27 Februari 2004

BPPN Bubar

Hari ini keberadaan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) resmi berakhir. Bahkan keputusan tentang pembubaran BPPN ini sudah diteken Presiden Megawati Soekarnoputri, Rabu lalu, menjelang keberangkatannya melawat ke luar negeri.

Apa makna pembubaran BPPN ini? Semestinya, pembubaran BPPN merupakan tonggak bahwa krisis ekonomi nasional yang menerpa sejak medio 1997 silam sudah berakhir. Logikanya, ekonomi nasional kini sudah pulih kembali hingga keberadaan BPPN pun tidak diperlukan lagi. Itu pula, tampaknya, yang melatari keputusan pemerintah tak memerpanjang keberadaan BPPN ini yang sejak awal berdiri dicanangkan hanya berumur lima tahun.

Memang, kondisi ekonomi makro kita sekarang ini sudah jauh membaik dibanding saat krisis dulu. Itu antara lain tercermin pada tingkat inflasi yang terkendali pada level relatif rendah, sukubunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang semakin ramping, juga nilai tukar rupiah yang relatif stabil dan berada pada level kondusif.

Tetapi, agaknya, itu bukan berarti bahwa BPPN telah sukses mengemban peran yang dibebankan pemerintah. Kita tahu, pemerintah membentuk lembaga ad hoc bernama BPPN ini dengan tiga tugas utama: menyehatkan perbankan nasional, membantu pemulihan ekonomi nasional, serta mengembalikan uang negara yang telanjur tersalur ke sistem perbankan nasional.

Jika sekadar melihat indikator-indikator kesehatan bank -- misalnya rasio kecukupan modal (CAR), jumlah kredit bermasalah (NPL), atau dana pihak ketiga --, kondisi perbankan nasional sekarang ini memang relatif sudah baik. Tetapi jika tolok ukur kesehatan perbankan ini dikaitkan dengan fungsi utamanya -- menjadi lembaga perantara mengenai perputaran dana -- patut kita akui bahwa kondisi perbankan nasional belum sesuai harapan.

Kita tahu, fungsi intermediasi perbankan nasional belum juga benar-benar berjalan. Data menunjukkan bahwa rasio penyaluran kredit terhadap dana pihak ketiga (LDR) di perbankan ini masih jauh di bawah 50 persen. Tak heran jika pertumbuhan kredit pun belum juga pulih seperti sebelum krisis. Karena itu pula, dalam konteks membantu pemulihan ekonomi nasional, peran BPPN terlihat kedodoran.

Begitu juga dalam konteks pengembalian uang negara yang telanjur tersalur pada sistem perbankan nasional. Konon, hingga menjelang pembubaran, BPPN telah mengembalikan aset negara senilai Rp 172 triliun. Dibanding biaya penyehatan perbankan yang dilakukan BPPN -- melalui penerbitan obligasi pemerintah senilai Rp 642 triliun, termasuk Rp 144 triliun dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) --, angka itu menunjukkan bahwa uang negara yang berhasil diselamatkan BPPN relatif kecil -- hanya sekitar 27 persen.

Memang, amat sulit mengharapkan uang negara bisa sepenuhnya diselamatkan. Tetapi tingkat pengembalian yang hanya 27 persen sungguh sulit kita maklumi karena menunjukkan bahwa uang negara yang raib tak terselamatkan sungguh teramat besar.

Kendati demikian, barangkali, kiprah BPPN tak bisa sepenuhnya dikatakan gagal. Paling tidak, pada tahun-tahun terakhir ini BPPN cukup membantu meringankan beban pemerintah dalam menambal defisit anggaran melalui langkah penjualan aset -- meski, sekali lagi, itu dengan tingkat pengembalian (recovery rate) yang terbilang rendah.

Tetapi juga amat sulit mengatakan bahwa BPPN sukses mengemban tugas utama yang dibebankan pemerintah. Terlebih jika soal itu dikaitkan dengan gaya manajemen yang amat terkesan royal. Bagaimanapun, gaya manajemen yang sarat fasilitas serba wah -- termasuk gaji pimpinan maupun karyawan yang hampir sulit dipercaya -- malah seolah meneguhkan kenyataan bahwa kinerja BPPN secara keseluruhan sungguh tak elok. Itu pula yang membuat keberadaan BPPN selama ini seolah sebuah mimpi buruk.

