28 November 2007

Serius Amankan Anggaran

Apresiasi layak kita berikan kepada pemerintah karena telah menyiapkan jurus untuk mencegah APBN 2008 amburadul diterjang lonjakan harga minyak dunia. Kita salut karena kesiapan itu menunjukkan pemerintah bersikap tanggap dan berani. Sikap tanggap mengandung arti pemerintah tidak memandang masalah dengan sebelah mata. Tidak menganggap enteng persoalan. Sementara sikap berani menunjukkan bahwa pemerintah punya kesediaan untuk realistis. Tidak berupaya menghindari alternatif buruk dan pahit.

Sikap tanggap dan berani amat penting. Sudah menjadi kebutuhan sekarang ini. Karena lonjakan harga minyak dunia sudah demikian serius. Harga minyak kini sudah hampir menjebol level 100 dolar AS per barel, rekor tertinggi dalam sejarah perminyakan global.

Dibanding asumsi yang dipatok di APBN, tingkat harga minyak dunia sekarang ini saja sudah terpaut hampir 40 dolar AS per barel. Padahal kalangan ahli memperkirakan, bukan tidak mungkin harga minyak dunia ini masih terus meroket hingga menembus 110 dolar AS per barel.

Kenyataan itu jelas berimplikasi serius terhadap APBN. Terlebih lagi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga kini cenderung melemah. Tanpa jurus-jurus tertentu, faktor harga minyak dan kurs rupiah niscaya membuat APBN 2008 bonyok berdarah-darah.

Defisit pasti membengkak hebat. Perhitungan konservatif yang dibuat pemerintah sendiri menyebutkan, defisit APBN pada tahun depan mencapai 1,8 persen produk domestik bruto (PDB). Itu berdasar asumsi bahwa harga minyak di pasar dunia rata-rata mencapai 100 dolar AS per barel.

Dalam angka nominal, defisit itu adalah Rp 14,4 triliun. Ditambah risiko sejumlah faktor lain, seperti risiko lonjakan inflasi, depresiasi kurs, juga pertumbuhan ekonomi turun, angka defisit APBN 2008 ini total menjadi Rp 54,7 triliun. Sungguh angka defisit yang amat serius dan berbahaya bagi kelangsungan anggaran.

Karena itu, sekali lagi, apresiasi sungguh patut kita sampaikan kepada pemerintah. Melalui forum sidang kabinet, Selasa lalu, pemerintah menunjukkan sikap tanggap sekaligus berani dengan menggariskan skenario pesimistis bagi pengamanan APBN 2008. Skenario itu dijabarkan dalam sejumlah jurus yang langsung merujuk pada langkah operasional mencegah APBN 2008 benar-benar amburadul dihempas harga minyak dunia.

Jurus-jurus itu sendiri, secara konseptual, realistis. Dalam arti, jurus-jurus itu memang merupakan kebutuhan. Sebagai langkah taktis pengamanan APBN, jurus-jurus itu bisa diaplikasikan. Misalnya penerbitan surat utang negara (SUN) atau pemanfaatan dana cadangan pengamanan gejolak harga bahan bakar minyak (BBM). Dengan dua jurus ini saja, menurut skenario pemerintah, defisit yang bisa ditutup bernilai sekitar Rp 24 triliun.

Tapi akankah jurus-jurus itu efektif menambal defisit anggaran? Jawaban tentang itu amat bergantung pada keseriusan, konsistensi, dan sikap konsekuen jajaran pemerintahan sendiri. Celakanya, justru di situ titik krusial pengamanan APBN 2008 ini. Becermin pada pengalaman dan kecenderungan selama ini, banyak kebijakan akhirnya mandul gara-gara pemerintah bersikap "hangat-hangat tahi ayam".

Banyak program akhirnya tak lebih menjadi sekadar angin surga lantaran pemerintah takut tidak populer. Banyak strategi akhirnya hanya menjadi macan omong karena aparat pelaksana terjerat bias kepentingan. Banyak target dan sasaran gagal dicapai gara-gara petugas di lapangan miskin kreasi.

