25 Februari 2005

Kenaikan BBM Kurangi Kemiskinan?

Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tinggal menghitung hari. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandaskan bahwa kenaikan harga BBM ini segera dilakukan. Soal waktunya, Presiden memang tidak memberi gambaran. Tetapi jika merujuk pada pernyataan Menko Perekonomian Aburizal Bakrie dalam kesempatan sebelumnya, kenaikan itu tampaknya dilakukan Maret mendatang.

Memang, DPR belum bulat mendukung rencana pemerintah ini. Dalam rapat konsultasi pemerintah dengan Komisi IX DPR, Selasa lalu, beberapa fraksi bahkan menunjukkan gelagat berupaya mengganjal langkah pemerintah menaikkan harga BBM ini.

Tetapi pernyataan Presiden Yudhoyono tadi -- bahwa kenaikan harga BBM segera dinaikkan -- bisa kita baca sebagai isyarat bahwa pemerintah sudah bisa meyakinkan pihak DPR. Atau, paling tidak, itu mencerminkan sikap optimis pemerintah bahwa akhirnya DPR akan memberikan persetujuan juga.

Namun apa pun yang menjadi latar belakang, pernyataan Presiden Yudhoyono tadi jelas menunjukkan tekad kuat pemerintah: bahwa kenaikan harga BBM sudah tak bisa dihindari lagi -- dan harus segera dilakukan. Ini sekaligus menepiskan penilaian sebagian kalangan bahwa pemerintah terkesan ragu-ragu dalam mengambil kebijakan tidak populer itu.

Justru itu, kepastian pun tertoreh. Ini positif. Dunia usaha, terutama, jelas bisa langsung melakukan ancang-ancang. Terlebih skenario kenaikan harga BBM ini sudah bocor ke pers. Kalaupun kelak keputusan yang diumumkan pemerintah ternyata berbeda, skenario itu tampaknya tak bakal meleset jauh.

Jadi, dunia usaha nasional tak lagi terombang-ambing dalam spekulasi mengenai harga BBM. Mereka kini tinggal membuat kalkulasi dan menyiapkan antisipasi langkah-langkah penyesuaian. Dengan demikian, ketika harga BBM resmi dinyatakan naik, mereka tidak kaget atau gamang.

Karena itu, kita salut terhadap pernyataan Presiden Yudhoyono yang memastikan harga BBM segera dinaikkan. Namun di sisi lain, sejauh keterangan Menko Perekonomian tentang pernyataan Presiden tadi benar adanya, kita juga kaget. Presiden menyebutkan bahwa kenaikan harga BBM akan mengurangi kemiskinan.

Bagi kita, pernyataan itu menyesatkan dan bisa mengecewakan masyarakat, khususnya kelompok rakyat miskin. Kita bukan hendak menafikan sumber rujukan Presiden tentang itu, yakni hasil penelitian Lembaga Pengembangan Ekonomi Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia. Kita sependapat bahwa pengurangan subsidi BBM -- notabene merupakan faktor yang membuat harga BBM harus dinaikkan -- berdampak positif terhadap lapisan masyarakat bawah. Persisnya mengurangi kemiskinan.

Tetapi adalah menyesatkan jika itu digambarkan sebagai kondisi yang niscaya serta-merta terjadi. Bahkan hasil penelitian LPEM itu sendiri, sebenarnya, menyebutkan bahwa dampak positif pengurangan subsidi BBM terhadap penurunan kemiskinan ini tidak bersifat seketika.

Dampak positif itu baru mungkin tertoreh dalam jangka menengah dan panjang. Sementara dalam jangka pendek, pengurangan subsidi (baca: harga BBM dinaikkan) membuat masyarakat miskin semakin sengsara.

Itu begitu niscaya, karena kenaikan harga BBM memacu berbagai barang dan jasa ikut-ikutan meroket -- dan karena itu, daya beli masyarakat jadi melorot. Terlebih jika program kompensasi kenaikan harga BBM ternyata masih saja banyak tidak mencapai sasaran, kesengsaraan masyarakat lapisan miskin niscaya lebih dalam lagi.