Pimpinan BPPN sendiri berkali-kali sempat menekankan bahwa tingkat penyelamatan uang negara yang berhasil dilakukan BPPN jauh lebih bagus ketimbang apa yang ditorehkan lembaga serupa di negara lain sesama korban krisis ekonomi. Toh orang tetap tak bisa menerima itu -- terutama karena proses pemulihan di negeri kita berlangsung amat lamban. Berbeda dengan di Thailand atau Korsel selaku negara yang sama-sama diterpa krisis ekonomi pada medio 1997 silam, pemulihan ekonomi di Indonesia begitu susah bisa dicapai. Bahkan sedikit atau banyak, hingga sekarang pun krisis itu masih terasa. Tak bisa tidak, orang pun lantas memertanyakan kinerja BPPN.

Karena itu, bagi banyak orang, klaim bahwa kinerja BPPN jauh bagus ketimbang apa yang diperbuat lembaga serupa di negara lain malah mengundang sinisme. Lebih-lebih lagi ketika pimpinan BPPN meminta kekebalan hukum atas berbagai langkah atau kebijakan mereka selama berkiprah. Permintaan tersebut mengundang curiga bahwa di balik kinerja BPPN banyak tersimpan masalah. Boleh jadi, masalah tersebut mencuat di kemudian hari manakala BPPN sudah tak ada lagi.

Justru itu, setelah BPPN bubar pun, mimpi buruk tadi tampaknya tak serta-merta sirna.***
Jakarta, 27 Februari 2004

20 Februari 2004

Kepemimpinan Baru Kadin

Kadin Indonesia beroleh nakhoda baru. Kita tak hendak mempersoalkan siapa menjadi nakhoda baru pengganti Aburizal Bakrie yang telah memimpin Kadin selama dua periode (1994-2004) ini -- apakah Mohamd S Hidayat, Cicip Sharif Surtardjo, Suryo Bambang Sulisto, ataukah Oesman Sapta Odang. Kita percaya, mereka adalah sosok-sosok yang boleh diandalkan dalam memimpin wadah dunia usaha nasional. Kita juga percaya bahwa peserta Munas V Kadin bisa memilih figur terbaik di antara empat kandidat itu.

Namun kita berharap agar proses pemilihan orang nomor satu di Kandi ini berlangsung demokratis dan bersih -- tak diwarnai politik uang (money politics) ataupun kepentingan politik tertentu, juga tanpa direcoki semangat-semangat berbau sektarian. Dengan demikian, figur yang terpilih sebagai Ketua Umum Kadin periode 2004-2009 niscaya benar-benar bisa diterima semua kalangan -- baik di lingkungan Kadin sendiri maupun di lingkungan eksternal dunia usaha nasional.

Itu sungguh penting karena tantangan yang dunia usaha nasional sekarang ini tidak lebih ringan dibanding saat kepemimpinan Aburizal. Bahkan, sejatinya, tantangan sekarang ini jauh lebih berat dan krusial. Kita tahu, meski kondisi ekonomi makro sudah relatif membaik dan menunjang, sektor riil belum juga beranjak signifikan. Sektor riil kita seolah masih tertidur.

Dalam konteks itu pula, kritik Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah ketika berbicara pada forum bisnis dalam dalam rangka Munas V Kadin, Rabu lalu, terasa tidak keliru -- meski, barangkali, juga tidak sepenuhnya benar. Burhanuddin menyebutkan bahwa stabilisasi ekonomi yang telah diusahakan dengan susah-payah seperti sia-sia. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sukubunga yang rendah -- bahkan terendah sepanjang sejarah nasional -- tidak diikuti oleh kucuran likuiditas perbankan ke sektor riil. Di sisi lain, inflasi yang rendah dan nilai tukar rupiah yang paling stabil sepanjang krisis juga ternyata tidak termanfaatkan secara baik.

