21 Desember 2004

Kenapa Elpiji Naik?

Dari sisi konsumen, sangat wajar kenaikan harga elpiji serta Pertamax dan Pertamax Plus serta-merta mengundang reaksi keras. Ihwal kenaikannya itu sendiri, barangkali, tak terlampau mengejutkan. Maklum karena selama dua-tiga bulan belakangan ini pemerintah sudah gembar-gembor menggelindingkan rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Dalam konteks itu, agaknya, masyarakat pun sudah sedikit bisa memahami rencana tersebut -- yakni karena pemerintah tak mungkin mampu memikul subsidi BBM yang menjadi amat besar terkait kenaikan harga minyak mentak di pasar dunia.

Tetapi masyarakat sungguh dibuat terpana: ternyata kenaikan harga elpiji mencapai 41 persen, sementara harga Pertamax dan Pertamax Plus naik 60 persen lebih. Jika semula harga elpiji adalah Rp 3.000, kini naik menjadi Rp 4.250 per kilogram. Sedangkan Pertamax dan Pertamax Plus kini masing-masing berharga Rp 4.000 (semula Rp 2.450) per liter dan Rp 4.200 (semula Rp 2.750) per liter.

Angka kenaikan ketiga komoditas itu jelas amat terasa menohok. Bahkan mungkin sama sekali di luar perkiraan masyarakat. Itu pula yang serta-merta mengundang publik melontarkan kecaman: bahwa kenaikan harga ketiga komoditas itu sungguh kelewatan.

Bagi masyarakat konsumen, mestinya langkah tersebut dilakukan bertahap hingga tak terasa menohok. Itu makin beralasan karena dalam waktu dekat pemerintah hampir pasti menyusul menaikkan harga beberapa jenis BBM lain yang selama ini memeroleh subsidi. Padahal langkah itu pun niscaya melahirkan efek ikutan yang tak terhindarkan lagi: harga aneka barang dan jasa naik pula.

Tetapi dari sisi produsen, kenaikan harga elpiji serta Pertamax dan Pertamax Plus ini jelas bukan tanpa alasan rasional. Pertama, sesuai amanat UU No 22/2001 tentang Migas, karena ketiga komoditas itu merupakan bisnis non-BBM Pertamina yang tak lagi diatur-atur pemerintah. Karena itu pula, kenaikan harga ketiga komoditas tersebut bukan merupakan keputusan pemerintah, melainkan murni hasil pertimbangan Pertamina sendiri.

Kedua, kenaikan harga elpiji dan Pertamax serta Pertamax Plus itu sendiri memang sungguh relevan dan urgen: agar Pertamina tidak menanggung rugi, bahkan mampu menuai untung. Jika harga ketiga komoditas itu tak dinaikkan, sementara harga minyak mentah di pasar dunia telanjur membumbung, Pertamina niscaya harus menombok sebagaimana terjadi selama ini.

Tentu, itu tak sejalan dengan prinsip yang melekat pada Pertamina sendiri sebagai badan usaha yang harus mampu menangguk keuntungan. Terlebih lagi, bagi Pertamina, bisnis ketiga komoditas itu bukan dalam rangka melaksanakan penugasan pemerintah alias murni bisnis.

Kita tidak tahu bagaimana hitung-hitungannya hingga kenaikan harga elpiji berserta Pertamax dan Pertamax Plus ini demikian signifikan. Yang pasti, dengan kenaikan itu Pertamina tak lagi menanggung rugi alias pasti bisa menuai untung. Besaran keuntungannya itu sendiri, jelas hanya Pertamina sendiri yang tahu persis.

Namun justru itu letak masalah yang membuat kenaikan harga elpiji dan Pertamax serta Pertamax Plus pun jadi agak resisten. Khalayak luas mengira bahwa dengan kenaikan yang demikian signifikan, Pertamina pasti menangguk untung amat besar. Itu pula yang membuat masyarakat menilai Pertamina telah bertindak kebangetan. Mereka menilai Pertamina sewenang-wenang hanya karena kemaruk ingin meraup untung besar.

Asumsi atau keyakinan seperti itu jelas harus bisa diredam. Jika tidak, ibarat bola salju, resistensi masyarakat mengenai kenaikan harga elpiji dan Pertamax berserta Pertamax Plus ini akan terus meluas dan membesar. Terlebih lagi, seperti sudah disinggung, secara psikologis masyarakat juga sudah telanjur down oleh risiko ekonomi yang niscaya muncul manakala pemerintah jadi menaikkan harga BBM dalam waktu dekat ini.

