30 April 2004

Belajar kepada Thailand

Thailand selama ini tergolong piawai menjaring investasi. Berbeda dengan kita yang sejak beberapa tahun belakangan terus mencatat keburaman dalam konteks investasi ini, Thailand tetap menjadi salah satu wilayah favorit bagi kalangan pemilik modal dalam menabur investasi. Bukan saja investor lama tetap betah menggerakkan bisnis -- bahkan menambah proyek investasi --, investor baru pun terus mengalir masuk ke negeri gajah putih itu.

Dalam konteks itu, jujur saja, kita sudah kalah bersaing oleh mereka. Jangankan menjaring investasi baru, sekadar mempertahankan proyek-proyek penanaman modal yang selama ini sudah berkibar pun kita sudah kesulitan. Kita tahu, satu demi satu investor mengalihkan proyek mereka ke negeri lain yang mereka nilai lebih kondusif menurut perspektif bisnis maupun hukum dan keamanan.

Pemerintah kita sendiri seperti kebingungan menemukan strategi yang bisa mendongkrak kinerja investasi ini. Beberapa kebijakan memang telah diluncurkan. Tapi efektivitasnya masih terasa mengundang tanya.

Dalam situasi seperti itu pula, kita justru dibuat terpesona oleh langkah pemerintah Thailand. Dalam rangka lebih menggeliatkan kegiatan penanaman modal di negeri mereka, pemerintah Thailand meluncurkan program yang sungguh cemerlang. Belum lama ini, PM Thailand Thaksin Shinawatra kalangan pemilik modal menjadi tamu VIP seumur hidup di Thailand. Mereka yang beruntung menjadi anggota Thailand Elite akan diperlakukan sebagai tamu kelas VIP dan berhak mendapatkan layanan terbaik di sektor swasta maupun pemerintah Thailand.

Keanggotaan Thailand Elite sendiri dipilih selektif alias tidak diobral -- hanya sekitar 100 ribu orang dari seluruh dunia. Lalu, peserta mendapatkan banyak keuntungan -- antara lain masuk dan keluar Thailand melalui fasilitas VIP hingga tidak perlu mengantre di imigrasi. Begitu tiba di negeri itu, mereka diberi fasilitas asisten pribadi dan transportasi menggunakan limousine dari dan ke bandara.

Di sisi lain, anggota Thailand Elite ini juga bisa menikmati visa otomatis dengan izin tinggal di Thailand selama lima tahun yang dapat diperpanjang. Mereka juga berhak menikmati potongan harga dan up grade, layanan 24 jam dan layanan dengan 7 bahasa utama dunia. Belum lagi paket perjalanan wisata ekslusif dan dapat diatur sesuai keinginan.

Itu masih pula ditambah oleh keleluasaan bermain golf setiap hari tanpa dipungut biaya di lapangan golf terbaik di Thailand. Lalu, anggota Thailand Elite ini juga berhak mendapatkan tanah secara eksklusif plus layanan eksklusif pula berinvestasi. Masih ada lagi: fasilitas executive medical checkup berkala setiap tahun secara gratis.

Siapa pun, agaknya, setuju bahwa fasilitas-fasilitas itu amat menggiurkan. Justru itu, arus investasi ke Thailand ini pasti lebih mengalir deras lagi. Implikasinya, tentu, tak terkecuali akan turut kita rasakan: kita makin kesulitan menjaring investasi baru. Bahkan, seperti selama ini sudah menggejala, proyek investasi yang sudah lama berkibar di dalam negeri pun satu demi satu mungkin ditutup dan kemudian dipindahkan ke negeri lain -- termasuk, boleh jadi, ke Thailand.

Karena itu pula, optimisme pemerintah kita -- bahwa investasi senilai 72 miliar dolar AS, yang dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen tahun ini, dapat tercapai -- terasa tak meyakinkan. Bukan saja karena kita belum menemukan konsep yang mengondisikan investor sebagai raja, melainkan terutama karena optimisme itu sendiri lebih berpijak pada pengandaian -- bahwa pemilihan presiden berjalan lancar dan sukses.

Mungkin benar, faktor politik dalam negeri berpengaruh terhadap sikap dan persepsi investor mengenai kegiatan penanaman modal di negeri kita ini. Tapi selama kita tetap tak memperlakukan mereka bak raja, keberhasilan pemilihan presiden agaknya tak membuat arus masuk investasi serta-merta mengalir deras. Karena itu, sebaiknya pemerintah realistis mengenai target ataupun harapan-harapan menyangkut kegiatan investasi ini.

