30 April 2012

Contra Flow Kontra Galau


Sebagai upaya mengatasi kemacaten arus lalu lintas di jalan raya Jakarta, pemberlakuan arus kendaraan berlawanan arah (contra flow) di salah satu jalur jalan tol dalam kota mulai Selasa ini patut diapresiasi. Paling tidak, langkah tersebut menunjukkan keinginan baik kepolisian untuk memberikan kenyamanan terhadap pengguna jalan tol, khususnya pada jam padat di pagi hari.

Meski begitu, pemberlakuan contra flow di jalan tol justru makin menguatkan kesan bahwa Pemda DKI Jakarta tidak memiliki strategi komprehensif dan mendasar dalam menangani masalah kemacetan lalu lintas di jalan raya. Pemberlakuan contra flow di jalan tol lebih merupakan kebijakan parsial alias tidak menjadi bagian sebuah desain besar strategi penanganan kemacetan lalu lintas yang disiapkan pihak pemda.

Karena itu pula, kebijakan contra flow hanya produk dadakan yang kental bersemangat coba-coba alias trial and error. Kebijakan tersebut sama sekali belum teruji. Juga tidak berpijak pada studi kelayakan sebagaimana patut dan galibnya sebuah kebijakan. Karena itu, tak ada pihak yang benar-benar yakin - -termasuk kepolisian sendiri -- bahwa pemberlakuan contra flow mampu efektif mengurai kemacetan lalu lintas.

Dalam perspektif seperti itu, kebijakan contra flow lebih mencerminkan kekalutan sekaligus ketidakmampuan pemda dalam mengatasi kemacetan lalu lintas di jalan raya. Kalut, karena sebelum ini pemda sudah mencoba menerapkan sejumlah langkah lain. Sebut saja kebijakan satu kendaraan isi minimal tiga orang alias three in one di jalan protokol Sudirman-Thamrin pada jam padat di pagi dan sore hari, yang sudah diterapkan sejak sekitar dua dasawarsa lebih. Juga pembentukan satgas antimacet dan satgas parkir di pinggir jalan (on street). Ada pula pengoperasian jalur khusus bus alias busway di sejumlah koridor.

Toh berbagai langkah dan cara itu tidak menjadi solusi yang benar-benar jitu dalam mengatasi masalah kemacetan lalu lintas di jalan raya. Bahkan masalah tersebut kian hari kian akut - dan karena itu pula pemda pun terjebak pada kekalutan.

Namun menjadi ironis karena di tengah kekalutan itu, strategi Pemda DKI Jakarta dalam mengatasi kemacetan lalu lintas di jalan raya ini terus terpola dalam cara-cara trial and error. Juga terus tergoda oleh cara-cara yang secara konseptual punya cacat bawaan berupa sifatnya yang parsial dan artifisial - termasuk strategi contra flow.
Masalah kemacetan lalu lintas jalan raya di DKI Jakarta memang telanjur kompleks, sehingga strategi maupun teknis operasional penanganan masalah tersebut tak bisa bersifat parsial ataupun tambal-sulam  - -  apalagi sekadar trial and error. Masalah itu menuntut konsep penanganan yang bersifat komprehensif dan mendasar. Itulah sistem angkutan massal yang nyaman, aman, dan relatif murah. Juga terintegrasi utuh dengan kota-kota satelit di sekeliling Jakarta.

Mestinya pembangunan sistem angkutan massal itu menjadi bahan pemikiran calon-calon gubernur yang akan maju dalam pilkada DKI Jakarta. Jika isu ini tidak disiapkan secara matang, kesanggupan mereka mengatasi masalah kemacetan lalu lintas jalan raya sungguh tak bisa diandalkan. Strategi model contra flow pun niscaya bisa menjadi pilihan mereka. Padahal, sekali lagi, strategi ala contra flow sekadar pilihan kalut di tengah kian parahnya kemacetan lalu lintas di Jakarta.***

Contra Flow Kontra Kalut


Sebagai upaya mengatasi kemacaten arus lalu lintas di jalan raya Jakarta, pemberlakuan arus kendaraan berlawanan arah (contra flow) di salah satu jalur jalan tol dalam kota mulai Selasa ini patut diapresiasi. Paling tidak, langkah tersebut menunjukkan keinginan baik kepolisian untuk memberikan kenyamanan terhadap pengguna jalan tol, khususnya pada jam padat di pagi hari.

