31 Maret 2005

Moratorium, Kenapa Tidak?

Bencana gempa bumi yang melanda Pulau Nias (Sumut), Senin malam lalu, jelas luar biasa. Dari segi kekuatan, gempa tersebut tercatat mencapai 8,2 pada skala Richter. Justru itu, gempa yang melanda Nias ini tak kalah dahsyat dibanding gempa yang akhir tahun lalu juga menggoyang Aceh (juga Nias) -- notabene diikuti gelombang pasang tsunami. Konon, gempa yang Senin malam lalu mengoyak Nias juga termasuk 10 gempa terdahsyat di dunia dalam 100 tahun terakhir.

Dari segi dampak yang ditimbulkan, gempa itu juga luar biasa. Sejumlah orang meninggal dan lebih banyak lagi yang menderita luka-luka. Di luar itu, sekian banyak bangunan roboh atau ambruk hingga rata dengan tanah. Bahkan ibukota Kabupaten Nias, Gunung Sitoli, nyaris musnah karena sebagian besar bangunan di kota tersebut hancur digoyang gempa.

Nilai kerugian ekonomi, jelas amat besar. Tak bisa tidak, karena itu, pemerintah pun lagi-lagi dihadapkan pada tantangan tidak kecil dan amat mendesak. Seperti saat menghadapi bencana yang melanda Aceh, kali ini pemerintah juga harus mengalokasikan dana dalam jumlah besar bagi penanganan dampak gempa -- khususnya berupa program rekonstruksi.

Padahal kemampuan keuangan pemerintah sungguh amat terbatas. Bahkan boleh dikatakan, pemerintah sudah tak memiliki lagi kemampuan. Pemerintah tak punya dana besar yang khusus bisa disalurkan bagi keperluan rekonetruksi di Nias ini. Bahkan sekadar untuk menutup defisit anggaran yang telanjur menganga lebar dalam APBN pun, pemerintah kini amat kerepotan.

Justru itu, amat mengherankan ketika pemerintah -- khususnya Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sri Mulyani Indrawati -- serta-merta menepiskan kemungkinan meminta tambahan fasilitas penangguhan (moratorium) pembayaran utang kepada kalangan kreditor yang tergabung dalam wadah informal Paris Club. Tak jelas benar alasan yang mendasari sikap Sri Mulyani ini.

Tapi Sri Mulyani memang termasuk pejabat tinggi yang terkesan "alergi" terhadap moratorium utang. Bahkan, andai tidak didesak banyak kalangan, moratorium utang yang ditawarkan kalangan kreditor dalam konteks rekonstruksi Aceh pun mungkin tak bisa kita nikmati.

Sri Mulyani dan beberapa pejabat tinggi lain "alergi" terhadap moratorium utang karena mereka khawatir fasilitas tersebut menghembuskan sentimen negatif terhadap ekonomi nasional. Padahal itu ternyata lebih merupakan ketakutan mereka sendiri. Buktinya, moratorium dalam konteks rekonstruksi Aceh tak melahirkan sentimen apa pun.

Boleh jadi, pemerintah lebih menyandarkan soal dana bagi rekonstruksi di Nias ini pada bantuan spontan masyarakat maupun uluran tangan dunia internasional. Memang, dunia internasional sendiri sudah langsung menunjukkan kepedulian dan komit membantu penanggulangan dampak gempa di Nias ini.

Tapi sungguh menggetirkan jika kenyataan itu justru dijadikan andalan. Bayangkan, persoalan bangsa malah disandarkan pada belas kasih pihak lain! Padahal pemerintah sendiri masih memiliki ruang gerak untuk menjawab tantangan rekonstruksi Nias ini, yakni dengan meminta moratorium tambahan terhadap kalangan kreditor anggota Paris Club.

Kalangan kreditor sendiri mungkin tidak sulit untuk dimintai moratorium tambahan. Seperti dalam konteks kebutuhan rekonstruksi Aceh tempo hari, mereka niscaya menyadari betul bahwa kemampuan pemerintah untuk membangun kembali Nias sungguh terbatas. Jadi, kenapa tidak meminta moratorium tambahan?***
Jakarta, 31 Maret 2005

25 Maret 2005

Kenapa Menunggu Reses?

Pemerintah dan DPR kembali mempertontonkan sikap kurang peka terhadap masalah gawat yang dihadapi rakyat. Ini terkait dengan pembahasan APBN Perubahan (APBNP) 2005 yang Rabu lalu resmi diserahkan pemerintah kepada DPR. Seperti bersepakat, kedua belah pihak memastikan bahwa pembahasan APBNP 2005 ini baru dilakukan setelah masa reses DPR berakhir, yaitu mulai awal Mei mendatang.

Penyerahan draf APBNP 2005 sendiri dilakukan pemerintah sebagai respon terhadap hasil sidang paripurna DPR, awal pekan ini, yang meminta pemerintah meninjau kembali keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 1 Maret lalu. Pemerintah perlu mengajukan APBNP 2005 ke DPR karena kebijakan mengenai harga BBM punya implikasi terhadap anggaran.

Terkait penyerahan draf APBNP 2005 ini, pemerintah tidak mendesak DPR agar segera melakukan pembahasan. Bahkan, seperti kata Menkeu Jusuf Anwar, pemerintah justru meminta agar pembahasan APBNP tersebut dilakukan setelah masa reses DPR usai.