Di sisi lain, pemerintah juga selayaknya mengenali kelemahan mendasar kita selama ini. Terus-terang, kita memiliki sikap mental yang cenderung memperlakukan investor sebagai sapi perah. Lihat saja: pungutan yang dikenakan terhadap investor demikian beraneka ragam. Di luar itu, investor juga masih harus banyak merogoh pengeluaran untuk membayar pungutan tidak resmi.

Kita juga tergolong pelit memberi kenyamanan terhadap investor ini. Simak saja keluhan pimpinan raksasa elektronik Matsushita di sini, misalnya. Mereka mengeluhkan bahwa pemerintah sama sekali tak memberikan keistimewaan terhadap investor yang sudah lama berkiprah di sini. Padahal, menurut mereka, di negara lain, pemerintah lazim memberikan sejumlah fasilitas terhadap investor yang sudah terbilang lama menggeluti usaha di negara bersangkutan.

Tampaknya kita memang patut belajar pada Thailand: bahwa investor sudah saatnya bukan lagi diperlakukan sebagai sapi perah, melainkan raja diraja. Itu harus tercermin dalam berbagai kebijakan pemerintah maupun sikap-tindak keseharian kita. Mungkinkah?***
Jakarta, 30 April 2004

23 April 2004

Penyelundupan Gula

Langkah pemerintah memusnahkan 179 petikemas gula putih selundupan yang ditahan pihak Bea Cukai di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta jelas positif. Paling tidak, langkah tersebut menumbuhkan kesan bahwa pemerintah tidak main-main terhadap tindak penyelundupan. Justru itu, kalangan penyelundup pun tampaknya harus membuat kalkulasi baru: bahwa risiko memasukkan gula impor ke wilayah Indonesia secara ilegal jadi meningkat.

Namun, boleh jadi, impor ilegal gula putih ini tak akan serta-merta jadi surut. Bagaimanapun, harga gula di pasar dalam negeri yang jauh lebih tinggi dibanding di mancanegara terlampau menggiurkan dan amat menggoda orang untuk memasukkan komoditas tersebut ke negeri kita. Cuma karena tata niaga gula yang digelar pemerintah melahirkan oligopoli impor oleh lima perusahaan -- PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX, PTPN X, PTPN XI, PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), serta PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) -- pihak-pihak lain terpaksa memasukkan gula eks luar negeri ini melalui saluran ilegal alias menyelundup.

Memang, mestinya tata niaga gula yang digariskan pemerintah mampu membatasi ruang gerak penyelundupan gula eks luar negeri ini. Dengan ditetapkannya PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, RNI, dan PPI sebagai pihak yang diizinkan mengimpor gula, mestinya setiap arus masuk gula impor ilegal gampang dikenali -- dan karena itu bisa ditangkal masuk.

Tapi persoalannya, tak semua aparat berjiwa malaikat. Bahkan di negeri yang telanjur korup ini, aparat berjiwa malaikat terbilang mahluk sangat langka. Justru itu, kalangan penyelundup pun bisa mudah mengajak mereka bermain mata. Tak heran jika impor gula ilegal lantas mengalir deras.

Kasus 179 petikemas gula eks luar negeri yang ditahan pihak Bea Cukai di Pelabuhan Tanjung Priok adalah bukti nyata betapa impor ilegal gula ini berlangsung terang-terangan. Kuat dugaan bahwa gula tersebut diselundupkan melalui Pelabuhan Belawan (Medan) sebelum kemudian diangkut menggunakan kapal melalui jasa ekspedisi muatan kapal laut ke Tanjung Priok.

Jelas, dalam konteks itu, sulit menepiskan kecurigaan bahwa aparat berwenang di pelabuhan bermain mata dengan penyelundup. Jika mereka tidak melakukan kongkalingking, bagaimana mungkin gula eks luar negeri sebanyak 179 petikemas bisa begitu saja lolos masuk Pelabuhan Belawan!

Kalaupun aparat di pelabuhan tak bisa diajak main mata, sanksi hukum bagi penyelundup tak terlampau memberi efek jera. Menurut UU Kepabeanan, tindak penyelundupan tidak termasuk kategori pelanggaran pidana, melainkan pelanggaran administrasi.

Justru itu, penyelundup bisa melenggang bebas sepanjang mampu memenuhi kewajiban kepabeanan. Pada saatnya, amat boleh jadi, mereka kembali berupaya memasukkan gula impor secara ilegal. Itu tadi, karena harga gula di pasar dalam negeri yang jauh di atas harga internasional sungguh amat menggoda mereka.