Tentu kita amat berharap sikap-tindak seperti itu tidak tetap menggejala dalam konteks pengamanan APBN 2008 ini. Artinya, mental tidak serius harus benar-benar ditanggalkan. Mental tidak konsisten dan tidak konsekuen harus dikikis habis. Memang tidak mudah. Apalagi ini menyangkut kebiasaan yang nyaris mendarah daging.

Untuk itu, kontrol dan kritik amat dibutuhkan. Kontrol dan kritik jangan sekadar dianggap angin lalu. Juga jangan diperlakukan sebagai serangan yang merongrong wibawa pemerintah.***
Jakarta, 28 November 2007

26 November 2007

Rupiah Kian Bergerak Liar

Sebagai konsekuensi kita menganut rezim devisa mengambang, fluktuasi nilai tukar rupiah sungguh sulit dihindari. Selalu membayang. Seiring hukum permintaan dan penawaran, fenomena fluktuasi kurs setiap saat bisa terjadi. Terlebih ekonomi kita sudah merupakan bagian integral dunia global.

Artinya, gejolak kurs yang terjadi di belahan negara lain, lambat atau cepat pasti mengimbas pula ke dalam negeri. Jadi, fluktuasi kurs adalah fenomena biasa.

Tetapi manakala cenderung tidak normal, fluktuasi kurs segera mengundang waswas. Entah melemah ataupun menguat, gejolak kurs yang relatif tidak normal hampir selalu serta-merta memunculkan kekhawatiran. Jangan-jangan situasi tak terkendali. Jangan-jangan perkembangan tak bakal segera membaik.

Kenyataan seperti itu pula yang kini mulai membayang di tengah masyarakat. Ini sejak kurs rupiah cenderung terus tertekan terhadap dolar AS. Sejak nilai tukar rupiah semakin melemah. Terlebih perkembangan tersebut merupakan anomali. Sebab, memang, kurs berbagai mata uang lain terhadap dolar AS justru menguat. Artinya, arah pergerakan kurs rupiah sekarang ini lain sendiri.

Anomali itu pula yang membuat kekhawatiran di masyarakat jadi kian mengental. Karena tak memperoleh penjelasan gamblang tentang itu, masyarakat semakin waswas. Bahwa arah pergerakan kurs rupiah ke depan ini semakin memburuk. Apalagi kondisi ekternal -- terutama harga minyak mentah di pasar dunia -- potensial kian serius menekan.

Fenomena itu bisa berbahaya. Sikap dan perilaku irasional mulai dominan dalam menyikapi kondisi kurs rupiah. Seolah-olah kondisi objektif ekonomi makro di dalam negeri, yang sesungguhnya tak perlu dikhawatirkan, sama sekali tak bermakna. Seolah-olah fundamental ekonomi nasional yang relatif kokoh hanya bermakna di atas kertas.

Itu berbahaya karena bisa membuat situasi jadi tak terkendali. Ibarat bola salju, kepanikan masyarakat justru bisa membuat kurs rupiah kian terjerembab. Pada gilirannya, seperti pernah kita alami sepuluh tahun lalu, sendi-sendi ekonomi nasional niscaya rontok. Kalau sudah begitu, krisis ekonomi jelas kembali menerpa.

Dalam situasi seperti itu, kita angkat topi terhadap Bank Indonesia (BI). Menghadapi gejolak kurs rupiah sekarang ini, BI tetap mampu bersikap dingin. BI tak terkesan ikut larut dalam kecemasan dan kepanikan yang kini mulai membayangi masyarakat. Sejauh terungkap lewat pernyataan beberapa pejabat BI, kita menangkap kesan bahwa BI masih bisa mengatasi masalah.
Sikap BI itu adalah poin penting. Sebab, manakala BI selaku otoritas moneter ikut-ikutan goyah, apalagi panik, maka perkembangan kurs rupiah niscaya semakin memburuk. Gejolak kurs tak bakal lagi bisa efektif terkontrol.

