan penuh lubang ini juga menimbulkan biaya tinggi. Ongkos transportasi menjadi membengkak. Paling tidak karena waktu tempuh menjadi molor. Belum lagi biaya perawatan kendaraan juga otomatis berlipat.

Karena itu, pascabanjir sekarang ini, penanganan infrastruktur jalan harus menjadi prioritas tinggi -- entah di pemerintah pusat maupun di jajaran pemda. Karena berperan strategis sebagai urat nadi aktivitas sosial-ekonomi, rehabilitasi jalan raya tak boleh diperlakukan bukan sebagai prioritas. Bagaimanapun menunda-nunda kegiatan tersebut bisa sangat mahal. Sebab kerugian yang ditanggung masyarakat pasti jauh lebih besar ketimbang biaya yang dibutuhkan untuk merehabilitasi jalan.

Untuk itu, pemerintah dituntut memiliki keinginan politik kuat sehingga soal biaya atau pendanaan tidak menjadi batu sandungan. Dengan kemauan politik kuat, jajaran pemerintah di pusat maupun di daerah-daerah niscaya bisa mengupayakan pendanaan bagi keperluan rehabilitasi jalan raya pascabanjir ini.

Pengalaman selama ini menunjukkan, rehabilitasi jalan raya terkesan dilakukan asal-asalan atau setengah hati. Bahkan di ibu kota Jakarta sekalipun, hasil perbaikan jalan terasa amat minimalis. Paling tidak, aspek kenyamanan jalan tak serta-merta tergelar karena permukaan jalan bergelombang atau bentol-bentol.

Dalam kasus lebih umum, kondisi jalan pascarehabilitasi hanya membaik dalam tempo sekejap. Sekadar terkena guyuran hujan satu-dua kali saja, permukaan aspal sudah mengelupas lagi. Lubang-lubang juga kembali menganga, sehingga jalan menjadi bopeng-bopeng.

Akibatnya, seperti jalan pantura di Jawa, nyaris sepanjang tahun dalam kondisi buruk. Langkah perbaikan atau rehabilitasi yang dilakukan pemerintah cenderung bersifat tambal-sulam. Perbaikan serius sekadar ditunjukkan menjelang Lebaran. Itu pun tak selalu dikawal dengan pemeliharaan yang ketat, sehingga dalam tempo relatif singkat pula kondisi jalan lagi-lagi sarat kerusakan. Terlebih jalan pantura Jawa ini begitu berat menanggung beban: bukan hanya arus lalu lintas amat padat, melainkan juga tonase kendaraan (truk) juga rata-rata kelas berat.

Kecenderungan buruk seperti itu tak sepatutnya dipertahankan karena cenderung menghamburkan anggaran. Untuk itu, rehabilitasi jalan raya pascabanjir kali ini seyogyanya menjadi momen menuju praktik perbaikan dan pemeliharaan prasarana umum yang lebih bertanggung jawab dan menjamin manfaat optimal bagi masyarakat luas.***

Jakarta, 25 Januari 2013

23 Januari 2013

Redenominasi Rupiah


Tekad pemerintah bersama Bank Indonesia melakukan penyederhanaan nominal rupiah patut didukung semua pihak. Sebab, memang, kondisi nominal rupiah sekarang ini sudah over digit. Kondisi tersebut membuat rupiah menjadi terkesan inferior dibanding berbagai mata uang lain di dunia. Seolah-olah rupiah adalah mata uang yang tidak berharga.

Gambaran tentang itu sangat terang-benderang. Nominal harga sebiji kerupuk di Jakarta, misalnya, kini praktis sudah empat digit. Untuk barang yang lebih berharga, tentu, nominal harga ini lebih banyak lagi. Sebut saja nominal harga sebuah kendaraan kelas menengah yang mencapai sembilan digit!