Di lain pihak, DPR sendiri memutuskan mulai membahas APBNP 2005 setelah masa reses selesai. Jadi, klop sudah. Pemerintah maupun DPR sama-sama menunjukkan sikap kurang peka terhadap masalah gawat yang dihadapi rakyat. Dengan mengagendakan pembahasan APBNP 2005 setelah masa reses DPR berakhir, awal Mei mendatang, pemerintah dan DPR sama-sama tindak memiliki sense of crisis.

Betapa tidak, karena pembahasan APBNP 2005 seusai masa reses DPR memiliki implikasi serius: pengucuran dana kompensasi pengurangan subsidi BBM -- khususnya dana tambahan -- menjadi tertunda-tunda. Paling tidak, sampai pembahasan dilakukan dan DPR memberikan persetujuan terhadap APBNP, berarti dana kompensasi BBM tak bisa dikucurkan. Padahal waktu yang dibutuhkan untuk itu paling tidak dua bulan.

Artinya, baru sekitar awal Juli dana kompensasi BBM ini bisa dikucurkan. Itu pun kalau proses pembahasan APBNP berlangsung lancar. Jika berlangsung alot, pembahasan APBNP mungkin baru bisa selesai pada akhir Juli atau Agustus. Padahal kemungkinan tersebut amat kental. Kita tahu, beberapa fraksi masih berkukuh menolak kenaikan harga BBM. Jelas, sikap tersebut akan mempengaruhi proses pembahasan APBNP.

Jadi, sekali lagi, pengucuran dana kompensasi BBM niscaya tertunda lumayan lama. Sementara di lapangan, kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM mulai 1 Maret lalu tetap berlaku. Padahal kenaikan harga BBM amat memukul daya beli masyarakat, khususnya mereka yang tergolong kelompok miskin. Justru itu, selama APBNP 2005 belum memperoleh persetujuan DPR -- yang berimplikasi dana kompensasi BBM tak bisa dikucurkan --, berarti selama itu pula rakyat harus menanggung derita.

Dana kompensasi BBM yang menanti persetujuan DPR sendiri bernilai Rp 10,5 triliun. Di luar itu, pemerintah sudah mulai mengucurkan dana sebesar Rp 7,3 triliun. Jadi, total jenderal, dana yang dialokasikan pemerintah untuk program kompensasi pengurangan subsidi BBM ini bernilai Rp 17,8 triliun.

Kita tidak tahu persis logika pemerintah maupun DPR menetapkan pembahasan dana kompensasi BBM ini usai reses DPR. Alasan pemerintah bahwa itu untuk memberi kesempatan bagi DPR mempelajari dahulu asumsi-asumsi yang digunakan dalam menyusun APBNP 2005, rasanya itu kurang pas. Tidakkah soal itu bisa dilakukan DPR sambil melakukan pembahasan? Kita yakin itu bisa, karena jajaran anggota DPR jelas bukan kelompok yang memiliki tingkat intelektualitas di bawah standar.

Juga alasan pihak DPR bahwa pembahasan APBNP 2005 ini tak bisa dilakukan di masa reses -- karena kebentur soal prosedur dan tata tertib -- sungguh terasa naif. Mestinya, demi rakyat yang nyata-nyata terhimpit, soal itu bisa disingkirkan dulu. Lain soal kalau kepedulian terhadap rakyat hanya basa-basi.***
Jakarta, 25 Maret 2005

23 Maret 2005

Gambaran Semu Ekonomi Kita

Sejumlah perusahaan publik mampu membukukan laba bersih untuk tahun buku 2004 dalam jumlah amat mengesankan, yakni mencapai di atas Rp 1 triliun. Bahkan PT Astra International dan PT Bank Mandiri mencatat laba bersih per 31 Desember 2004 ini hingga di atas Rp 5 triliun.

Sementara beberapa perusahaan lain, seperti PT Bank BCA dan PT Telkom, di atas Rp 2 triliun. Lalu PT HM Sampoerna, PT Bank Rakyat Indonesia, PT Gudang Garam, PT Indosat, atau PT Unilever di bawah Rp 2 triliun.

Kenyataan itu jelas menarik. Paling tidak, itu mengingatkan pada kinerja perusahaan-perusahaan publik sebelum krisis ekonomi menerpa. Ketika itu, banyak perusahaan publik mengukir kinerja mengesankan: mampu membukukan laba hingga di atas Rp 1 triliun.

Konon, pada periode sekitar 1995-1996 itu kondisi ekonomi nasional amat kondusif. Tak heran jika dunia usaha pun demikian bergairah. Demikian kondusifnya kondisi itu, sampai-sampai dunia usaha nasional tergerak saling berlomba melakukan ekspansi dalam skala gila-gilaan.

Namun belakangan terbukti bahwa gairah bisnis yang menyala-nyala itu ternyata melahirkan moral hazard. Nafsu menggebu untuk memperbesar dan memperluas usaha lebih banyak diwarnai praktik mark up proyek. Pada gilirannya, itu melahirkan moral hazard dalam dunia perbankan nasional berupa pelanggaran batas maksimum penyaluran kredit (BMPK). Di sisi lain, proyek-proyek mega yang telanjur dipoles dengan mark up itu juga banyak menyedot pinjaman luar negeri.

Maka kondisi moneter di dalam negeri terguncang dan kurs rupiah kemudian tersungkur, malapetaka pun serta-merta merebak: dunia usaha nasional bertumbangan dengan lilitan utang yang praktis mencekik leher -- terutama utang dalam valuta asing. Di lain pihak, perbankan nasional yang telanjur digayuti pelanggaran BMPK juga tak terkecuali dirundung kemelut yang berujung pada kebangkrutan.