Meski begitu, pemberlakuan contra flow di jalan tol ini justru makin menguatkan kesan bahwa Pemda DKI Jakarta tidak memiliki strategi komprehensif dan mendasar dalam menangani masalah kemacetan lalu lintas di jalan raya. Pemberlakuan contra flow di jalan tol lebih merupakan kebijakan parsial alias tidak menjadi bagian sebuah desain besar strategi penanganan kemacetan lalu lintas yang disiapkan pihak pemda.

Karena itu pula, kebijakan contra flow hanya produk dadakan yang kental bersemangat coba-coba alias trial and error. Kebijakan tersebut sama sekali belum teruji. Juga tidak berpijak pada studi kelayakan sebagaimana patut dan galibnya sebuah kebijakan. Karena itu, tak ada pihak yang benar-benar yakin -- termasuk kepolisian sendiri -- bahwa pemberlakuan contra flow mampu efektif mengurai kemacetan lalu lintas.

Dalam perspektif seperti itu, kebijakan contra flow lebih mencerminkan kekalutan sekaligus ketidakmampuan pemda dalam mengatasi kemacetan lalu lintas di jalan raya. Kalut, karena sebelum ini pemda sudah mencoba menerapkan sejumlah langkah lain. Sebut saja kebijakan satu kendaraan isi minimal tiga orang alias three in one di jalan protokol Sudirman-Thamrin pada jam padat di pagi dan sore hari, yang sudah diterapkan sejak sekitar dua dasawarsa lebih. Juga pembentukan satgas antimacet dan satgas parkir di pinggir jalan (on street). Ada pula pengoperasian jalur khusus bus alias busway di sejumlah koridor.
    
Toh berbagai langkah dan cara itu tidak menjadi solusi yang benar-benar jitu dalam mengatasi masalah kemacetan lalu lintas di jalan raya. Bahkan masalah tersebut kian hari kian akut -- dan karena itu pula pemda pun terjebak pada kekalutan.

Namun menjadi ironis karena di tengah kekalutan itu, strategi Pemda DKI Jakarta dalam mengatasi kemacetan lalu lintas di jalan raya ini terus terpola dalam cara-cara trial and error. Juga terus tergoda oleh cara-cara yang secara konseptual punya cacat bawaan berupa sifatnya yang parsial dan artifisial -- termasuk strategi contra flow.

Masalah kemacetan lalu lintas jalan raya di DKI Jakarta memang telanjur kompleks, sehingga strategi maupun teknis operasional penanganan masalah tersebut tak bisa bersifat parsial ataupun tambal-sulam -- apalagi sekadar trial and error. Masalah itu menuntut konsep penanganan yang bersifat komprehensif dan mendasar. Itulah angkutan massal yang nyaman, aman, dan relatif murah. Juga terintegrasi utuh dengan kota-kota satelit di sekeliling Jakarta.

Mestinya pembangunan sistem angkutan massal itu menjadi bahan pemikiran calon-calon gubernur yang akan maju dalam Pilkada DKI Jakarta. Jika isu ini tidak disiapkan secara matang, kesanggupan mereka mengatasi masalah kemacetan lalu lintas jalan raya sungguh tak bisa diandalkan. Strategi model contra flow pun niscaya bisa menjadi pilihan mereka. Padahal strategi ala contra flow sekadar pilihan kalut di tengah kian parahnya kemacetan lalu lintas di Jakarta.***

Jakarta, 30 April 2012

25 April 2012

Kebijakan Gamang Pembatasan BBM



Semakin gamblang saja bahwa pemerintah gamang sekaligus tidak siap melakukan kebijakan pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Gamang, karena kebijakan itu niscaya menohok kepentingan pihak tertentu. Juga tidak siap, karena secara teknis di lapangan kebijakan itu ruwet bin kompleks.

Karena itu, bahkan rapat kabinet yang dipimpin langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun, kemarin, tidak berani mengambil keputusan mengenai soal pembatasan penggunaan BBM subsidi ini. Padahal sejak jauh hari pemerintah sudah gembar-gembor bahwa pembatasan tersebut mulai diberlakukan per 1 Mei 2012, khususnya bagi kendaraan dinas pemerintah sebelum kemudian diberlakukan kepada umum di wilayah Jawa dan Bali sebagai tahap pertama.

Pemerintah berkilah, kebijakan pembatasan itu masih perlu lebih didalami. Penggodokan bahkan masih perlu dilakukan di tingkat pejabat eselon di bawah menteri. Artinya, secara konseptual kebijakan itu masih jauh dari matang. Karena itu, wajar saja pemerintah belum siap melaksanakan kebijakan itu sesuai rencana per 1 Mei 2012.

