28 Mei 2004

Program Mercusuar?

Terus-terang, kita tak habis mengerti oleh keinginan pemerintah -- persisnya Departemen Keuangan -- menghapus tunggakan kredit usaha tani (KUT) tahun penyaluran 1995/1996 hingga 1999/2000 senilai Rp 7,89 triliun. Kita juga terheran-heran oleh sikap Komisi IX DPR yang konon sudah memberikan persetujuan terhadap keinginan pihak Depkeu itu.

Bahwa penghapusan tunggakan KUT ini akan meringankan beban petani, sehingga pada gilirannya mereka bisa kita harapkan lebih memiliki keberdayaan dalam menggeluti usaha tani, kita setuju. Terlebih, memang, keberdayaan petani kita nyaris di titik nadir. Jadi, penghapusan tunggakan KUT niscaya amat berarti -- dan karena itu membuat mereka bisa bernapas agak lega.

Tetapi, soalnya, penghapusan tunggakan KUT justru akan lebih menguntungkan pihak lain yang sebenarnya sama sekali tidak berhak. Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di 15 provinsi menunjukkan bahwa tunggakan terbesar KUT ini justru tidak berada di kalangan petani, melainkan di tangan oknum-oknum yang memanfaatkan bendera lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan koperasi. Terindikasi kuat bahwa mereka ini dulu bisa menikmati kucuran dana KUT dengan mendompleng atau bahkan memanipulasi data yang membuat mereka seolah-olah petani.

Kenyataan itu tertoreh ketika pada 1998/1999 pemerintah menggelar kebijakan mercusuar yang kental bernuansa populis: KUT dikucurkan berdasarkan mekanisme channeling. Konon itu agar petani tak lagi terkendala oleh sikap ekstra hati-hati bank dalam menyalurkan kredit. Melalui pola channeling, bank dikondisikan hanya bertindak sebagai penyalur dana pemerintah. Bank sama sekali tidak berhak menyeleksi ataupun menilai kelayakan calon penerima KUT.

Tetapi kebijakan itu justru lebih banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang sama sekali tidak berhak. Ditambah mekanisme kontrol penyaluran yang amat longgar, kalangan petani sendiri terkondisi relatif sedikit menerima kucuran KUT. Tak heran jika tunggakan pihak terakhir ini, khusus untuk tahun penyaluran 1998/1999, relatif tak seberapa: hanya sekitar Rp 527,3 miliar. Sementara tunggakan di pihak-pihak yang menurut telusuran BPKP bukan petani bernilai sekitar Rp 5,76 triliun.

Karena itu, gagasan memutihkan tunggakan KUT pun serta-merta terasa tidak adil. Gagasan tersebut niscaya hanya membuat pihak-pihak yang tak berhak menikmati KUT kembali diuntungkan. Padahal, sesungguhnya, mereka justru harus dikenai tindakan hukum. Ini tidak hanya menyangkut soal pengembalian dana KUT, melainkan juga terkait manipulasi yang mereka lakukan -- mengaku-aku sebagai petani hingga mereka bisa menikmati kucuran KUT.

Atas dasar itu pula, kita bisa memahami sikap Kantor Mennegkop/UKM yang menolak keinginan pemerintah menghapus tunggakan KUT ini. Seperti dikatakan sendiri oleh Mennegkop/UKM Alimarwan Hanan, tunggakan KUT tetap akan ditagih. Alimarwan juga menyatakan bahwa pihak DPR belum memberikan persetujuan resmi terhadap gagasan pemutihan tunggakan KUT yang dilontarkan pihak Depkeu itu.

Pihak Deptan sendiri tak terkecuali menyatakan tak mendukung bila penghapusan tunggakan KUT dilakukan gebyah uyah. Bagi mereka, restrukturisasi KUT hanya relevan dilakukan terhadap mereka yang nyata-nyata merupakan pihak paling berhak, yakni petani. Sementara tunggakan di kalangan nonpetani tetap harus diselesaikan hingga tuntas.

Untuk itu, hasil audit BPKP barangkali bisa dimanfaatkan. Paling tidak, auditan tersebut bisa dijadikan panduan awal bagi pemerintah dalam menelusuri tunggakan KUT ini -- siapa saja yang benar-benar berhak dan siapa saja yang tidak. Berdasar itu pula, pemutihan tunggakan KUT -- jika itu memang dipandang relevan -- lantas bisa dilakukan selektif. Dengan demikian, langkah tersebut tak menorehkan bias yang menggugah rasa keadilan masyarakat banyak.