Kenyataan itu, bagi Burhanuddin, merupakan bukti bahwa dunia usaha nasional tidak mampu menciptakan kapitalisasi guna memacu investasi serta mendorong ekspor. Padahal itu amat strategis dalam rangka membuka lapangan kerja yang sekarang ini sudah berada pada level krusial.

Mungkin kebijakan pemerintah sendiri yang selama ini tak cukup mampu menjamin kepastian hukum, juga di sisi lain pungutan resmi maupun tidak resmi yang kian membebani kegiatan bisnia, merupakan faktor yang mengondisikan dunia usaha nasional tak cukup sigap memanfaatkan stabilitas ekonomi makro ini.

Tetapi, bagaimanapun, itu tidak bisa dijadikan pembenaran untuk membiarkan sektor riil tetap lumpuh. Itu tadi, karena pengangguran dan kemiskinan telanjur menjadi
masalah yang demikian mendesak dan krusial. Jika tak segera ditangani dengan segenap kesungguhan -- terutama oleh dunia usaha nasional --, niscaya bangunan makro ekonomi yang sudah begitu susah kita tegakkan itu akan runtuh lagi. Kalau itu terjadi, seperti dampak krisis ekonomi yang menerpa sejak medio 1997, ongkos yang harus kita tanggung pasti amat mahal.

Dengan kata lain, perbaikan kondisi ekonomi makro yang telah dicapai harus bisa diikuti oleh upaya-upaya menggerakkan kegiatan dunia usaha nasional. Dengan itu, tingkat pengangguran dan kemiskinan dapat dikurangi.

Itulah masalah krusial yang dihadapi pimpinan Kadin sekarang ini. Dia harus mampu menggerakkan dunia usaha nasional menjadi ujungtombak pengentasan masalah pengangguran dan kemiskinan melalui kegiatan usaha yang bergulir pasti dan kencang. Toh, seperti sudah disinggung, prasyarat kondisional -- ekonomi makro -- sudah membaik dan sangat menunjang.

Sebagai sebuah kekuatan, Kadin sendiri sekarang ini amat bisa diharapkan. Aburizal, harus diakui, mewariskan dunia usaha nasional dalam kondisi solid. Dia berhasil merangkul usaha besar berhimpun di Kadin dan menjadi kekuatan ekonomi nasional. Jadi, ibarat pasukan siap tempur, dunia usaha nasional kini tinggal digerakkan.

Namun, tentu, daya tempur Kadin ini banyak bergantung pada kapabilitas sang komandan. Dia harus pandai membaca situasi dan cerdas merumuskan strategi tempur. Terlebih dalam menghadapi tantangan ekonomi nasional ini, Kadin tak mungkin berjalan sendiri. Bagaimanapun Kadin harus membangun sinergi dengan pemerintah. Kadin harus bisa bahu-membahu dengan pemerintah -- terutama dalam merumuskan berbagai kebijakan dan pengawasan atas implementasinya di lapangan.

Jujur saja, dalam konteks itu, kiprah Kadin selama ini masih lemah. Ada kesan, Kadin belum dianggap pemerintah sebagai mitra yang sejajar. Jangankan diajak merumuskan kebijakan, bahkan catatan kritis ataupun masukan-masukan Kadin pun nyaris tak pernah didengar pemerintah.

Walhasil, menjadikan Kadin sebagai mitra penting pemerintah pun merupakan tantangan lain yang tak kalah krusial bagi kepemimpinan baru Kadin sekarang ini.***
Jakarta, 20 Februari 2004

17 Februari 2004

Deregulasi Kehutanan

Paket deregulasi di bidang kehutanan, yang pekan lalu diluncurkan pemerintah, di atas kertas memang bagus. Paket kebijakan tersebut menjanjikan iklim kondusif bagi dunia usaha. Dalam konteks ini, kalangan investor diberi beberapa kemudahan yang memungkinkan mereka bisa mengoptimalkan usaha proyek hutan tanaman industri (HTI). Di sisi lain, paket kebijakan itu juga mengondisikan percepatan pembangunan proyek HTI.