Justru itu pula, ekonomi nasional pun tak terhindarkan lagi terjerembab ke lubang krisis. Demikian dalam dan parahnya krisis itu, sampai-sampai proses pemulihan demikian lama dan menuntut ongkos amat mahal. Bahkan sisa-sisa krisis itu sedikit banyak masih terasa.

Lalu, apakah kinerja sejumlah perusahaan publik yang mampu membukukan laba bersih melampaui Rp 1 triliun tadi merupakan gambaran bahwa krisis ekonomi sekarang sudah benar-benar sirna? Barangkali tidak. Kinerja cemerlang perusahaan-perusahaan publik itu agaknya tak bisa serta-merta menjadi pertanda bahwa ekonomi nasional sudah benar-benar pulih. Bahkan kinerja tersebut justru lebih merupakan gambaran yang mempertegas anomali dalam ekonomi nasional selama ini.

Kita tahu, dalam tahun-tahun terakhir, ekonomi nasional lebih banyak dihela oleh sektor konsumsi. Dalam konteks ini, perbankan nasional memang cenderung melakukan penyaluran kredit ke sektor tersebut. Padahal, dengan tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang tak terbilang tinggi lagi, seharusnya perbankan tergerak mengucurkan kredit ke sektor riil. Tapi, nyatanya, sejauh ini perbankan belum juga memberikan porsi memadai terhadap sektor riil ini.

Banyak alasan dikemukakan perbankan sebagai pembenaran tentang itu. Yang pasti, perbankan kian larut mengucurkan kredit ke sektor konsumsi. Faktor itu pula yang memberi penjelasan kenapa perusahaan publik yang mampu membukukan laba bersih hingga melampaui Rp 1 triliun tadi didominasi perbankan. Juga kenapa PT Astra International -- bukan PT Astra Agro Lestari atau PT Sierad Produce, misalnya -- yang bisa menangguk laba senilai Rp 5 triliun lebih.

Jadi, tampilnya sejumlah perusahaan publik mampu meraup laba bersih dalam hitungan mengesankan itu bukan pertanda bahwa sektor riil sudah pulih kembali. Bagaimanapun, kenyataan itu lebih mencerminkan gambaran semu ekonomi nasional saat ini.***
Jakarta, 23 Maret 2005

21 Maret 2005

Tarif Listrik Kenapa Naik?

Tarif dasar listrik (TDL) tak sepatutnya naik mengikuti harga bahan bakar minyak (BBM). Gagasan atau keinginan ke arah itu sungguh tidak hirau terhadap gejolak dan keresahan di masyarakat saat ini, menyusul keputusan pemerintah menaikkan harga BBM sejak 1 Maret lalu. Bisa dibayangkan jika TDL ikut-ikutan dinaikkan: beban ekonomi masyarakat niscaya semakin berat saja.

Justru itu, reaksi masyarakat pasti keras. Berkombinasi dengan kekecewaan terhadap kenaikan harga BBM, keresahan di masyarakat pun niscaya kian menjadi-jadi. Bukan tidak mungkin, karena itu, gejolak sosial pun sulit dihindari lagi.

Namun kalaupun situasi dan kondisi masyarakat kita relatif kondusif menerima kenaikan TDL, itu tak berarti langkah atau keputusan ke arah sana menjadi relevan. Bagaimanapun, untuk saat sekarang ini, kenaikan TDL sulit memperoleh titik pijak atau pembenaran.

Memang, BBM merupakan komponen produksi tenaga listrik. Tetapi itu tak otomatis berarti bahwa kenaikan harga BBM serta-merta membuat kenaikan TDL menjadi relevan. Kenaikan harga BBM tetap tidak otomatis menjadi alasan bagi kenaikan TDL. Kenapa?

Sederhana saja: karena sejauh ini PLN sebagai institusi yang menghasilkan tenaga listrik masih kental digayuti inefisiensi. Kita tidak tahu persis seberapa dalam atau seberapa parah inefisiensi dalam kegiatan operasional PLN ini. Yang pasti, secara ekonomi, inefisiensi ini menorehkan kerugian tidak kecil di tubuh PLN.

Kenyataan itu pula yang selama ini membuat kinerja PLN tergolong tidak sehat. Saban tahun, buktinya, PLN terus saja membukukan kerugian dalam jumlah tidak kecil.

Berbagai pembenaran atas kenyataan itu boleh saja dideretkan. Kalkulasi atau hitung-hitungan matematik juga bisa dipaparkan. Tetapi itu semua tetap tidak bisa menjadi faktor pemaaf terhadap inefisiensi di tubuh PLN ini. Terlebih masalah tersebut nyaris tak kunjung membaik.

Karena itu, kenaikan TDL -- atas alasan apa pun -- sama sekali tidak fair: karena hanya bermakna mengalihkan beban inefisiensi operasional PLN terhadap masyarakat konsumen. Bahkan kenaikan TDL hanya menjadi faktor yang tidak mendidik bagi PLN. Seperti tergambar selama ini, kenaikan TDL hanya mengondisikan PLN tidak pernah merasa bersalah dan tak tergerak untuk memberesi berbagai sumber inefisiensi secara serius.

Dalam konteks seperti itu pula kita amat menyesalkan sikap Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi Yogo Pratomo yang seolah memberi angin terhadap PLN menyangkut kenaikan TDL ini. Jumat pekan lalu, dia menyebutkan bahwa TDL bisa saja dinaikkan jika keuangan PLN kian memburuk sebagai dampak kenaikan harga BBM. Terlebih dia juga menyebutkan bahwa pemerintah bisa memberi toleransi kenaikan TDL ini maksimal hingga 7 persen.

