30 September 2005

Pendelegasian Tugas

Dalam beberapa hari terakhir ini, masyarakat yang peduli asyik mempergunjingkan pendelegasian tugas dan fungsi dari Presiden kepada Wapres. Pergunjingan itu mengacu pada urgensi video telekonferensi yang berulang-ulang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari AS dengan para menterinya di Jakarta.

Pasti ada yang sangat urgen, sehingga berkali-kali sudah Presiden melakukan telekonferensi itu. Kemarin, Presiden bahkan memimpin rapat kabinet dengan bantuan teknologi itu. Tak heran jika ada yang usil dengan bertanya, berapa biaya penggunaan semua fasilitas itu?

Pergunjingan itu pada gilirannya melahirkan beragam tafsir, dan membuat suasana menjadi tidak kondusif lagi. Soalnya, ada-ada saja yang dianggap aneh. Misalnya, mengapa video telekonferensi antara Presiden dan para menteri -- minus Wapres -- harus dilakukan berulang-ulang.

Kalau memang ada yang sangat urgen, mengapa Wapres sampai absen dalam tiga sidang yang dipimpin Presiden dengan bantuan teknologi telekonferensi itu?

Ada yang berasumsi, Presiden tidak percaya kepada wakilnya. Sedangkan lainnya menilai video telekonferensi itu sebagai refleksi berlanjutnya persaingan Presiden dan Wapres. Inilah yang kita sesalkan. Suasana yang sudah adem-ayem terusik lagi oleh menuver-manuver yang tidak perlu.

Kemarin, sidang yang dipimpin Presiden di Istana dihadiri Jaksa Agung Abdurrahman Saleh, Kapolri Jenderal Pol Sutanto, Mensesneg Yusril Ihza Mahendra, Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki, Wakil Ketua BPK Abdullah Zainie, dan Wakil Ketua Timtas Tipikor, Brigjen Pol Indarto.

Sementara di kantor Wapres di jalan Medan Merdeka Selatan Jakarta, Wapres memimpin rapat yang dihadiri Menko Polhukam Widodo AS, Menko Kesra Alwi Shihab, Mendagri M Ma'ruf, Menkeu Jusuf Anwar, dan Mensos Bachtiar Chamsyah. Rapat mengagendakan pembahasan Aceh.

Satu kali video telekonferensi antara Presiden dan para menteri pasti bisa dipahami. Tapi kalau rapat jarak jauh itu dilakukan berulang-ulang, jangan heran kalau meeting model begitu menyita perhatian publik dan mendorong setiap orang membuat penafsiran sesuai pemahaman dan pengetahuannya.

Masyarakat tahu bahwa ibukota tidak boleh kosong oleh kehadiran salah satu dari Presiden atau Wapres. Kalau Presiden pergi, Wapres harus stand by di Jakarta, atau sebaliknya. Jika presiden berada di luar negeri, sebagian wewenangnya otomatis dilimpahkan kepada Wapres.

Menjelang berangkat ke AS, Presiden pun sudah menerbitkan Keppres No 26/2005 tentang penugasan Wapres melaksanakan tugas Presiden. Keppres ini diterbitkan khusus untuk perjalanan Presiden ke AS periode 10-17 Sepetember 2005. Apa arti Keppres ini kalau Presiden sampai harus berkali-kali melakukan video telekonferensi dengan para menteri?

Tentu saja kepedulian Presiden terhadap situasi di dalam negeri patut diapresiasi. Tetapi kenapa harus dengan video telekonferensi berulang-ulang, dan dipublikasikan kepada masyarakat luas? Bukankan pencitraan tentang kepedulian seperti itu tidak serta-merta menyelesaikan persoalan? Bahkan, faktanya, justru melahirkan persoalan baru berupa tafsir rivalitas Presiden versus Wapres sampai saling tidak percaya di antara keduanya.

Presiden wajib tahu situasi dan kondisi di dalam negeri day by day, dan progres penyelesaian setiap masalah. Idealnya, penyerapan informasi tentang hal-hal itu tidak melalui telekonferensi. Bukankah problem yang menyelimuti kehidupan kita bernegara amat beragam?***
Jakarta, 30 September 2005

29 September 2005

Manajemen Informasi Buruk

Melalui proses pemilihan suara (voting), Selasa malam lalu, sidang paripurna DPR akhirnya menyetujui alokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp 89,2 triliun dalam APBNP II 2005. Itu berarti, harga BBM harus dinaikkan.