Tetapi benarkah penghapusan tunggakan KUT ini relevan dilakukan? Tidakkah lebih beralasan jika pemerintah menjadikan tunggakan tersebut sebagai dana bergulir bagi petani?

Jujur saja, pemutihan tunggakan KUT sebenarnya tidak mendidik. Langkah tersebut bisa menjadi disinsentif terhadap tanggung jawab petani dalam mengembalikan dana negara. Bukan tidak mungkin, langkah itu membuat petani ke depan ini cenderung abai mengembalikan pinjaman yang diberikan pemerintah. Mereka terkondisi berharap-harap atau bahkan mungkin berkeyakinan bahwa pada saatnya pemerintah mengambil keputusan memutihkan lagi tunggakan mereka.

Walhasil, menjadikan tunggakan KUT sebagai dana bergulir tampaknya lebih bermanfaat. Di samping mendidik petani dengan mengondisikan mereka harus tetap mengembalikan pinjaman, pemerintah sendiri dalam jangka panjang tak harus mengalokasikan dana terlampau besar untuk disalurkan sebagai kredit bagi petani.

Tetapi lain soal jika gagasan penghapusan tunggakan KUT ini lebih dimaksudkan sebagai program mercusuar bagi kepentingan politik pihak tertentu.***
Jakarta, 28 Mei 2004

25 Mei 2004

Subsidi untuk Petani

Rencana pemerintah mencabut subsidi pupuk patut kita hargai. Rencana tersebut menunjukkan keinginan baik pemerintah memupus krisis pupuk yang saban musim tanam dialami petani padi. Tetapi apakah pencabutan subsidi pupuk yang diikuti dengan pemberian subsidi langsung kepada petani ini akan menguntungkan petani?

Kita sependapat bahwa pencabutan subsidi pupuk memang bisa diharapkan mampu memupus krisis pupuk yang saban musim tanam selaku dialami petani padi. Sumber krisis pupuk -- juga komoditas lain, seperti gula -- memang pemberian subsidi. Subsidi melahirkan disparitas harga antara pupuk bersubsidi dan pupuk tak bersubsidi -- termasuk harga pupuk di pasar internasional.

Disparitas harga itu yang kemudian mendorong orang menyelundupkan pupuk bersubsidi ke pasar ekspor ataupun merembeskannya ke kelompok konsumen atau sektor yang tak berhak menikmati subsidi. Ini amat mudah kita pahami. Dengan menjual pupuk bersubsidi ke pasar mancanegara atau ke sektor lain, orang bisa menuai untung besar sesuai disparitas harga yang tertoreh.

Memang, penyelundupan ke pasar ekspor ataupun perembesan pupuk bersubsidi ke sektor lain seharusnya bisa dicegah. Tetapi, tampaknya, mekanisme pengawasan di lapangan amat lemah. Amat boleh jadi, pihak-pihak yang seharusnya melakukan fungsi pengawasan atas peredaran pupuk bersubsidi
turut tergoda ikut mencicipi berkah disparitas harga tadi. Akibatnya, makin besar angka disparitas itu, penyelundupan ke pasar ekspor atau perembesan pupuk bersubsidi ke sektor lain makin deras pula. Kenyataan itu pula yang mengondisikan krisis pupuk menjadi siklus tahunan: tiap musim tanam senantiasa dihadapi petani.

Dalam konteks itu, petani padi di dalam negeri -- notabene merupakan sasaran pemberian subsidi -- bukan saja kesulitan memperoleh pupuk, melainkan juga harus menanggung harga pupuk jauh di atas patokan harga pupuk bersubsidi yang digariskan pemerintah. Padahal pupuk (kimia) telanjur menjadi komponen produksi petani kita. Justru itu, manakala pasokan pupuk berkurang dan harganya jauh melambung, petani praktis kelimpungan. Pada gilirannya, itu jelas bisa berpengaruh terhadap produktivitas pertanian pangan kita.

