30 Juli 2005

Langkah Berani

Pemerintah memberi isyarat pasti: harga bahan bakar minyak (BBM) segera dinaikkan. Ini jelas sangat berani. Pertama, karena harga BBM ini justru belum lama dinaikkan. Kedua, karena keputusan menaikkan harga BBM selalu menjadi tindakan tidak populer. Seperti yang sudah-sudah, banyak kalangan niscaya mengecam keputusan pemerintah menaikkan harga BBM ini -- karena membuat daya beli masyarakat semakin turun.

Tapi pemerintah tidak punya banyak pilihan. Bahkan, barangkali, menaikkan lagi harga BBM merupakan pilihan paling mungkin saat ini. Maklum, karena harga minyak dunia yang tak beringsut turun dari level 60-an dolar AS per barel. Itu jauh di atas asumsi APBN sebesar 45 dolar AS.

Kenyataan tersebut membuat subsidi BBM menjadi membengkak luar biasa: dari Rp 59 triliun yang sudah dialokasikan di APBN menjadi sekitar Rp 129 triliun. Itu sungguh tidak rasional, karena membuat sepertiga APBN praktis tersedot untuk subsidi BBM.

Tapi secara politis mungkin itu tak jadi soal jika dipenuhi -- karena rakyat secara keseluruhan tidak harus menanggung risiko penurunan daya beli. Tapi soalnya, kemampuan keuangan pemerintah sangat terbatas. Terlebih pembengkakan subsidi BBM sendiri, yang mencapai sekitar Rp 70 triliun, jelas luar biasa.

Memang, seharusnya pembengkakan subsidi BBM ini bisa ditutup oleh windfall profit harga minyak dunia. Namun sekarang ini justru windfall profit sudah amat tipis. Ya, karena produksi minyak nasional relatif rendah. Bahkan kuota kita yang disepakati APEC sendiri, sebesar 1,3 juta barel per tahun, sudah tak mampu lagi bisa dicapai. Produksi minyak kita sekarang hanya berkisar 900.000-an barel per tahun.

Padahal, di sisi lain, konsumsi BBM di dalam negeri terus meningkat signifikan. Artinya, volume minyak mentah yang bisa kita ekspor pun semakin lama semakin menipis. Karena itu, lonjakan harga minyak dunia kini tak lagi menjadi berkah yang melimpah-ruah.

Walhasil, hasil penjualan minyak dan gas (migas) pun sudah tak mencukupi lagi untuk menutup subsidi. Terlebih lagi, penerimaan hasil penjualan
migas ini harus dibagi dengan daerah-daerah penghasil migas. Ini tak bisa diabaikan karena merupakan amanat UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.

Dalam kondisi seperti itu pula, pemerintah justru harus mengimpor minyak mentah. Ini bukan semata karena tuntutan memenuhi kebutuhan konsumsi minyak di dalam negeri, melainkan juga merupakan keharusan yang digariskan UU Migas. Dalam konteks ini, Pertamina selaku agen pemerintah harus membeli minyak mentah produksi jajaran mitra bagi hasil (KPS) untuk keperluan kilang BBM di dalam negeri.

Walhasil, volume minyak yang diimpor untuk kilang-kilang BBM ini tak bisa dipandang enteng. Untuk itu, Pertamina harus membayar tunai sesuai harga pasar internasional. Padahal dalam mengimpor BBM ini Pertamina dibatasi harga BBM yang diasumsikan APBN. Nyatanya sekarang, harga yang diasumsikan APBN ini jauh di bawah harga riil di pasar dunia. Karena itu, subsidi menjadi demikian niscaya.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, pemerintah hanya punya dua pilihan: bersikap populis dengan berpayah-payah menanggung beban subsidi, atau bersikap realistis dengan menaikkan harga BBM sebagai langkah menghindari beban lonjakan subsidi. Ternyata pemerintah memberi isyarat mengambil alternatif.

Sekali lagi, itu merupakan langkah berani. Pemerintah tampaknya siap tidak populer. Tapi soal itu kembali sebenarnya berpulang kepada sikap pemerintah sendiri. Pertama, jika intensif disosialisasi sebagai sesuatu yang secara teknis dan ekonomis tak terhindarkan, kenaikan harga BBM ini niscaya tak terlampau mengundang reaksi negatif.