Namun sikap tenang saja tidak cukup. Yang lebih penting sekarang ini, BI harus melakukan aksi. BI harus berbuat sesuatu yang bisa meredakan kepanikan di masyarakat. BI tak boleh memberi ruang sedikit pun yang bisa membuat kepanikan di masyarakat semakin menggila.

Dengan kata lain, BI harus bisa meyakinkan bahwa segala kecemasan tentang kurs rupiah sama sekali tak beralasan. Pertama, karena fundamental ekonomi nasional justru mengesankan -- dalam arti tidak punya celah yang bisa membuat kurs rupiah tertekan. Kedua, karena gejolak kurs sekarang ini lebih karena faktor eksternal yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan. Untuk itu, BI harus memberi penjelasan meyakinkan mengenai faktor-faktor yang membuat kurs rupiah kini menunjukkan anomali.

Ketiga, ini yang lebih penting, BI tak membiarkan nilai tukar rupiah terus bergulir liar sesuai tekanan pasar. BI sudah saatnya melakukan intervensi. Mungkin tak harus jor-joran. Yang penting, pasar harus diyakinkan bahwa BI tak tinggal diam. Terlebih dengan cadangan devisa yang kini relatif melimpah, BI mestinya tak terlalu sulit menggebrak pasar.***
Jakarta, 26 November 2007

20 November 2007

Stop Ketergantungan!

Ketergantungan kita terhadap pinjaman luar negeri sudah harus diminimalisasi, atau bahkan dihilangkan. Ini bukan hanya karena kita sudah terlalu lama bergantung pada peran pinjaman luar negeri. Sampai-sampai selama ini kita seolah tidak bisa menggerakkan roda ekonomi jika tak memperoleh kucuran pinjaman luar negeri.

Lebih dari itu, karena ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri punya implikasi serius yang tidak sehat, bahkan berbahaya. Ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri membuat ekonomi nasional mustahil bisa mandiri. Mustahil bebas muatan kepentingan pihak asing. Mustahil bisa berurat-berakar pada sumber daya sendiri.

Memang, selama kita masih terus bergantung terhadap pinjaman luar negeri, selama itu pula kalangan kreditor -- terutama melalui peran lembaga keuangan multiletaral seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Dana Moneter Internasional (IMF) -- begitu leluasa mendiktekan kepentingan mereka ke dalam berbagai kebijakan strategis kita di bidang ekonomi.

Dengan kata lain, ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri membuat kedaulatan kita di bidang ekonomi jadi tergadai.

Di sisi lain, keberpihakan ekonomi terhadap kepentingan nasional juga acap harus dikorbankan. Berbagai subsidi, misalnya, terus dipreteli. Padahal subsidi yang nyata-nyata dibutuhkan rakyat untuk sekadar bertahan hidup (survive) atau untuk amunisi pemberdayaan (empowering) sumber daya ekonomi dikikis dan dihapuskan.

Dalam konteks itu, kalangan kreditor tak henti menekan pengambil kebijakan agar menafikan semangat keberpihakan terhadap rakyat. Lewat ideologi pasar bebas, kalangan negara maju terus menjejalkan doktrin bahwa subsidi adalah kanker yang membuat kehidupan ekonomi tidak bisa sehat. Bahwa daftar negatif investasi adalah najis yang membuat asing ogah menanam modal. Bahwa perlindungan bagi pelaku ekonomi lokal adalah laknat yang membuat iklim investasi bak neraka jahanam.

Karena itu, sekali lagi, ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri sudah harus dihilangkan. Atau paling tidak diminimalisasi. Untuk itu, kita harus berani menghentikan pinjaman baru. Di sisi lain, kita juga harus percaya diri untuk meminta pengurangan atau bahkan penghapusan beban utang kepada jajaran kreditor.