Yang dibutuhkan masyarakat sebenarnya bukan janji -- betapapun janji itu realistis dan bukan sekadar gombal. Masyarakat sudah bosan dengan janji-janji. Yang mereka tuntut sebenarnya sederhana: hidup tidak semakin susah. Tapi justru itu, dalam konteks kenaikan harga BBM, sulit bisa dipenuhi pemerintah dalam jangka pendek.
Jakarta, 25 Februari 2005

22 Februari 2005

Pengakuan Jujur Kapolri

Pengakuan jujur diungkapkan Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar. Yaitu bahwa lembaga Polri masih digelayuti sederet penyimpangan. Mulai dari soal perdagangan jabatan, sogok dalam konteks pendidikan lanjutan, juga praktik pungutan liar yang merugikan masyarakat.

Pengakuan itu sendiri merupakan jawaban atas hasil survei Transparency International Indonesia (TII) yang menempatkan Polri di urutan kedua terkorup dalam berinteraksi dengan kalangan pengusaha. Posisi pertama ditempati Bea Cukai, ketiga militer, dan keempat lembaga peradilan.

Jika dikatakan sembarang polisi, pengakuan itu jelas tidak terasa istimewa. Tapi karena justru diutarakan orang nomor satu di lingkungan Polri, pengakuan bahwa lembaga Polri digelayuti sederet penyimpangan yang bermuara pada soal fulus itu sungguh menjadi amat berbobot -- dan niscaya bukan basa-basi.

Kita katakan bahwa pengakuan itu juga jujur karena Da'i tidak membantah atau berupaya menutup-nutupi apa yang dibeberkan TII lewat hasil survei itu. Bahkan Da'i dengan gamblang menyebutkan bahwa penyimpangan-penyimpangan di tubuh Polri ini memang benar adanya.

Yang mencenangkan, Da'i bukan sekadar menyebutkan bahwa sikap-tindak korup itu terjadi saat polisi berhubungan dengan publik. Tapi juga di lingkungan internal Polri sendiri. Misalnya jabatan diperdagangkan. Juga urusan pendidikan lanjutan menjadi arena sogok.

Sebenarnya, itu bukan lagi perkara baru. Selama ini kita sendiri acap melihat atau merasakan realitas tentang mental korup di lingkungan Polri ini. Hanya, memang, selama ini pula soal itu lebih banyak sekadar menjadi gerundelan di hati, atau paling tidak cuma menjadi bahan bisik-bisik antarteman.

Benar, mental korup itu tidak meliputi keseluruhan korp polisi. Juga jelas bukan merupakan kebijakan resmi institusi Polri. Mental korup di tubuh Polri ini lebih merepresentasikan penyimpangan yang dilakukan oknum-oknum petugas polisi.

Namun, publik sulit sekali membedakan oknum dan bukan oknum. Bagi publik, polisi ya polisi -- entah dia sekadar oknum atau polisi sejati. Karena itu, sikap-tindak oknum pun terinternalisasikan sebagai gambaran polisi secara keseluruhan. Terlebih, sosok oknum itu sendiri begitu sering berhadapan dengan publik: bisa di jalan raya, saat mengurus perizinan, saat mengadu, dan lain-lain.

Karena itu, bagi masyarakat, polisi belum terasa menjadi pelindung. Polisi belum terasa menjadi pelayan masyarakat sebagaimana slogan yang terpampang di hampir setiap kantor polisi. Kehadiran polisi justru melahirkan perasaan tidak nyaman. Setiap kali harus berurusan dengan polisi, orang sudah gerah duluan.

Persoalannya jelas: karena berurusan dengan polisi acap berarti harus merogoh kocek -- entah itu bersifat resmi, atau lebih-lebih lagi ilegal. Sampai-sampai ada anekdot bahwa orang yang melapor kehilangan ayam harus siap kehilangan kambing.

Penilaian atau persepsi seperti itu jelas tidak sehat -- karena Polri sesungguhnya harus menjadi lembaga yang membuat masyarakat merasa aman dan nyaman terlindungi. Juga karena polisi amat dibutuhkan sebagai pilar agar tertib sosial dan hukum tetap terjaga tegak. Jika tidak begitu, kehidupan masyarakat bisa kacau: hukum rimba bisa berlaku.