Kedua, jika program kompensasi terlaksana lebih baik -- benar-benar tepat pola dan tepat sasaran --, kenaikan harga BBM tak mesti menjadi faktor yang menumbuhkan antipati publik terhadap pemerintah.***
Jakarta, 30 Juli 2005

27 Juli 2005

Pembatasan Usia Mobil

Pemilikan kendaraan mobil kini tak selalu karena alasan klasik: mengangkat gengsi sosial. Terutama di lapisan masyarakat bawah, pemilikan kendaraan mobil sekarang ini lebih karena pertimbangan kenyamanan dan kepraktisan. Dengan memiliki mobil sendiri -- meski sudah lapuk dan ngos-ngosan dimakan usia --, orang bisa lebih merasa nyaman berkendaraan. Dia tidak harus ikut berjejalan di angkutan umum bak ikan pindang.

Atas dasar itu, meski secara sosial tidak menunjang, banyak orang tetap memilih mempertahankan kepemilikanan mobil tua sebagai sarana pribadi berkendaraan. Mereka tidak peduli bahwa mobil mereka -- justru karena sudah uzur -- sebenarnya bisa meruntuhkan gengsi sosial. Bagi mereka, kepraktisan lebih penting daripada sekadar soal gengsi. Yang penting, meski dengan mobil tua, mereka relatif bisa lebih leluasa, nyaman, dan aman bepergian ke mana pun.

Karena itu, rencana pemerintah membatasi usia mobil serta-merta terasa menggelitik. Meski menggunakan terminologi "kuno", yang menjadi sasaran rencana kebijakan itu boleh jadi adalah mobil tua -- bukan mobil kuno yang dikoleksi kalangan berduit. Ya, karena gagasan tentang itu berangkat dari keinginan menurunkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dalam rangka penghematan energi.

Pemerintah sendiri belum memberi rumusan tentang batasan maksimal usia mobil ini. Padahal kita tidak yakin bahwa pembatasan usia mobil ini bisa signifikan mengurangi konsumsi BBM nasional. Terlebih, kita semua tahu bahwa tingkat pertumbuhan sektor otomotif di negeri kita terbilang tinggi. Karena itu, jangan-jangan pembatasan usia mobil ini sama sekali tak berdampak terhadap tingkat konsumsi BBM nasional.

Di sisi lain, rencana pembatasan usia mobil juga menafikan hak masyarakat lapisan bawah memiliki kendaraan mobil pribadi -- notabene dengan alasan yang amat masuk akal. Ini bisa menjadi isu sensitif karena sungguh mengusik rasa keadilan. Bayangkan, jika mobil tua tak diberi lagi hak hidup, berarti cuma orang-orang kaya yang bisa menikmati sarana kendaraan pribadi dengan segala kenyamanannya. Sementara mereka yang tak mampu memiliki mobil pribadi karena alasan kemampuan ekonomi, praktis harus rela menjadi pengguna angkutan umum yang sama sekali tak memberikan kenyamanan dan keamanan.

Sebenarnya, jika penghematan BBM yang menjadi tujuan, pembatasan usia mobil tak harus menjadi pilihan. Toh pemerintah masih bisa memanfaatkan strategi dan instrumen lain yang lebih cerdas dan tak menyakiti masyarakat lapisan bawah. Sebut saja instrumen pajak progresif bagi kendaraan bermotor berdasarkan jumlah pemilikan serta besaran daya (cc) mesin. Jadi, makin banyak pemilikan mobil, tarif pajak yang dikenakan pun makin tinggi. Itu bahkan dikombinsasikan dengan besaran daya mesin mobil.

Kita yakin, strategi seperti itu lebih bisa diandalkan mampu menekan tingkat konsumsi BBM sekaligus mendongkrak penerimaan negara dari sektor pajak. Terlebih jika subsidi BBM, khususnya bagi kendaraan pribadi, juga dihapuskan saja sekalian -- karena selama ini terbukti lebih banyak dinikmati oleh mereka yang berpenghasilan tinggi jor-joran menjadikan pemilikan sebagai lambang status dan gengsi.

Karena itu, rencana kebijakan membatasi usia mobil bukan pilihan yang cerdas. Gagasan tentang itu malah lebih memperlebar kesenjangan sosial karena berwatak diskriminatif sekaligus memarginalisasi kelompok masyarakat di lapisan bawah.

