30 Januari 2004

Kekebalan Pejabat BPPN

Isu soal klausul pemberian kekebalan hukum terhadap para pejabat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) -- termasuk anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan anggota Komite Pemantau Pelaksana Tugas (KPPT) BPPN -- serta-merta mengundang heboh. Orang segera curiga bahwa klausul yang konon termuat dalam Keppres tentang pembubaran BPPN itu sengaja dirancang untuk melindungi pejabat-pejabat tadi atas segala kesalahan atau penyelewengan yang mereka perbuat selama menjabat.

Tak kurang dari Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwin Kian Gie yang menyatakan bahwa pemberian kekebalan hukum itu sungguh tidak masuk akal. Itu tak lain karena klausul tersebut menafikan pertanggungjawaban hukum atas kebijakan BPPN yang ternyata kemudian merugikan keuangan negara lantaran kebijakan itu sendiri nyata-nyata merupakan kecurangan atau penyelewengan wewenang (abuse of power).

Kemungkinan tersebut memang bukan mustahil. Bahkan sejak lama orang sudah mengingatkan bahwa kekuasaan cenderung korup. Jadi, tindak penyelewengan atau penyimpangan berdasar kewenangan tertentu memang amat dimungkinkan dilakukan orang -- di mana pun dia berada. Terlebih bagi mereka yang berkiprah di instansi yang amat bergelimang aset dan super power seperti BPPN: kemungkinan terjadinya penyelewengan kekuasaan sungguh naif jika dinafikan begitu saja.

Walhasil, memang, sungguh tidak masuk akal jika para pejabat BPPN diberi kekebalan hukum. Tindakan itu hanya relevan jika ada kepastian bahwa seluruh pejabat BPPN tidak pernah melakukan kesalahan atau menyelewengkan wewenang selama mereka menjabat.

Di samping itu, pemberian kekebalan hukum juga terkesan mengingkari prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law). Selebihnya, kebijakan itu secara apriori menepiskan kemungkinan-kemungkinan bahwa para pejabat BPPN itu membuat penyimpangan kebijakan yang merugikan negara.

Padahal kemungkinan itu sendiri demikian nyata. Sekarang ini saja, misalnya, dua mantan Kepala BPPN diduga kuat terlibat tindak penyelewengan atas dana Rekening 502 tentang program penjaminan pemerintah terhadap perbankan nasional. Kalau saja pemerintah kemudian mengeluarkan Keppres yang memberi kekebalan hukum terhadap para (mantan) pejabat BPPN, jelas kasus penyimpangan dana Rekening 502 ini akan beku atau menguap begitu saja: kedua mantan pejabat yang sudah disidik polisi tadi bisa melenggang bebas alias tak bisa disentuh proses hukum. Sementara, di lain pihak, mantan Gubernur Bank Indonesia yang juga terbelit kasus tersebut -- karena tidak tercakup sebagai pihak yang diberi kekebalan hukum -- terus diproses menuju pengadilan.

Karena itu, bisa dipahami jika orang pun menaruh prasangka bahwa Keppres tentang pemberian kekebalan hukum bagi para pejabat BPPN itu bersemangatkan "persekongkolan". Dalam konteks ini, orang menangkap kesan bahwa pemerintah sendiri sudah memiliki semacam keyakinan bahwa para pejabat itu amat berisiko terjerat proses hukum. Tapi karena langkah atau kebijakan mereka sewaktu menjabat itu tidak berdiri sendiri, maka fasilitas kebal hukum juga diberikan kepada para anggota KKSK dan KPPT BPPN.

Kecurigaan atau prasangka seperti itu mungkin berlebihan. Terlebih karena beberapa pejabat tinggi negara sudah menandaskan bahwa para pejabat BPPN ini sama sekali tidak kebal hukum. Wapres Hamzah Haz, misalnya, menyatakan bahwa jika di kemudian hari ditemukan bukti bahwa para pejabat BPPN melakukan tindak kriminal dalam menangani aset BPPN, mereka tetap dituntut ke pengadilan.