Dalam merumuskan kebijakan, pemerintah memang tidak boleh grasa-grusu. Terlebih menyangkut kebijakan yang secara fundamental memengaruhi kehidupan publik, seperti pembatasan penggunaan BBM subsidi. Kebijakan yang dirumuskan secara grasa-grusu niscaya prematur sehingga bisa mengandung banyak cacat - dan karena itu berisiko tidak efektif.

Jadi, pendalaman kebijakan seperti kini dilakukan pemerintah menyangkut pembatasan penggunaan BBM subsidi adalah keharusan. Namun karena pemerintah telanjur gembar-gembor bahwa kebijakan itu mulai diberlakukan per 1 Mei 2012, tak bisa tidak langkah pendalaman itu malah menimbulkan kesan bahwa pemerintah dilanda kegamangan dan tidak siap.

Kesan itu tak terhindarkan karena pembatasan penggunaan BBM niscaya menohok kepentingan kalangan tertentu. Industri otomotif, misalnya, jelas merupakan salah satu pihak yang kena tohok itu. Sekarang ini saja, mereka sudah mengeluh bahwa pembatasan itu bisa membuat target penjualan satu juta mobil pada tahun ini sulit dicapai. Nah, tampaknya, pemerintah tidak ingin dicap mengorbankan mereka.

Mestinya, kegamangan seperti itu tidak sampai tercuatkan ke ruang publik. Bagaimanapun, dalam meluncurkan kebijakan, pemerintah harus terkesan tegas, lugas, dan percaya diri. Juga kredibel.
Untuk itu, ketika dilempar ke tengah publik, kebijakan harus sudah benar-benar matang dan meyakinkan - secara konsepsional strategis maupun secara teknis. Segala keriuhan di ruang publik, yang nyata-nyata tidak produktif atau bahkan mendistorsi visi dan misi pemerintah terkait kebijakan itu, harus dihindari. Publik, dalam konteks ini, sekadar dikondisikan bisa memahami dan diharapkan menerima kebijakan yang diluncurkan.

Karena itu, ke depan, pemerintah harus membuang kebiasaan buruk: melempar wacana ke tengah publik. Kebiasaan tersebut buruk karena lebih banyak menimbulkan keriuhan dan sekaligus kegerahan di tengah masyarakat. Terlebih kalau pemerintah sendiri belum siap, main lempar wacana bukan hanya tidak produktif, tapi juga bisa membuat masyarakat seperti kena teror. Akibatnya, kasak-kusuk dan spekulasi macam-macam merebak.

Itu pula yang terjadi seiring rencana dengan pembatasan penggunaan BBM subsidi sekarang ini. Makin kental diwacanakan, rencana itu makin membuat masyarakat resah - karena pemerintah jadi kian terkesan gamang dan tidak siap.***

24 April 2012

Gamang Pembatasan BBM


Semakin gamblang saja bahwa pemerintah gamang sekaligus tidak siap melakukan kebijakan pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Gamang, karena kebijakan itu niscaya menohok kepentingan pihak tertentu. Juga tidak siap, karena secara teknis di lapangan kebijakan itu ruwet bin kompleks.

Karena itu, bahkan rapat kabinet yang dipimpin langsung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun, kemarin, tidak berani mengambil keputusan mengenai soal pembatasan penggunaan BBM subsidi ini. Padahal sejak jauh hari pemerintah sudah gembar-gembor bahwa pembatasan tersebut mulai diberlakukan per 1 Mei 2012, khususnya bagi kendaraan dinas pemerintah sebelum kemudian diberlakukan kepada umum di wilayah Jawa dan Bali sebagai tahap pertama.

Pemerintah berkilah, kebijakan pembatasan itu masih perlu lebih didalami. Penggodokan bahkan masih perlu dilakukan di tingkat pejabat eselon di bawah menteri. Artinya, secara konseptual kebijakan itu masih jauh dari matang. Karena itu, wajar saja pemerintah belum siap melaksanakan kebijakan itu sesuai rencana per 1 Mei 2012.

Dalam merumuskan kebijakan, pemerintah memang tidak boleh grasa-grusu. Terlebih menyangkut kebijakan yang secara fundamental mempengaruhi kehidupan publik, seperti pembatasan penggunaan BBM subsidi. Kebijakan yang dirumuskan secara grasa-grusu niscaya prematur sehingga bisa mengandung banyak cacat -- dan karena itu berisiko tidak efektif.