Justru itu pula, rencana pembatasan usia mobil ini harus ditentang. Lebih-lebih jika pemerintah tak menunjukkan tekad serius membenahi sistem transportasi nasional menjadi lebih nyaman dan aman, serta mudah dan murah.***
Jakarta, 27 Juli 2005

24 Juli 2005

Bencana Nasional Flu Burung

Wabah flu burung adalah bencana nasional. Ini bukan hanya karena wabah tersebut sudah merebak di 23 provinsi, melainkan juga lantaran dampak yang ditimbulkannya bisa sangat dahsyat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa pada tahun 1918 dan 1968 wabah flu burung merenggut belasan juta jiwa. Belum lagi sekian banyak hewan ternak.

Kenyataan serupa bisa saja kita alami sekarang ini jika langkah-langkah penanggulangan tak segera dilakukan dengan segala kesungguhan. Juga jika kita tidak mengembangkan sikap waspada dengan menggerakkan kesiagaan dan upaya-upaya preventif.

Karena itu adalah naif jika pemerintah terkesan tidak kompak. Harus disadari bahwa wabah flu burung bukan hanya tanggung jawab instansi tertentu. Karena eskalasi masalah sudah demikian luas dan berat, wabah tersebut adalah tanggung jawab bersama pemerintah -- juga masyarakat.

Itu berarti, berbagai institusi pemerintah dituntut saling membahu dalam menanggulangi wabah flu ini. Di sisi lain, masyarakat juga tak bisa cuma berpangku tangan. Paling tidak, masyarakat dituntut menunjukkan sikap kooperatif terhadap langkah pemerintah mencegah dan menanggulangi wabah tersebut.

Juga adalah naif jika merebaknya wabah flu burung ini dikatakan sebagai dampak kelalaian pihak tertentu. Bahwa kejangkitan flu burung sebenarnya bisa dicegah, itu memang betul. Tetapi siapa bisa menjamin bahwa langkah-langkah preventif senantiasa berhasil sukses? Lalu, apakah langkah-langkah preventif itu sendiri memang merupakan monopoli pihak tertentu?

Dalam situasi seperti sekarang ini -- flu burung sudah menjadi bencana nasional -- sama sekali tidak relevan mencari siapa yang bersalah. Terlebih lagi, tak seorang pun bisa memastikan kapan dan di mana wabah itu bisa terjadi. WHO sendiri sudah mengingatkan bahwa siapa pun harus senantiasa siap menghadapi kejutan terkait penyakit flu burung ini.

Artinya, secara alamiah serangan flu burung memang potensial sulit dibendung. Virus flu burung dikenal sangat ganas dan sulit diprediksi. Apalagi jika virus tersebut ternyata sudah bermutasi menjadi bukan lagi hanya menular antarhewan atau dari hewan ke manusia, melainkan dari manusia ke manusia.

Memang sekarang ini belum ada bukti ilmiah bahwa virus flu burung sudah bermutasi menjadi bisa menular dari manusia ke manusia. Tetapi pada saat bersamaan juga tidak ada yang bisa memastikan bahwa penularan antarmanusia adalah tidak mungkin. Kalangan ahli sendiri menyatakan, virus flu burung bisa saja menular dari manusia ke manusia.

Kenyataan tersebut tak boleh ditutup-tutupi. Memang, jujur mengatakan bahwa flu burung mungkin saja menular dari manusia ke manusia bisa membuat masyarakat waswas. Tapi sepanjang tidak berkembang menjadi kepanikan, rasa waswas di masyarakat malah bisa positif: menumbuhkan sikap waspada, siaga, peduli, dan amat mendukung berbagai upaya penanganan wabah.

Sebaliknya, sikap memastikan sesuatu yang justru belum pasti -- bahwa flu burung tidak menular melalui manusia ke manusia -- bisa berbahaya. Kalau kemudian terbukti bahwa flu burung ternyata sudah bisa menyebar dari manusia ke manusia, dampak yang timbul bisa sangat dahsyat.

Walhasil, pemerintah dituntut serius dan konsekuen memperlakukan wabah flu burung ini sebagai bencana nasional. Di samping habis-habisan melakukan langkah penanganan -- preventif maupun kuratif --, pemerintah juga semestinya jujur dan terbuka membeberkan peringatan WHO bahwa wabah penyakit flu burung bisa jauh lebih dahsyat: bukan cuma memusnahkan ternak, melainkan juga bukan tidak mungkin menyerang manusia.