Itu berarti, Pertamina harus bisa menjelaskan lebih dalam duduk soal bisnis non-BBM yang tak lagi diatur-atur pemerintah ini. Pertamina juga harus bisa meyakinkan publik bahwa kenaikan harga ketiga komoditas tadi sungguh sulit bisa dihindari -- termasuk kenapa besaran kenaikan itu sendiri demikian signifikan.

Dalam konteks itu, publik juga harus bisa dibuat percaya dan yakin bahwa operasional Pertamina sudah semakin efisien. Artinya, Pertamina dituntut mampu memberikan penjelasan meyakinkan bahwa kenaikan harga ketiga komoditas itu bukan merupakan beban tambahan yang dilimpahkan kepada konsumen terkait inefisiensi di berbagai lini.

Sejalan dengan itu, Pertamina dituntut pula mampu memberi garansi bahwa kenaikan harga ketiga komoditas tadi akan diikuti dengan peningkatan mutu layanan. Kalangan rumah tangga yang notabene merupakan konsumen elpiji, misalnya, harus bisa diyakinkan bahwa mereka tak bakalan lagi menerima produk yang tak sesuai berat timbangan.

Tetapi bagaimana jika ternyata Mahkamah Konstitusi memutuskan membatalkan UU No 22/2001 tentang Migas? Tidakkah kenaikan harga elpiji dan Pertamax serta Pertamax Plus pun dengan sendirinya batal pula?***
Jakarta, 21 Desember 2004

17 Desember 2004

Gombalnya Perbankan Kita

Wajar jika orang kini memelesetkan Bank Global menjadi Bank Gombal. Bagaimanapun, memang, sanksi pembekuan kegiatan usaha oleh Bank Indonesia jelas merupakan bukti tak terbantahkan tentang kegombalan Bank Global ini. Sanksi itu dijatuhkan otoritas perbankan karena kondisi keuangan Bank Global terus memburuk. Terakhir, rasio kecukupan modal (CAR) bank tersebut tercatat minus 39 persen.

Angka itu jauh di bawah CAR minimal yang dipatok Bank Indonesia sendiri sebesar 8 persen. Justru itu pula, berarti keuangan Bank Global memang amat buruk. Parah. Padahal laporan keuangan yang diterbitkan per September 2004 menunjukkan bahwa kondisi Bank Global masih sehat. Bahkan, kala itu, CAR mereka terbilang kuat -- yakni sebesar 44,84 persen alias jauh di atas CAR minimal yang disyaratkan Bank Indonesia.

Jadi, hanya dalam tempo sekitar dua bulan, kondisi keuangan yang begitu kuat itu berubah total menjadi buruk sekali. Jika karena faktor rasional-obyektif, perubahan drastis itu tak akan terlalu membuat kita terpana. Tapi karena ternyata bukan karena faktor-faktor obyektif menurut kaidah akuntansi, kondisi keuangan yang berubah menjadi buruk dalam tempo relatif singkat itu sungguh sulit dipahami.

Dalam konteks itu, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Belakangan terungkap bahwa sesuatu yang tidak beres itu adalah surat berharga (reksadana) fiktif dan kredit fiktif. Keduanya pula yang serta-merta menguak kenyataan bahwa CAR Bank Global sebenarnya minus 39 persen.

Dengan kata lain, kondisi keuangan bank Global yang per September lalu terkesan sehat dan kuat itu tak lebih merupakan kegombalan. Pada saat itu, sesungguhnya, keuangan bank tersebut sudah berdarah-darah.

Justru itu, mestinya, mustahil Bank Indonesia selaku otoritas perbankan kita sampai luput mengetahui sejak dini kondisi keuangan Bank Global ini. Adalah naif jika Bank Indonesia sampai terkecoh oleh kegombalan yang dibuat manajemen Bank Global mengenai kondisi keuangan bank tersebut.

Karena itu, seperti kata kalangan pengamat perbankan, tindak pembekuan kegiatan usaha Bank Global ini memang terasa terlambat. Mestinya tindakan tersebut sudah dijatuhkan Bank Indonesia sejak jauh hari. Dengan demikian, kebokbrokan manajemen Bank Global tak harus sampai memakan korban lebih banyak, di samping pihak yang harus bertanggung jawab juga tak mesti sampai bisa lolos kabur ke luar negeri.