Kini persepsi tidak sehat itu beroleh pembenaran orang nomor satu di tubuh Polri. Ini bisa berbahaya. Jika segenap jajaran Polri tidak segera melakukan pembenahan ke dalam secara sungguh-sungguh, persepsi publik yang tidak sehat tadi niscaya makin kental. Bahkan kepercayaan terhadap lembaga Polri bisa benar-benar luntur. Pupus. Lebih-lebih jika oknum aparat Polri sendiri kian banyak tampil sebagai preman berseragam coklat.

Karena itu, kita amat menghargai kejujuran Kapolri soal mental korup di tubuh Polri ini. Tapi kita lebih salut lagi bila kejujuran itu diikuti dengan langkah koreksi total ke dalam.
Jakarta, 22 Februari 2005

18 Februari 2005

Ada Apa Dengan Bulog?

Menteri Pertanian Anton Apriyantono kemarin memastikan bahwa kran impor beras baru dibuka lagi jika hasil panen pertama pada musim tanam 2004/2005 terbukti gagal alias jauh di bawah target sebesar 54 juta ton gabah kering panen (GKP). Dengan itu, Anton menepiskan kekhawatiran Dirut Perum Bulog Widjanarko Puspojo soal persediaan beras pada tahun ini.

Menurut Anton, secara kuantitas produksi padi nasional tahun ini tak beralasan dikhawatirkan. Mengutip prediksi Badan Pusat Statistik (BPS), dia tegas menyebutkan bahwa produksi gabah nasional pada tahun ini berada di kisaran 54 juta ton GKP atau setara 36 juta ton beras.

Terkait itu, Anton juga menepiskan kemungkinan terjadinya perubahan ekstrem iklim berupa musim kering panjang -- dikenal sebagai fenomena El Nino -- pada tahun ini. Anton menyebutkan, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) maupun Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) tidak memberikan informasi ihwal terpaan El Nino yang berdampak menurunkan produksi beras nasional.

Deptan sendiri memang belum membuat ramalan mengenai produksi beras nasional untuk tahun ini -- karena masih menunggu masukan data dari berbagai daerah. Namun demikian, Anton optimis bahwa produksi padi tahun ini bisa mencapai sekitar 54 juta ton seperti tahun lalu.

Walhasil, bagi pihak Deptan, kekhawatiran bos Bulog tentang produksi beras nasional pada tahun ini sama sekali tak beralasan. Mereka juga tak habis mengerti oleh sumber informasi tentang fenomena El Nino yang disebut-sebut Widjanarko bakal kembali menerpa pada tahun ini.

Widjanarko memang tidak menyebut sumber ketika dia menyatakan ihwal terpaan El Nino ini. Tapi, jelas, dengan itu dia berupaya meyakinkan berbagai bahwa produksi beras nasional tahun ini bisa kritis. Seperti yang sudah-sudah, fenomena El Nino memang bisa melahirkan kekeringan dahsyat sehingga produksi beras nasional pun jadi anjlok.

Atas dasar itu pula, Widjanarko sebenarnya memberi sinyal tentang perlunya pemerintah membuat langkah antisipasi agar persediaan beras nasional tetap aman. Itu positif. Langkah antisipatif, dalam soal apa pun, memang perlu -- dan tentu bermanfaat sejauh berpijak pada kondisi atau alasan-alasan yang akurat.

Dengan melakukan antisipasi, berbagai kemungkinan bisa diperhitungkan. Atas dasar itu, kemungkinan buruk tentu diupayakan bisa dihindari. Sebaliknya, langkah-langkah optimal tentu bisa dicurahkan untuk menggapai berbagai kemungkinan bagus agar menjadi kenyataan.

Berdasar pemahaman itu, kita pun menilai pernyataan Dirut Perum Bulog Widjanarko Puspojo tentang persediaan beras pada tahun ini sungguh punya arti penting dan menuntut langkah antisipatif. Terlebih pokok masalah menyangkut beras. Kita tahu, beras adalah komoditas strategis -- karena merupakan makanan pokok masyarakat kita.

Justru itu pula, bagi kita, komoditas beras amat sensitif. Sedikit saja stok atau pasokan terganggu, harga komoditas tersebut langsung meroket. Jika tak terkendali, kondisi itu bahkan bisa melahirkan instabilitas sosial-politik.

Karena itu, sekali lagi, pernyataan Widjanarko tadi sungguh penting. Pernyataan dia bahwa produksi beras nasional tahun ini dikhawatirkan anjlok, semestinya segera menggerakkan kita melakukan langkah-langkah antisipasi.