Tentu, agar tidak menimbulkan kepanikan, pemerintah harus piawai mengelola komunikasi.***
Jakarta, 24 Juli 2005

21 Juli 2005

Teror Flu Burung

Flu burung bukan lagi sekadar momok. Flu burung sudah menjadi teror. Flu burung kini bukan lagi hanya membuat keder industri perunggasan. Setelah gamblang terungkap bahwa penyebab kematian warga Tangerang -- Iwan Siswara Rapei dan dua anaknya -- adalah virus azian influenza A subtipe H5N1 (H=hemagglutinin; N=neuraminidase) alias flu burung, momok flu burung seketika berubah menjadi teror yang membuat waswas berbagai kalangan.

Kita waswas karena flu burung di Indonesia ternyata sudah menyerang manusia secara ganas. Iwan Siswara dan dua anaknya adalah bukti tak terbantahkan tentang itu.

Selama ini, flu burung di Indonesia cenderung hanya menjadi momok bagi industri perunggasan. Ya, karena kita diyakinkan pemerintah dan kalangan ahli bahwa secara umum flu burung tidak menyerang manusia. Flu burung hanya menyerang ternak dan unggas.

Bahwa sejumlah kasus di luar negeri menunjukkan penyakit unggas tersebut ternyata menyerang pula manusia, kita tetap tidak waswas. Kita tetap merasa tenteram. Karena baru kasus di luar negeri, kita bahkan menganggap serangan flu burung terhadap manusia ini sebagai sekadar sebuah kemungkinan.

Kini, kemungkinan itu sudah menjadi kenyataan. Artinya, kita berisiko terserang flu burung. Mungkin itu berlebihan. Toh, menurut literatur, serangan flu burung terhadap manusia hanya dimungkinkan lewat kontak langsung dengan unggas atau kotorannya yang sudah terinfeksi virus H5N1.

Jadi, sepanjang tidak bersentuhan langsung dengan unggas ataupun kotorannya, risiko terkena flu burung ini terbilang minim.

Tapi tetap saja flu burung ini terasa menjadi teror. Terlebih kasus kematian Iwan Siswara dan dua anaknya masih menyisakan misteri. Itu menyangkut sumber atau muasal yang membuat mereka terserang flu burung. Misteri tersebut serta-merta menumbuhkan spekulasi: jangan-jangan Iwan terserang flu burung lewat kontak dengan manusia yang sudah terinfeksi virus H5N1.

Terlebih latar belakang sosial maupun kesibukan Iwan sendiri sedikit sekali memiliki kemungkinan terlibat kontak langsung dengan unggas. Jika benar begitu, jangan-jangan virus flu burung sudah bermutasi menjadi bisa menyebar dari manusia ke manusia.

Namun tanpa spekulasi seperti itu pun, penyakit flu burung tetap sudah menjadi teror. Kasus kematian Iwan telanjur menguakkan kenyataan sekaligus kesadaran kita semua bahwa penyakit flu burung di Indonesia semakin berisiko. Flu burung bukan lagi penyakit berbahaya yang hanya menyerang unggas. Flu burung sudah menjadi penyakit gawat yang bisa menyerang siapa saja.

Jelas teror itu harus bisa diredam -- karena bisa lebih berbahaya ketimbang penyakit flu burungnya sendiri. Jurus paling jitu untuk itu adalah sikap pemerintah yang harus jujur dan terbuka. Sikap menutup-nutupi kenyataan justru malah bisa menjadi lahan subur yang membuat flu burung menjadi teror yang kian mencemaskan.

Di samping itu, pemerintah sendiri bisa menjadi bahan olok-olok dan sinisme ketika apa yang ditutup-tutupi itu akhirnya terkuak juga ke tengah publik.

Di sisi lain, pemerintah juga mesti benar-benar siaga dan aktif melakukan langkah-langkah penanganan agar flu burung tidak kian menyebar luas. Langkah tersebut memang amat mahal -- terutama karena unggas yang terindikasi positif sudah terinfeksi flu burung harus dimusnahkan. Seperti beberapa tahun silam, pemusnahan unggas terinfeksi ini -- meski terbatas sekalipun -- membuat pemerintah harus mengeluarkan dana kompensasi bagi kalangan pengusaha unggas dalam jumlah tidak kecil.

Tapi itu lebih baik ketimbang tidak sama sekali. Pemusnahan unggas terinfeksi flu burung -- semahal apa pun -- bisa menjadi wujud keseriusan pemerintah menanggulangi flu burung ini. Dengan itu, pada gilirannya, flu burung bisa kita harapkan tidak lagi merupakan teror yang amat menakutkan.***
Jakarta, 21 Juli 2005

14 Juli 2005

Di Ambang Krisis Kedua?