Menurut kabar yang santer beredar, Bank Indonesia sejak beberapa bulan silam sebenarnya sudah mengetahui bahwa kondisi keuangan Bank Global sudah memburuk. Dalam konteks ini, tim pemeriksa Bank Indonesia disebut-sebut memang sudah mengetahui berbagai kejanggalan di Bank Global sejak pertengahan tahun ini.

Kalau benar demikian, kenapa Bank Indonesia tak segera melakukan tindakan sejak dini? Juga, seperti kata Ketua Masyarakat profesional Madani Ismed Hasan Putro, kenapa Bapepam sempat beberapa kali menyatakan bahwa produk reksadana yang dijual Bank Global tidak bermasalah? Tidakkah itu mengondisikan investor di pasar modal jadi terjebak membeli barang "busuk" -- notabene tak dilindungi program penjaminan pemerintah seperti produk simpanan di bank (tabungan dan deposito)?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu jelas membutuhkan jawaban gamblang, terbuka, dan obyektif. Jika tidak, kita khawatir kita terkondisi tak pernah mau belajar pada pengalaman sehingga kasus serupa lagi-lagi terulang di masa depan.

Kemungkinan ke arah itu bahkan sudah terasa menggejala. Buktinya, sebelum kasus Bank Global sekarang ini pun, dunia perbankan nasional sudah diguncang beberapa kasus serupa. Tahun ini saja, kita sempat dibuat gempar oleh kasus Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali.

Kedua bank itu dilikuidasi karena melakukan transaksi tidak jujur dan merugikan publik. Bank Asiatic divonis melakukan transaksi surat berharga (obligasi dan saham) melalui sebuah perusahaan efek. Namun efek yang ditransaksikan disimpan di sebuah kustodian yang belakangan ketahuan tidak terdaftar di Bapepam. Bahkan kustodian itu pun diduga fiktif.

Di lain pihak, Bank Dagang Bali juga melakukan modus hampir serupa melalui perusahaan sebuah efek lain lagi. Padahal menurut Bapepam, operasional perusahaan efek itu dalam status dihentikan sementara sejak Januari 2003.

Sementara itu, seperti kata Gubernur Bank Indonesia sendiri, beberapa bank kecil sekarang ini juga dililit masalah serius berupa kinerja yang tidak sehat. Kalau masalah tersebut tak segera dicarikan jalan keluar, kita khawatir mereka pun tergerak coba-coba melakukan kegombalan yang mengecoh dan merugikan khalayak. Jika masalah yang membelit bank-bank itu sudah terbilang gawat, tindakan tegas hendaknya segera dijatuhkan. Dengan demikian, mereka tak harus ambruk dengan menelan korban banyak dengan nilai tidak kecil pula.***
Jakarta, 17 Desember 2004

14 Desember 2004

Kinerja Perpajakan

Pajak sejatinya merupakan tulang punggung ekonomi negara. Hasil penerimaan pajak idealnya menjadi sumber utama pengeluaran negara -- untuk belanja rutin maupun belanja pembangunan. Dengan demikian, pajak menjadi wahana partisipasi nyata rakyat dalam pengelolaan dan pembangunan negara. Melalui pembayaran pajak, rakyat terkondisikan ikut ambil bagian dalam penyelenggaraan negara.

Tetapi di negara kita, pajak belum tampil menjadi sumber utama pembiayaan negara. Bahkan sejak awal kemerdekaan, fungsi pajak di negeri kita lebih sekadar menjadi sumber pelengkap penerimaan negara. Karena tax ratio relatif masih rendah -- di bawah 20 persen --, sumber penerimaan sekaligus sumber pembiayaan negara kita selama ini lebih banyak bertumpu pada pinjaman -- entah pinjaman dalam negeri maupun pinjaman luar negeri.

Sikap-tindak kita selama ini yang keasyikan mengandalkan sumber penerimaan pada dana hasil utangan tak pelak lagi membuat kita sekarang harus menanggung beban utang demikian besar. Terlebih karena dana pinjaman itu banyak dikorupsi, sehingga akumulasi beban utang pun membuat kita kian megap-megap.

Tumpukan utang kita sudah demikian menggunung -- bahkan hingga melampaui kemampuan kita mengembalikannya. Dalam konteks ini, kita sudah sampai pada tahap membayar utang dengan hasil pinjaman baru. Seperti kata orang, kita sudah terjerembab pada pola hidup "gali lubang tutup lubang".