Kelak, setelah subsidi pupuk ini dicabut, siklus tahunan yang tidak perlu itu bisa kita hindari. Paling tidak, pasokan pupuk bisa diharapkan tak mendadak berkurang atau bahkan hilang hanya karena tersedot oleh ekspor ataupun merembes ke sektor lain. Karena disparitas harga tak terbentuk lagi, orang tak bakal terdorong lebih mementingkan pasar ekspor atau konsumen lain yang tak berhak menikmati subsidi pupuk.

Namun, memang, di lain pihak penghapusan subsidi ini membuat petani kita tak lagi bisa menikmati pupuk berharga relatif murah. Harga pupuk pasti jadi berfluktuasi mengikuti harga di pasar internasional.

Karena itu, kita amat menghargai kebijakan pemerintah yang berencana mengalihkan pemberian subsidi pupuk ini langsung kepada petani. Dengan itu, pencabutan subsidi pupuk tak serta-merta menjadi disinsentif bagi petani. Meski harga pupuk kelak membumbung setinggi langit, petani dimungkinkan bisa tetap mampu menjangkaunya.

Kita belum tahu mekanisme pemberian subsidi langsung kepada petani ini. Mungkin, seperti diutarakan Menperindag Rini Soewandi, petani dibagi kupon yang bisa digunakan sebagai fasilitas diskon saat mereka berbelanja pupuk. Atau mungkin pula cara lain. Pokoknya, mekanisme itu daya beli petani terhadap pupuk tetap terjaga setiap saat.

Tetapi, apa pun pilihan pemerintah kelak tentang mekanisme penyaluran subsidi langsung ini, kita sungguh merasa waswas. Kita menilai, pemberian subsidi langsung kepada petani sangat rawan manipulasi. Justru itu, bukan tidak mungkin subsidi tersebut tidak jatuh ke tangan petani sebagai kelompok sasaran. Subsidi malah dinikmati oleh pihak-pihak lain yang sesungguhnya sama sekali tak berhak.

Kekhawatiran seperti itu tidak mengada-ada. Bagaimanapun, pengalaman sudah cukup memberi pelajaran berharga. Misalnya saja ketika pemerintahan Presiden BJ Habibie menyalurkan kredit usaha tani (KUT) melalui mekanisme executing -- kredit diberikan tidak berdasarkan kelayakan teknis-ekonomis menurut pertimbangan bank --, dana yang terkucur ternyata lebih banyak tercecer tak karuan. Kalangan petani sendiri sangat sedikit menikmati dana tersebut. Nama mereka lebih banyak dicatut orang sebagai penerima KUT, sementara dananya sendiri justru dinikmati oknum-oknum tak bertanggung jawab.

Karena itu pula, agaknya, Kantor Mennegkop/UKM cenderung enggan menyetujui usulan Depkeu mengenai penghapusan tunggakan KUT periode 1998/1999 sebesar Rp 5,76 triliun. Persoalannya jelas: karena terlalu banyak penunggak -- notabene sama sekali bukan petani -- justru diuntungkan. Mereka itu, sesuai telusuran, adalah pihak-pihak yang dulu memanipulasi data hingga turut menikmati kucuran KUT.

Walhasil, pemberian subsidi langsung sebagai kompensasi pencabutan subsidi pupuk pun perlu ditimbang amat matang. Kalau bisa, kompensasi itu bahkan jangan berupa pemberian subsidi langsung.***
Jakarta, 25 Mei 2004

22 Mei 2004

Gonjang-ganjing

Banyak pihak memperkirakan, harga minyak mentah di pasar internasional masih akan terus membubung. Padahal sekarang saja, harga minyak mentah ini sudah terbilang tinggi: di atas 41 dolar AS per barel. Angka tersebut sudah hampir dua kali lipat patokan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam APBN 2004 sebesar 22 dolar AS per barel.

Beberapa kalangan berani berspekulasi bahwa harga mentah ini bisa terus melaju hingga mencapai 70 dolar AS per barel. Sementara perkiraan sejumlah pihak lain lebih moderat. Menurut mereka, laju kenaikan harga minyak mentah ini kemungkinan tertahan di level 50 dolar AS per barel untuk satu periode panjang.