Jadi, pendalaman kebijakan seperti kini dilakukan pemerintah menyangkut pembatasan penggunaan BBM subsidi adalah keharusan. Namun karena pemerintah telanjur gembar-gembor bahwa kebijakan itu mulai diperlakukan per 1 Mei 2012, tak bisa tidak langkah pendalaman itu malah menimbulkan kesan bahwa pemerintah dilanda kegamangan dan tidak siap.
     
Kesan itu tak terhindarkan karena pembatasan penggunaan BBM niscaya menohok kepentingan kalangan tertentu. Industri otomotif, misalnya, jelas merupakan salah satu pihak yang kena tohok itu. Sekarang ini saja, mereka sudah mengeluh bahwa pembatasan itu bisa membuat target penjualan satu juta mobil pada tahun ini sulit dicapai. Nah, tampaknya, pemerintah tidak ingin dicap mengorbankan mereka.
    
Mestinya, kegamangan seperti itu tidak sampai tercuatkan ke ruang publik. Bagaimanapun, dalam meluncurkan kebijakan, pemerintah harus terkesan tegas, lugas, dan percaya diri. Juga kredibel.
    
Untuk itu, ketika dilempar ke tengah publik, kebijakan harus sudah benar-benar matang dan meyakinkan -- secara konsepsional strategis maupun secara teknis. Segala keriuhan di ruang publik, yang nyata-nyata tidak produktif atau bahkan mendistorsi visi dan misi pemerintah terkait kebijakan itu, harus dihindari. Publik, dalam konteks ini, sekadar dikondisikan bisa memahami dan diharapkan menerima kebijakan yang diluncurkan.
    
Karena itu, ke depan, pemerintah harus membuang kebiasaan buruk: melempar wacana ke tengah publik. Kebiasaan tersebut buruk karena lebih banyak menimbulkan keriuhan dan sekaligus kegerahan di tengah masyarakat. Terlebih kalau pemerintah sendiri belum siap, main lempar wacana bukan hanya tidak produktif, tapi juga bisa membuat masyarakat seperti kena teror. Akibatnya, kasak-kusuk dan spekulasi macam-macam merebak.
    
Itu pula yang terjadi seiring rencana pembatasan penggunaan BBM subsidi sekarang ini. Makin kental diwacanakan, rencana itu makin membuat masyarakat resah -- karena pemerintah jadi kian terkesan gamang dan tidak siap.***

Jakarta, 24 April 2012

22 April 2012

Antiklimaks Kasus Wisma Atlet

DRAMA gegap gempita kasus korupsi Wisma Atlet Palembang berakhir antiklimaks. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta merasa cukup memvonis pemeran utama, M Nazaruddin, berupa hukuman empat tahun 10 bulan penjara.

Vonis tersebut dijatuhkan dalam persidangan yang dipimpin hakim Darmawati Ningsih, kemarin. Majelis memutuskan Nazaruddin bersalah menerima suap Rp4,6 miliar dari PT Duta Graha Indah terkait dengan proyek pembangunan Wisma Atlet. Selain hukuman bui, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat tersebut juga diganjar denda Rp200 juta subsider empat bulan kurungan.

Hukuman buat Nazaruddin lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa, yakni tujuh tahun. Namun, vonis itu lebih berat daripada yang ditimpakan kepada M El Idris, Wafid Muharam, dan Mindo Rosalina Manullang, tiga nama yang juga terkait dengan kasus Wisma Atlet.

Vonis empat tahun 10 bulan penjara karena korupsi Rp4,6 miliar jelas jauh dari rasa keadilan. Apalagi, negara mesti menggelontorkan miliaran rupiah untuk membawa pulang Nazaruddin dari pelariannya di Kolombia.

Ketika kasus Wisma Atlet meledak pertengahan tahun lalu, rakyat geram bukan kepalang. Kegeraman kian menjadi setelah di persidangan, Nazaruddin mengumbar tudingan bahwa banyak elite negeri ini terlibat.

Ia, misalnya, berkali-kali menyebut bekas bosnya di Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Mantan koleganya di partai dan DPR, Angelina Sondakh dan Mirwan Amir, pun tak luput dari tuduhan. Begitu juga anggota dewan dari PDIP I Wayan Koster dan Menpora Andi Mallarangeng.

Begitu banyak nama tenar disebut, begitu besar pula harapan publik agar kasus Wisma Atlet diungkap tuntas. Namun, vonis untuk Nazaruddin telah merontokkan harapan yang membubung itu.