Tetapi ketika berbagai pihak mematahkan argumen atau faktor kondisi obyektif yang melandasi sinyalemen bos Bulog tadi -- yaitu bahwa El Nino akan kembali menerpa, sehingga produksi beras nasional terancam kritis -- orang serta-merta tergiring bertanya: ada apa dengan Bulog? Bahkan kecurigaan pun langsung merebak: jangan-jangan Bulog sedang mengincar izin impor beras.

Boleh jadi, Bulog sendiri tidak memiliki pamrih tentang itu: izin impor beras tidak harus diberikan kepada Bulog. Tetapi juga adalah naif jika beitu saja menafikan bahwa Bulog tak berkepentingan terhadap izin impor beras ini. Maklum karena impor beras termasuk kegiatan bisnis yang terbilang gurih.***
Jakarta, 18 Februari 2005

15 Februari 2005

Tonggak Awal Sebuah Rezim

Pencabutan Indonesia dari daftar hitam (black list) yang dibuat lembaga internasional pemberantasan tindak pidana pencucian uang (FATF) memang harus disyukuri. Betapa tidak, karena pencabutan itu mengandung arti bahwa kita tidak lagi dianggap sebagai surga pencucian uang (money laundering).

Kita sudah merasakan sendiri, ongkos yang harus kita tanggung selama ini sebagai konsekuensi atas status yang disandangkan FATF itu -- karena kita dinilai tidak kooperatif dalam konteks pembangunan rezim antipencucian uang -- sungguh mahal.

Yang sudah pasti saja, status itu membuat indeks tingkat risiko negara (country risk) kita dalam konteks investasi menjulang tinggi. Political and Economic Risk Consultancy (PERC), misalnya, sejauh ini menempatkan indeks country risk kita di kisaran 7-9. Artinya, kegiatan investasi di Indonesia dinilai berisiko tinggi.

Tapi dengan tidak lagi dimasukkan ke daftar hitam negara-negara yang tak kooperatif dalam rangka pemberantasan tindak pidana pencucian uang, indeks country risk kita niscaya serta-merta turun. Justru itu, daya saing kita dalam menarik investasi asing pun amat bisa diharapkan jadi meningkat.

Artinya, dalam konteks itu, kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia membaik. Itu pula yang membuat kita boleh berharap bahwa penurunan indeks country risk ini juga membuat peringkat utang Indonesia semakin naik. Terakhir, Desember lalu lembaga pemeringkat seperti Standard & Poor's menempatkan peringkat utang luar negeri kita di posisi B plus.

Bagi jajaran perusahaan nasional, penurunan indeks country risk kita juga membuat premi yang harus dibayar dalam setiap transaksi internasional jadi lebih rendah. Justru itu, biaya transaksi internasional mereka sekarang mesti relatif murah. Dengan demikian, jelas, daya saing dunia usaha nasional dalam pentas global pun niscaya terkerek naik.

Di sisi lain, pencabutan status tak kooperatif ini juga membuat kita terhindar dari risiko terkena sanksi lebih mematikan (counter measures): diisolasi dari tata pergaulan keuangan dunia. Sepanjang kita tetap masuk daftar hitam FATF, sanksi itu membayang pekat -- tergantung keputusan FATF. Jika FATF sampai pada kesimpulan bahwa kita tak bisa ditoleransi lagi, maka serta-merta sanksi counter measures pun harus kita pikul.

Itu pula yang selama ini amat kita cemaskan. Setiap kali menjelang sidang FATF, kita selalu amat mengkhawatirkan kalau-kalau kita divonis sudah tak bisa ditoleransi lagi sebagai negara yang mereka nilai tak koperatif terhadap gerakan pemberantasan tindak pidana pencucian uang -- meski, barangkali, itu tak sepenuhnya obyektif menurut kacamata kita sendiri.

Jadi, sekali lagi, pencabutan status tak kooperatif oleh FATF memang sungguh patut kita syukuri. Terlebih perjuangan ke arah itu ternyata begitu berliku. Untuk bisa keluar dari daftar hitam, kita tidak saja mesti tunduk-patuh terhadap syarat-syarat teknis yang digariskan FATF. Lebih dari itu, kita juga dituntut mampu meyakinkan negara-negara berpengaruh di FATF bahwa kita sekarang sudah berubah -- bukan lagi surga bagi tindak pencucian uang.