Benarkah kita kini di ambang krisis ekonomi kedua seperti penuturan ekonom Revrisond Baswir? Jika yang dimaksud Revrisond adalah krisis ekonomi seperti tahun 1997-1998, mungkin tidak. Paling tidak untuk sementara ini, kita belum merasa yakin bahwa itu bisa terjadi dalam waktu dekat.

Kita tidak yakin bahwa kurs rupiah segera kembali tersungkur hingga ke level sangat rendah, perbankan nasional kehilangan kepercayaan nasabah maupun mitra bisnis di luar negeri, permodalan nasional habis dilarikan ke luar negeri, cadangan devisa nasional tandas terkuras, bahan kebutuhan pokok menghilang, industri bertumbangan, dan lain-lain.

Tetapi tampaknya kita memang harus siap-siap menjalani kehidupan yang semakin berat dan sulit. Kehidupan ekonomi nasional boleh jadi tidak akan menjadi lebih baik. Bahkan gambaran yang terhampar menunjukkan bahwa kehidupan ekonomi kita cenderung semakin buram.

Setelah dalam beberapa tahun terakhir mengalami pemulihan (recovery), kini prospek ekonomi kita tidak lagi menjanjikan perbaikan lebih lanjut. Kehidupan ekonomi nasional malah memperlihatkan kecenderungan berbalik arah alias mundur.

Kecenderungan itu sudah demikian gamblang. Kurs rupiah, misalnya, kini sudah terkoreksi jauh dibanding awal tahun. Level psikologis Rp 10.000 per dolar AS dalam hari-hari mendatang ini bukan tidak mungkin bisa tertembus. Serangkaian jurus pengendalian kurs yang ditebar pemerintah dan Bank Indonesia tampaknya tak cukup ampuh memperbaiki keadaan.

Sementara itu, cadangan devisa pemerintah di Bank Indonesia sudah menipis karena terus terkuras untuk keperluan intervensi kurs rupiah di pasar uang. Padahal kebutuhan akan valuta asing, khususnya dolar AS, tetap tinggi. Bahkan Pertamina, misalnya, membutuhkan dolar AS jauh lebih banyak lagi untuk mengimpor minyak dalam rangka mengamankan pasokan BBM di dalam negeri.

Harga minyak mentah di pasar internasional sendiri, yang saat ini berkisar 60 dolae AS per barel, kecil kemungkinan bisa turun lagi ke level 40-an dolar AS seperti asumsi APBNP 2005. Malah harga minyak dunia ini masih mungkin terus membumbung lebih tinggi lagi.

Kalangan dan analis perminyakan sudah memperkirakan bahwa harga minyak dunia dalam hari-hari mendatang ini bisa menyentuh level 70-80 dolar AS per barel. Itu berarti, tekanan terhadap ekonomi nasional semakin serius.

Tekanan itu antara lain terlihat pada harga aneka kebutuhan pokok yang beranjak naik. Kenaikan tersebut bahkan sudah terbilang signifikan. Sebuah perkiraan menyebutkan, harga aneka kebutuhan pokok rata-rata sudah naik 10 persen sejak kelangkaan BBM melanda.

Jadi, sulit mengatakan bahwa ekonomi nasional sekarang ini tidak menghimpit-menyesakkan. Mungkin itu bukan sepenuhnya merupakan dampak kekurangbecusan kita mengelola ekonomi. Bagaimanapun, patut kita akui, kenyataan yang menghimpit-menyesakkan itu lebih merupakan konsekuensi kehidupan ekonomi kita yang semakin terbuka ke pusaran global.

Tapi yang jadi soal, di tengah kondisi yang mencemaskan itu pemerintah masih saja memperlihatkan sikap easy going. Soal defisit anggaran, misalnya, pemerintah tetap saja mengaku yakin masih bisa dipertahankan di bawah 1 persen produk domestik bruto. Padahal subsidi BBM pasti membengkak hebat -- terlebih bila harga minyak dunia terus membumbung lebih tinggi lagi. Begitu juga soal pertumbuhan ekonomi, pemerintah tetap optimis bisa mencapai 6 persen lebih.

Dalam menghadapi kondisi kritis, pemerintah memang mesti bersikap tenang. Tapi itu tak berarti harus menafikan kenyataan seolah tidak mencemaskan. Yang kita harapkan, pemerintah jujur mengakui bahwa kehidupan ekonomi nasional semakin berat dan sulit.