Secara operasional, paket deregulasi di bidang kehutanan ini terbagi dalam tiga kelompok: restrukturisasi, akselerasi, dan peningkatan daya tarik investasi. Kebijakan yang berkaitan dengan restrukturisasi mengatur peluang divestasi, merger, akuisisi, dan penjadwalan kembali (rescheduling) pinjaman Dana Reboisasi (DR) berbunga nol persen.

Di sisi lain, juga diatur penjaminan kelangsungan dana talangan perusahaan induk terhadap HTI patungan. Ini untuk memberi kepastian usaha bagi HTI patungan maupun HTI swasta murni. Dalam kaitan ini disebutkan bahwa perusahaan berbentuk perseroan terbatas bisa mengambil-alih saham perusahaan HTI setelah mendapat persetujuan Menhut.

Sementara kebijakan yang merujuk pada akselerasi pembangunan HTI berkaitan dengan penyederhanaan, penyusunan, penilaian, dan pengesahan rapat kerja tahunan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu tahunan (UPHHKT). Di sisi lain diatur pula penyederhanaan penyelesaian izin UPHHKT yang telah mendapat persetujuan prinsip permohonan tanpa pengesahan studi kelayakan oleh Dephut.

Sedangkan kebijakan menyangkut peningkatan daya tarik investasi mengatur soal peluang akuisisi dan merger terhadap HTI yang memiliki kemampuan investasi dan kesehatan finansial buruk.

Kita tahu, sejak awal program pembangunan HTI sebenarnya diproyeksikan untuk menyelamatkan hutan alam dari tekanan industri pengolahan kayu. Maklum karena kapasitas terpasang industri pengolahan kayu jauh tak sebanding dengan kemampuan hutan alam menghasilkan bahan baku kayu.

Pembangunan proyek HTI ini makin relevan lagi setelah belakangan tindak penebangan liar (illegal logging) makin menjadi-jadi dan nyaris tak terkendali. Tetapi sejak awal pula kita tahu bahwa animo pengusaha terhadap program HTI ini ternyata rendah. Konon, itu karena HTI merupakan proyek padat modal dan berjangka panjang.

Dalam rangka menggelorakan pembangunan HTI ini, pemerintah lantas menyediakan pinjaman DR berbunga nol persen. Di samping itu, pemerintah juga memanfaatkan DR sebagai modal penyertaan di sejumlah perusahaan HTI.

Strategi itu boleh dibilang berhasil: lumayan banyak pengusaha yang tergerak menggarap proyek HTI. Cuma, dalam konteks itu, ketergantungan mereka terhadap DR amat tinggi. Itu jelas tercermin dalam komposisi modal perusahaan-perusahaan HTI yang rata-rata didominasi pinjaman DR.

Tetapi di lain pihak, strategi pembangunan HTI ini tak sepenuhnya berhasil. Dari target seluas 2,7 juta hektar, realisasi pembangunan HTI hanya mencapai sekitar 1,2 juta hektar. Padahal DR telanjur tersalur dalam jumlah besar -- triliunan rupiah -- sebagai penyertaan modal pemerintah, pinjaman berbunga nol persen, juga pinjaman komersial.

Dalam konteks seperti itu pula, kinerja sebagian besar perusahaan HTI ini malah mencemaskan. Berdasarkan audit yang dilakukan pemerintah, sejumlah perusahaan tidak layak secara teknis dan sebagian lagi tidak layak secara finansial. Itu pula yang kemudian menjadi pijakan Menhut mengambil tindakan tegas: mencabut izin HTI perusahaan yang nyata-nyata tidak memiliki prospek lagi.

Lepas dari kenyataan bahwa langkah Menhut itu mengundang gugatan pihak-pihak bersangkutan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) -- notabene tergugat ternyata kalah --, sejumlah DR bisa diselamatkan. Langkah itu pula yang kemudian dilanjutkan Menhut dengan mengeluarkan paket deregulasi tadi.

Akankah deregulasi di bidang HTI ini efektif mencapai sasaran: mendorong investor serius menggarap proyek baru HTI, juga mengondisikan proyek-proyek lama tumbuh optimal dan sehat? Tentang itu, kita tak hendak berspekulasi. Kita hanya ingin menekankan bahwa efektivitas deregulasi di bidang HTI ini menuntut komitmen berbagai pihak.