Tapi berapa pun angka yang kelak tertoreh sebagai level tertinggi harga minyak mentah di pasar internasional, berbagai perkiraan tadi sungguh beralasan. Secara kondisional, harga minyak sekarang ini memang cenderung naik. Ini terkait dengan lonjakan permintaan di AS dan Cina, sementara produksi minyak negara-negara yang tergabung dalam wadah OPEC relatif terbatas.

Dalam konteks itu, Badan Energi Internasional memprediksi bahwa permintaan minyak dunia bisa meningkat menjadi rata-rata 82,5 juta barel per hari. Padahal kemampuan penyulingan dunia rata-rata hanya 82,1 juta garel per hari. OPEC sendiri kini hanya mampu memasok sekitar 25,43 juta barel per hari. Angka tersebut sudah di atas kuota produksi OPEC sebanyak 23,5 juta barel per hari.

Dalam rangka berupaya membanjiri pasar, dalam waktu dekat OPEC menggelar pertemuan di Amsterdam, Balanda. Penambahan kuota produksi kemungkinan menjadi keputusan pertemuan OPEC ini. Tapi banyak pihak skeptis bahwa keputusan tersebut bisa terealisasi. Seperti yang sudah-sudah, belakangan ini penambahan kuota produksi OPEC kemungkinan tak bisa dilaksanakan -- terutama karena ladang-ladang minyak Irak belum mampu berproduksi optimal lagi.

Spekulasi mengenai krisis minyak pun semakin mengental setelah situasi keamanan dan politik di Timur Tengah -- notabene kawasan penghasil minyak -- sekarang ini cenderung memburuk. Senin lalu, misalnya, Ketua Dewan Pemerintahan Irak, Ezzedine Salim, tewas dalam serangan bom bunuh diri dengan menggunakan mobil sebagai sarana.

Di lain pihak, orang juga mengkhawatirkan sabotase terhadap infrastruktur perminyakan di Timur Tengah -- seperti telah dialami Arab Saudi -- masih mungkin terjadi lagi. Sementara kerusakan infrastruktur perminyakan di Arab Saudi sendiri belum sepenuhnya tertangani.

Walhasil, memang, kecenderungan harga minyak dunia naik terus sungguh masuk akal. Bagi kita sendiri, itu jelas merupakan pukulan berat. Memang, sebagai pengekspor minyak mentah, kita bisa menikmati rezeki nomplok (windfall profit) atas kenaikan harga minyak dunia ini. Terlebih kurs dolar terhadap rupiah kini melambung tinggi.

Tetapi, soalnya, sekarang ini kita sudah menjadi net importer minyak. Artinya, volume minyak yang kita impor lebih banyak daripada produksi di dalam negeri. Justru itu, kenaikan harga minyak dunia pun serta-merta mengakibatkan nilai subsidi bahan bakar minyak (BBM) pula membengkak pula.

Dengan kata lain, kenaikan harga minyak dunia sekarang ini hampir pasti tak membawa berkah rezeki bagi kita. Bahkan amat boleh jadi, kita malah harus menuai mudharat berupa kenaikan harga barang dan jasa. Ditambah dampak kurs rupiah yang sekarang ini melemah terhadap dolar AS, itu niscaya membuat daya saing produk ekspor kita jadi menurun. Pada gilirannya pula, itu mengondisikan dunia usaha nasional ikut-ikutan jadi lesu. Tindak pemutusan kerja pun kemungkinan merebak di mana-mana.

Kurs rupiah sendiri belum menunjukkan gelagat segera berbalik arah menjadi membaik lagi. Hingga kemarin, rupiah tertahan di level Rp 9.055 per dolar AS. Itu berarti, dalam tempo dua pekan ini, rupiah sudah terdepresiasi sekitar 7 persen. Melihat faktor determinan -- situasi global, khususnya kebangkitan ekonomi AS --, boleh jadi rupiah masih akan terdepresiasi menjadi lebih dalam lagi.

Tak heran jika kepanikan pun terlihat kental menggejala. Ini tak hanya ditunjukkan oleh kalangan pemilik modal yang beramai-ramai menukarkan dana mereka ke dalam denominasi dolar AS. Bank Indonesia juga merasa perlu menjewer beberapa bank asing karena terindikasi melakukan spekulasi di pasar uang hingga menekan kurs rupiah. Padahal, seperti kata Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, spekulasi di pasar uang sejatinya merupakan konsekuensi tak terhindarkan dalam sistem devisa bebas seperti kita anut.