Menghentikan pinjaman baru, untuk sekarang ini, rasanya tidak sulit. Toh proporsi kebutuhan akan pinjaman baru sudah tidak signifikan lagi dibanding nilai total APBN. Di awal Orde Baru dulu, proporsi pinjaman baru ini mencapai sekitar 30 persen APBN. Kini angka itu sudah melorot menjadi tinggal sekitar 5 persen.

Jadi, pinjaman baru sesungguhnya bisa kita hindarkan. Terlebih lagi sudah acap terbukti, kemampuan kita menggunakan pinjaman sekarang ini relatif kecil. Karena itu, buat apa mengambil pinjaman baru jika tak bisa optimal dimanfaatkan? Pinjaman baru bukan saja hanya melahirkan beban commitment fee, melainkan terutama secara politis menempatkan kita di mata kreditor menyerupai hamba sahaya.

Di sisi lain, meminta pengurangan atau bahkan penghapusan utang juga beralasan kita lakukan. Pertama, karena proporsi beban utang luar negeri dalam APBN sudah kelewat besar. Separo lebih devisa hasil ekspor kini praktis tersedot untuk mencicil pembayaran utang luar negeri. Jadi, proporsi pembayaran utang luar negeri dalam APBN sudah tidak sehat.

Kedua, sudah menjadi rahasia umum bahwa pinjaman luar negeri banyak dikorupsi oleh oknum pengambil kebijakan dengan restu diam-diam pihak kreditor. Justru itu, secara etis maupun moral, sudah sepatutnya kalangan kreditor pun turut menanggung risiko dengan memberikan keringanan kepada kita menyangkut beban utang ini.

Tapi soalnya, beranikah kita menempuh itu? Adakah political will ke arah sana? Masihkah kita gentar oleh gertakan Bank Dunia, ADB, IMF, ataupun kalangan kreditor lain yang mengancam memasukkan kita ke kelompok the bad boys?***
Jakarta, 20 November 2007

19 November 2007

Tegakkan Kemandirian Ekonomi!

Kemandirian ekonomi nasional sudah begitu lama tergadai. Bahkan mungkin meski kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, ekonomi kita tidak pernah benar-benar berdaulat. Proklamasi kemerdekaan tidak serta-merta membuat kehidupan ekonomi kita menjadi mandiri, dalam arti kokoh berakar pada kekuatan sendiri. Jika diibaratkan, ekonomi kita adalah tanaman bonsai.

Dalam realitas keseharian di tengah masyarakat, kehidupan ekonomi kita begitu nyata bergantung terhadap kekuatan luar. Di sektor pertanian, misalnya, kita adalah pengimpor besar sejumlah komoditas strategis seperti beras, gandum, bahkan juga gula pasir yang sejatinya dulu di zaman penjajahan Belanda jusru menempatkan kita sebagai produsen nomor wahid di dunia.

Di sektor manufaktur, kita juga tak memiliki kemandirian. Kita amat sangat bergantung pada kekuatan modal dan teknologi asing. Kekayaan sumber daya alam yang kita miliki ternyata tak serta-merta membuat industri manufaktur kita mandiri.
Bahkan dalam sejumlah kasus, ketergantungan itu bukan lagi sekadar menyangkut masalah modal dan teknologi, melainkan juga pasokan bahan baku -- entah bahan baku utama staupun bahan baku penolong. Peran kita sendiri, akhirnya lebih banyak sekadar menjadi penyedia pekerja kasar (blue collar) alias tenaga kuli.

Tak hanya bergantung, kita juga bisa dikatakan sudah kehilangan kendali atas berbagai sendi ekonomi kita. Asing begitu kuat mencengkram. Dalam konteks ini, kita tak berdaya membendung arus masuk kekuatan ekonomi luar. Itulah yang membuat pasar kita banjir dengan aneka produk barang dan jasa impor.

Memang, dalam konteks globalisasi sekarang ini, keterlibatan asing dalam kegiatan ekonomi nasional sungguh mustahil bisa dihindari. Tetapi jika keterlibatan asing ini melahirkan ketergantungan sekaligus membuat kita tak bisa efektif melakukan fungsi kendali, maka kemandirian ekonomi kita hanya di dalam mimpi.