Justru itu, kita juga perlu mengingatkan bahwa selama ini kebijakan yang digariskan pemerintah pusat acap tumpul pada tahap implementasi di lapangan. Berlatar semangat otonomi, kalangan pemda tak segan mentakacuhkan kebijakan pusat.

Akibatnya, bagi kalangan pengusaha, kepastian hukum sungguh tak bisa dipegang. Itu jelas merupakan disinsentif bagi kegiatan investasi -- termasuk pembangunan HTI. Padahal, sekali lagi, makna pembangunan HTI tak hanya strategis bagi pemerintah atau dunia usaha. Jajaran pemda dan masyarakat di daerah-daerah juga tak terkecuali berkepentingan terhadap keberhasilan pembangunan HTI ini.***
Jakarta, 17 Februari 2004

10 Februari 2004

Divestasi Bank BNI

Ada dua aspek yang tak kita pahami mengenai sikap pemerintah berkaitan dengan rencana penjualan kepemilikan 51 persen saham di Bank BNI. Pertama, rencana tersebut amat terkesan terburu-buru atau dipaksakan. Kedua, pelepasan 51 persen saham ini dilakukan melalui pola penjualan strategis (strategic sale) dan bukan melalui penawaran di pasar modal (market placement).

Menurut berita yang beredar, penjualan 51 persen saham Bank BNI ini akan dilakukan pada semester I tahun ini -- persisnya April 2004. Itu berarti, untuk merealisasikan rencana tersebut praktis hanya tersedia waktu 3 bulan lagi. Bisa kita bayangkan, karena itu, langkah yang ditempuh pemerintah dalam rangka pelepasan 51 persen saham Bank BNI ini jadi serba terburu-buru.

Boleh jadi, pertimbangan-pertimbangan pun terpaksa tak terlampau ketat dilakukan pemerintah. Padahal kita tahu, April mendatang kita menggelar pemilu. Sedikit atau banyak, perhelatan nasional tersebut tentu berpengaruh terhadap lingkungan makro ekonomi kita. Tak terkecuali: penawaran saham Bank BNI pun bakal terpengaruh pula.

Mending kalau pemilu berlangsung aman dan lancar, pengaruh itu mungkin tak terlampau buruk. Tetapi kalau pemilu ternyata sarat diwarnai kekerasan, saham Bank BNI jelas sulit bisa diharapkan ditawar orang pada level yang relatif tinggi. Kalau itu yang terjadi, penjualan saham BNI ini akan terkesan konyol.

Di lain pihak, kondisi obyektif BNI sendiri belum benar-benar kondusif bagi rencana penjualan saham ini. Sedikit atau banyak, kasus pembobolan senilai Rp 1,7 triliun membuat keuangan Bank BNI agak limbung.

Dengan kata lain, Bank BNI kini dalam proses pemulihan setelah dihantam skandal pembobolan melalui surat kredit (L/C) fiktif itu. Dalam konteks ini, pihak manajemen sendiri mengaku membutuhkan waktu hingga Juni mendatang untuk memulihkan Bank BNI ke kondisi sehat.

Walhasil, jika penjualan 51 persen saham dilakukan April, kondisi Bank BNI belum benar-benar kinclong. Justru itu, kita sulit mengharapkan harga jual saham BNI ini benar-benar optimal. Amat boleh jadi, pembeli cenderung menilai saham BNI tak cukup berharga.

Karena itu pula, Serikat Pekerja Bank BNI pun pagi-pagi sudah tegas menyatakan menolak rencana pemerintah menjual 51 persen saham Bank BNI ini. Terlebih lagi kalau ternyata proses penjualan itu mengikikutsertakan Temasek Holdings, perusahaan milik pemerintah Singapura yang menguasai 12,64 persen saham Bank Pembangunan Singapura (DBS).

