28 Maret 2011
14 Maret 2011
Angin Surga Reshuffle
Wacana perombakan
Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II sebenarnya sudah membosankan. Membosankan
karena isu tersebut sudah kelewat sering mencuat ke permukaan. Juga membosankan
karena sejauh ini wacana reshuffle kabinet selalu saja berujung sekadar menjadi
rumors. Isu reshuffle selalu hanya berakhir sebagai angin surga.
Meski begitu, wacana perombakan atau
reshuffle kabinet ini selalu saja membetot perhatian. Wacana reshuffle selalu
saja seksi, sehingga ruang publik pun selalu dibuat riuh. Kebosanan publik
seketika pupus, meski untuk sementara -- sampai terbukti bahwa wacana
perombakan kabinet lagi-lagi terbukti sekadar angin surga.
Sebagai wacana, reshuffle memang seksi.
Bagi khalayak luas, wacana reshuffle menjanjikan perubahan ke arah lebih baik
menyangkut kinerja kabinet. Terlebih sekarang ini, rakyat sudah lelah berharap
akan perubahan itu: terutama karena beban kehidupan sehari-hari semakin
menyesakkan.
Dalam kondisi seperti itu, rakyat banyak
tak punya banyak pilihan kecuali berharap kinerja kabinet membaik. Bahwa rakyat
mengangankan kabinet dirombak, itu karena mereka telanjur kecewa oleh kinerja
kabinet selama ini. Rakyat sudah lelah berharap karena kinerja kabinet selama
ini relatif tak membawa banyak perbaikan menyangkut kesejahteraan hidup mereka,
kendati pemerintah sendiri acapkali mengklaim bahwa kemiskinan sebagai sumber
masalah yang menyumbat kesejahteraan rakyat terus membaik.
Bagi kalangan politisi, terutama mereka
yang bernaung di bawah parpol peserta koalisi pemerintahan SBY-Boediono, wacana
reshuffle juga seksi. Seksi karena wacana tersebut melambungkan mimpi tentang
kursi kekuasaan. Posisi di kabinet memang amat menggiurkan karena sarat
kekuasaan dan berkelimpahan fasilitas. Karena itu, wajar jika kursi di kabinet
ini diperlakukan kalangan politisi sebagai sasaran perjuangan politik mereka.
Di sisi lain, bagi jajaran parpol sendiri,
wacana reshuffle tak terkecuali seksi pula. Bagi parpol yang mengambil posisi
oposisi, wacana tersebut adalah senjata untuk melegitimasi penilaian bahwa
kinerja pemerintah tidak bagus. Bahwa pemerintah kurang becus dan acap salah
urus. Lalu bagi parpol peserta koalisi, wacana reshuffle menerbitkan gairah
untuk memperkuat posisi mereka di pemerintahan.
Jadi, mudah dipahami jika wacana reshulle
kabinet ini -- meski sudah membosankan -- tetap membuat ruang publik menjadi
hangat. Tetap menerbitkan harapan dan impian-impian.
Kini isu reshuffle kabinet ini mencuat
lagi. Jangan-jangan kali ini juga isu tersebut cuma angin surga? Jangan-jangan
kembali berakhir sekadar sebagai rumors?
Semoga saja tidak. Wacana reshuffle kali
ini semoga tidak lagi cuma merupakan angin surga atau pepesan kosong. Paling
tidak, karena urgensi ke arah itu sudah semakin kuat. Reshuffle makin terasa
menjadi kebutuhan untuk melecut kinerja kabinet menjadi lebih trengginas dan
efektif menjawab berbagai tantangan dan kebutuhan mendesak.
Di tengah arus tantangan yang tidak
bertambah ringan, kinerja kabinet terasa tidak bisa lagi terus-terusan
dibiarkan berdasar semangat easy going seperti selama ini.
Terlebih beberapa
personel kabinet dililit masala, khususnya terlibat kisruh dugaan suap atau
korupsi dan terbaring sakit. Ibarat kandaraan, kabinet sudah saatnya ganti oli,
busi, dan ban agar beban masalah yang melingkungi kehidupan rakyat tidak
bertambah kompleks.