Selain terkesan inferior, nominal mata uang yang over digit ini juga secara teknis finansial tidak efisien. Setiap sistem pencatatan transaksi ataupun penyimpanan data keuangan ditandai oleh berderet-deret angka. Makin banyak transaksi, atau makin besar data keuangan, makin banyak pula digit angka yang harus dicatat. Nominal APBN, sebagai contoh, kini berderet sampai 13 digit.

Kenyataan seperti itu lambat-laun bisa menyulitkan, karena transaksi keuangan terus bertumbuh secara signifikan. Dengan tingkat pertumbuhan rata-rata mendekati 200 persen per tahun, digit nominal angka transaksi nasional jelas makin lama menjadi makin panjang.

Sekali lagi, itu sungguh tidak efisien. Karena itu, redenominasi rupiah memang punya urgensi tinggi. Lewat redenominasi, digit nominal rupiah menjadi ramping. Secara psikologis, itu membuat rupiah jadi relatif gagah alias tidak lagi inferior dalam percaturan transaksi keuangan internasional.

Dalam skema yang disusun pemerintah dan Bank Indonesia,
redenominasi rupiah ini akan dilakukan dengan menghilangkan tiga angka nol tanpa mengurangi sedikit pun nilai tukar atau nilai intrinsiknya. Jadi, pecahan uang Rp 1.000, misalnya, disederhanakan menjadi Rp 1. Atau pecahan uang Rp 100.000 berubah menjadi Rp 100.

Namun justru itu, rencana redenominasi rupiah ini mutlak harus disosialisasikan secara intensif dan matang. Sebelum diterapkan, masyarakat harus sudah dibuat benar-benar paham dan siap secara psikologis. Dengan demikian, redenominasi rupiah bisa benar-benar efektif.

Untuk itu, pemerintah dan Bank Indonesia harus menjaga betul agar rencana redenominasi rupiah tidak menimbulkan persepsi salah di masyarakat luas. Tidak boleh sampai terjadi bahwa redenominasi dipersepsi berdampak mengurangi nilai tukar rupiah. Persepsi seperti itu sungguh berbahaya. Masyarakat niscaya merasa tidak aman menggenggam rupiah sehingga panik memburu valuta asing. Akibatnya, jelas, nilai rupiah pasti hancur. Tak bisa tidak, kalau sudah begitu, ekonomi nasional juga jadi remuk-redam.

Soal persepsi atau kepahaman masyarakat luas tentang redenominasi rupiah ini memang krusial. Jangankan orang awam, bahkan kelompok sosial yang melek isu-isu ekonomi saja sekarang ini belum bisa menangkap secara utuh rencana pemerintah dan Bank Indonesia tentang itu. Kalangan pelaku pasar modal di dalam negeri, misalnya, beranggapan bahwa redenominasi rupiah secara teknis bakal mengacaukan transaksi di bursa saham.

Pada tahap implementasi, terutama pada masa transisi, redenominasi rupiah juga tak kurang krusial. Itu terkait potensi moral hazard di masyarakat. Kalangan pedagang, misalnya, bukan tidak mungkin melakukan penyesuaian harga secara berlebihan sehingga secara nasional inflasi bisa tak terkendali.

Walhasil, redenominasi rupiah bukan pekerjaan mudah -- tapi juga bukan perkara musykil untuk diterapkan. Karena itu, berbagai kemungkinan buruk harus benar-benar diperhitungkan dan diantisipasi dengan cermat. Dalam konteks ini, pemerintah dan Bank Indonesia harus membuang keyakinan berlebihan.***

Jakarta, 23 Januari 2013

14 Januari 2013

Kegalauan Menkeu


Dalam sepekan terakhir, Menkeu Agus Martowardojo menunjukkan kegalauan menyangkut kuota bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Terakhir dalam forum rapat kerja dengan Komisi XI DPR, kemarin, Menkeu kembali memperlihatkan kegalauannya itu.