Dalam situasi seperti itu pula, banyak pihak belakangan ini kian tergerak menoleh pada pajak sebagai instrumen yang harus didayagunakan. Menurut mereka, pajak harus ditempatkan pada peran dan fungsi idealnya. Dengan kata lain, sudah saatnya pajak menjadi tulang punggung ekonomi negara.

Tetapi apa mau dikata: ketentuan perundangan, kebijakan, sistem, ataupun mekanisme perpajakan di negeri kita dinilai tidak mendukung keinginan itu. Di tengah harapan atau tuntutan mendesak agar sumber pembiayaan negara kita tak lagi bertumpu pada dana hasil berutang, kinerja perpajakan justru dinilai tak cukup bisa diandalkan.

Itu, antara lain, karena tingkat kebocoran atas penerimaan pajak masih terbilang tinggi. Lembaga Transparency International Indonesia (TII), misalnya, menyebutkan bahwa kebocoran atas penerimaan perpajakan ini mencapai 40 persen. Bahkan lembaga swadaya lain, seperti Masyarakat Profesional Madani menyatakan bahwa angka tersebut mencapai 50 persen. Lalu, di lain pihak, mantan Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie pernah pula menyebutkan bahwa pada tahun anggaran 2003 saja nilai kebocoran pajak ini mencapai sekitar Rp 215 triliun.

Pernyataan-pernyataan seperti itu jelas tidak asal nyeplak alias punya argumentasi dan data yang bisa dipertanggungjawabkan. Ditjen Pajak sendiri secara tidak langsung seperti membenarkan masalah tersebut. Dalam suatu kesempatan, Dirjen Pajak Hadi Purnomo mengungkapkan bahwa potensi kehilangan penerimaan pajak sekarang ini bernilai sekitar Rp 675 triliun.

Justru itu, mestinya, penerimaan pajak kita sudah cukup bisa diandalkan -- paling tidak mampu mengurangi tekanan yang membuat pemerintah harus terus mengambil pinjaman baru dalam jumlah tidak kecil. Kalau saja potensi kehilangan penerimaan pajak seperti disebutkan Hadi Purnomo tadi bisa diselamatkan, misalnya, itu niscaya memberi dampak luar biasa bagi keuangan negara. Angka itu bahkan sekitar dua kali lipat target penerimaan pajak pada tahun ini sebesar Rp 283 triliun!

Memang mengherankan bahwa kinerja perpajakan ini masih menorehkan banyak kebocoran. Terlebih karena kebocoran itu, seperti menurut telusuran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terjadi antara lain karena praktik tawar-menawar antara oknum aparat pajak dan wajib pajak mengenai jumlah kewajiban pajak yang seharusnya masuk ke kas negara.

Kenyataan seperti itu mengherankan karena sistem perpajakan kita, sejak reformasi pada 1983, menganut asas self assessment. Dengan itu, mestinya, wajib pajak dan aparat pajak tak harus bertemu muka -- hingga membuka kemungkinan saling "main mata".

Namun, memang, aturan atau mekanisme apa pun selalu bisa diakali. Sepanjang niat tidak baik telanjur tertanam -- entah di pihak wajib pajak ataupun di kalangan petugas pajak --, aturan dan mekanisme sehabat apa pun selalu bisa ditelikung.

Itu pula yang membuat Ditjen Pajak selama ini terus melakukan pembenahan. Bahkan sanksi pemecatan terhadap oknum petugas pajak yang terbukti nakal pun saban tahun tak segan dijatuhkan.

Tetapi langkah-langkah itu terkesan tak terukur. Paling tidak, memang, karena langkah-langkah itu tidak berangkat dari satuan target yang disepakati secara terbuka. Karena itu, kontrak kinerja yang diteken Dirjen Pajak terasa menjadi beralasan. Dengan itu, berbagai pihak lebih gampang mengontrol dan menilai langkah Ditjen Pajak. Dengan itu pula, kelak kinerja perpajakan tak lagi terkesan sekadar klaim sepihak Dirjen Pajak ataupun penilaian sepihak lembaga pemantau.***
Jakarta, 14 Jakarta 2004

10 Desember 2004

Pemberantasan Korupsi

Pencanangan tahun 2005 sebagai Tahun Pemberantasan Korupsi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono -- notabene ditandai dengan penerbitan Inpres No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi --, kemarin, sungguh terasa mengundang greget.

