17 Mei 2005

Tantangan Nyata Dirut Mandiri

Teka-teki tentang siapa pengganti ECW Neloe sebagai Dirut Bank Mandiri, terjawab sudah. Forum rapat umum pemegang saham (RUPS) bank tersebut, kemarin, memutuskan memilih Agus Martowardojo -- selama ini menjabat Dirut Bank Permata -- sebagai nakhoda baru Bank Mandiri.

Agus bukan profesional kemarin sore. Bahkan posisi terakhir Agus sebagai Dirut Bank Permata jelas menunjukkan kelas dia sebagai profesional di dunia perbankan ini. Karena itu, kapabilitas dia dalam memimpin Bank Mandiri sungguh tak perlu diragukan. Terlebih, sebelum menjadi orang nomor satu di Bank Permata, Agus adalah orang dalam Bank Mandiri juga. Jadi, dia tentu tahu betul karakter dan budaya kerja di lingkungan Bank Mandiri ini.

Tapi kapabilitas profesional dan kepahaman terhadap lingkungan internal saja tidak cukup. Teristimewa pimpinan lembaga keuangan bank yang amat mempertaruhkan kepercayaan, juga dituntut memiliki integritas tinggi. Tanpa itu, lembaga bersangkutan bersiko menabrak koridor dan keluar rel yang sudah digariskan.

Namun, anehnya, di Indonesia sekarang ini, soal integritas justru diperlakukan seperti barang dagangan. Meski mengucapkan sumpah segala saat dilantik -- notabene sumpah itu ditujukan kepada Tuhan YME --, banyak pejabat yang sama sekali tak menunjukkan integritas sebagaimana mestinya. Mereka terkesan tak ragu dan sama sekali tak malu menggadaikan integritas pribadi untuk kepentingan dan pamrih tertentu yang justru merugikan lembaga yang mereka pimpin.

Itu pula, barangkali, yang ingin disampaikan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah saat kemarin mengungkapkan "kebobrokan" Bank Mandiri saat ini. Burhanuddin mengungkapkan, selama tahun ini Bank Indonesia telah melayangkan 82 surat teguran kepada manajemen Bank Mandiri. Sebanyak 34 teguran terkait dengan masalah perkreditan dan 48 surat lagi merujuk pada masalah di luar perkreditan.

Teguran sebanyak itu jelas menunjukkan bahwa selama ini manajemen Bank Mandiri sering menabrak koridor yang ditentukan. Dalam bahasa Burhanuddin, manajemen Bank Mandiri tidak prudent alias sembrono. Bahkan mungkin mereka bukan sekadar cenderung sembrono, melainkan justru tak mengindahkan aturan main. Karena itu, standar operasi yang secara konsepsional diakui bagus pun praktis mandul.

Itu pula, sebenarnya, faktor yang menjelaskan masalah kredit macet di Bank Mandiri saat ini. Untuk sementara, kredit macet yang melibatkan beberapa perusahaan itu bernilai sekitar Rp 1,3 triliun. Tapi boleh jadi di kemudian hari terkuak bahwa nilai kredit macet di Bank Mandiri ini jauh lebih besar lagi. Ibarat gunung es, kredit macet sebesar Rp 1,3 triliun itu sekadar bagian yang kebetulan tampil ke permukaan.

Menurut hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dalam menyalurkan kredit itu manajemen Bank Mandiri melakukan sejumlah pelanggaran prosedur baku. Atas dasar itu pula tiga direksi lama Bank Mandiri ditetapkan Kejagung sebagai tersangka.

Status tersangka mengandung arti bahwa orang-orang bersangkutan belum tentu bersalah. Soal benar dan salah itu
sendiri masih harus dibuktikan di pengadilan. Tetapi satu hal sudah pasti bahwa prosedur baku tak harus dilanggar kalau saja integritas benar-benar terjaga.