Kini, setelah tak lagi dikategorikan masuk daftar hitam, tentu tak berarti kita bisa berleha-leha. Kita justru harus makin sungguh-sungguh melakukan reka-upaya memberantas tindak pidana pencucian uang. Tantangan yang kita hadapi kini sungguh lebih berat lagi: prestasi yang sudah kita raih jangan sampai lepas lagi. Untuk itu, kita perlu menghayati semangat dalam dunia olahraga. Yaitu bahwa memertahankan status juara jauh lebih bermakna dan lebih berat ketimbang sekadar merebut gelar jawara.***
Jakarta, 15 Februari 2005

11 Februari 2005

Krisis Gula Sulit Dihindari?

Menteri Perdagangan Mari Pangestu melontarkan isyarat bahwa perkembangan harga gula pasir di pasar dalam negeri sekarang ini belum merisaukan. Dia yakin, harga gula hanya melonjak di daerah-daerah tertentu.

Tetapi barangkali Mari lupa bahwa pasar amat sensitif. Perkembangan harga di suatu lokasi akan segera merembet ke lokasi lain. Dalam kaitan ini, kalangan pedagang amat lihai mengendus situasi. Mereka juga amat piawai dalam berkalkulasi atau bahkan berspekulasi. Terlebih bila kondisi obyektif di lapangan amat mengondisikan ke arah itu.

Justru itu, bagi kita, perkembangan harga gula pasir di dalam negeri belakangan ini sudah mulai terasa mencemaskan. Sekarang ini, harga komoditas tersebut di sejumlah kota besar seperti Jakarta dan Surabaya sudah menembus Rp 6.000 per kg. Boleh jadi, harga tersebut masih akan merambat naik. Maklum karena pemerintah sudah tidak punya stok gula. Bulog, dalam kaitan ini, sudah menghabiskan stok terakhir sebanyak 70.000 ton pada Mei tahun lalu.

Sementara itu, arus masuk gula impor juga ternyata seret. Pengadaan gula impor oleh empat importir terdaftar -- PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIX, PTPN X, PTPN XI, dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) -- ternyata tidak berlangsung mulus. Konon, dari izin impor sebanyak 300.000 ton yang dikeluarkan pemerintah, sejauh ini baru sekitar 60.000 ton yang masuk.

Kalangan pedagang tentu melihat kenyataan itu sebagai situasi yang harus diwaspadai -- dan karena itu mesti dikalkulasi cermat. Maka spekulasi mereka pun merebak. Tak heran jika harga gula sekarang ini begitu kuat menunjukkan tendensi naik terus.

Tapi kenapa Menteri Mari masih terkesan tak risau? Mungkin dia memang yakin mampu mengendalikan situasi. Seperti dia katakan sendiri, jika dipandang perlu, izin impor gula bisa saja dikeluarkan lagi. Jumlahnya sekitar 200.000 ton.

Terus-terang saja, kita ragu bahwa itu bisa efektif mengatasi masalah. Pertama, seperti sudah disinggung, kemampuan importir terdaftar tak bisa diandalkan. Bahkan untuk mendatangkan 300.000 ton gula sesuai izin yang sudah dikeluarkan pemerintah pun mereka terlihat kepayahan. Mereka amat terkesan belum piawai dalam memasuki jagat pergulaan internasional. Tak heran jika dalam mendatangkan gula impor ini mereka selalu terbentur pada berbagai kesulitan teknis yang amat mengganggu.

Kedua, jagat pergulaan dunia sendiri sekarang ini sedang bergolak. Di satu sisi, produksi turun karena beberapa alasan. Thailand, misalnya, menurunkan produksi dalam rangka mengantisipasi terpaan fenomena El Nino tahun ini. Gula yang dihasilkan Brazil juga tahun ini relatif sedikit dilempar ke pasar. Mereka lebih memilih mengonversi gula ke etanol untuk bahan bakar alternatif gara-gara harga minyak melonjak hebat.