Langkah tersebut sekali lagi serta-merta menumbuhkan harapan: bahwa korupsi sudah tak punya ruang berpijak di negeri kita. Bagaimanapun, langkah itu menunjukkan semangat dan tekad pemerintah menjadikan korupsi sebagai penyakit yang harus segera diberantas tuntas.

Korupsi di negeri kita memang sudah menjadi penyakit akut. Korupsi telanjur mewabah di mana-mana. Korupsi nyaris terjadi dalam setiap kesempatan dan dalam tiap tingkatan. Juga, korupsi tampil dalam aneka ragam bentuk. Pokoknya, dalam setiap urusan yang bersinggungan dengan kepentingan publik, hampir pasti di situ mewabah korupsi.

Karena itu, pencanangan tahun 2005 sebagai Tahun Pemberantasan Korupsi serta-merta ibarat tetesan air di tengah dahaga hebat. Dengan itu, kita seketika disadarkan bahwa pemerintah masih memiliki tekad dan semangat memberangus korupsi.

Tentu, kita amat berharap agar tekad dan semangat itu tidak berhenti sekadar di tahap pencanangan. Langkah pemberantasan korupsi jangan lagi sekadar retorika. Jangan seperti di masa lalu: langkah pemberantasan korupsi ternyata hanya gerakan "hangat-hangat tahi ayam" dan penuh kepura-puraan.

Memang, sebenarnya, tekad dan semangat memberantas tuntas korupsi ini bukan baru kali pertama ini ditunjukkan pemerintah. Bahkan di awal pemerintahan Orde Baru pun -- ketika fenomena korupsi di negeri kita belum sedahsyat sekarang ini -- tekad dan semangat itu sempat mencuat dengan gegap-gempita.

Tetapi berbagai langkah ke arah itu, termasuk pada pemerintahan-pemerintahan pasca-Orde Baru, akhirnya tak pernah jelas. Langkah-langkah pemberantasan korupsi selalu saja kandas begitu saja tanpa sebab-sebab pasti -- juga tanpa pernah ada penjelasan, sehingga terkesankan bahwa pemerintah tidak siap bersikap konsisten dan konsekuen.

Karena itu pula, fenomena korupsi di negeri kita terus berurat-berakar. Korupsi semakin menggurita ke mana-mana dalam berbagai skala maupun ruang dan waktu. Seolah membenarkan pendapat sang Proklamator Bung Hatta, yang pada zamannya mengundang kecaman berbagai pihak, korupsi di negeri kita semakin lama semakin pasti menjadi sebuah "budaya". Sampai-sampai ada sebuah anekdot: jika di masa lalu korupsi di negeri kita dilakukan di bawah meja, belakangan tindakan tersebut dilakukan terang-terangan di atas meja. Lalu, pada era sekarang, tindak korupsi ini bahkan sudah sampai pada tahap menilap mejanya sekalian!

Mampukah pemerintahan Presiden Yudhoyono memberantas korupsi yang telanjur membudaya ini? Tentu, soal tersebut amat bergantung pada kesungguhan pemerintah sendiri. Sepanjang faktor kesungguhan tersebut ternyata hanya basa-basi, pemerintahan Yudhoyono pun niscaya hanya mengulang "sejarah": korupsi gagal diberantas.

Justru itu, dalam rangka memberantas korupsi ini, segenap jajaran pemerintahan Yudhoyono -- dari tingkat pusat hingga ke daerah-daerah -- mutlak dituntut memiliki keberanian bertindak. Tanpa keberanian, pemberantasan korupsi tak akan pernah dilakukan sungguh-sungguh -- bahkan menjadi sekadar sandiwara.

Tindakan ke arah pemberantasan korupsi itu sendiri, sesuai semangat Inpres No 5/2004, jelas tak bisa lagi berpijak pada semboyan alon-alon asal kelakon. Bagaimanapun, langkah ke arah itu dituntut dilakukan serba gesit dan tanpa pandang bulu -- meski tak harus berarti grasa-grusu dan sembrono.

Untuk itu, tiap instansi pemerintahan mesti membuat program aksi yang jelas, tajam-terarah, terukur, dan terutama konsisten serta konsekuen dilaksanakan. Jika tidak, langkah pemberantasan korupsi ini bisa-bisa lebih merupakan sekadar seremoni tanpa akhir.