Kepanikan itu sendiri jelas menunjukkan sikap dan persepsi bahwa ekonomi kita sekarang ini cenderung bergulir ke arah yang mencemaskan. Dalam bahasa lugas, di hari-hari mendatang ini ekonomi kita sungguh sulit dan berat.

Itu niscaya menjadi "hidangan" awal bagi pemerintahan baru hasil Pemilu 2004. Adakah itu sudah dipikirkan oleh masing-masing pasangan capres-cawapres yang segera berlaga dalam pemilihan presiden 5 Juli?***
Jakarta, 22 Mei 2004

14 Mei 2004

Gejolak Kurs

Benar, gejolak kurs adalah fenomena biasa. Bukankah setiap hari kurs ataupun indeks harga saham gabungan di pasar modal selalu berfluktuasi?

Tetapi apakah perkembangan belakangan ini, yang menunjukkan kurs rupiah cenderung tertekan hingga mencapai hitungan signifikan dibanding beberapa pekan lalu, masih terbilang fenomena biasa? Terus-terang, kita justru dibuat waswas. Perkembangan kurs rupiah belakangan ini sungguh terasa tak biasa lagi. Setelah sekian lama stabil di level Rp 8.500-an per dolar, belakangan rupiah terus tertekan hingga menembus level psikologis Rp 9.000 per dolar.

Senin lalu, kurs rupiah terkunci di posisi Rp 8.940 per dolar. Sehari kemudian, rupiah lebih tertekan lagi di level Rp 8.990 per dolar. Pada Rabu lalu, memang posisi rupiah ini sedikit membaik menjadi Rp 8.957 per dolar -- konon itu karena intervensi Bank Indonesia ke pasar uang dengan menaburkan dolar AS. Sementara Kamis kemarin, rupiah kembali meleleh hingga ke level Rp 9.015 per dolar. Peningkatan peringkat utang Indonesia oleh Standard and Poor's pun ternyata tak mampu menahan depresiasi rupiah ini.

Justru itu, kita jadi teringat lagi saat puncak krisis dulu ketika kurs rupiah meleleh hingga ke level Rp 15.000-an per dolar AS. Karena itu, meski Menkeu Boediono menyatakan bahwa perasaan waswas menyangkut perkembangan kurs belakangan ini sama sekali tak beralasan, bayangan getir saat puncak krisis dulu tetap saja membayang pekat di benak kita. Apalagi indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Jakarta (BEJ) juga sempat menunjukkan kecenderungan terus tertekan.

Di sisi lain, kita juga melihat bahwa raksasa ekonomi ekonomi AS menunjukkan gelagat segera bangkit kembali. Itu yang membuat kalangan pemilik modal tergerak merapat ke AS -- termasuk dengan menempatkan dana mereka dalam denominasi dolar AS. Ditambah ekspektasi bahwa bank sentral AS tak lama lagi menaikkan suku bunga, arus merapat ke ekonomi AS ini kian deras saja.

Itu pula yang membuat mereka yang memiliki banyak dana jadi tak merasa nyaman menggenggam rupiah. Dalam konteks ini, investor di pasar modal lokal pun berbondong-bondong mengalihkan potofolio mereka dari saham atau rupiah ke mata uang dolar AS. Bahkan, seperti diungkapkan Gubernur Bank Indonesia, beberapa bank asing ikut-ikutan memanfaatkan situasi dengan berspekulasi valuta asing di pasar uang dan kemudian dananya mereka transfer ke luar negeri.

Memang, bau spekulasi terasa pekat mewarnai sikap-tindak kalangan pemilik modal ini. Tetapi, sekali lagi, itu terkait dengan soal ekspektasi menyangkut ekonomi AS yang lebih menjanjikan kenyamanan dan keuntungan. Terlebih tingkat bunga di Indonesia kini sudah tidak menarik lagi sebagai wahana investasi. Belum lagi kondisi sosial-politik yang terasa memanas menjelang pemilihan presiden 5 Juli semakin menjadi pijakan bagi mereka yang menggenggam banyak dana untuk mengalihkan portofolio investasi mereka ke denominasi dolar AS. Sejumlah faktor lain lagi juga turut mengondisikan kecenderungan itu. Sebut saja, antara lain, rencana pemerintah mengubah kebijakan perpajakan pada transaksi jual-beli saham.