Dengan kata lain, menurut Hamzah, para pejabat BPPN tidak kebal hukum. Karena itu, segala kesalahan yang berisifat kriminal menjadi tanggung jawab pribadi mereka. Siapa pun pejabat BPPN, jika di kemudian hari ditemukan penyimpangan selama masa tugas, dia bisa dituntut di pengadilan.

Kalau benar begitu, kenapa pemerintah mesti menyiapkan Keppres yang memberi kekebalan hukum bagi para pejabat BPPN ini? Entahlah. Yang pasti, Menneg BUMN Laksamana Sukardi sempat menjelaskan bahwa ihwal kekebalan hukum itu sebenarnya merujuk pada risiko para pejabat BPPN atas kemungkinan menghadapi tuntutan hukum kalangan obligor yang tidak bisa terima kebijakan BPPN menyangkut aset-aset mereka.

Tapi jika benar itu yang dimaksud, bukankah soal tersebut sudah tegas diatur dalam PP No 18/1999 tentang BPPN. Di situ disebutkan soal indemnity atau kekebalan hukum. Atas dasar itu, dalam menjalankan tugas sesuai peraturan perundangan yang berlaku, pejabat maupun karyawan BPPN tidak dapat dituntut secara hukum.

Jadi, kenapa pemerintah mesti menyiapkan Keppres yang memberi kekebalan hukum bagi para pejabat BPPN? Lagi pula, seperti kata Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, ihwal pemberian kekebalan hukum ini harus berdasarkan undang-undang -- tidak boleh sekadar diatur lewat sebentuk kebijakan pemerintah.***
Jakarta, 30 Januari 2004

23 Januari 2004

Rehabilitasi Hutan

Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan Hutan (GN-RLH) yang Rabu lalu dicanangkan Presiden Megawati Soekarnoputri di Yogyakarta apakah memang dibutuhkan? Atau, mungkinkah GN-RLH ini menorehkan kenyataan seperti program hampir serupa di masa lalu: hanya menghabiskan dana besar, sementara sasaran tak pernah tercapai.

Bahwa hutan kita amat mendesak direhabilitasi memang sulit dibantah lagi. Berbagai bencana alam, terutama banjir dan longsor yang nyaris tak pernah henti menerpa berbagai wilayah -- notabene melahirkan dampak yang makin hari cenderung kian memrihatinkan -- adalah pertanda nyata tentang seriusnya kerusakan hutan ini.

Pihak Dephut mencatat bahwa hutan yang kini dalam kondisi rusak menghampar seluas 57 juta hektar. Dalam konteks itu, sekitar 24 juta hektar merupakan lahan yang tergolong rusak parah atau kritis. Itu terbagi atas 15 juta hektar di kawasan hutan dan sekitar 9 juta hektar lagi di luar kawasan hutan. Hamparan hutan yang rusak ini masih harus ditambah oleh sekitar 11,5 juta hektar lahan eks hak pengusahaan hutan (HPH).

Jadi, memang, dari segi kuantitatif, persoalan lahan kritis ini sudah amat memrihatinkan. Sementara dari segi kualitatif, persoalan tersebut menghadirkan tuntutan mendesak tentang langkah reboisasi dan rehabilitasi lahan krotis. Terlebih lagi jika mengingat proses deforestasi dan degradasi lahan terus berlangsung dan nyaris tak bisa dibendung.

Sebenarnya, pemerintah sudah sejak lama menunjukkan kepedulian ke arah rehabilitasi atau perbaikan kondisi hutan ini. Kita ingat, pemerintahan Orde Baru menggulirkan kepedulian itu lewat apa yang kita kenal sebagai program reboisasi hutan dan rehabilitasi lahan. Untuk itu, bahkan tiap tahun pemerintah menggelar Pekan Penghijauan Nasional.