Tapi beruntung, kemarin Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Purnomo Yusgiantoro meralat pernyataan Yogo tadi. Intinya, Purnomo menolak kemungkinan menaikan TDL sepanjang PLN tidak bisa membuktikan bahwa mereka sudah benar-benar melakukan efisiensi.

Bagi kita, pernyataan itu merupakan petunjuk bahwa pemerintah tidak menutup mata terhadap beban berat yang harus dipikul masyarakat akibat kenaikan harga BBM sejak 1 Maret lalu. Di sisi lain, itu juga menjadi isyarat bahwa pemerintah punya keinginan membuat PLN menjadi perusahaan yang benar-benar sehat dan menguntungkan secara finansial.

Kenaikan harga BBM seharusnya memang justru dijadikan sebagai momentum ke arah itu. Faktor kenaikan harga BBM amat beralasan dikondisikan sebagai pemicu dan pemacu gerakan efisiensi di tubuh PLN.***
Jakarta, 21 Maret 2005

18 Maret 2005

Kocok Ulang Pimpinan Dewan?

Ada keinginan di sebagian anggota DPR untuk melakukan kocok ulang pimpinan Dewan. Dengan itu, mereka mengisyaratkan bahwa kepercayaan mereka terhadap pimpinan DPR sekarang ini sudah luntur. Bagi mereka, pimpinan DPR perlu dipilih ulang karena figur yang sekarang menorehkan kekecewaan di pihak mereka.

Keinginan itu merupakan ekspresi lain ketidakpuasan sebagian anggota Dewan terhadap persidangan paripurna DPR, Rabu lalu, yang khusus membahas keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Mereka tidak puas karena pimpinan DPR menyodorkan dua opsi pengambilan keputusan tentang sikap Dewan terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM.

Opsi pertama, pembahasan masalah kenaikan harga BBM diserahkan kepada rapat gabungan Komisi VII, Komisi XI, dan Panitia Anggaran. Opsi kedua, sidang paripurna DPR mengambil sikap lewat pemungutan suara sikap Dewan terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM -- apakah menolak atau menerima.

Beberapa fraksi yang sejak awal menolak kenaikan harga BBM tidak mau ada opsi pertama ataupun opsi kedua soal harga BBM ini. Karena itu, ketika pimpinan rapat yang juga Ketua DPR Agung Laksono hendak mengetukkan palu tanda dua opsi hasil lobi fraksi-fraksi itu disetujui paripurna, mereka bereaksi. Sebagian mereka segera beranjak ke depan meja pimpinan rapat dan mempertontonkan drama ala preman pasar yang menghebohkan itu: berupaya menyerang pimpinan rapat secara fisik.

Reaksi lain, itu tadi, serta-merta mereka melontarkan keinginan untuk melakukan kocok ulang pimpinan DPR. Belum jelas benar, seberapa serius keinginan itu mereka coba wujudkan melalui lobi-lobi. Juga belum terlihat jelas bagaimana respons kalangan anggota DPR lain yang dalam konteks kenaikan harga BBM ini berseberangan sikap dengan mereka.

Yang pasti, dalam koridor demokrasi, keinginan seperti itu sah-sah saja. Dalam alam demokrasi, segala keinginan atau gagasan memang bisa diperjuangkan -- tentu lewat adu argumentasi dan lobi-lobi, bukan mengobral nyali gaya koboi. Jadi, ihwal kocok ulang pimpinan Dewan ini bukan cela, bukan pula nista. Tak ada yang salah ataupun keliru mengenai keinginan ke arah itu.

Tetapi jika dikaitkan dengan kedewasaan berpolitik, keinginan itu menunjukkan kekerdilan dalam bersikap. Bahkan mungkin tak beda jauh dengan aksi menyerang pimpinan sidang secara fisik: keinginan melakukan kocok ulang pimpinan Dewan ini sungguh kekanak-kanakan. Itu ibarat anak ingusan yang ingin ganti ayah-ibu hanya karena dilarang jajan permen.

Kita katakan begitu, karena proses politik tidak mungkin menghasilkan keputusan yang memuaskan semua pihak. Seperti pertandingan olahraga, proses politik selalu menorehkan kemenangan bagi satu pihak dan kekalahan bagi pihak lain -- kendati itu tidak senantiasa diametral hitam-putih. Justru itu, berpolitik amat menuntut kedewasaan: bersikap legawa (berjiwa besar) manakala kalah dan tidak berlaga jumawa (pongah) ketika tampil sebagai pemenang.

Karena itu, adalah menggelikan sekaligus mengharukan ketika kekecewaan atas kegagalan menggolkan sikap, pandangan, atau pendirian politik dalam proses persidangan di parlemen serta-merta melahirkan keinginan menjatuhkan "hukuman" terhadap pimpinan sidang -- khususnya dengan menggagas kocok ulang pimpinan Dewan.

Memang, pimpinan sidang bisa saja turut mempengaruhi proses maupun hasil akhir persidangan. Tapi, dalam berpolitik, itu adalah sebuah seni tersendiri yang tak bisa dibilang sebagai nista -- tentu sepanjang seni itu tidak menjadi akrobat yang keluar dari koridor persidangan, Karena itu, proses persidangan di parlemen ini amat menuntut kepiawaian memainkan seni politik. Tapi, tampaknya, soal kepiawaian ini justru amat jarang dimiliki anggota Dewan. Mungkin karena mereka pemain kemarin sore yang dikarbit menjadi koboi.***
Jakarta, 18 Maret 2005

14 Maret 2005

Drama Rapat Konsultasi

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sudah telanjur diputuskan. Pemerintah, tampaknya, sulit diharapkan tergerak mencabut atau membatalkan keputusan tersebut. Meski aksi demo penolakan berbagai elemen masyarakat merebak di mana-mana, pemerintah kemungkinan tetap akan kukuh pada keputusan itu.