Bagi instansi-instansi tertentu, terutama instansi penegak hukum, gerak cepat pemberatasan korupsi ini niscaya sudah bisa langsung dilakukan. Toh instansi seperti kejaksaan, kepolisian, atau pengadilan sudah menggenggam setumpuk kasus.

Tentu, dalam kaitan itu, kita berharap agar kasus-kasus kakap dan amat merugikan negara beroleh prioritas utama dengan tetap tak memberi toleransi terhadap korupsi kelas recehan. Tentu pula, kita memimpikan agar sanksi hukum terhadap mereka yang terbukti berbuat korupsi ini benar-benar maksimal dan cepat final hingga bisa segera dieksekusi.

Namun pemberantasan korupsi ini tak cukup hanya dilakukan pemerintah. Bagaimanapun, efektivitas gerakan tersebut menuntut partisipasi dan langkah proaktif pihak-pihak di luar lingkungan pemerintahan. Dunia usaha nasional, misalnya, sepatutnya bisa memanfaatkan momentum yang digulirkan Presiden Yudhoyono ini dengan menunjukkan sikap-tindak yang selaras dengan semangat pemberantasan korupsi. Dunia usaha jangan lagi bersikap mendua: di satu sisi mengecam habis korupsi, tapi di sisi lain tetap saja kasak-kusuk menabur suap kepada oknum birokrasi dan pejabat pemerintahan.***
Jakarta, 10 Desember 2004

07 Desember 2004

Sampai Kapan Tak Serius?

Kita tak pernah bersungguh-sungguh memberantas tindak pencucian uang (money laundering). Sikap-tindak kita mengenai pembangunan rezim antipencucian uang tidak lebih sekadar kosmetik atau basa-basi.

Buktinya, berbagai kasus tindak pencucian uang yang dilaporkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ke pihak kepolisian dan kejaksaan seolah menguap begitu saja. Seperti kata Ketua PPATK Yunus Husein di depan Komisi III DPR, kemarin, pihak kepolisian dan kejaksaan tak kunjung menindaklanjuti laporan PPATK tentang kasus tindak pencucian uang ini.

Akibatnya, jelas, UU Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi mandul. Undang-undang tersebut menjadi sama sekali tak berarti, kecuali sekadar jadi pajangan di instansi-instansi resmi. Padahal secara substantif, undang-undang tersebut cukup bisa diandalkan dalam menangkal dan menekan tindak pencucian uang.

Maklum, memang, karena materi undang-undang tersebut secara umum merupakan wujud "kepatuhan" kita terhadap tekanan dunia internasional, khususnya Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering yang memasukkan kita sebagai negara tidak kooperatif (NCCT's) dalam konteks pembangunan rezim antipencucian uang.

Tetapi, rupanya, sejak awal pembuatan UU Tindak Pidana Pencucian Uang ini tidak dimaksudkan untuk memberantas tuntas berbagai bentuk tindak pencucian uang. Undang-undang tersebut sekadar dimaksudkan sebagai kosmetik dalam berhadapan dengan dunia internasional -- bahwa kita memiliki perangkat rezim antipencucian uang.

Maka tak heran jika undang-undang itu pun terkesan dirumuskan asal-asalan. Dunia internasional, dalam kaitan ini, menilai bahwa berbagai ketentuan dalam undang-undang itu tak cukup menunjukkan keseriusan pemerintah dalam membangun rezim antipencucian uang sebagaimana tuntutan FATF.

Itu pula yang membuat FATF bersama berbagai negara yang menjadi anggotanya kemudian menuntut kita merevisi UU Tindak Pidana Pancucian Uang ini. Bahkan, dalam rangka itu, mereka sampai menyodorkan daftar masalah yang harus dimasukkan sebagai bahan revisi.

Karena berharap segera dikeluarkan dari daftar NCCT's -- notabene mengandung konsekuensi-konsekuensi serius bagi kita dalam tata pergaulan dunia internasional, khususnya di bidang keuangan dan bisnis -- lagi-lagi kita pun mematuhi tuntutan itu.

Maka UU Tindak Pidana Pencucian Uang hasil revisi pun menjadi produk "sempurna": bukan saja secara politis mengakomodasi aspirasi dunia internasional, melainkan juga secara substansial merupakan perangkat yang bisa diandalkan efektif memberantas tindak pencucian uang.