Dalam putusannya, hakim tak menyebut Nazaruddin melakukan korupsi secara bersama-sama. Dengan begitu, nama-nama yang pernah disebut-sebut di pengadilan kini dapat menepuk dada karena mendapat pembenaran bahwa tuduhan Nazaruddin selama ini halusinasi belaka.

Hakim memang punya hak penuh membuat putusan. Mereka boleh tidak peduli apakah putusan mereka memuaskan atau justru menistakan keadilan publik.

Suka tidak suka, rakyat mesti menerima Nazaruddin cuma divonis empat tahun 10 bulan. Rela tidak rela, rakyat harus menyaksikan para elite lain yang terseret skandal Wisma Atlet bebas melenggang.

Akan tetapi, vonis ringan buat Nazaruddin bukanlah akhir dari segalanya. Masih ada lebih dari 30 skandal, termasuk megakasus proyek pusat olahraga di Hambalang, Bogor, yang diduga melibatkan Nazaruddin dan kawan-kawan yang harus diusut dan dibongkar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Gerak cepat tanpa basa-basi mutlak dilakukan KPK. Menyangkut Angelina Sondakh, misalnya, sudah cukup dia tak disentuh dua bulan lebih sejak menjadi tersangka kasus Wisma Atlet. Begitu juga Wayan Koster yang telah dicekal, tetapi kasusnya jalan di tempat.

Rakyat menunggu pula janji Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas sebulan silam bahwa Anas Urbaningrum akan diperiksa dalam kasus Hambalang. Juga, janji Wakil Ketua KPK lainnya, Bambang Widjojanto, yang mengatakan bakal mengusut Angelina Sondakh setelah vonis Nazaruddin.

KPK jangan cuma omong besar***


Sumber: www.mediaindonesia.com/read/2012/04/21/314408/70/13/Antiklimaks-Kasus-Wisma-Atlet

19 April 2012

Stop Mancla-mencle

Sejumlah kalangan menilai pemerintah mencla-mencle terkait kebijakan pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Mencla-mencle, karena pemerintah terkesan gamang atau bahkan tak percaya diri dalam menyiapkan kebijakan pembatasan penggunaan BBM subsidi ini.

Awalnya, pemerintah mewacanakan larangan pembelian BBM jenis premium/solar yang memang disubsidi berdasarkan kapasitas mesin kendaraan. Jadi, kendaraan-kendaraan berkapasitas mesin besar dinyatakan terlarang menggunakan premium maupun solar.

Tapi, belakangan, wacana itu bergeser menjadi berdasarkan tahun pembuatan kendaraan. Nah, kendaraan yang tergolong muda tidak boleh mengonsumsi premium/solar. Eh, belum lagi gagasan itu matang, wacana pembatasan penggunaan BBM subsidi ini sudah bergeser lagi menjadi berdasarkan kewilayahan. Persisnya, wacana itu menyatakan wilayah Jawa jadi projek pertama yang tak akan lagi dilayani BBM jenis premium dan solar.

Namun belum lagi gagasan itu jelas benar, sudah berkembang lagi wacana mewajibkan kendaraan plat hitam alias milik pribadi menggunakan bahan bakar gas. Lalu, hampir bersamaan, pemerintah juga melontarkan gagasan "mengharamkan" premium/solar bagi kendaraan dinas.

Bagi masyarakat, berbagai wacana itu membingungkan. Pertama, karena berbagai versi kebijakan pembatasan penggunaan BBM subsidi ini tidak berasal dari satu sumber yang punya otoritas penuh di bidang energi. Masyarakat menjadi bingung, karena berbagai versi itu dilontarkan oleh pejabat pemerintah yang berlainan.

Kedua, lontaran berbagai wacana itu juga membuat masyarakat tidak punya pegangan mengenai bentuk kebijakan yang akan diberlakukan pemerintah menyangkut pembatasan penggunaan BBM ini. Padahal, bagi masyarakat, itu penting untuk ancang-ancang menuju langkah penyesuaian manakala kebijakan efektif mulai diberlakukan.

Kebingungan itu pula yang kemudian melahirkan tindakan spekulasi di masyarakat. Aksi penimbunan BBM subsidi tetap marak. Urungnya rencana kenaikan harga BBM subsidi, karena untuk sementara ini tidak memenuhi prasyarat perundangan, tak serta-merta berhenti. Bahkan sekadar mereda pun tidak.

Aksi spekulasi sendiri jelas tidak sehat. Aksi tersebut bisa memercikkan gesekan konflik sosial di masyarakat. Paling tidak, aksi penimbunan BBM subsidi mengganggu sekaligus merugikan kegiatan ekonomi masyarakat.