Sangat boleh jadi, pemerintah memang sudah memperhitungkan berbagai reaksi yang bersifat menekan itu -- termasuk dari pihak parlemen yang terang-terangan merasa ditinggalkan dalam pengambilan keputusan tentang kenaikan harga BBM ini. Tapi bagi pemerintah, menaikkan harga BBM adalah keputusan terbaik untuk saat ini -- betapapun keputusan tersebut berat dan mahal.

Kita katakan berat dan mahal, karena keputusan menaikkan harga BBM sungguh punya implikasi serius pemerintah. Yaitu bahwa popularitas pemerintah di tengah masyarakat, khususnya pasangan Presiden Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla, jadi turun drastis. Padahal popularitas itu pula yang telah mengantarkan pasangan tersebut tampil sebagai pemenang Pemilu Presiden secara meyakinkan.

Begitu juga dalam konteks hubungan eksekutif-legislatif, keputusan tentang kenaikan harga BBM ini tak pelak lagi kini menyerupai onak dalam daging. Keputusan tersebut telah menurunkan derajat keharmonisan hubungan pemerintah dan DPR. Dalam konteks ini, kalangan anggota DPR -- terutama mereka yang berasal dari fraksi-fraksi yang sejak awal konsisten mengambil jarak terhadap pemerintah -- seolah memperoleh amunisi tambahan untuk memberondong pemerintah hingga terdesak ke satu sudut tertentu.

Bagi kalangan anggota DPR, keputusan pemerintah menaikkan harga BBM ini sungguh merupakan sebuah "kelancangan" -- karena dilakukan tanpa persetujuan legislatif. Tak heran jika sejumlah anggota DPR pun tergerak mengajukan usul penggunaan hak angket kepada pimpinan DPR. Usulan tersebut bisa gol, bisa pula tidak. Itu tergantung perkembangan di DPR sendiri.

Yang pasti, hari ini pimpinan DPR beserta pimpinan fraksi-fraksi dan pimpinan komisi-komisi menggelar rapat konsultasi dengan Presiden dengan agenda tunggal soal keputusan pemerintah menaikkan harga BBM. Kalau menilik latar suasana di kalangan anggota DPR selama ini, rapat tersebut mungkin bisa merupakan sebuah drama yang berlangsung seru. Adu argumentasi antara kedua belah pihak mestinya terjadi.

Berkaitan dengan itu, kita ingin mengingatkan kedua belah pihak agar tidak berkukuh pada pendirian masing-masing. Bagaimanapun, pada akhirnya, sikap seperti itu bisa kontra produktif. Paling tidak, hubungan eksekutif dan legislatif bisa kian memburuk dengan segala implikasinya yang justru menelantarkan kepentingan rakyat.

Jadi, dalam rapat konsultasi itu, kedua belah pihak -- eksekutif dan legislatif -- dituntut menurunkan ego masing-masing. Kedua belah pihak tak perlu mengklaim dan menempatkan diri sebagai pihak paling benar.

Yang justru harus tampil adalah kesadaran bersama bahwa bagaimanapun kenaikan harga BBM telanjur diputuskan. Mereka perlu menyadari bahwa ibarat pesawat yang telanjur dalam posisi take off, keputusan itu amat berisiko jika sampai harus dicabut atau dibatalkan. Paling tidak, harga aneka barang dan jasa yang telanjur naik mengikuti kenaikan harga BBM tak bakal otomatis ikut turun kembali ke posisi semula. Kenyataan tersebut jelas amat potensial mengundang friksi-friksi di masyarakat.

Justru itu, yang amat penting sekarang adalah bagaimana pemerintah dan DPR bersama-sama merumuskan langkah menyelamatkan rakyat -- khususnya lapisan miskin -- dari berbagai risiko kenaikan harga BBM. Soal program kompensasi, misalnya, perlu dirumuskan lebih jelas dan benar-benar operasional agar bisa efektif mencapai sasaran. Berbagai deviasi yang mungkin terjadi di lapangan harus bisa diungkap dan dicarikan jalan keluarnya.***
Jakarta, 14 Maret 2005

12 Maret 2005

Moratorium Utang

Pemerintah niscaya bernapas lega. Negara-negara kreditur yang tergabung dalam kelompok informal menyepakati memberikan penangguhan pembayaran alias moratorium utang bagi Indonesia dan Srilanka.

Fasilitas tersebut mereka berikan terkait dengan bencana alam dahsyat yang melanda kedua negara pada akhir tahun lalu, yakni bencana tsunami. Kita tahu, di negeri kita, bencana tersebut meluluhlantakkan Aceh dan Nias. Jadi, dengan memperoleh fasilitas moratorium utang, pemerintah bisa melakukan pembangunan kembali Aceh dan Nias tanpa harus terlampau banyak menguras APBN.

Sejak awal, tuntutan bagi pembangunan kembali Aceh dan Nias memang amat menyesakkan pemerintah. Ya, karena dana yang dibutuhkan untuk itu jelas amat besar. Padahal tanpa tuntutan itu pun, APBN sudah defisit. Jadi, jika APBN tetap dibebani kewajiban membayar utang kepada kalangan kreditur, pemerintah niscaya terseok-seok dalam membangun kembali Aceh dan Nias ini.