Di sisi lain, beberapa negara yang selama ini dikenal sebagai konsumen besar gula dunia justru sedang mengalami krisis gula. Stok gula di India, Pakistan, Bangladesh, juga Cina sekarang ini sudah tipis. Justru itu, mereka berupaya keras menyerap banyak-banyak pasokan gula di pasar dunia.

Di tengah kondisi produksi yang berkurang signifikan, kenyataan itu tentu membuat harga gula terkerek naik. Sekarang ini, harga gula di pasar internasional sudah mencapai 320 dolar per ton. Padahal awal tahun lalu, harga gula di pasar dunia ini masih berkisar 230 dolar per ton.

Karena itu, kita tak bisa memahami sikap Menteri Mari yang masih saja terkesan memandang sepi perkembangan harga gula di dalam negeri yang cenderung terus merangkak naik itu. Atau jangan-jangan itu isyarat bahwa dia sesungguhnya sudah melihat betapa keadaan sudah amat sulit dikendalikan atau diperbaiki. Artinya, krisis gula sungguh tak bisa kita hindari lagi.

Jika benar itu yang terjadi, berarti kita gagal melakukan antisipasi. Kita keliru mengelola keadaan agar tetap terjaga aman. Padahal, di masa lalu, krisis gula ini mampu kita hindari. Ya, karena berbagai kemungkinan yang bisa melahirkan risiko tersebut selalu bisa kita antisipasi dengan baik.
Jakarta, 11 Februari 2005

08 Februari 2005

Holding BUMN, Kenapa Ditentang?

Rencana Menneg BUMN menggabungkan sejumlah BUMN dalam sebuah induk perusahaan (holding company) sungguh menarik. Rencana tersebut dilatari keinginan pemerintah meningkatkan kinerja BUMN agar menjadi sehat dan mampu menuai keuntungan. Dengan demikian, keberadaan BUMN bisa memberi kontribusi nyata terhadap pendapatan negara dalam bantuk setoran pajak maupun bagian keuntungan (dividen).

Bahwa sasaran itu strategis -- membantu menutup defisit APBN -- kita bisa sepakat. Tetapi, seperti suara berbagai kalangan dalam menanggapi rencana Menneg BUMN ini, apakah pembentukan holding sungguh strategis bagi BUMN sendiri?

Memang benar, BUMN kita adalah sebuah potret buram. Secara keseluruhan, BUMN kita belum sehat. Dari total 157 unit BUMN, sekitar sepertiga belum juga kunjung mampu menuai untung. Bahkan sejumlah banyak BUMN yang berhasil membukukan laba pun tak tergolong perusahaan yang benar-benar sehat. Paling tidak, jumlah atau nilai kewajiban (liabilities) masing-masing BUMN juga terbilang besar. BUMN yang benar-benar sehat sendiri, agaknya, bisa dihitung dengan jari.

Kenyataan itu tentu tidak mengesankan. Terlebih kebanyakan BUMN bisa dibilang sudah bangkotan. Artinya, sebagai lembaga usaha, kiprah kebanyakan BUMN bukan baru dimulai kemarin sore. Bahkan sejumlah BUMN sudah berkibar sejak zaman penjajahan Belanda dulu.

Tetapi sejarah perjalanan kebanyakan BUMN kita lebih banyak menorehkan ironi. BUMN perkebunan, misalnya, di zaman penjajahan Belanda dulu merupakan tambang emas. Tapi sekarang ini, BUMN perkebunan justru merupakan perusahaan yang tak terbilang sehat.

Entah BUMN yang mengelola usaha perkebunan tebu/industri gula atau komoditas lain seperti karet atau teh, masing-masing sudah bukan lagi tambang emas -- dalam arti mampu mendulang laba secara gilang-gemilang. Dalam penuturan lugas, dibanding zaman penjajahan, kondisi BUMN perkebunan sekarang ini malah menunjukkan kemunduran -- notabene dengan prospek tak terlampau cerah pula.

Upaya memerbaiki keadaan bukan tak pernah dilakukan pemerintah terhadap BUMN perkebunan ini. Keberadaan 12 unit PT Perkebunan Nusantara (PTPN) sekarang ini, misalnya, merupakan hasil restrukturisasi dari jumlah semula 26 unit. Restrukturisasi itu sendiri dimaksudkan untuk mengondisikan masing-masing BUMN mampu meningkatkan kinerja usaha. Hasilnya? Gambaran PTPN sekarang tetap saja tak jauh beda dibanding sebelum restrukturisasi.

