01 Maret 2009

Integrasi

Masyarakat ASEAN di Depan Mata

Satu langkah lagi terayun ke arah pembentukan Masyarakat ASEAN. Setelah Desember lalu Piagam ASEAN resmi ditandatangani, Minggu kemarin forum Pertemuan Puncak ASEAN di Hua Hin, Thailand, diakhiri dengan penandatanganan Deklarasi Chiang Mai tentang Peta Jalan ke Arah Masyarakat ASEAN 2009-2015. Dengan itu, Piagam ASEAN praktis sudah diendors oleh kepala negara/kepala pemerintahan masing-masing negara anggota ASEAN.

Walhasil, ASEAN kian mantap untuk menjadikan ASEAN sebagai sebuah kawasan yang terintegrasi secara ekonomi, keamanan, dan sosial budaya. Dalam tempo enam tahun ke depan, sesuai Deklarasi Chiang Mai, sebuah Masyarakat ASEAN sudah harus terbentuk. Konsekuensinya, mulai tahun 2016 masing-masing negara harus merelakan sebagian kedaulatan mereka di bidang ekonomi, keamanan, dan sosial-budaya diserahkan kepada Masyarakat ASEAN.

Dengan itu, ASEAN ingin tampil sebagai kawasan yang damai, demokratis, terbuka, adil, transparan, juga inklusif. ASEAN juga berupaya mewujudkan diri sebagai sebuah pasar dan basis produksi tunggal, serta berorientasi kepada masyarakat. Jadi, singkatnya, ASEAN kelak merupakan sebuah kawasan yang aman, harmonis, dan makmur.

Sungguh itu sebuah mimpi yang amat berani dan ambisius. Bayangkan, ASEAN yang terintegrasi secara ekonomi, keamanan, dan sosial budaya sudah harus terbentuk hanya dalam tempo enam tahun sejak sekarang! Padahal Uni Eropa saja -- notabene merupakan model yang diakui ataupun tidak menjadi rujukan ASEAN -- membutuhkan waktu sekitar lima puluh tahun sebelum benar-benar efektif terintegrasi seperti sekarang.

Memang, langkah-langkah rintisan ke arah perwujudan Masyarakat ASEAN ini sudah sejak lama dilakukan. Di bidang ekonomi, misalnya, rintisan ke arah integrasi itu ditempuh melalui kesepakatan tentang kawasan perdagangan bebas ASEAN (AFTA). Begitu pula di bidang sosial budaya, langkah-langkah menuju integrasi intensif digulirkan melalui berbagai kerja sama dan saling pengertian.

Di bidang keamanan, kawasan ASEAN juga selama ini relatif adem-ayem. Selama lebih dari 40 tahun, kawasan tersebut relatif bebas konflik terbuka. Sejak resmi terbentuk pada 1967 silam, ASEAN juga cukup solid dalam menghadapi krisis regional maupun global. Terkait penanganan krisis ekonomi global sekarang ini, misalnya, ASEAN -- bersama China, Jepang, dan Korsel -- sepakat menyediakan dana siaga senilai 120 miliar dolar AS. ASEAN juga intensif menggalang kesepakatan tentang perjanjian perdagangan bebas dengan sejumlah negara di kawasan lain guna mendorong ekonomi di kawasan ASEAN tetap berputar.

Tetapi proses menuju Masyarakat ASEAN -- karena telanjur dipatok harus sudah terwujud dalam enam tahun mendatang sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Chiang Mai yang Minggu kemarin diteken kesepuluh pemimpin negara-negara ASEAN -- tetap saja menuntut langkah-langkah drastis dan berani. Bahkan, barangkali, selama enam tahun sejak sekarang langkah revolusioner merupakan kebutuhan untuk memastikan perwujudan Masyarakat ASEAN ini.

Justru itu, bagi kita di Indonesia, perubahan-perubahan drastis dan dramatis di bidang sosia budaya, keamanan, dan ekonomi -- notabene itu tak selalu mengenakkan -- harus siap dihadapi. Kita harus siap menerima kenyataan bahwa ke depan ini sekat-sekat nasionalisme kita satu demi satu tanggal dan lebur ke dalam Masyarakat ASEAN.

Tentu, untuk itu, menjadi tugas pemerintah untuk mengantarkan seluruh lapisan masyarakat kita bisa mulus berintegrasi ke dalam Masyarakat ASEAN. Terutama secara ekonomi, pemerintah harus mampu menjamin bahwa integrasi kita ke dalam Masyarakat ASEAN benar-benar membawa kesejahteraan.

Itu amat penting karena integrasi ekonomi nasional ke dalam pasar regional bukan hanya bisa melahirkan kehidupan ekonomi yang saling melengkapi dan saling menunjang, melainkan juga persaingan terbuka yang melembaga. Justru itu, prinsip survival of the fittest pun mustahil bisa dihindari. Nah, kalau tak cukup siap, kita niscaya cuma menjadi pecundang.***

Jakarta, 01 Maret 2009