Pemerintah seharusnya menyadari -- dan niscaya tak menghendaki -- kegiatan ekonomi masyarakat dirusak spekulasi. Oleh sebab itu, sikap mencla-mencle pemerintah menyangkut pembatasan penggunaan BBM subsidi ini sulit dipahami. Sikap tersebut menumbuhkan kesan bahwa pemerintah gamang, tidak percaya diri, sekaligus tidak solid sebagai sebuah tim.

Kesan seperti itu jelas sebuah potret buram -- dan karena itu tidak patut terus dipertunjukkan kepada publik. Artinya, pemerintah harus segera membuang sikap mencla-mencle. Kebijakan pembatasan BBM subsidi harus segera dirumuskan secara matang dan tegas -- lengkap dengan daya dukung teknis pelaksanaan di lapangan -- serta bersifat satu pintu. Jangan sampai terjadi, kebijakan diputuskan sekadar sebagai pilihan politis, sementara kondisi di lapangan sama sekali tidak siap. Masyarakat tidak boleh menjadi korban kebijakan tidak matang yang lebih banyak melahirkan kericuhan atau bahkan kekacauan sosial.***

Jakarta, 20 April 2012

18 April 2012

Rapat atau Pesta?

Anggaran rapat di Istana Kepresidenan sangat mencengangkan. Sulit dipercaya bahwa nilai anggaran itu begitu terang-benderang menggambarkan pola hidup berlebihan. Dengan nilai Rp 30,1 miliar untuk tahun 2012, sebagaimana rilis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), anggaran rapat ini sama sekali tidak menyiratkan semangat dan pola hidup sederhana. Yang tergambar justru pola hidup bermewah-mewah.

Bayangkan, untuk sekali sidang kabinet paripurna saja, anggaran yang dialokasikan mencapai Rp 20 juta. Sementara untuk perhelatan rapat berskala akbar (retreat), anggaran yang disiapkan bernilai tak kurang dari Rp 1 miliar. Dengan angka-angka seperti itu, anggaran rapat di lingkungan Istana ini pun menjadi sulit dibedakan dengan biaya pesta kaum sosialita Jakarta.

Karena itu, bahkan dengan angka klarifikasi pihak Istana sendiri -- konon sebesar Rp 24,7 miliar untuk sepanjang tahun 2012 --, anggaran rapat di Istana Kepresidenan ini tetap saja tidak mencerminkan kesederhanaan sebagai sebuah prinsip. Artinya, anggaran yang diklaim sudah diturunkan menjadi Rp 24,7 miliar itu tetap saja jumbo.

Kenyataan itu sungguh ironis karena tidak mencerminkan langkah pengamanan APBN 2012 yang rapuh akibat tekanan dampak kenaikan harga minyak mentah di pasar global. Bahkan anggaran jumbo untuk penyelenggaraan rapat itu juga menjadi kontra produktif dengan gerakan penghematan yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyiasati kesulitan anggaran sekarang ini.

Di tengah gejolak harga minyak global dewasa ini, pemerintah memang kelimpungan. Pemerintah pusing tujuh keliling menghadapi beban subsidi energi yang membengkak signifikan akibat lonjakan harga minyak di pasar global. Itu pula yang mengilhami pemerintah mewacanakan aneka program penghematan yang notabene niscaya akan berdampak memaksa masyarakat luas menanggung beban ekonomi menjadi lebih berat lagi. Dalam konteks ini, penaikan tarif dasar listrik, pengurangan subsidi gas elpiji, revisi tarif jalan tol, bahkan juga penaikan harga BBM subsidi tinggal soal waktu saja.

Karena itu pula, anggaran jumbo untuk kebutuhan rapat di Istana Kepresidenan ini sama sekali tidak menunjukkan empati terhadap kehidupan rakyat kebanyakan yang telanjur serba sulit. Seakan-akan kehidupan rakyat berada di planet lain yang sama sekali tak berhubungan dengan pola hidup boros yang dianut kalangan pengelola negara.

Jelas, pihak Istana tidak patut menutup kuping ataupun mencari-cari pembenaran ihwal anggaran rapat yang tergolong over dosis ini. Revisi dengan bersendikan semangat berhemat wajib dilakukan. Bahkan, kalau perlu, pos anggaran khusus rapat dibatalkan saja. Toh, seperti kata mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra, kebutuhan penyelenggaraan rapat di Istana Kepresidenan tak beralasan diwadahi lewat pos anggaran khusus.