Tantangan itu pula yang harus bisa dijawab Agus dalam memimpin Bank Mandiri. Dia bukan saja harus bisa menunjukkan integritas pribadi, melainkan sekaligus menumbuhkan kembali integritas lingkungan internal Bank Mandiri.
Jakarta, 17 Mei 2005

11 Mei 2005

Pembagian Bonus PLN

Bonus telah lama kita kenal sebagai hadiah. Dalam dunia korporasi, bonus lazim diberikan sebagai wujud penghargaan terhadap mereka yang mengukir prestasi atau kondisi tertentu yang menguntungkan institusi perusahaan. Jadi, selama ini bonus selalu berada dalam pengertian positif dan produktif.

Tetapi sekarang ini pengertian bonus mulai mengalami deviasi. Bonus mulai dijadikan sebagai alat dan pembenaran untuk menguras isi kocek perusahaan. Paling tidak, itu terjadi dalam kasus PT PLN. Tahun lalu, manajemen PLN -- direksi dan komisaris -- menangguk bonus senilai total Rp 4,34 miliar.

Kalau saja kondisi keuangan PLN sudah kinclong, pembagian bonus jelas bukan nista. Jangankan sebesar Rp 4,34 miliar, bahkan di atas angka itu pun mungkin kita bisa maklum atau menganggap wajar.

Tapi soalnya, kondisi keuangan PLN masih babak-belur. Hingga tahun lalu, PLN masih saja membukukan kerugian akibat inefisiensi dalam proses produksi. Justru itu, pembagian bonus bagi direksi dan komisaris pun -- terlebih angka tentang itu terbilang signifikan -- sungguh terasa mengusik. Pembagian bonus itu amat janggal.

Dalam tataran legal-formal, pembagian bonus bagi manajemen PLN ini juga tak bisa dibenarkan. UU Nomor 1/1995 tentang Perseroan Terbatas menggariskan bahwa pembagian bonus hanya boleh dilakukan jika perusahaan mampu membukukan keuntungan. Jika sebaliknya, jelas, pembagian bonus adalah tindak pelanggaran hukum.

Memang, keputusan tentang pembagian bonus bagi manajemen PLN ini tertoreh dalam forum rapat umum pemegang saham (RUPS). Ketentuan perundangan juga menyebutkan bahwa RUPS adalah forum tertinggi pengambilan keputusan bagi institusi perusahaan berbadan hukum persero.

Namun ketentuan itu tak bisa dilihat dan diperlakukan seolah terlepas sama sekali dari konteks ruang, waktu, juga sistem nilai. Jika ketentuan itu diperlakukan sesuka hati oleh pihak-pihak yang terlibat, RUPS bisa menjadi forum yang berbahaya -- karena konspirasi pun bisa saja tertoteh di sana.

Jadi, sungguh naif jika pembagian bonus bagi manajemen PLN ini dianggap wajar dan sama sekali tak bermasalah hanya karena keputusan tentang itu digariskan dalam forum RUPS. Anggapan itu juga menyesatkan karena membuat RUPS dimanfaatkan sebagai forum untuk melegitimasi kesepakatan menguras isi kocek perusahaan dengan menggunakan istilah tantiem alias bonus.

Kenyataan itu sekaligus menunjukkan bahwa BUMN kita masih saja menjadi sapi perahan atau bahkan bancakan bagi pihak-pihak yang memiliki akses dan kuasa. Justru itu, konsep apa pun yang diterapkan dalam mengelola BUMN ini tampaknya percuma saja. Selama mental menjadikan BUMN sebagai bancakan belum juga bisa dikikis, selama itu pula konsep-konsep manajemen paling mutakhir sekalipun niscaya mandul.

Itu berarti, yang kita butuhkan untuk menyehatkan pengelolaan BUMN ini terutama adalah political will semua pihak (stake holders) menjadikan BUMN bukan sebagai objek bancakan.

Dalam konteks itu pula, pihak manajemen dituntut memiliki kemauan baik: menempatkan BUMN sebagai lahan pengabdian setulus-tulusnya bagi kemakmuran bangsa. Kalau tuntutan ini bisa terpenuhi, kami percaya bahwa pembagian bonus -- notabene dalam jumlah signifikan -- di saat perusahaan merugi tak akan pernah terjadi.***
Jakarta, 11 Mei 2005

03 Mei 2005

Setelah Toemion Mundur

Theo F Toemion mengundurkan diri dari jabatannya selaku Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Orang mungkin saja menilai itu sebagai langkah cerdik Toemion untuk menyelamatkan muka -- karena pemerintah sendiri sudah memastikan segera mencopotnya.