Sejalan dengan itu, kita juga berharap pemerintah menunjukkan program-program terobosan yang bisa membuat kita tetap yakin bahwa krisis ekonomi kedua bisa kita hindari.***
Jakarta, 14 Juli 2005

12 Juli 2005

Kampanye Hemat Energi

Gebrakan hemat energi memang perlu. Bahkan, seharusnya, itu kita lakukan bukan hanya karena kita mengalami krisis bahan bakar minyak (BBM) seperti sekarang ini. Dengan atau tanpa krisis BBM pun seharusnya gerakan hemat energi ini kita galakkan. Ya, karena minyak bumi adalah sumber daya alam tak terbarukan (unrenewable resources).

Karena tak terbarukan, kita harus pandai-pandai memanfaatkan minyak bumi ini -- juga sumber daya alam lain yang unrenewable -- agar tak cepat habis dan terutama agar generasi mendatang bisa turut menikmati.

Tapi selama ini kita kurang peduli terhadap pentingnya gerakan hemat energi ini. Bahkan kita seolah tak pernah berpikir tentang itu. Dalam memanfaatkan minyak bumi, khususnya, kita begitu terlena dan jor-joran -- nyaris tanpa kendali. Ini bukan hanya pada level individual, melainkan bahkan dalam konteks lebih luas dan strategis.

Tengok saja kebijakan-kebijakan pemerintah: nyaris tak ada yang nyata-nyata dan tegas merujuk pada gerakan hemat energi. Industri otomotif, misalnya, dibiarkan sepenuhnya bergulir sesuai permintaan pasar.

Bahkan ketika industri otomotif dan lembaga pembiayaan bahu-membahu mendongkrak permintaan itu menjadi menjulang tinggi seperti dalam beberapa tahun terakhir, sedikit pun pemerintah tak terkesan berupaya melakukan intervensi. Pemerintah tak tergerak menahan sedikit saja laju pertumbuhan kendaraan bermotor ini. Pemerintah seolah tak melihat kenyataan itu sebagai faktor yang mengondisikan tingkat konsumsi BBM terus menanjak hebat tak tertahankan.

Begitu juga program diversifikasi energi: praktis tak pernah terealisasi. Berkali-kali dicanangkan, program tersebut akhirnya hanya indah di atas kertas. Pemerintah sepertinya memang tak bersungguh-sungguh dalam menggulirkan program diversifikasi energi ini.

Penggunaan briket batubara, misalnya, praktis gagal karena langkah ke arah itu bersifat setengah hati. Pemerintah tak mengondisikan pemanfaatan briket batubara sebagai energi alternatif yang mudah dan murah.

Karena itu, gerakan hemat energi yang kini digulirkan pemerintah melalui Inpres No 10/2005 jangan mengulangi kesalahan selama ini: cuma basa-basi karena memang pada dasarnya setengah hati. Segenap jajaran pemerintah harus menunjukkan bahwa gerakan itu bukan sekadar wujud kepanikan sesaat terkait krisis BBM sejak beberapa pekan terakhir, melainkan merupakan koreksi terhadap sikap dan perilaku kita selama ini dalam memanfaatkan energi tak terbarukan. Dengan kata lain, pemerintah harus konsisten dan serius dalam menggulirkan gerakan hemat energi ini.

Keseriusan itu harus ditunjukkan oleh sikap-tindak segenap jajaran pemerintah sendiri. Pemerintah harus memberi contoh dan teladan menyangkut gerakan hemat energi ini: mulai dari soal-soal kecil dan sepele sampai hal-hal substansial.

Pemerintah juga harus intensif menyosialisasikan gerakan hemat energi ini ke berbagai lapisan masyarakat. Ini bisa menjadi persoalan berat karena menyangkut sikap-tindak masyarakat yang telanjur bermental boros dalam mengonsumsi energi.

Untuk itu, sosialisasi bukan sekadar bicara tentang relevansi dan urgensi hemat energi, tapi juga memaparkan panduan tentang cara dan langkah yang harus dilakukan dalam mengisi gerakan hemat energi.

Satu hal yang perlu diingat pemerintah bahwa gerakan hemat energi ini jangan sampai menjadi langkah kontra produktif bagi kepentingan masyarakat. Karena itu, kampanye penghematan harus benar-benar menyentuh berbagai aspek yang secara obyektif memang perlu dan tak mengorbankan kegiatan produktif di masyarakat, khususnya dunia usaha.