Selaku orang yang pernah menjadi figur penting di jantung Istana, Yusril tahu persis bahwa kalau tidak kelewat
penting dan sangat urgen, kebutuhan dana untuk penyelenggaran rapat itu masih mungkin ditanggulangi oleh anggaran rutin Setneg.

Karena itu, menjadi aneh jika penyelenggaraan rapat menjadi pos tersendiri dalam bangunan anggaran pemerintah. Kecuali kalau rapat juga sekaligus menjadi arena pesta ala kaum sosialita.***

Jakarta, 18 April 2012

17 April 2012

Urgensi Uji Materi UU Pemilu

Rencana sejumlah kalangan, terutama partai-partai nonparlemen, mengajukan permohonan uji materi (judicial review) UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi bukan soal yang patut dirisaukan. Dalam koridor demokrasi, rencana tersebut sah-sah saja. Bahkan, barangkali uji materi memang perlu guna memastikan UU Pemilu bersifat fair, objektif, dan menjamin hasil pemilu benar-benar berkualitas – dalam arti legitimate sehingga kelak bisa diterima semua pihak.

Karena itu pula, sepanjang jujur dan tulus diniatkan untuk menempatkan produk legislasi DPR dan pemerintah tidak keluar dari kerangka konstitusi, rencana sejumlah kalangan mengajukan uji materi UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi ini bahkan patut diapresiasi. Dengan kata lain, motif-motif yang lebih bersifat subjektif -- semata karena UU Pemilu dirasa tak mengakomodasi kepentingan politis mereka -- harus disingkirkan. Motif-motif seperti itu membuat langkah uji materi tidak relevan, apalagi urgen. Langkah tersebut sekadar melahirkan kegaduhan politik, sehingga sama sekali tidak sehat dan tidak produktif bagi proses demokrasi – khususnya untuk memastikan hasil pemilu bersifat legitimate.

UU Pemilu sendiri, yang baru pekan lalu disahkan DPR, memang bukan produk yang taken for granted sempurna. Artinya, undang-undang tersebut mungkin saja mengandung kelemahan atau bahkan cacat yang mencederai konstitusi. Mungkin saja, seperti dikeluhkan dan dituduhkan pihak-pihak yang berniat memohonkan uji materi, UU Pemilu memang tidak fair karena mengabaikan asas kesetaraan dan kesamaan bagi semua pihak.

Kelemahan-kelemahan seperti itu bukan mustahil dan tidak bisa dinafikan begitu saja. Maklum, karena UU Pemilu lebih merupakan produk kompromi politik pihak-pihak di DPR. UU Pemilu tidak dilahirkan sebagai produk perdebatan hukum dalam kerangka konstitusi. UU Pemilu, seperti juga berbagai undang-undang lain, lebih merupakan produk tarik-menarik kepentingan subjektif partai-partai politik yang duduk di parlemen.

Karena itu, uji materi UU Pemilu bukan hanya relevan, tapi juga punya urgensi tinggi. Lewat uji materi di Mahkamah Konstitusi, segala keraguan dan kecurigaan pihak-pihak tertentu -- bahwa UU Pemilu memiliki muatan yang melanggar konstitusi -- akan terjawab. Proses judicial review juga membuat segala kelemahan dan kekurangan UU Pemilu -- yang diklaim pihak-pihak yang berencana mengajukan permohonan uji materi sebagai masalah yang secara substansial mencederai konstitusi – akan terkuakkan. Dengan demikian, UU Pemilu dikembalikan ke dalam koridor konstitusi.

Untuk itu, permohonan uji materi sendiri harus proporsional. Uji materi hanya dimohonkan sebatas meliputi pasal-pasal yang dinilai melanggar konstitusi. Permohonan uji materi tidak boleh dilatari semangat untuk membatalkan UU Pemilu secara keseluruhan. Langkah seperti itu sangat tidak produktif karena membuat proses uji materi di Mahkamah Konstitusi hampir pasti berlangsung lama. Bagaimanapun, proses uji materi tidak bisa dilakukan ala pesulap dengan mantra abrakadabra. Proses persidangan niscaya berlarut, karena materi yang harus diuji meliputi keseluruhan muatan undang-undang.

Konsekuensinya, jika proses uji materi berlarut, penyelenggaraan pemilu pun bisa terganggu. Bukan tidak mungkin jadwal tahap-tahapan pelaksanaan pemilu menjadi amburadul. Itu, pada gilirannya, niscaya melahirkan kekacauan politik yang berimbas ke mana-mana.