Ironinya, disparitas harga itu justru merupakan ekses tata niaga gula. Seperti juga tata niaga cengkeh di masa lalu, tata niaga gula yang memberikan oligopoli impor hanya kepada lima perusahaan telah mendistorsi pasar dan mendorong harga naik jauh melebihi harga internasional.

Itu masuk akal karena kapabilitas PTPN IX, PTPN X, dan PTPN XI dalam mendatangkan gula eks luar negeri ini terasa meragukan. Bagaimanapun, mereka adalah produsen -- bukan distributor. Dalam menjual gula produksi sendiri saja, selama ini mereka tidak masuk ke jaringan distribusi yang demikian luas dan kompleks. Selama ini mereka hanya melepas hasil produksi di depan gudang pabrik.

Begitu juga PPI, dalam rangka melaksanakan tata niaga gula ini, tak menunjukkan kinerja mengesankan. Tapi, mestinya, itu gampang dipahami: karena kapabilitas PPI ini sejak awal memang sudah diragukan. Mereka tidak memiliki kemampuan apa-apa, baik dalam konteks pengalaman di dunia internasional, permodalan, juga jaringan distribusi. Prasarana pergudangan sendiri, konon, mereka tidak punya.

Tak heran, karena itu, lantas beredar isu bahwa dalam mendatangkan gula impor pun PPI sekadar bertindak sebagai broker. Sementara kegiatan impor itu sendiri mereka percayakan kepada pemain-pemain lama tak memiliki reputasi tak terbilang bagus.

Tapi lepas dari isu tersebut, penunjukan PPI sendiri sebagai importir gula sungguh terasa subjektif -- kalau tidak mengundang tanya. Lebih-lebih justru karena pemerintah sama sekali tak melibatkan Perum Bulog dalam impor gula ini. Padahal track record Bulog sudah jelas terukur. Selaku pelaksana tata niaga gula selama bertahun-tahun di masa silam, Bulog jelas mengantungi pengalaman berharga dalam memasuki belantara pasar gula dunia.

Lebih fundamental lagi, Bulog memiliki infrastruktur pergudangan yang tak tertandingi oleh institusi mana pun di negeri ini. Kenyataan tersebut, paling tidak, merupakan faktor yang membuat kita boleh merasa yakin bahwa distribusi gula impor bisa lancar dan efisien. Pada gilirannya, itu bisa diharapkan mengurangi disparitas harga gula di dalam negeri dan di pasar internasional.

Atas dasar itu, seperti kata kalangan anggota DPR, barangkali beralasan jika Bulog dilibatkan dalam tata niaga gula ini.***
Jakarta, 23 April 2004

13 April 2004

Likuidasi Bank

Langkah Bank Indonesia melikuidasi dua bank -- Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali -- memang sebuah keharusan. Seperti penjelasan Bank Indonesia sendiri, kondisi kedua bank sudah telanjur kelewat bobrok dan sulit bisa diselamatkan. Meski Bank Indonesia telah lama memberikan pembinaan, kondisi kesehatan kedua bank praktis tidak mengalami kemajuan. Kondisi keuangan kedua bank tak kunjung membaik karena sudah sangat parah.

Walhasil, keputusan Bank Indonesia itu merupakan langkah terakhir yang terpaksa diayunkan karena kondisi kedua bank sudah tidak bisa diharapkan lagi membaik dan sehat. Langkah tersebut sekaligus merupakan wujud komitmen Bank Indonesia menciptakan sistem perbankan yang sehat dan efektif serta dalam rangka menegakkan sistem keuangan yang stabil.

Komitmen ini adalah harga mati karena mempertaruhkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Karena itu pula, kita yakin bahwa langkah Bank Indonesia melikuidasi Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali ini niscaya meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan nasional.

Tetapi, memang, langkah itu memiliki harga yang harus ditebus pemerintah: menanggung nasib dana masyarakat di kedua bank. Maklum, karena program penjaminan dana nasabah bank masih berlaku. Dulu, ketika Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) masih berkibar, fungsi penjaminan ini diemban lembaga tersebut. Setelah tugas BPPN berakhir pada 27 Februari lalu, fungsi penjaminan diambil-alih oleh Unit Pelaksana Penjaminan Pemerintah (UP3).

Entah berapa banyak dana yang harus dikeluarkan pemerintah terkait dengan program penjaminan dana nasabah di Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali ini. Yang pasti, untuk itu, pemerintah jelas harus mengeluarkan anggaran ekstra. Justru itu, beban APBN pun praktis bertambah. Apa boleh buat!