Kalau saja mengorbankan kegiatan produktif di masyarakat, kampanye hemat energi ini bisa berisiko tak efektif -- karena justru mengudang perlawanan, meski diam-diam.***
Jakarta, 12 Juli 2005

08 Juli 2005

Tarif Jalan Tol, Kenapa Naik?

Jalan tol mestinya identik dengan kenyamanan. Dibanding jalan raya biasa, jalan tol seharusnya membuat perjalanan berkendaraan lebih terjamin lancar, tanpa hambatan -- dan karena itu bisa menjamin waktu tempuh lebih cepat. Justru itu pula, jalan tol mestinya membuat perjalanan lebih nyaman.

Tapi apa yang terjadi di negeri kita, jalan tol nyaris tak memiliki keistimewaan dibanding jalan raya biasa. Jalan tol di negeri kita lebih merupakan sekadar jalan raya yang mengutip bayaran. Sementara soal jaminan bebas hambatan dan kenyamanan -- juga keamanan --, yang seharusnya melekat erat pada layanan jalan tol, nyaris cuma ilusi.

Ya, kita memang tak pernah bisa beroleh jaminan bahwa jalan tol yang akan kita lalui benar-benar lancar dan nyaman. Setiap kali kita mau memasuki jalan tol, kita jarang merasa yakin bahwa perjalanan kita tak akan mengesalkan -- karena kemacetan ternyata menghadang.

Bahwa di gerbang tol kadang kita baca informasi tentang kondisi lalu-lintas di ruas jalan tol, itu acap sulit kita jadikan pegangan. Informasi itu bahkan tak jarang malah menyesatkan atau bahkan menjebak. Ya, karena informasi itu ternyata tidak akurat atau bahkan manipulatif -- karena kenyataan di jalan tol justru lain sama sekali dengan informasi yang dipampangkan di gerbang tol.

Dalam konteks itu, makna kata-kata tampaknya memang telah dimanipulasi. Karena itu, informasi jadi melenceng dan menyesatkan. Ketika informasi menyebutkan bahwa lalu lintas di jalan tol lancar, dalam kenyataan ternyata lalu lintas itu padat merayap. Atau ketika informasi menyatakan bahwa lalu lintas di jalan tol padat merayap, ternyata itu berarti macet total!

Kita juga beroleh kesan bahwa pihak operator tak pernah peduli dengan kemacetan lalu lintas di jalan tol. Paling tidak, itu karena mereka tak pernah berupaya mengurangi kepadatan dengan menutup gerbang tol ketika kemacetan sudah benar-benar menghampar.

Sangat boleh jadi, itu karena bagi operator arus masuk kendaraan adalah satu hal, dan kemacetan di jalan tol adalah hal lain. Bagi mereka, arus masuk kendaraan ke jalan tol adalah hitungan fulus yang harus diselamatkan. Sementara soal kemacetan yang mengesalkan semata risiko yang harus rela ditanggung pengguna jalan tol.

Walhasil, dalam bahasa lugas, layanan jalan tol di negeri kita sejauh ini masih jauh dari memuaskan. Layanan jalan tol lebih banyak menorehkan ironi dan kekecewaan. Ironi, karena kekecewaan itu seharusnya tak tertoreh.

Karena itu kita sependapat dengan kalangan anggota DPR RI: bahwa rencana pemerintah menaikkan tarif jalan tol sungguh tidak patut. Bahkan sepanjang mutu layanan masih mengundang sumpah-serapah, kenaikan tarif jalan tol ini tetap tak beralasan.

Menurut rumusan perundangan, kenaikan tarif tol sekarang ini mungkin memang sudah saatnya. Tapi, jujur saja, soal kenaikan tarif ini tak bisa seperti pertandingan bola yang harus bergulir sesuai jadwal. Bagaimanapun, mutu layanan lebih terasa obyektif dijadikan pijakan tentang itu. Artinya, selama layanan jalan tol masih seperti selama ini -- tak menjamin kenyamanan --, selama itu pula kenaikan tarif sungguh terasa tidak relevan.

Justru itu, kenaikan tarif jalan tol terkesan sekadar memanjakan jajaran operator. Terlebih lagi mereka selama ini tidak dalam kondisi merugi atau terancam gulung tikar kalau tarif tak segera dinaikkan.

Mungkin kenaikan tarif baru relevan dipikirkan kalau pemerintah sudah mengevaluasi mutu layanan jalan tol ini. Evaluasi itu sendiri harus tandas menyimpulkan bahwa jalan tol sudah identik dengan kenyamanan. Jadi, kenapa tarif jalan tol harus naik sekarang?***
Jakarta, 8 Juli 2005

04 Juli 2005

Tak Mampu Mengatasi Krisis?

Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), khususnya premium, akhirnya merebak pula di Jakarta. Ini sungguh mengundang heboh sekaligus membuat panik. Heboh, karena Jakarta adalah ibukota negara. Sebagai ibukota negara, Jakarta adalah benteng pertahanan yang amat strategis.

Jadi, jika ibukota negara saja tak terkecuali dilanda kelangkaan BBM, bagaimana kita bisa tenang bahwa kota-kota besar lain -- apalagi daerah-daerah di pelosok sana -- masih aman alias tidak mengalami masalah serupa? Juga bagaimana kita bisa yakin bahwa krisis BBM yang merebak di sejumlah daerah sejak sekitar tiga pekan terakhir ini bakal segera berakhir?

Itu pula yang membuat kita panik. Kalangkaan BBM di Jakarta ini membuat kita panik, karena kenyataan itu bisa merupakan cerminan bahwa krisis BBM yang kita hadapi sekarang ini sungguh serius. Kelangkaan tersebut bukan semata masalah keterlambatan kegiatan distribusi.

Kelangkaan itu bukan cuma soal kegiatan impor BBM agak terganggu. Juga bukan sekadar karena tingkat permintaan terus membumbung. Atau karena penyelundupan BBM ke luar negeri semakin merajalela.

Mungkin benar, kegiatan distribusi dari unit-unit Pertamina ke berbagai stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) mengalami keterlambatan -- entah karena alasan teknis ataupun nonteknis. Barangkali benar pula bahwa kegiatan impor BBM agak terganggu gara-gara pemerintah telat mengucurkan dana subsidi ke Pertamina.

Juga tidak mengada-ada bahwa kelangkaan BBM ini akibat tingkat permintaan atau tingkat konsumsi sudah mulai melampaui pasokan -- karena pemilikan kendaraan bermotor di masyarakat kita memang terus bertambah demikian pesat. Pun tidak keliru bahwa penyelundupan BBM ke luar negeri kian menggila karena disparitas harga semakin menganga dan amat menggiurkan.

Apa pun penjelasan tentang kelangkaan BBM sekarang ini, diakui ataupun tidak, kita sulit memungkiri lagi bahwa itu adalah krisis -- dan karena itu tak bisa kita hadapi dengan sikap tenang-tenang (easy going). Krisis BBM, di mana pun, sungguh mencemaskan.

Betapa tidak, karena peran BBM dalam kegiatan sosial-ekonomi telanjur sangat dominan. Justru itu, jika tak segera bisa diatasi, krisis BBM ini amat berbahaya: kehidupan ekonomi, sosial, ataupun politik bisa kacau-balau.

Dalam konteks itu, kita justru belum merasa yakin oleh langkah-langkah yang diayunkan pemerintah. Paling tidak, karena kelangkaan BBM di sejumlah daerah tak kunjung reda. Bahkan kelangkaan tersebut semakin meluas -- sampai-sampai ibukota negara pun tak terkecuali mengalami.

Karena itu, bagi pemerintah -- termasuk Pertamina selaku lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap masalah pengadaan dan pasokan BBM -- kelangkaan premium yang sudah sampai merebak ke Jakarta ini sungguh memalukan.

Kelangkaan, bagaimanapun, menunjukkan something wrong -- bukan sekadar karena impor BBM telat dilakukan, distribusi terhambat, ataupun karena tingkat konsumsi kian melangit. Kelangkaan BBM sekarang ini sekali lagi menguakkan kenyataan bahwa kita memang tidak mampu bersikap sigap menanggulangi krisis.

Dulu, ketika krisis ekonomi dan moneter menerpa, kita tak bisa segera bangkit. Dibanding negara-negara lain yang sama-sama yang mengalami nasib serupa, kita paling telat mengalami pemulihan -- dan karena itu juga kita paling babak-belur. Kini, manakala giliran krisis BBM menerpa. kita lagi-lagi menunjukkan diri tak mampu bersikap trengginas mengatasinya. Pemerintah dan Pertamina, terutama, tak menunjukkan respons spontan dan jitu.

Boleh jadi, krisis BBM sekarang ini merupakan tantangan khusus bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang baru saja diumumkan memperoleh predikat Indonesia's Crisis Manager dari majalah Business Week. Yudhoyono ditantang untuk membuktikan bahwa predikat tersebut tidak salah alamat!***
Jakarta, 4 Juli 2005