Memang, bantuan mengalir deras dari mana-mana. Dunia internasional, terutama, sudah komit memberikan bantuan bagi pembangunan kembali Aceh dan Nias ini. Tetapi betapa pun dana yang dibutuhkan untuk itu demikian besar. Melulu mengandalkan bantuan jelas tak bakal memadai -- juga tidak bijak, karena bisa memberi kesan bahwa pemerintah tidak memiliki kepedulian terhadap nasib Aceh dan Nias yang jadi korban bencana alam.

Jadi, dengan kata lain, pemerintah tetap dituntut mengucurkan dana khusus untuk pembangunan kembali Aceh dan Nias ini.

Sekarang, dengan memperoleh fasilitas moratorium, pemerintah tak harus pusing lagi mencari dana yang dibutuhkan untuk itu. Dana yang semula dialokasikan untuk membayar kewajiban utang kepada kalangan kreditur internasional bisa dialihkan bagi keperluan pembangunan kembali Aceh dan Nias.

Sejauh ini, belum jelas berapa nilai utang pemerintah yang memperoleh fasilitas moratorium ini. Berita yang beredar, kemarin, hanya menyebutkan bahwa forum Paris Club menyetujui moratorium bagi Indonesia dan Srilanka senilai 3,3 miliar dolar AS.

Namun, Menkeu Jusuf Anwar pernah menyebutkan bahwa untuk satu tahun saja, moratorium utang ini bisa menghemat APBN senilai 1,5 miliar sampai 2 miliar dolar AS.
Sementara Dirjen Dirjen Perbendaharaan Negara (Depkeu) Mulia Nasution menyebutkan bahwa jumlah utang yang diusulkan beroleh moratorium ke Paris Club ini bernilai sekitar Rp 23 triliun.

Boleh jadi, jumlah utang pemerintah yang disetujui Paris Club memperoleh fasilitas moratorium ini tak jauh dari kisaran angka-angka tadi. Itu terbilang signifikan -- dan karena itu, meminjam istilah Jusuf Anwar, bermakna sangat convenient bagi APBN.

Karena itu, pemerintah niscaya bernapas lega. Terlebih
fasilitas moratorium yang disetujui Paris Club ini persis sesuai dengan permintaan pemerintah: tanpa tambahan bunga, tanpa beban bunga berbunga, diberi masa tenggang, dan jatuh tempo 5 tahun.

Kenyataan itu mungkin mengejutkan. Paling tidak, karena sebelumnya pemerintah terkesan tidak yakin bahwa kalangan kreditur bisa bermurah hati dan akan begitu saja memberikan moratorium utang. Pemerintah sempat berkeyakinan bahwa fasilitas moratorium punya syarat-syarat tertentu yang niscaya memberatkan kita.

Justru itu, kalau saja tidak didesak berbagai kalangan, mungkin pemerintah tidak pernah mengajukan permintaan moratorium ini. Konsekuensinya, tentu, pemerintah sendiri yang niscaya megap-megap menghadapi tuntutan mendesak membangun kembali Aceh dan Nias.

Karena itu, ke depan, pemerintah perlu lebih memiliki sikap percaya diri dalam menghadapi masalah pelik seperti moratorium utang ini. Bersikap hati-hati memang perlu. Tapi itu jangan lantas melahirkan sikap-tindak kelewat rigid yang justru kontraproduktif.***
Jakarta, 12 Maret 2005

11 Maret 2005

Isu BBM Jangan Tenggelam

Mempertahankan integritas teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memang penting -- karena menyangkut identitas dan harga diri kita sebagai bangsa. Sejengkal pun Tanah Air kita tak boleh hilang atau susut karena dicaplok negara lain. Kita wajib mati-matian melawan upaya pihak asing yang mencoba menyerobot wilayah teritorial NKRI ini.

Syukur kalau perlawanan itu masih bisa kita lakukan lewat jalan damai alias melalui perundingan. Tapi kalaupun terpaksa harus menempuh kekerasan, siap tak siap, kita harus tetap meladeni. Kita tak boleh menyandarkan perlawanan semata terhadap kesiapan dan kelengkapan fisik, terutama mesin perang yang dimiliki TNI. Bagaimanapun, perlawanan itu harus lebih merupakan pengejawantahan semangat kita bersama mempertahankan integritas teritorial NKRI.

Atas dasar itu pula, kita memahami -- juga mendukung -- aksi-aksi demo yang dilakukan berbagai elemen masyarakat kita belakangan ini yang mengutuk klaim Malaysia atas wilayah Ambalat milik kita di perairan Sulawesi. Bagi kita, aksi-aksi demo itu terasa melegakan -- karena jelas menunjukkan kesadaran dan sikap cinta Tanah Air.

Demo-demo itu terasa menjadi bara yang mengobarkan kembali patriotisme dan heroisme kita sebagai bangsa. Kobaran patriotisme dan heroisme ini sungguh merupakan modal amat berharga bagi perjuangan kita mempertahankan kedaulatan wilayah teritorial NKRI.

Tapi gegap-gempita aksi demo anti-Malaysia ini tak boleh sampai menenggelamkan isu lain yang juga tak kalah penting: penolakan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Apalagi jika benar seperti dugaan orang bahwa isu tentang Ambalat sengaja dihembuskan pemerintah -- sehingga demo anti-Malaysia jadi marak -- agar perhatian masyarakat beralih sehingga isu kenaikan harga BBM tak lagi jadi fokus.