Walhasil, tampaknya, perkembangan yang menunjukkan kurs rupiah cenderung tertekan ini bukan lagi gejala biasa dan bukan pula sementara. Bagaimanapun, soal kebangkitan ekonomi AS terlampau dominan untuk kita tepiskan sebagai faktor yang cuma sesaat menekan kurs rupiah.

Karena itu, pemerintah tak cukup sekadar menyatakan bahwa masyarakat tak beralasan waswas oleh gejolak kurs maupun indeks harga saham gabungan di pasar modal belakangan ini. Apa yang lebih relevan ditunjukkan adalah memperlakukan gejolak itu bukan lagi sebagai gejala biasa dan temporer. Untuk itu, pemerintah amat dituntut segera melakukan langkah-langkah antisipatif yang bisa diandalkan mampu menahan laju depresiasi rupiah agar tak terpuruk terlampau dalam.

Dalam konteks itu, sejumlah kalangan menyebut kenaikan suku bunga sebagai salah satu alternatif yang relevan atau bahkan amat urgen dilakukan Bank Indonesia sekarang ini. Mereka berkeyakinan bahwa alternatif tersebut bisa cukup diandalkan membuat arus keluar modal (capital outflow) yang belakangan ini menggejala bisa dibendung. Dengan itu, kurs rupiah bisa pun kita harapkan terapresiasi kembali. Itu, pada gilirannya, bukan saja memungkinkan investasi dalam fortofolio di pasar modal terdongkrak kembali, melainkan juga luput menorehkan defisit APBN 2004 semakin menganga lebar.

Tapi, untuk itu, kita tak tahu sampai ke level berapa suku bunga di dalam negeri ini perlu segera didongkrak. Yang pasti, alternatif tersebut bukan berarti tak menuntut harga
mahal. Yakni kita harus rela kehilangan momentum suku bunga rendah yang hampir setahun ini tergelar nyata. Jadi, setelah nanti suku bunga ini didongkrak lagi, entah kapan kita bisa menemukan kembali momentum tersebut. Padahal momentum itu sendiri selama ini belum benar-benar bisa kita manfaatkan.***
Jakarta, 14 Mei 2004

07 Mei 2004

Stok Pupuk

Di atas kertas, stok pupuk di masyarakat sekarang ini memadai -- bahkan relatif melimpah. Menurut data di Ditjen Bina Sarana Produksi Pertanian (Deptan), di Jabar, misalnya, stok pupuk untuk Mei ini berjumlah sekitar 96.000 ton. Itu jauh di atas kebutuhan yang diperkirakan mencapai 58.202 ton. Begitu juga untuk Juni, stok pupuk di Jabar ini tak perlu dikhawatirkan: mencapai 88.614 ton, sementara kebutuhan hanya sekitar 51.000 ton.

Itu diperkuat oleh data realisasi penyaluran pupuk dari produsen kepada kalangan distributor. Menurut laporan PT Pupuk Kujang kepada pihak Deptan, realisasi penyaluran pupuk di Jabar selama periode Januari-April 2004 berkisar antara 110 hingga 112 persen. Artinya, pupuk yang disalurkan ke tengah masyarakat jauh melampaui kebutuhan.

Untuk wilayah pemasaran PT Pupuk Kujang saja, selama periode Januari-April 2002 itu pupuk yang tersalur mencapai 162.000 ton, sementara kebutuhan hanya 142.000 ton. Sedangkan untuk wilayah kerja sama operasi PT Pupuk Sriwijaya (Pusri), selama periode itu pupuk yang tersalur tercatat sekitar 80.000 ton. Itu di atas kebutuhan sebanyak 72.000 ton.

Jadi, di atas kertas, stok pupuk sekarang ini sama sekali tak masalah. Tapi kenyataan di lapangan justru lain sama sekali. Di sejumlah sentra produksi padi di Jabar, khususnya, pada musim tanam sekarang ini pupuk menjadi barang langka. Tak heran jika harga sarana produksi tani itu pun melambung jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang dipatok pemerintah. Di tingkat pengecer, harga pupuk ini sekarang berkisar antara Rp 1.200 hingga Rp 1.400 per kilogram. Sementara HET yang dipatok pemerintah hanya Rp 1.050 per kilogram.