Kenaikan itu sendiri, seperti sudah diwacanakan pemerintah, hampir pasti diputuskan pada 1 Oktober 2005. Yang belum jelas adalah besaran kenaikannya. Tapi tempo hari pemerintah sudah memberi isyarat bahwa besaran rata-rata kenaikan harga BBM ini minimal 50 persen.

Karena itu, seperti kata Presiden Yudhoyono, bagi pemerintah kenaikan harga BBM ini merupakan pilihan pahit. Pahit, karena kenaikan tersebut sulit sekali dihindari dan berimplikasi menyulitkan masyarakat.

Kenaikan sulit dihindari karena harga minyak di pasar dunia melambung tinggi. Akibatnya, subsidi BBM jadi membengkak luar biasa dan amat membebani APBN. Jika subsidi BBM tidak diciutkan, APBN menjadi tidak sehat. Menurut hitungan kasar, sekitar sepertiga anggaran praktis tersedot untuk subsidi BBM.

Tapi di sisi lain, kenaikan harga BBM jelas berimplikasi sangat serius terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Kenaikan harga BBM membuat daya beli masyarakat menurun. Justru itu, sebagaimana juga diakui pemerintah, jumlah penduduk miskin jadi membengkak. Di lain pihak, jumlah pengangguran juga semakin menggunung -- karena banyak perusahaan terpaksa harus melakukan efisiensi dan rasionalisasi.

Karena itu, kenaikan harga BBM ini membuat pemerintah menjadi tidak populer. Pemerintah jadi terkesan kurang peduli terhadap derita berat yang harus ditanggung rakyat. Terlebih karena Maret lalu pemerintah sudah menaikkan harga BBM ini.

Bagi wakil-wakil rakyat di parlemen, kenaikan harga BBM juga tidak kurang terasa pahit. Persetujuan mereka terhadap opsi pengurangan subsidi BBM, yang berimplikasi harga komoditas tersebut harus dinaikkan, membuat rakyat kecewa dan merasa dikhianati. Rakyat menilai mereka sama dan sebangun dengan pemerintah: kurang peduli terhadap implikasi sosial-ekonomi kenaikan harga BBM di tengah masyarakat.

Jadi, kenaikan harga BBM ini sungguh terasa sangat pahit. Semua pihak dibuat tidak happy oleh keputusan tentang itu. Semua pihak merasa prihatin.

Tapi ada yang lebih memrihatinkan lagi: proses menuju kenaikan harga BBM ini memakan ongkos sangat mahal. Di banyak daerah, BBM menjadi sulit diperoleh. Bersamaan dengan itu, harga komoditas tersebut melambung tak terkendali. Di sisi lain, harga aneka barang dan jasa pun ikut-ikutan meroket.

Jadi, sebelum harga BBM resmi diputuskan, masyarakat sudah lebih dulu menanggung derita: kehidupan sehari-hari semakin sulit. Kondisi tersebut niscaya semakin parah setelah pemerintah resmi memutuskan kenaikan harga BBM.

Kenyataan itu merupakan bukti tak terbantahkan bahwa manajemen informasi pemerintah demikian buruk. Pemerintah tidak menempatkan tuntutan kondisonal mengenai kenaikan harga BBM ini sebagai informasi yang harus dikelola ekstra hati-hati agar tidak menimbulkan kepanikan di masyarakat.

Tapi apa yang terjadi, pemerintah justru membiarkan tuntutan kondisional itu berkembang menjadi wacana berkepanjangan. Demikian serunya wacara itu hingga mewujud menjadi momok yang membuat masyarakat dilanda resah dan panik.

