28 November 2005

Penyelamatan Merpati Airlines

Sejumlah karyawan maskapai penerbangan Merpati Nusantara Airlines hampir pasti segera mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Menneg BUMN Sugiharto kemarin menyebutkan, masalah itu sudah dibicarakan dengan pihak DPR maupun serikat pekerja di lingkungan Merpati sendiri. Baik pihak DPR maupun serikat pekerja, katanya, sudah memberikan lampu hijau. Walhasil, rencana PHK sekian banyak karyawan ini sudah bukan masalah lagi. Tinggal dilaksanakan.

Konon, rasionalisasi karyawan Merpati ini idealnya mencapai sekitar 2.500 orang. Padahal total karyawan maskapai plat merah itu sekarang sekitar 4.000 orang. Walhasil, jika mengejar target ideal, rasionalisasi itu sungguh merupakan PHK besar-besaran.

Tak jelas apakah rasionalisasi karyawan yang segera dilakukan Merpati ini sekaligus meliputi 2.500 orang ataukah di bawah angka itu. Yang pasti, rasionalisasi karyawan memang tak terhindarkan lagi -- karena kondisi Merpati sebagai badan usaha telanjur berdarah-darah, di samping karena jumlah karyawan kini sudah tak seimbang lagi dibanding jumlah armada pesawat maupun rute yang dilayani Merpati.

Kenyataan itu pula, tampaknya, yang membuat pihak DPR maupun serikat pekerja Merpati tak sulit memberikan persetujuan terhadap rencana rasionalisasi karyawan ini. Kedua lembaga tersebut bisa memahami dan terkesan lapang dada (legowo) atas rencana itu.

Tetapi, bagaimanapun, opsi itu sendiri hanya salah satu alternatif penyelamatan. Bahkan, rasionalisasi karyawan ini cuma alternatif untuk sekadar memperpanjang napas Merpati. Maklum karena jika rasionalisasi karyawan tak segera dilakukan, Merpati niscaya makin berdarah-darah. Merpati sulit bisa bertahan hidup (survive).

Apa boleh buat, memang, kondisi Merpati telanjur sakit parah. Kini setiap bulan mereka mengalami defisit cash flow sebesar Rp 40 miliar. Mereka juga menanggung beban utang kepada bank dan vendor sekitar Rp 130 miliar.

Langkah penyelamatan memang perlu. Pertama, karena likuidasi bukan alternatif strategis. Pemerintah sendiri pernah menghitung, likuidasi Merpati ini bukan perkara murah-meriah: paling tidak membutuhkan dana sekitar Rp 2 triliun. Kedua, karena misi istimewa yang selama ini diemban Merpati -- membuka layanan ke jalur-jalur terisolasi -- mungkin ikut terkubur. Padahal pembukaan jalur-jalur terisolasi amat strategis dalam konteks pembangunan kesatuan dan kesatuan NKRI.

Karena itu, langkah penyelamatan Merpati memang sungguh merupakan kebutuhan. Tetapi, mestinya, upaya ke arah itu tidak setengah-setengah. Juga jangan bersifat parsial. Rasionalisasi karyawan memang perlu. Tapi itu saja jelas tidak menyelesaikan masalah -- karena Merpati tak serta-merta jadi sehat.

Pemerintah sebenarnya sudah membahas sejumlah opsi penyelamatan Merpati ini. Misalnya mencari mitra strategis (strategic partner), down sizing bisnis dengan strategi yang dikembangkan ke arah low cost carrier, negosiasi tentang restrukturisasi utang dengan kreditur dan vendor, merger dengan maskapai Garuda Indonesia yang sama-sama milik pemerintah, juga rasionalisasi karyawan.

Di sisi lain, pemerintah dan DPR juga sudah menyepakati suntikan dana sebesar Rp 450 miliar bagi Merpati ini. Tapi kesepakatan tersebut tak bisa segera direalisasikan -- karena menyangkut teknis alokasi anggaran, sementara APBN 2005 sendiri sudah telanjur bergulir lumayan jauh. Paling tidak, suntikan dana segar itu baru bisa terealisasi pada tahun anggaran mendatang.

Opsi-opsi itu sendiri bagus -- dalam arti layak diaplikasikan. Justru itu, mengingat kondisi Merpati yang saat ini sudah terbilang gawat, beberapa opsi -- terutama yang berfungsi saling melengkapi -- sepatutnya dicoba diterapkan paralel. Sebagai langkah darurat, tidak keliru -- bahkan menjanjikan hasil positif -- jika upaya menggaet mitra strategis dilakukan bersamaan dengan negosiasi restrukturisasi utang, serta down sizing bisnis ke arah low cost carrier.***
Jakarta, 28 November 2005