Tetapi karena sejak awal dimaksudkan sekadar sebagai pajangan atau kosmetik, UU Tindak Pidana Pencucian Uang ini terbukti mandul -- karena memang tak kunjung diterapkan pihak-pihak yang menjadi aparat penegak hukum. Menurut Yunus Husein, PPATK sudah mengajukan laporan tindak pencucian uang ini sebanyak 231 kasus kepada kepolisian dan kejaksaan. Tetapi, ujarnya, sejauh ini tak satu pun kasus itu yang ditindaklanjuti kepolisian maupun kejaksaan.

Entah apa yang menjadi alasan kepolisian dan kejaksaan sampai tak kunjung menindaklanjuti laporan PPATK mengenai kasus pencucian uang ini. Yang pasti, keengganan kedua instansi tersebut menegakkan hukum dalam konteks pembangunan rezim antipencucian uang ini niscaya menjadi lahan subur bagi berbagai tindak kejahatan di bidang keuangan. Orang menjadi sama sekali tidak ragu dan tak takut melakukan berbagai tindak yang merugikan orang banyak: korupsi, menyelundup, memanipulasi pajak, dan lain-lain. Orang menjadi tetap nyaman melakukan tindakan-tindakan ilegal itu karena mereka tak pernah beroleh efek kejut (shock therapy): bahwa hasil yang mereka peroleh atas kegiatan ilegal itu bakal mengantarkan dijatuhi sanksi pidana.

Di sisi lain, keengganan aparat menegakkan hukum dalam konteks rezim antipencucian uang ini juga membuat kita tetap sulit berharap bisa lepas dari daftar NCCT's yang dibuat FATF. Tak heran, kendati kita sudah membuat UU Tindak Pidana Pencucian Uang sesuai "petunjuk" FATF, kita terus saja masuk klasifikasi negara tak kooperatif dalam konteks pembangunan rezim antipencucian uang.

Padahal status NCCT's ini sudah kita sandang sejak tahun 2001 silam. Dalam setiap sidang FATF yang digelar tiap tahun, yang mengevaluasi posisi masing-masing negara, kita terus diputuskan tetap bercokol dalam klasifikasi NCCT's.

Sekali lagi, itu pertanda atau bukti bahwa kita tak sungguh-sungguh memberantas tindak pencucian uang. Padahal status NCCT's yang kita sandang sungguh merisaukan. Status tersebut bisa membuat negara lain -- sendiri-sendiri maupun serentak bersamaan -- secara sepihak mengucilkan kita dari tata pergaulan dunia bisnis dan keuangan internasional. Terlebih jika FATF kemudian memutuskan kita sebagai negara yang harus diisolasi: niscaya kita harus menanggung kesulitan-kesulitan keuangan yang musykil terpecahkan. Berbagai transaksi bisnis dan keuangan kita di dunia internasional
bisa benar-benar macet.

Jadi, sampai kapan kita tak serius membangun rezim antipencucian uang? Atau, haruskah kita benar-benar diisolasi dari pergaulan bisnis dan keuangan internasional?***
Jakarta, 07 Desember 2004

03 Desember 2004

Rasa Percaya Diri Kita

Dalam forum Pertemuan Puncak ASEAN di Vientiane (Laos), enam pemimpin negara anggota ASEAN -- Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Pilipina, dan Brunei Darussalam -- menyepakati percepatan penghapusan tarif bea masuk atas 11 komoditas.

Jika semula penghapusan tarif bea masuk di ASEAN ini direncanakan dimulai sejak tahun 2010, dengan kesepakatan itu liberalisasi perdagangan 11 sektor dipercepat menjadi tahun 2007. Sementara empat negara lain anggota ASEAN -- Laos, Kamboja, Myanmar, dan Vietnam -- baru melakukan penghapusan tarif bea masuk ini mulai tahun 2012.

Kesebelas sektor itu sendiri meliputi kayu, perikanan, perawatan kesehatan, karet, turisme, e-commerce, tekstil dan pakaian jadi, penerbangan, pertanian, otomotif, dan elektronik. Tarif bea masuk untuk sebagian dari 11 sektor itu maksimum hanya boleh 5 persen, dan sebagian lagi menjadi antara 0-2 persen saja.

Lalu apa arti kesepakatan itu bagi kita? Menurut perspektif pemerintah, kesepakatan itu menunjukkan rasa percaya diri kita begitu tinggi. Yaitu bahwa produk-produk kita yang tercakup dalam kesebelas sektor tadi siap bersaing di pasar ASEAN.