Kenyataan itu semakin mengukuhkan kesan selama ini: bahwa kelangkaan pupuk sudah merupakan siklus musiman yang senantiasa dihadapi petani. Seperti juga harga gabah yang niscaya anjlok di saat musim panen raya, petani selalu saja harus menghadapi kenyataan bahwa pada setiap musim tanam seperti sekarang ini pupuk jadi langka -- dan karena itu harga komoditas tersebut melambung tinggi melampaui HET.

Pemerintah sendiri, khususnya pihak Deptan, sebenarnya sudah melakukan langkah-langkah antisipasi. Beberapa bulan lalu, pihak Deptan mewajibkan pihak pabrik pupuk dan distributor -- juga di lain pihak distributor dan pengecer -- meneken surat perjanjian jual beli (SPJB) pupuk bersubsidi. Itu untuk memudahkan pemantauan serta pengendalian harga pupuk di tingkat pengecer agar efektif berpijak pada HET.

Dengan SPJB, kalau saja distributor ketahuan menjual pupuk ke pengecer di atas harga yang ditetapkan dalam SPJB, pabrik pupuk bisa menjatuhkan sanksi pencabutan status distributor terhadap pengusaha bersangkutan. Di lain pihak, distributor juga berhak memutus hubungan bisnis dengan pengecer jika pihak terakhir itu berbuat neko-neko hingga mengakibatkan harga pupuk melambung melampaui HET.

Tetapi, menilik krisis pupuk di sejumlah sentra produksi padi di Jabar sekarang ini, kebijakan Deptan itu terbukti mandul. Boleh jadi, itu karena kebijakan memang tidak sungguh-sungguh diimplementasikan. Betapa tidak: sejauh ini kita tidak memperoleh informasi bahwa seluruh distributor dan pengecer sudah meneken SPJB. Tak heran jika kalangan pengecer pun tak sedikit pun ragu menjual pupuk jauh di atas HET.

Mungkin itu karena distributor dan pengecer sendiri memang sama sekali tak menggubris kewajiban tentang SPJB. Maklum karena tak ada mekanisme yang membuat mereka benar-benar tunduk membuat SPJB. Atau boleh jadi juga, masing-masing pihak yang sudah meneken SPJB pun tak menghiraukan kesepakatan yang tertuang di dalamnya.

Barangkali karena itu pula, pemerintah pun tergerak menurunkan beberapa tim ke lapangan guna mencari fakta seputar kelangkaan pupuk di Jabar ini. Tentu, pada saatnya, tim kemudian merekomendasikan langkah-langkah penanganan atas krisis pupuk ini.

Tapi apa pun langkah yang kelak ditempuh pemerintah, kita ragu bahwa krisis pupuk di Jabar bisa benar-benar tuntas teratasi. Paling tidak, kita tak yakin bahwa krisis serupa tak akan merebak di daerah lain saat musim tanam tiba. Kita juga bisa menduga bahwa di tahun-tahun mendatang krisis pupuk tetap menggejala. Kita boleh meyakini bahwa krisis pupuk masih akan menjadi siklus musiman yang merugikan petani. Mengapa?

Jujur saja, pangkal masalah krisis pupuk ini adalah keinginan baik pemerintah melindungi petani di dalam negeri. Dalam konteks ini, subsidi pupuk yang diberikan pemerintah melahirkan disparitas harga komoditas tersebut di dalam negeri dan di pasar ekspor. Sekarang ini saja, disparitas itu bernilai sekitar 60 dolar AS per metrik ton.

Bagaimanapun, kenyataan itu amat menggoda banyak pihak. Berbagai upaya pun mereka tempuh semata untuk meraup keuntungan besar yang tertoreh dari disparitas harga tadi. Di negeri yang telanjur korup ini, langkah ke arah itu sungguh bukan sesuatu yang musykil. Atas dasar itu, tak berlebihan bila kita pun berkeyakinan bahwa pupuk produksi dalam negeri sekarang ini banyak dialirkan ke pasar ekspor.

Justru itu, kecukupan stok pupuk ini memang cuma di atas kertas!***
Jakarta, 07 Mei 2004