Tapi justru itu pula, kita seketika diingatkan mengenai pentingnya segera didirikan lembaga penjaminan simpanan masyarakat di perbankan. Dengan menyerahkan soal penjaminan itu kepada lembaga tersebut, pemerintah tidak lagi harus menanggung risiko finansial manakala terjadi kebijakan yang memaksa tindakan mematikan dilakukan terhadap bank bermasalah seperti Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali.

Karena itu pula, kita memahami jika selama lembaga penjaminan simpanan belum terbentuk juga pihak Depkeu amat harap-harap cemas atas kemungkinan Bank Indonesia kembali melikuidasi bank bermasalah. Tapi, bagaimanapun, harapan tinggal harapan. Jika secara obyektif bank memang merupakan keharusan -- terlebih kalau masalah yang membelit bank tersebut potensial berisiko sistemik --, Bank Indonesia pasti melakukan likuidasi. Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat sekaligus memelihara sistem perbankan yang sehat, Bank Indonesia tak mungkin menunda ataupun menangguhkan eksekusi terhadap bank bermasalah ini.

Namun justru itu, kita mendesak pemerintah dan DPR agar segera serius membahas RUU Lembaga Penjaminan Simpanan. Dengan adanya undang-undang tersebut, kelak, pendirian lembaga penjaminan masyarakat -- yang akan mengambil-alih peran UP3 sekarang ini -- jelas memiliki pijakan pasti. Pada gilirannya, di samping pemerintah jadi terbebas dari risiko menanggung pengembalian dana masyarakat terkait program penjaminan, masyarakat juga dibuat lebih yakin terhadap keamanan sistem perbankan nasional.

Kita berharap, pemerintahan maupun DPR baru hasil Pemilu 2004 benar-benar menyadari urgensi pembahasan RUU Lembaga Penjaminan Simpanan ini. Siapa pun yang kelak memimpin negeri kita, juga partai mana pun yang mendominasi DPR, hendaknya bahu-membahu segera menangkap masalah itu. Berbagai tarik-menarik kepentingan politik yang begitu kental mewarnai hari-hari menjelang dan pascapemilu sekarang ini jangan sampai terus berlarut hingga menjadi aral penghalang bagi pembahasan RUU Lembaga Penjaminan Simpanan. Pokoknya, sesaat setelah pemerintahan dan DPR baru terbentuk, semua pihak jangan membuang-buang waktu: segera menetapkan pembahasan soal itu sebagai salah satu prioritas.

Di sisi lain, Bank Indonesia juga perlu lebih ketat lagi dalam meloloskan sosok-sosok bankir melalui uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Kasus kebobrokan Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali merupakan petunjuk bahwa sistem perbankan nasional masih digayuti perilaku tercela di level manajemen -- entah pemilik maupun direksi bank.

Itu mengindikasikan bahwa proses saringan yang dilakukan Bank Indonesia masih terbilang longgar. Dalam kasus Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali, pemilik disebut-sebut begitu jauh merecoki operasional bank. Sikap-tindak mereka pula, konon, yang membuat kedua bank bersangkutan tak mampu mengindahkan prinsip kehati-hatian. Tak heran jika kedua bank itu pun terperosok pada lubang kebobrokan.

Kita tentu amat berharap, kisah kebobrokan bank ini benar-benar berakhir. Artinya, setelah Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali dilikuidasi, jangan ada lagi bank yang harus mengalami nasib serupa dengan alasan sama pula: telanjur kelewat bobrok akibat tindakan tercela kalangan bankir.***
Jakarta, 13 April 2004

12 April 2004

Kampanye Antikayu Tropis

Kita  tak boleh tinggal diam jika kampanye antiproduk kayu tropis yang dimotori kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM)  sudah tidak lagi fair serta menjurus ke arah perang dagang (trade war) terselubung yang merugikan kita.

Kita sependapat dengan Ketua Umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo), Martias, bahwa kampanye itu mengancam eksistensi industri pengolahan kayu di dalam negeri. Kampanye itu, jika dibiarkan, niscaya mengakibatkan posisi tawar (bargaining position) dunia usaha kehutanan nasional di pasar global kian melorot -- sampai akhirnya bukan mustahil membuat industri pengolahan kayu kita jadi gulung tikar.

Cuma, benarkah kampanye boikot terhadap produk kayu kita ini sudah tidak obyektif lagi? Bagaimana kita bisa meyakini bahwa kampanye tersebut tidak fair -- karena amat merugikan kepentingan industri pengolahan kayu di dalam negeri?