Proses-proses ekonomi jelas tak lagi sepenuhnya berangkat dari kondisi dan potensi lokal. Terlebih jika mekanisme pasar dan liberalisasi menjadi pijakan, maka kegiatan ekonomi kita mustahil bisa optimal mengemban kepentingan nasional. Bahkan atas nama mekanisme pasar, atas nama liberalisasi, kepentingan nasional terpaksa dikorbankan. Artinya, tak bisa lain, ekonomi kita tak berdaulat. Ekonomi kita tergadai.

Dari sisi pengambilan kebijakan, ekonomi kita juga tak bisa dikatakan mandiri. Secara struktural, pemerintah sudah sejak lama amat sulit memformulasikan kebijakan tanpa muatan kepentingan asing, terutama Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai representasi atau kepanjangan tangan negara-negara maju. Itu sungguh tak terhindarkan sebagai konsekuensi kita yang telanjur begitu besar memanfaatkan pinjaman luar negeri.

Di luar itu, kekuatan berbagai korporasi raksasa dunia juga begitu perkasa mendiktekan kepentingan mereka. Kekuatan modal benar-benar mereka manfaatkan sebagai faktor penekan yang membuat kebijakan ekonomi domestik acap tidak lagi menjadi strategi pemberdayaan nasional.

Walhasil, ketidakmandirian ekonomi ini sungguh berbahaya. Bukan saja mendistorsi kedaulatan kita sebagai bangsa merdeka, ketidakmandirian ekonomi juga tidak produktif atau bahkan destruktif. Resep-resep pemulihan ekonomi yang diitroduksikan IMF dan bank Dunia ketika krisis ekonomi dan moneter melanda negeri kita sepuluh tahun lalu, misalnya, bukan saja terbukti tidak mujarab. Bisa dikatakan, resep-resep itu ngawur sehingga justru berdampak memperparah krisis yang terjadi.

Karena itu, saatnya kini kita mengakhiri ketidakmandirian ekonomi kita ini. Memang, langkah ke arah itu pasti tidak mudah -- terutama karena kita telanjur memiliki banyak ketergantungan kepada kekuatan luar. Tetapi dengan tekad politik membaja, kemandirian ekonomi bukan mustahil bisa kita tegakkan tanpa membuat kita terkucil dari percaturan global. Sejumlah negara bisa jadi contoh yang baik tentang itu.***
Jakarta, 19 November

15 November 2007

Rawannya Ketahanan Energi

Lonjakan harga minyak mentah di pasar dunia kian menorehkan kesadaran: betapa rawan ketahanan energi nasional kita sekarang ini. Rawan, karena lonjakan harga minyak di pasar global begitu nyata dan niscaya berdampak negatif terhadap ekonomi nasional kita. Makin mahal harga minyak dunia, makin serius pula problem ekonomi yang harus kita tanggung. Itu sungguh tak terhindarkan karena minyak telanjur berperan vital dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi.

Dulu kenaikan harga minyak dunia adalah rezeki nomplok.
Pertama, karena produksi minyak mentah kita ketika itu relatif melimpah, sehingga kita mampu menjual ke luar negeri (ekspor) dalam volume yang terbilang besar.

Kedua, kala itu tingkat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri relatif rendah. Meski kebutuhan akan BBM ini harus dipenuhi melalui impor, tingkat konsumsi yang rendah ini membuat kita tidak tekor. Hasil penjualan minyak mentah dikurangi nilai impor BBM tetap menyisakan rezeki dalam jumlah banyak.

Kini keadaan sudah berbalik seratus delapan puluh derajat. Kenaikan harga minyak di pasar dunia tidak lagi mendatangkan rezeki nomplok, melainkan justru petaka. Itu karena kita kini sudah menjadi net importer minyak. Tingkat produksi minyak mentah di dalam negeri sekarang ini relatif kecil, sehingga volume dan hasil ekspor pun tak seberapa besar.

