26 Oktober 2011

MEMBURU MAGHRIB


MEMBURU MAGHRIB a video by alfasongo on Flickr.

Waktu Maghrib masih sekitar satu jam lagi. Tapi jemaah yang terdiri dari berbagai bangsa sudah bergegas menuju Masjid Nabawi. Tak ingin kehilangan waktu demi mencapai arbain.

23 Oktober 2011

Chandra di Pusaran Syak


Secara etis, bersalahkah Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra Hamzah karena telah bertemu M Nazaruddin, mantan Ketua Bendahara Umum Partai Demokrat sekaligus mantan anggota Komisi III DPR, yang kini meringkuk di tahanan karena diduga terlibat tindak pidana korupsi?
      
Jawaban atas pertanyaan itu sangat ditunggu-tunggu publik. Terlebih karena Chandra sendiri, lewat forum konferensi pers, kemarin, mengakui pernah bertemu Nazar. Tak tanggung-tanggung: pertemuan itu sampai empat kali, meski dalam rentang waktu cukup panjang.
     
  
Namun Chandra mengaku tak merasa bersalah. Dia berdalih, keempat pertemuan itu terjadi sebelum Nazar teridentifikasi terlibat dugaan korupsi. Artinya, bagi dia, ketika itu Nazar tidak tergolong sebagai orang yang secara etis harus dihindari guna mencegah konflik kepentingan terkait posisinya sebagai salah satu pimpinan KPK.
      
Toh publik tetap dibuat bertanya-tanya atau bahkan menaruh syak wasangka. Bagi publik, memang pada pertemuan pertama -- tahun 2008 -- Nazar belum menjadi anggota DPR. Tetapi siapa pun tahu, saat itu Nazar sudah termasuk elite sebuah parpol. Persisnya kala itu Nazar menjabat sebagai Wakil Bendahara Umum Partai Demokrat.
      
Dengan konfigurasi seperti itu, wajar jika publik dibuat bertanya-tanya: tidakkah pertemuan itu punya makna bagi hubungan Chandra-Nazar di kemudian hari? Paling tidak, pertemuan pertama itu menjadi semacam pintu gerbang yang membuat keduanya lantas memiliki keakraban. Nah, keakraban adalah modal besar untuk sebuah hubungan menjadi lebih bermakna.
      
Begitu juga mengenai pertemuan kedua Chandra bersama Nazar yang disebut Chandra terjadi tahun 2009: publik sulit menepiskan syak wasangka. Kendati ketika itu Nazar belum teridentifikasi sebagai orang bermasalah di mata hukum, toh pertemuan itu terkesan punya "muatan". Bukankah dalam pertemuan itu Chandra "curhat" soal kriminalisasi KPK yang melibatkan dirinya bersama Bibit Samad Riyanto yang sama-sama pimpinan KPK?
      
Kesan soal "muatan" itu makin mengental lagi karena dalam pertemuan ketiga, Oktober 2009, Chandra lagi-lagi "curhat" ihwal kriminalisasi KPK yang telah membuat dia dan Bibit harus mendekam beberapa hari di tahanan polisi. Publik serta-merta dibuat bertanya-tanya: apa mungkin "curhat" Chandra kepada Nazar bersama elite lain Partai Demokrat -- Benny K Harman -- itu tanpa "muatan"? Terlebih lagi kala itu konfigurasi politik nasional sudah memastikan bahwa Partai Demokrat menguasai kursi di DPR.
      
Di sisi lain, pertemuan itu sendiri berlangsung di rumah Nazar di Jakarta. Bukankah itu tidak patut dilakukan Chandra selaku pimpinan KPK karena Nazar adalah elite parpol yang sudah pasti duduk di DPR?
      
Karena itu pula, beralasan jika publik pun mencurigai kedua belah pihak dalam pertemuan itu membuat semacam deal menyangkut kepentingan masing-masing. Terlebih lagi kedua pihak kembali melakukan pertemuan beberapa waktu kemudian -- juga di rumah Nazar dan lagi-lagi turut dihadiri Benny K Harman.
      
Saat itu Nazar sudah resmi duduk sebagai anggota Komisi III DPR, sementara Benny sudah berstatus sebagai Ketua Komisi III DPR. Bagi Komisi III, KPK tidak lain adalah mitra kerja.
      
Betul, hingga saat itu Nazar belum teridentifikasi punya keterlibatan dalam dugaan kasus korupsi. Tetapi tidakkah pertemuan keempat itu pun tetap terasa tidak patut -- justru karena posisi masing-masing menempatkan kedua pihak bisa terlibat konflik kepentingan?
      
Nah, Chandra tak boleh dibiarkan dibebat oleh berbagai syak wasangka publik. Untuk itu, Komisi Etik KPK harus segera mengumumkan hasil pemeriksaan mereka terhadap pimpinan KPK yang dituduh Nazar terlibat main mata dengannya, termasuk Chandra. Komisi Etik harus tegas: apakah Chandra dan pimpinan lain KPK bersalah secara etis?***

Jakarta, 23 September 2011