Tetapi program perbaikan kondisi hutan ini nyaris tak berbekas. Lahan-lahan kritis tak pernah kunjung pulih menjadi hijau dan lebat kembali. Padahal dana yang dikucurkan untuk itu sungguh tidak kecil. Apa mau dikata, dana untuk reboisasi hutan dan rehabilitasi lahan kritis ini lebih banyak habis menguap dikorupsi oknum-oknum aparat pelaksana.

Bahkan di tingkat kebijakan, dana untuk perbaikan kondisi hutan dan lahan ini tak segan diselewengkan untuk keperluan lain. Sekian banyak Dana Reboisasi (DR) -- pungutan yang dikumpulkan dari para pengusaha pemegang hak pengusahaan hutan, notabene khusus dialokasikan untuk keperluan rehabilitasi kawasan hutan yang sudah ditebangi -- malah digelontorkan sebagai pinjaman kepada Panitia SEA Games dan PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).
Pinjaman-pinjaman itu tak pernah kembali ke kas DR. Pinjaman kepada Panitia SEA Games mengendap tanpa penyelesaian yang jelas. Sementara pinjaman kepada IPTN -- kini berganti wujud menjadi PT Dirgantara Indonesia yang di ujung kebangkrutan -- akhirnya dikonversi menjadi modal penyertaan pemerintah di industri pesawat terbang itu.

Walhasil, kepedulian pemerintah terhadap upaya reboisasi hutan dan rehabilitasi lahan kritis ini tak lebih sekadar kosmetik. Dalam konteks itu pula, Pekan Penghijauan Nasional yang rutin digelar saban tahun -- bergiliran antardaerah -- praktis hanya merupakan ritual yang menguras dana negara.

Lalu bagaimana dengan GN-RLH? Secara konseptual, GN-RLH tak beda dengan program reboisasi hutan dan rehabilitasi lahan di masa lalu. Bedanya, GN-RLH lebih tertuju pada lahan kritis di daerah aliran sungai (DAS).

Secara operasional, sasaran yang menjadi GN-RLH terbilang ambisius. Bayangkan saja, dalam lima tahun, GN-RLH ditargetkan menyentuh DAS seluas 3 juta hektar. Untuk tahun pertama saja, sasaran GN-RLH mencakup areal seluas 300.000 hektar di 29 DAS. Untuk itu, dana yang dialokasikan total bernilai sekitar Rp 1,2 triliun.

Dari segi pendanaan, GN-RLH mungkin tak masalah. Tapi dalam soal pencapaian sasaran, kita ragu. Target seluas 300.000 hektar pada tahun pertama saja, GN-RLH jelas menuntut persiapan dan sosialisasi sangat matang. Tapi faktanya, pedoman pelaksanaan pun hingga GN-RLH ini resmi diluncurkan belum juga jelas. Belum lagi, seperti kritik kalangan lembaga swdaya masyarakat (LSM), operasional GN-RLH juga amat miskin partisipasi masyarakat -- mulai tahap perencanaan dan pelaksanaan.

Ditambah sosialisasi yang praktis hanya sayup-sayup, pendekatan yang berwatak sentralistis itu membuat GN-RLH sulit diharapkan efektif mampu menjawab tantangan dan tuntutan nyata di lapangan. Mungkin berkat model pelaksanaan yang lebih terkesan bergaya proyek, penanaman bibit pohon relatif bisa berhasil dilakukan. Tapi karena partisipasi masyarakat telanjur dinafikan, sulit dijamin bahwa bibit-bibit itu bisa terus bertahan dan tumbuh sempurna menjadi tegakan pohon rimbun menghijau.