Jelas, itu bukan esensi demokrasi yang sehat dan produktif. Karena itu, sekali lagi, permohonan uji materi UU Pemilu mutlak harus proporsional. Dalam bahasa gaul anak muda, permohonan itu tidak boleh lebai – terlebih semata karena dorongan syahwat politik, bukan untuk menegakkan konstitusi.***




Menumpas Geng Motor?

Geng motor sudah menjadi penyakit masyarakat. Bukan cuma meresahkan, geng motor juga menumbuhkan rasa takut. Di mana-mana geng motor menampakkan keberadaan, di situ rasa ngeri masyarakat terbangkitkan.

Rasa resah, rasa ngeri, rasa takut masyarakat nyaris sudah menjadi bagian keberadaan geng motor. Ya, karena geng motor identik dengan aksi kekerasan, kebrutalan, teror, bahkan maut.
Di Jakarta, geng motor tak terkecuali eksis pula. Dan Jumat pekan lalu, mereka berulah: memperagakan kekerasan dan kebrutalan. Aksi mereka benar-benar merupakan teror -- karena dilakukan terencana, terorganisasi rapi, serta melibatkan pelaku sekitar 200-an orang. Di tujuh titik dalam radius relatif luas, mereka melakukan perusakan fasilitas umum. Juga menghajar sejumlah orang secara sembarangan sampai babak belur. Bahkan seorang korban kemudian tewas di rumah sakit.
Di kota-kota lain, geng motor juga makin berani menunjukkan diri sebagai kelompok pelaku keonaran -- dan teror ala preman. Bahkan seperti di Garut, seorang petugas kepolisian pun nyaris menjadi korban. Kalau saja tidak sigap melawan, petugas itu boleh jadi terkapar menjadi korban pembacokan atau penusukan anggota geng motor.
Karena itu, wajar jika di mana-mana orang kini mendesak aparat kepolisian agar menindak geng motor. Bahkan masyarakat juga berharap kepolisian bukan sekadar bertindak secara kasuistis, melainkan menumpas keberadaan geng motor hingga ke akar-akarnya. Singkatnya, masyarakat tak menghendaki geng motor punya ruang hidup. Masyarakat ingin geng motor dienyahkan dari muka bumi.
Namun geng motor tampaknya tak bisa begitu saja diberangus hingga benar-benar tamat riwayat. Bahkan, sebagai penyakit sosial, geng motor tampaknya sulit bisa ditumpas habis. Ibarat rumput liar, geng motor punya kemampuan untuk survive di tengah keadaan sangat sulit sekalipun -- dan pada saatnya kemudian tumbuh lagi. Maklum, karena geng motor bukan organisasi resmi. Geng motor sekadar wadah paguyuban yang tak mementingkan struktur resmi. Lagi pula keresahan masyarakat bukan terutama tertuju kepada organisasi geng motor, melainkan merujuk kepada perilaku yang kental dengan keberingasan dan kekerasan.
Karena itu, meski dilumat habis-habisan, geng motor mungkin tidak akan benar-benar mati. Geng motor akan tetap survive. Geng motor akan tetap eksis dengan segala bentuk aksi kekerasan atau teror yang meresahkan masyarakat.
Walhasil, di tengah harapan dan ekspektasi tinggi masyarakat agar geng motor ditumpas habis, kepolisian tidak punya banyak pilihan. Tindakan represif tidak bakal menyelesaikan masalah. Bahkan, boleh jadi, tindakan represif hanya mengundang aksi-aksi perlawanan -- dan itu berarti aksi-aksi kekerasan atau teror geng motor terhadap masyarakat kian menjadi-jadi.
Meski begitu, polisi tetap perlu dan urgen melakukan tindakan tegas terhadap setiap ulah geng motor ini. Tapi itu bukan terutama sebagai tindakan represi, melainkan lebih merupakan wujud penegakan hukum.
Nah, selain penegakan hukum, kepolisian bersama segenap elemen masyarakat perlu melakukan pendekatan dan strategi lain. Pendekatan dan strategi itu merujuk kepada semacam gerakan moral dan kultural yang membuat geng motor tidak terus menyerupai kelompok sesat -- menabrak pranata-pranata sosial seperti selama ini. Lewat pendekatan itu, geng motor harus bisa dibuat insaf dan berubah menjadi sekadar perkumpulan komunitas penggemar motor.
Memang, strategi itu tidak bisa segera menunjukkan hasil. Untuk mengubah geng motor menanggalkan perilaku yang menumbuhkan keresahan dan ketakutan masyarakat, dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan ekstra berbagai pihak.***

Jakarta, 19 April 2012