Pernyataan
Wamenkumham Denn Indrayana dalam bentuk "kicauan" di jejaring sosial
Twitter mengundang heboh. Terutama kalangan pengacara, mereka menjadi gerah dan
bahkan marah oleh kicauan itu.
Mereka tak bisa terima kicauan Denny bahwa advokat koruptor adalah koruptor. Mereka merasa dilecehkan lantaran kicauan itu mengandung arti bahwa pengacara alias advokat yang membela tersangka atau terdakwa kasus korupsi adalah koruptor juga.
Denny sendiri, dalam kicauan di Twitter itu, menjelaskan bahwa advokat koruptor adalah mereka yang membela klien kasus korupsi secara membabi-buta. Mereka juga, katanya, tanpa malu menerima bayaran dari hasil korupsi.
Atas dasar itu pula, belakangan, Denny memunculkan istilah advokat bersih. Gampang diduga, istilah tersebut merupakan antonim advokat koruptor. Dengan istilah itu, Denny tampaknya ingin mengatakan bahwa di luar advokat koruptor ada pula pengacara yang tak asal melakukan pembelaan atau apalagi sampai membabi-buta.
Istilah-istilah seperti itu sebenarnya tidak perlu ada. Bagaimanapun, advokat atau pengacara adalah profesi mulia. Mulia karena profesi advokat merupakan bagian fungsi penegakan kebenaran dan keadilan hukum. Karena itu, istilah advokat bersih ataupun advokat koruptor sama sekali tidak relevan.
Mereka tak bisa terima kicauan Denny bahwa advokat koruptor adalah koruptor. Mereka merasa dilecehkan lantaran kicauan itu mengandung arti bahwa pengacara alias advokat yang membela tersangka atau terdakwa kasus korupsi adalah koruptor juga.
Denny sendiri, dalam kicauan di Twitter itu, menjelaskan bahwa advokat koruptor adalah mereka yang membela klien kasus korupsi secara membabi-buta. Mereka juga, katanya, tanpa malu menerima bayaran dari hasil korupsi.
Atas dasar itu pula, belakangan, Denny memunculkan istilah advokat bersih. Gampang diduga, istilah tersebut merupakan antonim advokat koruptor. Dengan istilah itu, Denny tampaknya ingin mengatakan bahwa di luar advokat koruptor ada pula pengacara yang tak asal melakukan pembelaan atau apalagi sampai membabi-buta.
Istilah-istilah seperti itu sebenarnya tidak perlu ada. Bagaimanapun, advokat atau pengacara adalah profesi mulia. Mulia karena profesi advokat merupakan bagian fungsi penegakan kebenaran dan keadilan hukum. Karena itu, istilah advokat bersih ataupun advokat koruptor sama sekali tidak relevan.
Bagi advokat,
membela pencuri kelas teri atau pembunuh paling keji sekalipun sama-sama mulia
dalam perpektif kemanusiaan: bahwa nilai keadilan dan kebenaran harus tegak di
muka hukum. Dalam proses pengadilan, mereka jangan sampai mendapat perlakukan
semena-mena hanya karena tak memperoleh pembelaan hukum.
Begitu pula
mereka yang terbelit kasus korupsi. Mereka berhak memperoleh pendampingan dan
pembelaan hukum melalui jasa advokat atau pengacara. Hak tersebut bahkan tegas
diatur dalam ketentuan perundangan. Terlebih hukum di Indonesia juga menganut
asas praduga tak bersalah.
Karena itu
kegusaran kalangan advokat terhadap kicauan Denny di Twitter sungguh bisa
dipahami. Kicauan tersebut menimbulkan
kesan bahwa advokat yang membela klien kasus korupsi telah menghianati
nilai-nilai idealisme: menegakkan kebenaran dan keadilan proses peradilan.
Seolah-olah fungsi pembelaan hukum yang diemban advokat terhadap mereka yang
terjerat perkara korupsi lebih karena motif imbalan finansial.
Tetapi kesan
seperti itu memang kadang tercuatkan. Paling tidak, seperti kata Denny, karena
ada advokat yang bersikap-tindak "membabi-buta". Didorong semangat
memenangi putusan hukum, terutama dalam kasus-kasus yang tergolong kelas kakap,
mereka tak ragu menghalalkan segala cara. Mereka, misalnya, intensif mendekati
jaksa dan hakim di luar persidangan sehingga proses hukum pun menjadi tak
sepenuhnya objektif lagi.
Sikap-tindak
seperti itu pula yang melahirkan apa yang selama ini dikenal sebagai fenomena
mafia hukum. Fenomena tersebut sejak lama menjadi keprihatinan banyak pihak.
Bukan saja karena berimplikasi negatif terhadap dunia peradilan yang seharusnya
menjunjung tinggi idealisme menegakkan kebenaran dan keadilan, melainkan juga
karena fenomena mafia hukum ini sungguh sulit diberantas.
Dalam perspektif
itu pula, konstatasi Denny soal advokat bersih dan tak bersih terasa beroleh
pembenaran. Agaknya, konstatasi tersebut baru bisa luruh kalau saja orientasi
pembelaan hukum bukan semata memenangi putusan, melainkan terutama menegakkan
kebenaran dan keadilan.***
Jakarta, 28
Agustus 2012