Walhasil, kita skeptis bahwa GN-RLH mampu menjawab masalah lahan kritis. Lagi pula, memang, jawaban yang lebih urgen dan lebih strategis atas masalah itu bukan berupa penanaman pohon, melainkan penghentian proses deforestasi yang sudah demikian parah. Kita melihat, sejauh ini langkah pemerintah ke arah itu justru serba tanggung.***
Jakarta, 23 Januari 2004

20 Januari 2004

Rawan Pangan

Kita belum bebas masalah rawan pangan. Demikian peringatan Mentan Bungaran Saragih dalam acara pemberian penghargaan Ketahanan Pangan tahun 2004 di Istana Negara, Jakarta, Rabu lalu. Tapi pernyataan tersebut nyaris tak bergema karena tenggelam oleh hiruk-pikuk isu-isu lain yang lebih panas, seperti kasus penyelewengan dana Rekening 502, rencana pengoperasian angkutan bus kota jalur khusus (busway) di Jakarta, juga perkembangan politik menjelang pemilu.

Padahal pernyataan Bungaran tentang masalah rawan pangan ini sungguh penting. Paling tidak, dengan melontarkan pernyataan itu, Bungaran amat terkesan ingin menekankan bahwa masalah rawan pangan di Indonesia masih merupakan ancaman yang perlu diwaspadai dengan serius.

Mungkin Bungaran ingin menggugah pihak-pihak lain, khususnya instansi-instansi terkait di pemerintahan, agar tidak terlena oleh produksi pangan nasional pada musim tanam sekarang ini yang secara umum memang menunjukkan tren meningkat. Padahal, di satu sisi, produksi pangan nasional ini tidak terjamin benar-benar stabil. Panen raya padi yang akan kita mulai dalam beberapa pekan mendatang, misalnya, bisa saja ternyata gagal total akibat diterjang bencana.

Kemungkinan tentang risiko bencana itu sungguh tak bisa dipandang remeh. Paling tidak, seiring curah hujan dalam musim sekarang ini yang -- menurut ramalan pihak Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) -- terbilang abnormal, potensi bencana banjir demikian nyata membayang. Justru itu, sasaran produksi padi untuk musim tanam 2003/2004 sebanyak 31,8 juta ton beras pun bisa-bisa tak tercapai.

Belum lagi jika menimbang kenyataan bahwa kemampuan produksi pertanian pangan domestik sebenarnya cenderung mengalami penurunan relatif terhadap permintaan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, rata-rata kenaikan produksi pangan hanya 0,9 persen. Sementara konsumsi justru naik antara 2,5 hingga 3 persen.

Memang, langkah impor bisa menjadi solusi untuk mengamankan ketersediaan pangan ini -- terutama jika produksi pertanian di dalam negeri terganggu. Tetapi kita juga tahu bahwa karawanan ataupun ketahanan pangan tidak hanya menyangkut aspek produksi atau ketersediaan komoditas pangan. Masalah tersebut juga erat bertali-temali dengan soal keterjangkauan fisik (distribusi) maupun kemampuan ekonomi masyarakat atas komoditas pangan.

Itu pula yang menorehkan kenyataan bahwa sentra produksi pangan seperti Jatim atau Jabar, misalnya, tak serta-merta bebas masalah rawan pangan. Secara keseluruhan, daerah tersebut bisa saja sama sekali tidak kekurangan pangan -- karena produksi mencukupi, atau bahkan surplus. Tapi di wilayah-wilayah tertentu di daerah itu, masyarakat masih kesulitan memeroleh pangan. Keterbatasan daya beli ataupun distribusi membuat mereka sulit menjangkau pangan dalam artian kuantitatif maupun kualitatif.

Sementara itu, kerawanan pangan memiliki korelasi negatif dengan pangsa pengeluaran pangan. Semakin besar pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga, semakin rendah ketahanan pangan rumah tangga tersebut. Dengan kata lain, kehidupan rumah tangga itu pekat dibayangi masalah rawan pangan.

Data menunjukkan bahwa hanya golongan berpendapatan tinggi yang memiliki pangsa pengeluaran pangan di bawah 50 persen. Sementara pada kelompok berpendapatan rendah dan sedang, pangsa pengeluaran pangan ini terbilang tinggi -- masing-masing sekitar 70 persen dan sedikit di atas 60 persen.