Bagaimanapun, jika benar itu yang terjadi, pemerintah sudah bersikap tidak fair. Pertama, pemerintah menjadikan Malaysia sebagai bulan-bulanan kemarahan masyarakat. Kedua, pemerintah mengabaikan aspirasi masyarakat tentang harga BBM.

Pemerintah memang tak selayaknya menganggap remeh penolakan masyarakat terhadap keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Ini juga masalah amat penting -- karena langsung menyentuh aspek kehidupan rakyat secara keseluruhan.

Memang benar, berbagai studi menunjukkan bahwa selama ini subsidi BBM lebih banyak dinikmati kelompok masyarakat menengah ke atas. Lapisan masyarakat bawah sendiri sebagai kelompok yang paling berhak, relatif sedikit menikmati subsidi BBM ini.

Namun pengurangan subsidi yang dilakukan pemerintah -- notabene mengakibatkan harga BBM harus dinaikkan -- tak serta-merta menyelesaikan masalah. Kenaikan harga BBM mengakibatkan harga aneka barang dan jasa ikut-ikutan meroket.

Dalam terminologi ekonomi, kenaikan harga BBM ini mengakibatkan daya beli masyarakat menurun. Bahkan penurunan tersebut lebih dahsyat lagi dirasakan masyarakat miskin. Padahal, di lain pihak, program kompensasi pengurangan subsidi BBM yang disiapkan pemerintah masih serba meragukan. Banyak pihak tak yakin bahwa program tersebut bisa efektif mencapai sasaran. Terlebih konsep operasional pengucuran dana kompensasi yang khusus ditujukan bagi kelompok masyarakat miskin ini belum lagi tersedia.

Di sisi lain, industri nasional pun ikut terpukul oleh kenaikan harga BBM ini. Ongkos produksi yang mereka keluarkan jelas jadi naik. Itu jelas menohok daya saing produk yang mereka hasilkan. Karena itu, boleh jadi, geliat industri nasional jadi melemah. Itu, pada gilirannya, niscaya memukul pula ekonomi masyarakat kebanyakan.

Jadi, jelas, keliru besar jika isu soal harga BBM ini dianggap sepi dan disimpan di alam mimpi pun tidak.***
Jakarta, 11 Maret 2005

07 Maret 2005

Tumbuhkan Lagi Patriotisme

Malaysia makin menunjukkan sikap kurang ajar. Mereka bukan lagi secara sepihak mengklaim wilayah Ambalat sebagai bagian teritorial mereka. Atau nekat memberi konsesi pertambangan migas kepada investor asal Belanda/Inggris, Shell, di Blok Ambalat. Lebih dari itu, mereka juga dilaporkan berani mengusir kapal nelayan kita yang sedang berada di perairan Ambalat. Juga mereka menyatroni pekerja kita yang sedang membangun mercusuar di Pulau Karang Unarang.

Kemarin, kapal perang Tentara Laut Diraja Malaysia -- KD Kerambit -- dilaporkan nekat memasuki wilayah teritorial Indonesia di peairan Karang Unarang. Kekurangajaran itu bukan hanya menunjukkan sikap tak acuh terhadap klaim kita atas wilayah Ambalat -- notabene sudah diakui hukum internasional. Lebih dari itu, mereka juga seolah sengaja menantang kita untuk bertempur.

Memang, kontak fisik masih bisa dihindari. Tapi, bagaimanapun, masuknya kapal patroli KD Kerambit ke wilayah Indonesia ini sudah amat gamblang menunjukkan kekurangajaran. Ibarat preman pasar, mereka sengaja petantang-petenteng di rumah kita.

Boleh jadi, dengan itu, mereka juga ingin meledek sekaligus menggertak kita. Mereka ingin meledek bahwa mesin perang kita tak ada apa-apanya dibanding apa yang mereka miliki. Mereka juga ingin menggertak kita: hendaknya berpikir berpuluh kali sebelum berani terlibat kontak fisik dengan mereka.

Betul, mesin perang kita kalah jauh dibanding Malaysia. Itu tidak saja dalam segi jumlah, melainkan juga mutu. Mesin perang yang dimiliki Malaysia terbilang modern dan canggih-canggih. Jumlahnya pun lumayan mengesankan. Sementara mesin perang kita rata-rata sudah uzur -- dan karena itu pula jumlahnya telah berkurang lumayan banyak. Keterbatasan keuangan negara, antara lain, merupakan penyebab kenyataan itu.

Jadi, dibanding Malaysia, mesin perang kita memang relatif tak ada apa-apanya. Tetapi jelas itu bukan alasan bagi kita untuk ciut nyali. Terlebih masalah yang kita hadapi sekarang adalah kedaulatan yang coba dicaplok tetangga. Nyali kita tak boleh menjadi lembek hanya karena keterbatasan mesin perang.

Dalam konteks itu, patriotisme kita digugah. Kini saatnya kita menunjukkan sikap-tindak bahwa tak sejengkal pun tanah air kita boleh lepas dicaplok siapa pun. Kita harus berjuang mempertahankan kedaulatan wilayah kita sampai titik darah penghabisan. Ini bukan hanya harus ditunjukkan oleh TNI, melainkan juga tim diplomasi yang diturunkan -- juga kita semua sebagai anak bangsa.