Di sisi lain, tingkat konsumsi BBM di dalam negeri sudah demikian tinggi, sehingga kebutuhan impor komoditas tersebut pun tak mampu lagi dicukupi oleh hasil ekspor minyak mentah. Jadi, hasil ekspor minyak dibanding impor BBM telak-telak membuat kita tekor.

Ketahanan energi nasional ini terasa makin mencemaskan karena sejumlah faktor justru tidak kondusif. Tingkat konsumsi BBM, misalnya, terus naik secara pasti. Dalam soal ini, kita sungguh abai dan lalai. Kita nyaris tak pernah peduli oleh laju kenaikan konsumsi BBM.

Kita hampir-hampir tak memiliki kesadaran dan kepedulian untuk menahan laju tersebut. Barangkali kita adalah satu-satunya negara yang tak sedikit pun berupaya serius mengontrol soal itu. Kalaupun terbit kesadaran dan keinginan untuk menekan konsumsi BBM, yang muncul selalu saja program yang berwatak hangat-hangat tahi ayam.

Karena itu pula, dalam konteks penggunaan energi, kita termasuk sangat boros. Kita hampir tak pernah berpikir untuk menggunakan energi secara efisien. Bahkan kebutuhan yang tidak perlu atau sesungguhnya bisa dihindari pun tetap saja kita sandarkan pada BBM. Pembangkit listrik, misalnya, relatif sedikit yang memanfaatkan energi non-BBM. Apa boleh buat, diversifikasi pemanfaatan sumber energi lebih banyak sekadar menjadi wacana.

Yang juga merisaukan, seperti sudah disinggung, produksi minyak kita justru cenderung terus menurun. Ladang-ladang minyak kita kebanyakan telanjur tua-tua, sehingga tidak produktif lagi. Sementara proyek-proyek baru nyaris tak ada akibat iklim investasi yang tidak mengundang gairah investor.

Terkait kenyataan itu, jujur saja kita mempertanyakan kinerja Menteri Purnomo Yusgiantoro. Kita mendapat kesan, Purnomo belum berbuat banyak dan nyata dalam membenahi sektor pertambangan, khususnya dalam mendongkrak produksi minyak kita. Padahal Purnomo sudah menempati pos Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sejak zaman Presiden Abdurrahman Wahid. Artinya, hingga sekarang ini Purnomo telah mendampingi tiga kepala pemerintahan. Karena itu, mestinya grafik produksi minyak kita tidak justru menurun.

Soal ketahanan energi memang bukan melulu tanggung jawab Menteri Energi. Sejatinya, masalah tersebut adalah tanggung jawab kita bersama. Justru itu, mengingat rawannya ketahanan energi kita sekarang ini, semua pihak dituntut merapatkan barisan. Konsolidasi adalah kata kunci. Selebihnya adalah rumusan kebijakan dan program yang meski tajam terarah dan sinambung, serta kerja keras tak kenal lelah.***
Jakarta, 15 Oktober 2007

Kemiskinan Kian Mencemaskan

Kemiskinan di negeri kita sudah termasuk tahap memprihatinkan sekaligus mengerikan. Meprihatinkan, karena masalah kemiskinan tak kunjung tertangani secara meyakinkan. Berbagai upaya ke arah itu terkesan sedikit sekali membawa hasil positif. Jumlah penduduk miskin bukannya berkurang, melainkan justru kian menjulang.

Dua tahun lalu, Bank Dunia menyebutkan bahwa mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan (berpendapatan 2 dolar AS per hari), mencapai 49,5 persen dari total penduduk Indonesia. Berarti, hampir separo penduduk kita berkubang dalam kemiskinan!

Sangat boleh jadi, sekarang ini angka penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan ini sudah lebih besar lagi. Betapa tidak, karena sejumlah faktor mengondisikan kecenderungan ke arah itu. Sebut saja kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2005 yang sampai dua kali, serta notabene dengan besaran kenaikan yang sangat signifikan. Kenaikan harga BBM pada tahun 2005 menjadi faktor yang serta-merta menurunkan derajat kesejahteraan masyarakat.