Pada tahun anggaran berjalan sekarang ini, kuota BBM subsidi ditetapkan sebanyak 46 juta kiloliter. Nah, Menkeu galau bahwa kuota itu bisa jebol lagi. Bahkan angka tentang itu, seperti tahun lalu, bisa amat signifikan. Tahun lalu, kuota BBM subsidi ditetapkan 40 juta kiloliter. Namun dalam perjalanan, kuota itu terlampaui menjadi 45,2 juta kiloliter.

Kegalauan Menkeu soal kemungkinan kuota BBM subsidi ini lagi-lagi jebol amat beralasan. Pertama, karena jebolnya kuota itu berimplikasi langsung dan amat serius: beban subsidi BBM membengkak. Dalam APBN 2013, subsidi BBM dipatok Rp 193,8 triliun. Nah, kalau angka tersebut ternyata harus ditambah akibat kuota BBM subsidi jebol, ruang gerak anggaran niscaya menjadi sempit. Bahkan dengan subsidi BBM sebesar Rp 193,8 triliun pun, pembangunan ekonomi nasional tak bisa melaju sebagaimana mestinya. Jadi, kalau subsidi BBM ternyata harus ditambah, pembangunan ekonomi jelas kian tersandera.

Alasan kedua yang membuat Menkeu galau adalah kenyataan bahwa program penghematan BBM subsidi lebih merupakan pepesan kosong. Program tersebut praktis gagal total karena pemerintah memang tidak serius di tingkat implementasi. Padahal secara konseptual, program penghematan BBM subsidi ini layak diacungi jempol.

Secara politis, program tersebut juga terbilang tingkat tinggi -- dan karena itu harus menjadi prioritas utama -- karena dicanangkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Juni tahun lalu. Terdiri atas lima langkah strategis, program tersebut bahkan sudah bersifat operasional sehingga tinggal diimplementasikan di lapangan.

Tetapi, itu tadi, pemerintah sama sekali tidak menunjukkan keseriusan dalam mengimplementasikan program penghematan BBM subsidi ini. Program tersebut tidak digulirkan sebagai gerakan nasional yang terarah dan nyata. Sebut saja program konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG). Di lapangan, program ini nyaris tak terlihat. Bahkan seperti di DKI Jakarta, program konversi BBM ke BBG ini -- notabene sudah selangkah di depan -- justru mengalami kemunduran. Bukan saja karena infrastruktur tidak diperluas, bahkan stasiun pengisian BBG yang sudah dibangun pun belakangan tidak bisa beroperasi lantaran pasokan gas tersendat-sendat.

Jadi, karena menyulitkan masyarakat yang menerapkannya, program konversi BBM ke BBG justru menjadi disinsentif. Karena itu pula, khalayak luas pun menilai program tersebut sama sekali tidak menarik atau bahkan tidak layak diadopsi. Terlebih lagi pemerintah sendiri tidak mewajibkan kendaraan pribadi beralih menggunakan BBG.

Nasib program pengendalian konsumsi BBM melalui stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) juga kurang lebih sami mawon: tidak diimplementasikan di lapangan. Program tersebut praktis tak pernah terdengar lagi. Sementara larangan kendaraan dinas pemerintah dan BUMN/BUMD mengonsumsi BBM subsidi juga hanya hangat-hangat tahi ayam. Selain terlampau mudah diakali, program tersebut juga tidak konsisten dan tidak konsekuen diterapkan. Pemerintah terkesan tak  acuh atau tutup mata terhadap berbagai pelanggaran di lapangan.

Ironisnya, Presiden sendiri terkesan tenang-tenang saja oleh kenyataan itu. Presiden seperti sama sekali tak terusik bahwa program penghematan BBM tak diterapkan jajaran pemerintahan sebagaimana mestinya. Bahkan sekadar melakukan evaluasi pun tampaknya Presiden tak menganggap perlu.