Saat ini, Temasek telah menguasai Indosat melalui Singapore Technologies Telemedia, Bank Danamon melalui Konsorsium Asia Financial Holdings, dan Bank Internasional Indonesia melalui Konsorsium Sorak Financial Holdings. Kalau saja Temasek kemudian menguasai pula 51 persen saham Bank BNI, cengkraman mereka terhadap ekonomi nasional jelas makin signifikan. Tetapi yang dicemaskan orang adalah kalau-kalau Temasek tersandung kesulitan finansial: dampaknya jelas akan sangat memukul ekonomi kita. Perbankan nasional, dalam kaitan ini, niscaya harus menanggung risiko sistemik yang pasti menuntut ongkos sangat mahal.

Namun lepas dari siapa pun yang kelak tampil sebagai pembeli saham Bank BNI ini, pola strategic sale yang dipilih pemerintah sungguh tidak strategis bagi kepentingan ekonomi kita ke depan. Ini tak lain karena pelepasan 51 persen saham kepada investor strategis mengondisikan pemerintah kehilangan kendali atas Bank BNI. Pada gilirannya itu niscaya membuat pemerintah tak lagi bisa menjalankan fungsi-fungsi tertentu dalam rangka membantu kepentingan khalayak luas.

Adalah mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Achjar Iljas yang mengingatkan bahwa pasal 12 UU Perbankan -- sebelum diamendemen DPR -- tandas menyebutkan: pemerintah dapat menugaskan bank umum untuk melakukan kegiatan-kegiatan untuk kepentingan masyarakat banyak. Kemudian setelah diamandemen pasal itu menyatakan: pemerintah dapat bekerja sama dengan bank umum dan Bank Indonesia dalam membantu sektor-sektor tertentu yang dianggap untuk kepentingan masyarakat.

Walhasil, sekali lagi, pemerintah tak mungkin bisa menerapkan ketentuan itu terhadap Bank BNI kalau mayoritas bank tersebut sudah dikuasai pihak lain. Lagi pula Tap MPR 2002 tentang Pemulihan Ekonomi sendiri mengamanatkan bahwa program privatisasi ditempuh melalui market placement agar pemilikan saham BUMN lebih merata. Dengan itu pula, basis investor di pasar modal kita menjadi lebih kuat.

Atas dasar itu, kita bisa memahami jika rencana pemerintah melepas 51 persen saham BNI melalui pola strategic sale ini bukan hanya ditentang kalangan karyawan Bank BNI sendiri, melainkan juga amat potensial mengundang penolakan hebat berbagai elemen masyarakat. Penolakan tersebut, seperti dalam kasus privatisasi Indosat tempo hari, boleh jadi berlangsung dahsyat.***
Jakarta, 10 Februari 2004

09 Februari 2004

Deindustrialisasi

Pelan tapi pasti, proses deindustrialisasi di negeri kita terus berlangsung. Entah sudah berapa banyak industri yang sudah tutup ataupun hengkang ke negeri lain. Juga entah berapa banyak lagi industri yang segera menyusul gulung tikar atau angkat kaki. Yang pasti, kita nyaris tak bisa membendung kecenderungan tersebut. Ketika tempo hari raksasa elektronik Jepang -- Sony Corp -- memutuskan merelokasi pabrik komponen mereka di sini ke negara tetangga, misalnya, kita hanya bisa menyesali. Juga manakala belakangan produsen sepatu Nike dan Reebok memutuskan menutup pabrik mereka di Indonesia, kita hanya mampu mengelus dada.

Dalam konteks seperti itu, pemerintah seperti tak bisa berbuat banyak. Seperti kita juga, pemerintah cuma bisa mengelus dada dan merasa prihatin -- karena penutupan pabrik jelas menambah panjang barisan pengangguran yang sebenarnya sudah mencemaskan.

Memang, pemerintah tak sepenuhnya tinggal diam. Cuma, langkah-langkah yang disiapkan untuk membendung arus deindustrialisasi ini sekadar menjadi retorika politik. Pembenahan iklim investasi, terutama, praktis hanya merupakan basa-basi. Buktinya, pungutan tidak resmi yang sejak lama dikeluhkan dunia usaha tetap saja merajalela. Kepastian hukum juga tak kunjung menenteramkan kalangan pengusaha. Sementara layanan birokrasi masih pula seperti dulu: serba lamban dan berliku-liku. Lalu insentif-insentif bagi kegiatan penanaman modal juga lebih banyak sekadar menjadi janji-janji.