Dalam konteks itu, mereka yang semula sudah relatif sejahtera pun terseret turun kembali ke bawah garis kemiskinan. Di sisi lain, kehidupan ekonomi nasional selama dua tahun terakhir juga tak banyak membantu menolong keadaan. Kelesuan di sektor riil berkepanjangan, sehingga masyarakat kesulitan memperoleh topangan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan.

Walhasil, jelas, jumlah warga miskin pun semakin bertambah. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri, saat memberikan sambutan pada puncak peringatan Hari Kesehatan Nasional 2007, kemarin, mengakui, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih tinggi.

Tingkat kemiskinan yang tinggi, terlebih dengan perkembangan yang cenderung memburuk, adalah kenyataan mengerikan. Betapa tidak, karena kemiskinan berkorelasi positif dengan tindak kejahatan. Makin tinggi angka kemiskinan, makin tinggi pula berbagai tindak kejahatan.

Lebih mengerikan lagi, karena tindak kejahatan justru semakin berkembang. Bukan hanya secara teknis kian canggih, melainkan terutama karena tindak kejahatan kian tak bernurani. Tindak kejahatan semakin menafikan aspek kemanusiaan: sadistis -- bahkan untuk masalah yang sangat sepele sekalipun.

Karena itu, masalah kemiskinan ini sungguh berbahaya. Jika tetap tak kunjung tertangani secara mendasar dan signifikan, kemiskinan bisa menjadi faktor yang menghancurkan keberadaan kita sebagai sebuah bangsa. Kita bisa kehilangan kebanggaan dan harga diri di tengah percaturan global. Kita juga bisa benar-benar kehilangan daya saing kolektif sebagai bangsa -- dan karena itu kita berisiko dimangsa dan diperhamba bangsa lain. Tanda dan gejala ke arah itu bahkan sudah mulai terlihat dan terasa.

Menilik seriusnya masalah kemiskinan di negeri kita sekarang ini, cara-cara biasa tampaknya tak memadai lagi. Terlebih cara-cara biasa itu acap terbukti tak efektif karena sama sekali tidak menyentuh akar masalah. Pemberian bantuan langsung berupa uang tunai, misalnya, malah melahirkan moral hazard di tengah masyarakat maupun aparat pelaksana program di lapangan.

Pemberian subsidi terhadap aneka komoditas maupun jasa juga lebih banyak menguras anggaran negara. Karena banyak diwarnai bias sasaran, pemberian subsidi nyaris tak berdampak memperbaiki kondisi kehidupan kaum miskin.

Terus-terang, kita cemas bahwa masalah kemiskinan di negeri kita ini justru semakin serius. Ini terutama karena kalangan elite kita miskin empati, miskin terobosan, juga miskin tindakan. Bagi kalangan elite, kemiskinan cenderung diperlakukan sebagai komoditas dan proyek. Karena itu, masalah kemiskinan bahkan mereka perlukan untuk kepentingan kosmetik.***
Jakarta, 15 November 2007

05 November 2007

Renumerasi, Lupakan Saja Dulu!

Pertemuan Menkeu dan tiga menko membahas masalah renumerasi bagi pejabat negara, pekan lalu, seharusnya tandas berkesimpulan bahwa kebijakan tentang itu belum saatnya bisa dilakukan. Tanpa harus alot beradu argumen, pembicaraan dalam pertemuan tersebut mestinya bisa dengan cepat melahirkan kesepakatan bulat. Bahwa pemberian renumerasi bagi pejabat negara untuk saat sekarang tidak urgen dan juga tidak patut.

Tidak patut, karena kondisi kehidupan masyarakat kebanyakan nyata-nyata masih pekat disaput kesulitan ekonomi. Kemiskinan masih kental menyelimuti rakyat dengan kondisi yang cenderung kian parah dan meluas. Gambaran kondisi ke depan ini juga tidak menampakkan gejala membaik.

