14 Maret 2011

Angin Surga Reshuffle


Wacana perombakan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II sebenarnya sudah membosankan. Membosankan karena isu tersebut sudah kelewat sering mencuat ke permukaan. Juga membosankan karena sejauh ini wacana reshuffle kabinet selalu saja berujung sekadar menjadi rumors. Isu reshuffle selalu hanya berakhir sebagai angin surga.
      
Meski begitu, wacana perombakan atau reshuffle kabinet ini selalu saja membetot perhatian. Wacana reshuffle selalu saja seksi, sehingga ruang publik pun selalu dibuat riuh. Kebosanan publik seketika pupus, meski untuk sementara -- sampai terbukti bahwa wacana perombakan kabinet lagi-lagi terbukti sekadar angin surga.
      
Sebagai wacana, reshuffle memang seksi. Bagi khalayak luas, wacana reshuffle menjanjikan perubahan ke arah lebih baik menyangkut kinerja kabinet. Terlebih sekarang ini, rakyat sudah lelah berharap akan perubahan itu: terutama karena beban kehidupan sehari-hari semakin menyesakkan.
      
Dalam kondisi seperti itu, rakyat banyak tak punya banyak pilihan kecuali berharap kinerja kabinet membaik. Bahwa rakyat mengangankan kabinet dirombak, itu karena mereka telanjur kecewa oleh kinerja kabinet selama ini. Rakyat sudah lelah berharap karena kinerja kabinet selama ini relatif tak membawa banyak perbaikan menyangkut kesejahteraan hidup mereka, kendati pemerintah sendiri acapkali mengklaim bahwa kemiskinan sebagai sumber masalah yang menyumbat kesejahteraan rakyat terus membaik.
      
Bagi kalangan politisi, terutama mereka yang bernaung di bawah parpol peserta koalisi pemerintahan SBY-Boediono, wacana reshuffle juga seksi. Seksi karena wacana tersebut melambungkan mimpi tentang kursi kekuasaan. Posisi di kabinet memang amat menggiurkan karena sarat kekuasaan dan berkelimpahan fasilitas. Karena itu, wajar jika kursi di kabinet ini diperlakukan kalangan politisi sebagai sasaran perjuangan politik mereka.
      
Di sisi lain, bagi jajaran parpol sendiri, wacana reshuffle tak terkecuali seksi pula. Bagi parpol yang mengambil posisi oposisi, wacana tersebut adalah senjata untuk melegitimasi penilaian bahwa kinerja pemerintah tidak bagus. Bahwa pemerintah kurang becus dan acap salah urus. Lalu bagi parpol peserta koalisi, wacana reshuffle menerbitkan gairah untuk memperkuat posisi mereka di pemerintahan.
      
Jadi, mudah dipahami jika wacana reshulle kabinet ini -- meski sudah membosankan -- tetap membuat ruang publik menjadi hangat. Tetap menerbitkan harapan dan impian-impian.
      
Kini isu reshuffle kabinet ini mencuat lagi. Jangan-jangan kali ini juga isu tersebut cuma angin surga? Jangan-jangan kembali berakhir sekadar sebagai rumors?
      
Semoga saja tidak. Wacana reshuffle kali ini semoga tidak lagi cuma merupakan angin surga atau pepesan kosong. Paling tidak, karena urgensi ke arah itu sudah semakin kuat. Reshuffle makin terasa menjadi kebutuhan untuk melecut kinerja kabinet menjadi lebih trengginas dan efektif menjawab berbagai tantangan dan kebutuhan mendesak.
      
Di tengah arus tantangan yang tidak bertambah ringan, kinerja kabinet terasa tidak bisa lagi terus-terusan dibiarkan berdasar semangat easy going seperti selama ini.
Terlebih beberapa personel kabinet dililit masala, khususnya terlibat kisruh dugaan suap atau korupsi dan terbaring sakit. Ibarat kandaraan, kabinet sudah saatnya ganti oli, busi, dan ban agar beban masalah yang melingkungi kehidupan rakyat tidak bertambah kompleks.
      