Tetapi kalaupun iklim investasi di dalam negeri ini bisa disulap menjadi kondusif sekalipun, fenomena deindustrialisasi belum tentu serta-merta terhenti. Boleh jadi, arus deindustrialisasi ini akan terus berlangsung. Kalaupun tidak menjadi gejala massal, satu-dua industri di dalam negeri kemungkinan besar tetap memutuskan menutup pabrik atau hengkang ke negeri lain.

Apa mau dikata, secara kondisional tampaknya langkah penutupan ataupun relokasi pabrik ke negeri lain kini memang sudah menjadi pilihan strategis bagi industri di dalam negeri. Bagi mereka, pilihan itu paling nyaman dan aman ketimbang terus bertahan beroperasi seperti selama ini.

Adalah Menperindag Rini Soewandi sendiri yang mengakui bahwa kiprah industri di dalam negeri sekarang ini sudah tidak kompetitif. Selama ini, struktur industri di Indonesia dibangun dengan hanya mengandalkan faktor upah buruh yang murah. Kiprah mereka nyaris tak memiliki tautan dengan masalah teknologi maju, dukungan bahan baku, dan sumberdaya manusia yang berkualitas.

Karena itu, ketika upah buruh tak lagi mendukung, industri kita limbung. Daya saing mereka kian hari kian keropos seiring peningkatan upah buruh yang saban tahun terus tertoreh.

Harus kita akui, itu sebuah kesalahan yang selama ini tak pernah kita sadari. Selama bertahun-tahun kita terlena oleh faktor upah buruh murah. Kita tidak berpikir lebih strategis bahwa faktor itu tidak mungkin selamanya bisa kita andalkan sebagai daya dukung industri. Bahkan kalaupun tidak terus-menerus naik, sekarang ini upah buruh kita sulit digolongkan murah lagi -- karena tingkat produktivitas pekerja kita relatif rendah dibanding di negara-negara lain. Itu pula yang membuat Cina dan Vietnam kini menjadi pesaing berat kita dalam menarik penanaman modal ini.

Boleh jadi, selama ini kita telanjur amat dibayangi kebutuhan pragmatis dalam mengembangkan industri ini: menyerap banyak tenaga kerja. Di tengah tekanan dan tuntutan itu, tanpa sadar kita selama ini telah mengembangkan industri yang lebih condong padat karya. Kita menerapkan strategi upah buruh murah dengan kualifikasi kecakapan (skilled) rendah. Kita alpa bahwa daya saing industri juga (semakin) mutlak ditentukan oleh dukungan teknologi maju dan keunggulan bahan baku.

Karena itu, agribisnis sawit, misalnya, di negeri kita sekadar berhenti menghasilkan minyak sawit mentah (CPO). Kita tidak mendorong agribisnis sawit ini bergerak lebih dalam lagi ke hilir hingga bisa menghasilkan produk-produk yang lebih bernilai tambah dan punya daya saing tinggi. Begitu juga industri kehutanan: sekadar menghasilkan produk setengah jadi berupa plywood atau bahkan kayu gelondongan (log).

Syukur, kekeliruan itu sudah disadari pemerintah sebagaimana diutarakan Menperindag Rini Soewandi dalam forum raker dengan Komisi V DPR, Selasa lalu. Kita juga amat mendukung tekad Menteri Rini yang hendak merevisi strategi pengembangan industri ini menjadi lebih berbasis teknologi maju dan keunggulan daya dukung bahan baku, di samping tetap mengusung semangat padat karya.

Tentu, kita berharap tekad itu tidak pupus atau menguap seiring pergantian pemerintahan dalam waktu dekat ini. Bagaimanapun, pemerintahan baru hasil Pemilu 2004 perlu meneruskan sekaligus merealisasikan tekad itu. Jika tidak, deindustrialisasi niscaya terus menggejala dan bahkan makin menggila.***
Jakarta, 09 Februari 2004