Jelas, itu adalah harga atas sikap pemerintah yang tak berani mengambil keputusan secara cepat. Seharusnya, ihwal kenaikan harga BBM ini tidak dikondisikan menjadi wacana terbuka dan meresahkan. Pemerintah seharusnya segera menaikkan harga BBM begitu faktor penekan -- harga minyak dunia -- semakin serius. Toh, seperti kata Wapres Jusuf Kalla, keputusan menaikkan harga BBM adalah hak pemerintah.
Jakarta, 29 September 2005

19 September 2005

Flu Burung Kian Mencemaskan

Flu burung atau avian influenza adalah penyakit berbahaya -- karena terbilang dahsyat dalam merenggut korban jiwa. Sebagaimana dalam beberapa kasus yang sudah terjadi, jika terlambat ditangani, korban bisa meninggal hanya dalam tempo beberapa hari sejak pertama mengeluhkan gejala -- berdasar hasil diagnosis yang belakangan dilakukan pihak rumah sakit -- terjangkit flu burung.

Memang, sejauh ini flu burung di negeri kita belum menjadi wabah yang merenggut banyak nyawa manusia. Korban yang sudah jatuh masih dapat dihitung dengan jari. Juli lalu, korban meninggal akibat flu burung ini hanya tiga orang. Mereka adalah warga Tangerang, Banten: Iwan Siswara Rapei bersama dua anaknya. Kemudian, pekan lalu, menyusul seorang korban lagi: Rini Dina, warga Jakarta Utara.

Di luar keempat korban itu, tiga orang kini tergolek di rumah sakit. Kuat dugaan mereka juga terjangkit flu burung -- dan karena itu dinyatakan sebagai suspect.

Namun bukan tidak mungkin bahwa flu burung ini merebak menjadi wabah yang mencemaskan -- karena bisa banyak merenggut jiwa manusia. Paling tidak, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pekan lalu sudah mengingatkan: flu burung kemungkinan merebak menjadi wabah mematikan di Asia Tenggara.

Dalam kaitan itu, Dirjen WHO Lee Jong-wook terus-terang mengaku khawatir bahwa virus H5N1 yang menjadi musabab flu burung sudah bermutasi dan memperoleh sifat-sifat flu manusia.

Jika itu benar-benar terjadi, flu burung sungguh tampil sebagai penyakit yang sangat berbahaya. Flu burung bukan lagi hanya menular antarunggas dan dari hewan ke manusia sebagaimana sifatnya sejauh ini. Ketika sudah bermutasi dan memperoleh sifat-sifat flu manusia, penyakit flu burung niscaya bisa menular dari manusia ke manusia.

Karena itu, penyataan Menkes Siti Fadilah Supari -- bahwa flu burung tak perlu ditakuti -- terkesan seperti menyepelekan masalah. Terlebih lagi penyebaran flu burung ini amat sulit dideteksi. Sejumlah unggas di Kebun Binatang Ragunan di Jakarta, misalnya, kemarin tahu-tahu sudah terjangkit flu burung. Tentu, karena kebun binatang banyak dikunjungi orang, sejumlah pengunjung pun berisiko terjangkit. Siapa dan di mana saja mereka, tidak jelas!

Dalam situasi seperti itu, pemerintah dituntut mampu berkomunikasi secara baik dan bijak: tidak menyepelekan atau bahkan menutup-nutupi masalah tanpa membuat masyarakat menjadi panik. Pemerintah harus mampu meyakinkan publik bahwa masalah bisa dikontrol melalui langkah-langkah antisipatif di berbagai aspek. Dengan demikian, masyarakat niscaya bisa bersikap tenang namun tetap waspada.

Flu burung memang bukan untuk ditakuti, melainkan untuk diwaspadai dan diatasi. Tapi kegagalan pemerintah dalam mengomunikasikan masalah, boleh jadi membuat flu burung segera menjadi momok yang menakutkan -- dan karena itu bisa membuat masyarakat panik tidak karuan. Terlebih bila korban flu burung terus berjatuhan -- entah sekadar menjadi suspect atau positif terjangkit hingga meninggal --, dan di sisi lain persebaran penyakit tersebut kian meluas.

Celakanya, sejauh ini justru kemampuan pemerintah berkomunikasi patut kita prihatinkan. Pernyataan kalangan pejabat acap simpang-siur, saling bertentangan, tidak konsisten, atau bahkan distorsif. Mungkin ini bukan sekadar soal kemampuan (skill), melainkan terutama soal manajemen informasi yang amburadul.

Dikaitkan dengan masalah flu burung sekarang ini, kenyataan tersebut bisa jauh lebih berbahaya berbahaya ketimbang risiko terjangkit penyakit itu sendiri. Ini yang kita cemaskan.
Jakarta, 19 September 2005