Memang, setelah sekian puluh tahun berlalu, kata-kata "berjuang hingga titik darang penghabisan" mungkin terasa berlebihan. Tapi jangan lupa, kata-kata semacam itu pula yang dulu membuat kita begitu berkobar-kobar hingga kita mampu mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan Soekarno-Hatta. Padahal, secara fisik, kala itu kita juga tak ada apa-apanya dibanding tentara Sekutu atau Belanda. Mesin perang yang kita miliki saat itu lebih banyak terdiri atas bambu runcing.

Kini, menghadapi tantangan nyata berupa upaya pencaplokan wilayah kedaulatan kita oleh pihak asing, kata-kata heroik kita butuhkan lagi. Kata-kata tersebut harus kembali mampu menjadi mesiu yang menggelegakkan patroitisme dalam diri kita. Dengan begitu, kita yakin kita tak bakalan undur sejengkal pun dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara kita.

Patiotisme kita butuhkan bukan hanya karena mesin perang kita relatif terbatas, melainkan terutama karena kita sudah mulai melupakan patriotisme. Disadari ataupun tidak, selama ini kita cenderung menganggap patriotisme lebih merupakan semangat zaman pergerakan dulu. Kalaupun masih sedikit bersisa, patriotisme sekarang ini cenderung kita tunjukkan dalam arti sempit dan cenderung negatif.***
Jakarta, 07 Maret 2005

01 Maret 2005

Keputusan Pahit

Betul, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) adalah pilihan pahit. Pahit, karena kenaikan itu jelas tidak mengenakkan. Bahkan terasa menyesakkan -- karena kenaikan harga BBM niscaya mendorong harga aneka barang dan jasa ikut-ikutan naik.

Mungkin benar, dampak kenaikan harga BBM terhadap laju inflasi relatif tak seberapa besar. Bahkan, seperti keyakinan pemerintah -- konon, berdasar studi -- dampak inflatoar itu tak sampai 1 persen.

Tapi kenyataan yang dihadapi masyarakat bisa lain. Penurunan daya beli masyarakat -- terutama kelompok lapisan miskin -- sebagai dampak kenaikan harga BBM ini bukan lagi nol sekian persen. Penurunan daya beli ini bisa sepuluh persen atau mungkin lebih. Justru itu, bagi khalayak luas, kenaikan harga BBM dengan segala dampak ikutannya sungguh terasa sebagai beban yang menyengsarakan.

Karena itu pula, bagi pemerintah, kenaikan harga BBM amat disadari sebagai kebijakan yang tidak popular. Kebijakan tersebut bisa membuat simpati khalayak luas terhadap pemerintah menjadi menurun -- bahkan mungkin menjadi antipati.

Walhasil, bagi pemerintah pun, kenaikan harga BBM adalah pilihan pahit. Tapi suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, pilihan pahit itu harus diambil menjadi kebijakan. Jika tidak, pemerintah harus siap menanggung beban lonjakan subsidi harga BBM dalam APBN. Pada gilirannya, itu membuat pemerintah harus pula menghadapi masalah defisit APBN yang semakin menganga lebar.

Memang, pihak legislatif tidak memberikan persetujuan terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM ini. Beberapa fraksi di DPR kukuh menentang langkah tersebut -- karena pemerintah, bagi mereka, belum menjelaskan beberapa soal mendasar seputar ongkos produksi minyak. Di lain pihak, Panitia Anggaran DPR juga menyatakan menolak keputusan pemerintah menaikkan harga BBM.

Lalu, bagaimana? Apakah keputusan pemerintah menaikkan harga BBM menjadi ilegal? Atau haruskah pemerintah membatalkan kebijakan tersebut dengan segala implikasi ekonomi yang niscaya harus ditanggung, khususnya menyangkut APBN?

Boleh jadi, meski tak beroleh dukungan pihak legislatif, keputusan pemerintah menaikkan BBM tak lantas bisa diangap sebagai nista tak terampunkan. Bagaimanapun, pemerintah memiliki kewenangan mengambil keputusan paling strategis sekalipun. Terlebih, secara politis, pasangan presiden-wapres sekarang ini merupakan pilihan murni rakyat juga.

Jadi, pemerintah tak harus membatalkan atau menunda kebijakan menaikkan harga BBM ini. Bahwa khalayak luas menentang kebijakan tersebut, itu adalah realitas yang harus dihadapi pemerintah dengan sikap bijak. Toh pemerintah sudah menyiapkan sejumlah besar dana sebagai kompensasi kenaikan harga BBM ini, khususnya bagi masyarakat miskin. Yang penting, pemerintah harus berupaya keras agar kucuran dana kompensasi itu benar-benar tetap sasaran.

Bahwa keputusan menaikkan harga BBM ini juga tak memperoleh persetujuan pihak legislatif. itu bukan berarti pemerintah telah bersikap abai. Toh, terutama dalam pekan-pekan terakhir, pemerintah dan pihak legislatif begitu intens membahas ihwal kenaikan tersebut. Karena itu, di tengah kondisi yang terasa kian mendesak sekarang ini, ketidaksepakatan yang tak kunjung tertoreh di antara kedua belah pihak tak lantas harus menjadi ganjalan bagi pemerintah dalam memutuskan kenaikan harga BBM.

Dalam konteks seperti itu pula kita memahami sikap pemerintah yang tetap pada pendirian bahwa harga BBM harus dinaikkan sekarang ini. Pemerintah amat menyadari bahwa itu adalah pilihan pahit yang punya risiko-risiko tertentu, terutama politis. Tapi pemerintah tampaknya sudah siap. Paling tidak, seperti kata Presiden Yudhoyono, pemerintah siap tidak popular.***
Jakarta, 1 Maret 2005