Karena itu, forum pertemuan setingkat menteri pun mestinya bukan membicarakan masalah renumerasi bagi pejabat negara, melainkan justru membahas langkah-langkah strategis yang bersifat terobosan untuk memperbaiki kondisi kesejahteraan rakyat.

Pembahasan soal renumerasi ini juga tidak urgen dilakukan saat sekarang karena kehidupan pejabat negara sendiri sudah relatif baik dibanding kehidupan rakyat kebanyakan. Gaji yang mereka terima selama ini, jika merujuk pada takaran umum di negeri kita, sudah lebih dari cukup. Ditambah aneka fasilitas yang juga rata-rata di atas lumayan, kesejahteraan pejabat negara kita ini sungguh sulit dikatakan memprihatinkan. Bahkan tak jarang kita melihat kehidupan mereka justru bergelimang kemewahan.

Boleh jadi, memang, kehidupan yang bergelimang kemewahan itu tidak merata dinikmati semua pejabat negara kita. Tetapi juga tetap sulit dibantah bahwa kondisi kehidupan mereka sekarang ini sudah relatif sejahtera. Benar, dibanding di sejumlah negara lain, tingkat kesejahteraan pejabat negara kita ini relatif tertinggal.

Tapi untuk sementara ini, kenyataan tersebut belum terasa menjadi alasan urgen guna memperbaiki renumerasi mereka. Itu tadi, karena kehidupan rakyat kebanyakan masih dililit kemiskinan dengan kondisi yang memprihatinkan.

Artinya, peningkatan renumerasi bagi pejabat negara serta-merta menjadi persoalan etis yang langsung menggugah rasa keadilan. Terlebih lagi, peningkatan renumerasi belum tentu otomatis meningkatkan kinerja mereka. Selama jiwa mereka untuk mengabdi kepada kepentingan publik masih teramat tipis, peningkatan renumerasi boleh jadi sekadar berdampak menambah berat beban pengeluaran negara.

Soal itu terasa mengusik, karena kondisi keuangan negara sendiri sekarang ini tidak cerah. Ke depan ini, defisit anggaran boleh jadi kian membengkak. Kita tahu, harga minyak mentah di pasar dunia belakangan ini bergejolak hingga hampir menembus 100 dolar AS per barel, sementara APBN sendiri mengasumsikan harga minyak di level 60 dolar AS per barel.

Dalam kondisi seperti itu, pemerintah sendiri tampaknya tidak berani menempuh kebijakan tidak populer: menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebagai tindak penyesuaian terhadap perkembangan harga minyak dunia.

Implikasinya, itu tadi, defisit anggaran hampir pasti membengkak. Nah, dalam kondisi demikian, peningkatan renumerasi pejabat negara jelas menjadi amat tidak relevan. Peningkatan renumerasi bisa menjadi tindakan konyol sekaligus menyakitkan.

Kita setuju bahwa birokrasi kita perlu direformasi. Tetapi perbaikan renumerasi pejabat bukan satu-satunya faktor yang bisa diandalkan memperbaiki kinerja birokrasi kita. Bahkan masih banyak alternatif lain yang lebih bisa diandalkan untuk itu. Misalnya konsisten dan konsekuen melakukan penegakan hukum terhadap setiap bentuk dan skala tindakan korupsi di lingkungan birokrasi. Singapura atau Hong Kong bisa menjadi contoh terbaik tentang itu, sehingga birokrasi di kedua negara tersebut kini benar-benar efisien dan efektif berfungsi.

Jadi, untuk sementara, lupakan saja dulu gagasan ataupun keinginan membahas soal renumerasi pejabat ini. Selama kemiskinan masih mendera rakyat kebanyakan, juga keuangan negara tidak memungkinkan, godaan maupun tekanan ke arah itu harus dienyahkan jauh-jauh.***
Jakarta, 5 November 2007