Ironi lain: BUMN tetap tak mampu menuai keuntungan, meski status badan hukum mereka sudah memberi keleluasaan -- bahkan menuntut ke arah itu. Sebut saja PT Kereta Api (PTKA). Sejak zaman berstatus perusahaan jawatan (perjan) dulu, PTKA terus saja berdarah-darah alias merugi melulu. Padahal perubahan status badan hukum antara lain dimaksudkan sebagai wahana yang memungkinkan PTKA beranjak menjadi sehat.

Di sisi lain, PT Garuda Indonesia atau PT Merpati Nusantara, juga mencatat sejarah hampir serupa. Kedua BUMN yang bergerak di bidang jasa penerbangan tersebut lebih banyak menorehkan gambaran kelabu ketimbang prestasi gemilang laiknya badan usaha yang sehat dan menguntungkan. Beberapa kali Garuda maupun Merpati dilanda krisis keuangan. Beberapa kali pula terpaksa pemerintah turun-tangan melakukan langkah penyelamatan -- terutama meninjeksikan modal segar. Tapi pada saatnya pula, kedua BUMN tersebut kembali dihantui krisis serupa.

Kenyataan-kenyataan seperti itu tentu terasa menggelitik jika dikaitkan dengan rencana Menneg BUMN mengelompokkan sejumlah BUMN dalam sebuah holding. Kita khawatir, langkah tersebut kelak terbukti hanya mengulang "sejarah": kinerja BUMN secara keseluruhan maupun masing-masing unit tetap saja tak membaik.

Dengan kata lain, pembentukan holding BUMN tak bisa semudah membalikkan tangan. Langkah ke arah itu, bagaimanapun, menuntut kajian mendalam dan komprehensif. Jika tidak, pembentukan holding niscaya tak memberi makna strategis bagi BUMN sendiri.

Kajian mendalam dan komprehensif juga mutlak dibutuhkan karena masing-masing BUMN telanjur tumbuh dengan kultur, watak, dan strategi masing-masing. Tanpa pemahaman mendasar atas faktor-faktor tersebut, langkah pembenahan boleh jadi sulit bisa membuahkan hasil sebagaimana harapan ataupun asumsi semula.

Paling tidak, itu sudah dibuktikan oleh berbagai langkah pembenahan BUMN yang pernah dilakukan pemerintah selama ini. Karena faktor mendasar pada setiap BUMN gagal dipahami, langkah pembenahan itu pun menjadi terkesan artifisial. Terlebih bila motif pembenahan itu sendiri kental dilatari oleh kepentingan yang tak terkait langsung dengan tujuan dan sosok ideal tentang badan usaha yang sehat dan mampu menuai untung.

Atas dasar itu, kita memahami keberatan berbagai kalangan terhadap rencana Menneg BUMN menggabungkan sejumlah BUMN dalam sebuah holding ini.***
Jakarta, 8 Februari 2005

04 Februari 2005

Dana Rp 20 triliun yang disiapkan pemerintah sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tahun ini sebenarnya tak bisa dibilang sedikit. Tapi dibanding dana subsidi BBM yang tak lagi terkucur seiring keputusan kenaikan harga BBM, angka Rp 20 triliun menjadi relatif tidak besar. Paling tidak, angka itu pasti tak sebanding dengan dana subsidi BBM yang bisa "diselamatkan" pemerintah.

Tahun lalu, dana yang dialokasikan untuk subsidi BBM ini bernilai sekitar Rp 63 triliun. Sementara tahun ini, seiring rencana kenaikan harga BBM, nilai subsidi tersebut sekitar Rp 21 triliun. Itu berarti, kenaikan harga BBM bisa "menyelamatkan" dana subsidi sekitar Rp 42 triliun.

Tapi, di lain pihak, dana yang dialokasikan pemerintah sebagai kompensasi kenaikan harga BBM hanya sekitar Rp 20 triliun. Itu pun adalah estimasi maksimal. Artinya, bisa saja kucuran dana kompensasi kenaikan harga BBM ini jauh di bawah Rp 20 triliun. Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Sri Mulyani Indrawati sendiri menyebutkan, angka minimal dana kompensasi ini adalah Rp 12 triliun.