Karena itu, wajar jika Menkeu Agus Martowardojo pun galau.***

Jakarta, 14 Januari 2013

10 Januari 2013

Roy di Kursi Menpora


Sebagai orang yang dipercaya Presiden menjabat Menpora, Roy Suryo Notodiprojo langsung dihadapkan kepada tantangan berat dan kompleks. Tantangan tersebut sungguh menuntut Roy segera tancap gas -- bekerja keras menangani sejumlah masalah krusial yang menjadi tugas serta tanggung jawab Menpora. Demikian krusial masalah tersebut, sampai-sampai Roy pun sulit bisa mengambil ancang-ancang atau jeda sejenak untuk sekadar melakukan penyesuaian diri.

Beberapa masalah krusial itu, antara lain, kisruh dalam organisasi sepakbola nasional. Ini krusial karena dua kepengurusan organisasi sepakbola telanjur saling berseberangan -- bahkan saling menafikan, sementara FIFA sebagai otoritas sepakbola dunia tidak memberi ruang bagi kenyataan seperti itu.

Nah, jelas menjadi tugas Menpora agar kisruh dalam organisasi sepakbola ini bisa segera diselesaikan. Jika sampai batas waktu 30 Maret 2013 ternyata kisruh itu masih berlanjut, FIFA niscaya menjatuhkan sanksi mematikan: sepakbola nasional diisolasi dari percaturan global.

Jadi, untuk mengurus soal kisruh sepakbola saja Menpora sungguh dipepet waktu. Padahal Menpora juga dituntut melakukan berbagai terobosan yang memungkinkan prestasi olahraga nasional menjadi meningkat. Untuk itu, antara lain, Menpora
harus membuat terobosan yang memungkinkan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) benar-benar fokus dalam mengemban peran dan fungsi masing-masing dalam rangka membangun prestasi olahraga nasional.

Selama ini, KONI dan KOI seperti melupakan misi membangun prestasi olahraga nasional ini. Secara internal, kedua institusi lebih cenderung menjadi ajang kepentingan figur-figur yang duduk di struktur kepengurusan. Sementara secara eksternal, KONI dan KOI juga terkesan sibuk rebutan pengaruh.

Karena itu, prestasi olahraga nasional cenderung merosot. Perolehan medali dalam ajang Olimpiade London, tahun lalu, merupakan bukti terang-benderang tentang soal itu. Bahkan cabang bulu tangkis kini sudah tidak lagi menjadi lambang supremasi olahraga Indonesia di tingkat internasional.

Menyangkut isu kepemudaan, Menpora tak kurang pula berhadapan dengan masalah kompleks. Antara lain mengakhiri kepengurusan kembar Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), sehingga gerakan pemuda bisa menjadi sebuah kekuatan yang utuh dan pasu.

Roy sendiri barangkali bukan figur yang benar-benar pas untuk mengisi pos Kemenpora. Memang, Presiden Yudhoyono menilai Roy cakap untuk mengemban tugas Menpora. Namun rekam jejak Roy selama ini tak cukup mengesankan. Sosok Roy lebih banyak wara-wiri di dunia gosip artis.

Di dunia politik sendiri, sosok Roy hanya samar-samar. Sebagai anggota DPR, misalnya, peran Roy tak kelihatan menonjol -- kecuali dalam kasus persidangan yang riuh oleh perilaku tidak elok. Kalaupun sosok Roy beberapa kali sempat mengundang perhatian publik, itu justru karena sikap-tindaknya yang kontroversial. Misalnya meminta perlakuan istimewa kepada sebuah maskapai penerbangan, sehingga jadwal penerbangan maskapai itu menjadi terganggu.

Tapi bagaimanapun Presiden sudah menjatuhkan pilihan kepada Roy. Justru itu, demi kesuksesan dalam mengemban tugas Menpora, Roy perlu ditopang oleh sebuah tim yang punya kapabilitas teruji dan terutama siap bekerja keras -- bukan sekadar cari posisi.***

Jakarta, 10 Januari 2013