Selama ini, hambatan tarif membuat produk-produk kita relatif sulit bisa masuk menembus pasar di negara-negara ASEAN. Demikian juga sebaliknya, hambatan tarif membuat pasar kita tak leluasa direcoki berbagai produk negara-negara mitra kita di ASEAN.

Tetapi kelak mulai tahun 2007, pasar di enam negara ASEAN jadi lebih longgar. Di satu sisi, produk-produk negara-negara mitra kita di ASEAN bisa leluasa mengalir masuk dan membanjiri pasar lokal kita. Tapi di sisi lain, produk-produk kita pun bisa leluasa dilempar ke pasar enam negara itu. Kenyataan tersebut bahkan kemudian menjadi lebih luas lagi -- meliputi seluruh negara ASEAN -- mulai tahun 2012.

Kita tidak tahu landasan apa yang membuat pemerintah begitu yakin akan daya saing produk-produk kita dalam konteks liberalisasi 11 sektor di ASEAN ini -- juga terkait komitmen kita ke arah pembentukan Pakta Perdagangan Bebas Cina-ASEAN (CAFTA) yang tertoreh dalam pertemuan para pemimpin ASEAN-Cina di Laos. Yang pasti, keyakinan seperti itu bukan kali pertama ini ditunjukkan pemerintah. Hampir dalam setiap forum perundingan liberalisasi perdagangan internasional, kita selalu menunjukkan rasa percaya diri begitu kuat.

Kalau saja kenyataan di lapangan benar-benar obyektif, barangkali, itu tak jadi soal. Tapi bila dunia usaha kita masih sarat digayuti inefisiensi -- notabene juga berarti kurang berdaya saing -- rasa percaya diri itu sungguh menyesatkan. Itu juga bisa berbahaya karena arus masuk produk-produk luar niscaya malah mematikan industri kita dengan segala konsekuensinya.

Karena itu, dunia usaha nasional menunjukkan sikap risau oleh kesepakatan yang tertoreh dalam Pertemuan Puncak ASEAN di Laos ini. Memang, bagi dunia usaha, dengan atau tanpa kesepakatan globalisasi pun, persaingan bisnis harus selalu siap dihadapi. Tetapi itu bukan tanpa prasyarat. Jika daya saing yang dimiliki tak memadai, globalisasi niscaya hanya melahirkan mudharat.

Faktanya, memang, dunia usaha nasional kita tak bisa dibilang sehat. Dalam konteks keuangan, misalnya, dunia usaha kita masih terbebani suku bunga pinjaman yang terbilang relatif tinggi dibanding di sejumlah negara lain di ASEAN.
Jadi, dengan dukungan pembiayaan yang tidak murah, bagaimana bisa industri kita mampu menghasilkan produk berdaya saing tinggi. Belum lagi kalau mengingat kualitas sumberdaya manusia kita juga relatif masih tertinggal dibanding negara-negara lain di ASEAN. Begitu pula produktivitas sumberdaya manusia kita ini: relatif rendah dibanding di kebanyakan negara ASEAN.

Padahal di luar kelemahan-kelemahan itu, dunia usaha nasional juga masih digayuti sejumlah masalah lain seperti perizinan yang tidak murah, kebijakan pusat dan daerah yang acar tidak sinkron, ketentuan perpajakan yang jlimet dan tidak ringan, atau pungutan liar yang merajalela. Semua itu jelas mengondisikan dunia usaha kita terbebani ekonomi biaya tinggi.

Atas dasar itu, bagaimana kita memahami sikap percaya diri yang begitu tinggi diperlihatkan pemerintah dalam konteks perjanjian globalisasi perdagangan, khususnya liberasasi 11 sektor di ASEAN? Barangkali, sikap tersebut kali ini harus kita baca sebagai isyarat pemerintahan sekarang untuk melakukan pembenahan mendasar dalam sektor ekonomi secara serius, konsisten, dan konsekuen.

Mengingat waktu yang tersedia praktis tinggi dua tahun sebelum penghapusan bea masuk 11 sektor di ASEAN efektif dimulai sejak tahun 2007, langkah ke arah itu jelas harus dituangkan dalam program aksi yang benar-benar komprehensif dan tajam terarah. Jika tidak, sikap percaya diri yang ditunjukkan pemerintah terkait komitmen ke arah globalisasi perdagangan ini sama sekali tidak masuk akal -- dan karena itu membahayakan kepentingan nasional.***
Jakarta, 03 Desember 2004