Walhasil, memang, dana kompensasi dibanding dana eks subsidi BBM jauh tidak sebanding. Terlebih jika mengingat bahwa dampak ekonomis yang harus ditanggung masyarakat atas kenaikan harga BBM ini sungguh tak bisa dipandang enteng.
Pengalaman selama ini menunjukkan, kenaikan harga BBM serta-merta menimbulkan efek psikologis yang mendorong harga aneka barang dan jasa ikut-ikutan naik.

Sebuah survei yang pernah dilakukan Bank Indonesia memang menyebutkan bahwa dampak implatoar kenaikan harga BBM tak sampai 1 persen. Tapi kenyataan di lapangan bicara lain. Khalayak luas amat merasakan bahwa dampak kenaikan harga BBM terhadap perkembangan harga aneka barang dan jasa sungguh luar biasa.

Kalangan ibu-ibu rumah tangga sudah hapal betul: tambahan pengeluaran belanja akibat kenaikan harga BBM bukan sekadar nol sekian persen, tapi bisa 10 atau bahkan 20 persen! Apalagi jika kenaikan harga BBM terbilang signifikan -- misalnya 25 persen atau bahkan 40 persen sebagaimana skenario sementara pemerintah.

Jadi, beban ekonomis yang harus ditanggung masyarakat akibat kenaikan harga BBM ini sungguh berlipat-lipat. Masyarakat tidak bisa hanya harus menanggung kenaikan harga BBM an sich. Bagi masyarakat lapisan bawah -- kelompok prasejahtera atau kelompok miskin --, kenyataan itu merupakan masalah serius: daya beli mereka kian tersungkur.

Justru itu pula, seperti hasil penelitian Lembaga Pengembangan Ekonomi Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, kenaikan harga BBM menambah kemiskinan di tengah masyarakat -- paling tidak dalam jangka pendek.

Namun, kita berpendirian bahwa itu tidak berarti pemerintah jangan menaikan harga BBM. Kita sepakat bahwa subsidi BBM yang selama ini dikucurkan pemerintah relatif sedikit dinikmati masyarakat kurang mampu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kalangan berkantung tebal, termasuk dunia industri.

Dengan kata lain, subsidi BBM sudah terbukti salah sasaran. Dana yang dikucurkan untuk itu praktis lebih banyak menguap menjadi asap kenalpot kendaraan bermotor atau cerobong asap industri. Padahal dana yang dialokasikan sebagai subsidi BBM ini jelas terbilang besar. Terlebih jika harga minyak mentah di pasar internasional melambung: dana subsidi BBM yang harus disediakan pemerintah kian membengkak.

Jadi, kita setuju dan mendukung rencana pemerintah menaikkan harga BBM ini. Langkah tersebut sungguh strategis dalam memotong atau menghentikan aliran dana subsidi ke kelompok mampu.

Memang, seperti sudah disinggung, kenaikan harga BBM serta-merta memukul daya beli masyarakat lapisan bawah menjadi semakin tersungkur. Justru itu, program kompensasi kenaikan harga BBM -- notabene khusus ditujukan kepada kelompok masyarakat yang paling terpupuk oleh kenaikan itu -- menjadi relevan. Hanya, alokasi dana untuk itu perlu dibuat lebih maksimal. Jika tidak bisa 100 persen, dana eks subsidi BBM yang dialihkan sebagai dana kompensasi paling tidak bisa mencapai di atas 75 persen.

Dengan demikian, program kompensasi tidak lagi terasa sekadar seperti pelipur lara bagi masyarakat miskin terkait keputusan pemerintah memutus aliran dana subsidi BBM ke kelompok mampu. Bahwa itu tidak banyak membantu menutup defisit dalam APBN, memang benar. Tapi bukankah sejak awal pengucuran subsidi BBM ini dimaksudkan untuk menyejahterakan masyarakat lapisan bawah?

Jadi, tidak fair jika sebagian besar dana eks subsidi BBM malah dialirkan ke pos lain, sementara masyarakat miskin cukup diberi sekadar pelipur lara. Lagi pula, soal defisit APBN masih mungkin disiasati lewat upaya lain. Misalnya memanfaatkan moratorium utang yang ditawarkan kalangan negara kreditur.***
Jakarta, 04 Februari 2005