Nah, sebagai pemegang hak prerogatif dalam urusan penggantian personel kabinet, Presiden jangan sampai kehilangan momentum. Sekarang ini saat paling tepat untuk melakukan reshuffle. Mumpung masih cukup waktu untuk melajukan lebih cepat kendaraan yang bernama kabinet ke tujuan: memperbaiki sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat.***

Jakarta, Maret 2011

11 Maret 2011

Solusi Beban Subsidi


Rencana pemerintah mengenai pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mulai 1 April 2012 terbukti hanya gagah-gagahan. Sekadar gertak sambal untuk menutupi
kegalauan sekaligus kepanikan dalam menghadapi pembengkakan subsidi BBM akibat kenaikan harga minyak di pasar global.
      
Pemerintah sesungguhnya sama sekali tidak siap untuk melakukan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi -- apalagi dalam waktu yang terbilang sudah mepet. Terutama karena kesiapan infrastruktur di lapangan sekarang ini amat minim, rencana pembatasan penggunaan BBM subsidi ini pun menjadi tidak layak dilaksanakan. Kalaupun dipaksakan, kebijakan itu niscaya hanya menimbulkan kekacauan di masyarakat.
      
Karena itu bisa dipahami jika rencana pemerintah mengenai pembatasan penggunaan BBM bersubsidi mulai 1 April 2012 ini tidak mendapat dukungan DPR. Forum rapat kerja Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral bersama Komisi VII DPR pun, Senin lalu, akhirnya menyingkirkan rencana tersebut. Untuk mengatasi tekanan beban subsidi BBM, pemerintah diminta DPR mengkaji opsi-opsi lain yang secara teknis maupun ekonomis lebih mungkin diterapkan. Salah satu opsi tersebut adalah mengurangi subsidi harga jual BBM jenis premium. Artinya, harga premium dinaikkan.
     
Sejak awal, kalangan ekonom sudah menyebutkan bahwa menaikkan harga BBM bersubsidi adalah opsi paling realistis untuk mengurangi beban subsidi BBM yang terus membengkak sebagai konsekuensi kenaikan harga minyak di pasar global sekarang ini. Secara teknis, opsi tersebut tidak ribet untuk diterapkan karena tidak menyaratkan kesiapan infrastruktur di lapangan.
     
Secara ekonomis, opsi itu juga berkelayakan dipilih karena berdampak langsung mengurangi beban subsidi BBM. Untuk itu, pemerintah sekadar dituntut membuat hitung-hitungan terlebih dahulu mengenai proporsi pengurangan subsidi yang paling aman. Aman dalam arti dampak psikologis dan ekonomis yang kemudian muncul tak terlampau membuat masyarakat megap-megap -- dan karena itu tak rawan memicu gejolak sosial.
     
Namun sejak awal pemerintah terkesan menghindari opsi itu. Pemerintah kelihatan sekali enggan menimbang kemungkinan menaikkan harga BBM bersubsidi. Pemerintah beralasan, harga BBM bersubsidi tak mungkin bisa dinaikkan karena telanjur dikunci UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012.
      
Sepintas alasan itu terkesan elegan. Tetapi sebenarnya itu sekadar dalih untuk menghindari pilihan tidak populer. Untuk mengakomodasi pengurangan subsidi BBM, dengan konsekuensi harga BBM bersubsidi dinaikkan, toh UU APBN 2012 bisa saja diubah. Bahkan langkah ke arah itu sudah lazim dilakukan sebagaimana selama ini tecermin lewat kelahiran APBN Perubahan.
      
Jadi, dalih pemerintah -- bahwa UU APBN 2012 sama sekali sudah tertutup bagi kenaikan harga BBM bersubsidi -- sungguh menggelikan. Dalih tersebut lebih mencerminkan pemerintah gengsi atau mungkin tidak pede menaikkan harga BBM bersubsidi -- karena jauh-jauh hari telanjur obral janji tak hendak menyusahkan masyarakat dalam urusan BBM ini. Dengan kata lain, pemerintak tak siap tidak populer.
      
Menaikkan harga BBM bersubsidi memang langkah tidak populer. Tetapi menghadapi beban subsidi BBM yang terus membengkak, pemerintah tidak punya banyak pilihan. Sebab,  ibarat kanker, beban subsidi BBM sudah tak bisa dibiarkan terus menggerogoti anggaran negara.
      
Karena itu, pemerintah harus berani bertindak tidak populer. Toh populer tidak selalu berarti sehat dan menyehatkan.

Jadi, pemerintah harus berani menempuh opsi-opsi paling realistis menyangkut kebijakan untuk mengatasi tekanan beban subsidi BBM ini.***

Jakarta, 11 Maret 2012