Nah, sebagai pemegang hak prerogatif dalam
urusan penggantian personel kabinet, Presiden jangan sampai kehilangan
momentum. Sekarang ini saat paling tepat untuk melakukan reshuffle. Mumpung
masih cukup waktu untuk melajukan lebih cepat kendaraan yang bernama kabinet ke
tujuan: memperbaiki sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat.***
11 Maret 2011
Solusi Beban Subsidi
Rencana
pemerintah mengenai pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi
mulai 1 April 2012 terbukti hanya gagah-gagahan. Sekadar gertak sambal untuk
menutupi
kegalauan
sekaligus kepanikan dalam menghadapi pembengkakan subsidi BBM akibat kenaikan
harga minyak di pasar global.
Pemerintah sesungguhnya sama sekali tidak
siap untuk melakukan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi -- apalagi dalam
waktu yang terbilang sudah mepet. Terutama karena kesiapan infrastruktur di
lapangan sekarang ini amat minim, rencana pembatasan penggunaan BBM subsidi ini
pun menjadi tidak layak dilaksanakan. Kalaupun dipaksakan, kebijakan itu
niscaya hanya menimbulkan kekacauan di masyarakat.
Karena itu bisa dipahami jika rencana pemerintah
mengenai pembatasan penggunaan BBM bersubsidi mulai 1 April 2012 ini tidak
mendapat dukungan DPR. Forum rapat kerja Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
bersama Komisi VII DPR pun, Senin lalu, akhirnya menyingkirkan rencana
tersebut. Untuk mengatasi tekanan beban subsidi BBM, pemerintah diminta DPR
mengkaji opsi-opsi lain yang secara teknis maupun ekonomis lebih mungkin
diterapkan. Salah satu opsi tersebut adalah mengurangi subsidi harga jual BBM
jenis premium. Artinya, harga premium dinaikkan.
Sejak awal, kalangan ekonom sudah
menyebutkan bahwa menaikkan harga BBM bersubsidi adalah opsi paling realistis
untuk mengurangi beban subsidi BBM yang terus membengkak sebagai konsekuensi
kenaikan harga minyak di pasar global sekarang ini. Secara teknis, opsi
tersebut tidak ribet untuk diterapkan karena tidak menyaratkan kesiapan
infrastruktur di lapangan.
Secara ekonomis, opsi itu juga
berkelayakan dipilih karena berdampak langsung mengurangi beban subsidi BBM.
Untuk itu, pemerintah sekadar dituntut membuat hitung-hitungan terlebih dahulu
mengenai proporsi pengurangan subsidi yang paling aman. Aman dalam arti dampak
psikologis dan ekonomis yang kemudian muncul tak terlampau membuat masyarakat
megap-megap -- dan karena itu tak rawan memicu gejolak sosial.
Namun sejak awal pemerintah terkesan
menghindari opsi itu. Pemerintah kelihatan sekali enggan menimbang kemungkinan
menaikkan harga BBM bersubsidi. Pemerintah beralasan, harga BBM bersubsidi tak
mungkin bisa dinaikkan karena telanjur dikunci UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang
APBN 2012.
Sepintas alasan itu terkesan elegan.
Tetapi sebenarnya itu sekadar dalih untuk menghindari pilihan tidak populer.
Untuk mengakomodasi pengurangan subsidi BBM, dengan konsekuensi harga BBM
bersubsidi dinaikkan, toh UU APBN 2012 bisa saja diubah. Bahkan langkah ke arah
itu sudah lazim dilakukan sebagaimana selama ini tecermin lewat kelahiran APBN
Perubahan.
Jadi, dalih pemerintah -- bahwa UU APBN
2012 sama sekali sudah tertutup bagi kenaikan harga BBM bersubsidi -- sungguh
menggelikan. Dalih tersebut lebih mencerminkan pemerintah gengsi atau mungkin
tidak pede menaikkan harga BBM bersubsidi -- karena jauh-jauh hari telanjur
obral janji tak hendak menyusahkan masyarakat dalam urusan BBM ini. Dengan kata
lain, pemerintak tak siap tidak populer.
Menaikkan harga BBM bersubsidi memang
langkah tidak populer. Tetapi menghadapi beban subsidi BBM yang terus
membengkak, pemerintah tidak punya banyak pilihan. Sebab, ibarat kanker, beban subsidi BBM sudah tak
bisa dibiarkan terus menggerogoti anggaran negara.
Karena itu, pemerintah harus berani
bertindak tidak populer. Toh populer tidak selalu berarti sehat dan
menyehatkan.
Jadi, pemerintah
harus berani menempuh opsi-opsi paling realistis menyangkut kebijakan untuk
mengatasi tekanan beban subsidi BBM ini.***
Langganan:
Postingan (Atom)