Sesungguhnya, secara prinsip kita setuju terhadap kampanye antiproduk kayu tropis di arena internasional ini -- sepanjang itu bertujuan memaksa industri kehutanan mengindahkan asas kelestarian hutan. Kita percaya, dengan makenisme kampanye boikot, dunia industri kehutanan tak bisa bermain-main lagi dengan masalah kelestarian sumberdaya hutan. Suka ataupun tidak, mereka harus memperlakukan hutan sebagai sumberdaya yang mesti terjamin berkesinambungan (sustainable). Justru itu, mereka tak bisa lagi seenak udel mengeksplotasi hutan ataupun memanfaatkan kayu hasil penebangan liar.

Namun ketika kampanye antikayu tropis ini ternyata hanya ditujukan kepada produk-produk kita, tak bisa lain kita pun serta-merta merasa diperlakukan tidak fair. Seperti kata Martias, jajaran LSM yang mengkampanyekan boikot itu terkesankan tutup mata terhadap China atau Malaysia yang terindikasi kuat justru banyak memanfaatkan kayu ilegal -- notabene eks penebangan liar (illegal logging) di Indonesia. Mereka seolah tidak tahu-menahu soal itu atau mungkin apriori beranggapan bahwa industri pengolahan kayu di Cina dan Malaysia benar-benar "on track": memanfaatkan bahan baku legal dan tak mengancam kelestarian sumberdaya hutan.

Di lain pihak, kalangan LSM ini begitu garang dan apriori berasumsi bahwa industri pengolahan kayu di dalam negeri banyak memanfaatkan bahan baku kayu ilegal. Dalam konteks ini, mereka amat terkesan mengabaikan kenyataan tentang kebijakan pemerintah menyusutkan pasokan bahan baku kayu secara drastis (soft landing policy) sebagai strategi mengamankan keberlangsungan sumberdaya hutan kita, di samping sebagai koreksi mendasar terhadap kekeliruan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan di masa lalu.

Kalangan LSM ini juga seolah menafikan kenyataan yang menunjukkan betapa industri pengolahan kayu di dalam negeri kini megap-megap kekurangan pasok bahan baku kayu, selain makin sulit berbuat nekat memanfaatkan kayu ilegal hasil tebangan liar.

Perasaan kita telah diperlakukan tidak fair ini belakangan melahirkan kecurigaan atau bahkan keyakinan bahwa pada dasarnya kampanye boikot terhadap produk kayu kita itu sudah diselewengkan menjadi praktik perang dagang terselubung. Buktinya? Soal itu, seperti kata Martias, tercermin pada makin gencarnya negara konsumen mengajukan aneka persyaratan terhadap produk kayu kita. Di pasar Eropa dan Amerika, misalnya, kini persyaratan bagi produk kayu kita -- harus didukung sertifikasi ramah lingkungan (ekolabel) -- semakin ketat dan cenderung mengada-ada. Bahkan di Jepang, soal itu masih ditambah pula oleh peningkatan hambatan nontarif.

Akibatnya, jelas, ruang gerak produk kayu kita di pasar internasional terkondisi jadi amat terbatas. Dalam hubungan itu pula, harga produk benar-benar tertekan. Tak heran jika Menhut Muhammad Prakosa pun sampai berkeyakinan bahwa di balik kampanye boikot produk kayu tropis ini terselip upaya sistematis untuk menghancurkan industri kehutanan nasional. Dengan kata lain, kampanye itu tak lebih merupakan strategi licik jajaran negara konsumen untuk mengerdilkan ekonomi nasional.

Lalu bagaimana? Tak bisa lain, dalam menghadapi praktik bisnis tidak fair di balik kampanye boikot produk kayu kita ini, berbagai pihak terkait di dalam negeri -- khususnya pemerintah dan jajaran pelaku industri kehutanan -- harus solid bersatu dan bahu-membahu. Kita harus menggugat perlakuan-perlakuan tidak fair tadi. Negara-negara konsumen produk kayu kita, terutama, harus bisa diyakinkan bahwa kita memiliki kepedulian besar terhadap kelestarian hutan.

Untuk itu, kita harus bisa merangkul jajaran LSM -- entah di dalam negeri maupun di luar negeri -- agar tidak cenderung menjadi agen negara-negara konsumen produk kayu kita. Mereka harus kita gugah agar bersikap-tindak obyektif mengenai pengelolaan sumberdaya hutan yang kini kita lakukan.

Sekali lagi, langkah ke arah itu menuntut soliditas serta kerja sama pemerintah dan pelaku industri kehutanan. Tapi justru di situ letak kelemahan mendasar kita. Jujur saja, hubungan pemerintah dan pelaku industri kehutanan sekarang ini amat tidak harmonis. Sampai kapan?***
Jakarta, 12 April 2004