Masa jabatan Toemion sendiri baru sekitar 3 tahun. Lazimnya, masa jabatan Kepala BKPM ini minimal 5 tahun. Jadi, seharusnya, Toemion masih menjabat Kepala BKPM hingga 2 tahun lagi.

Tapi pemerintah sudah memutuskan bahwa Toemion segera dilengserkan. Konon, itu terkait dengan kinerja Toemion sendiri selama ini dalam memimpin BKPM. Dalam konteks ini, pemerintah disebut-sebut sudah melakukan penilaian selama 3 bulan terakhir.

Hanya, itu tadi, sebelum pemerintah mengeluarkan putusan resmi, Toemion lebih dulu bergerak: mengajukan permohonan mengundurkan diri. Ini memang sungguh langkah cerdik. Dengan mengundurkan diri, Toemion bukan saja luput menjadi pecundang (dilengserkan). Lebih dari itu, Toemion justru sukses menumbuhkan kesan positif di depan publik bahwa dia adalah sosok elegan karena berani menanggalkan jabatan penting. Terlebih lagi, sebagai alasan, dia menyebutkan bahwa keputusan itu merupakan wujud pertanggungjawaban moralnya atas kasus pemukulan yang dia lakukan di lingkungan Jakarta International School.

Dalam tata kehidupan sosial, memang, mengundurkan diri terasa lebih bermartabat ketimbang dicopot atau dilengserkan. Terlebih kalau itu menyangkut jabatan publik seperti Kepala BKPM. Jika diberhentikan, orang bersangkutan serta-merta menjadi pecundang -- karena masa jabatannya jelas belum berakhir. Justru itu, publik pun terkondisi beroleh kesan negatif: bahwa sang pejabat bermasalah atau minimal tidak berprestasi.

Namun di Indonesia umumnya orang enggan mengundurkan diri dari jabatan yang sedang mereka sandang. Sepertinya mereka tidak memiliki keberanian untuk itu. Meski kondisi tertentu nyata-nyata menuntut pertanggungjawaban moral dengan meletakkan jabatan, mereka tetap saja enggan. Bahkan sampai didesak publik sekalipun, mereka bergeming. Mereka seperti buta dan tuli. Berbagai dalih -- meski amat klise sekalipun -- tak segan mereka obral sebagai pembenaran untuk terus mengukuhi jabatannya.

Sekilas, mereka lebih memilih risiko dicopot ketimbang mengundurkan diri atas inisiatif sendiri dalam rangka memberi pertanggungjawaban moral terhadap kondisi tertentu ini. Tapi, celakanya, pihak yang menjadi atasan justru lebih banyak menunjukkan sikap toleran terhadap kesalahan pejabat yang menjadi bawahannya. Paling-paling sang atasan merasa cukup sekadar memberikan peringatan.

Karena itu, di Indonesia jarang sekali pejabat publik meletakkan jabatan. Kalaupun terjadi, itu lebih banyak bukan sebagai wujud pertanggungjawaban moral pejabat bersangkutan terhadap kondisi tertentu. Di Indonesia, biasanya pejabat publik mengundurkan diri karena terlibat konflik di lingkungannya. Atau bisa juga karena mereka mendapat job lain yang lebih menggiurkan.

Atas dasar itu pula, orang boleh saja menilai keputusan Toemion mengundurkan diri sebagai Kepala BKPM merupakan langkah cerdik -- betapapun andai penilaian itu disertai dengan sikap nyinyir. Tapi bagi kami, langkah Toemion patut menjadi awal budaya baru pertanggungjawaban moral pejabat publik terhadap kondisi tertentu yang tidak elok dan mengundang cela.***
Jakarta, 03 Mei 2005