Karena itu, sebenarnya, praktis tak ada daerah atau wilayah yang benar-benar bebas masalah rawan pangan. Di mana-mana pasti terdapat rumah tangga yang dililit masalah tersebut. Yang membedakan hanya proporsi. Daerah tertentu bisa memiliki proporsi rumah tangga rawan pangan lebih besar ketimbang daerah lain.

Tetapi kita menangkap kesan bahwa masalah rawan pangan ini telanjur dipersepsi dangkal -- seolah hanya tersangkut soal ketersediaan pangan. Ketika sebuah pemberitaan menyebutkan bahwa sekian persen masyarakat Jatim menghadapi rawan pangan, misalnya, pemda setempat langsung bereaksi -- menampik. Bagi mereka, itu sungguh tak masuk akal karena Jatim justru merupakan lumbung pangan.

Kita tidak tahu kenapa masalah rawan pangan ini cenderung dipersepsi dangkal. Yang pasti, kecenderungan tersebut berbahaya -- karena menyederhanakan masalah. Itu, pada gilirannya, amat menentukan komitmen masing-masing pihak ke arah langkah-langkah penanganan. Bahkan, bisa-bisa penanganan masalah rawan pangan ini dianggap seolah hanya tugas pihak Deptan.***
Jakarta, 20 Januari 2004

13 Januari 2004

Larangan Impor Beras (1)

Di tengah keraguan pemerintah menerapkan kenaikan tarif impor beras menjadi Rp 510 per kilogram sesuai keputusan yang tertoreh pada Desember silam, Menperindag Rini Soewandi akhir pekan lalu memutuskan melarang impor beras selama musim panen raya. Larangan tersebut juga berlaku untuk masa satu bulan sebelum dan dua bulan setelah penan raya.

Langkah tersebut patut diacungi jempol. Itu jelas menunjukkan bahwa Menperindag menyadari betul bahwa impor beras di tengah musim panen raya sekarang ini sungguh tidak produktif: harga dasar gabah pasti anjlok. Itu bukan hanya membuat petani gagal menikmati keuntungan atas jerih-payah mereka melakukan budidaya padi. Lebih dari itu, anjloknya harga dasar gabah ini justru membuat mereka semakin miskin. Betapa tidak, karena ongkos produksi yang telanjur mereka keluarga jauh di atas harga gabah.

Jadi, pelarangan impor beras untuk tempo terbatas itu merupakan kebijakan yang bersipat propetani. Kebijakan tersebut sungguh amat bisa diharapkan menyelamatkan kepentingan petani. Mereka tak akan lagi terjebak dalam "ritual" yang amat menyakitkan saban kali musim panen raya tiba: harga gabah anjlok di bawah patokan pembelian pemerintah.

Bagi petani gabah, impor beras di saat panen raya memang menjadi momok. Terlebih seperti sekarang ini ketika produksi beras nasional diperkirakan mampu mencukupi kebutuhan konsumsi di dalam negeri.

Pihak Deptan memerkirakan bahwa produksi beras domestik akan mencapai 31,8 juta ton. Itu di atas kebutuhan nasional yang hanya sekitar 30,3 juta ton. Jadi, kita memiliki surplus produksi beras sekitar 1,5 juta ton. Surplus itu sendiri belum termasuk sisa stok tahun lalu yang menurut pihak Deptan berjumlah sekitar 1,9 juta ton plus beras yang beredar di masyarakat sebanyak 4 juta hingga 5 juta ton. Walhasil, kita sekarang ini masih memeliki kelebihan stok beras sekitar 7,4 juta ton. Karena itu, impor beras sama sekali sungguh tidak memiliki alasan.

Selama ini, khususnya sejak kita dipaksa Dana Moneter Internasional (IMF) menghapus subsidi dan pajak tarif impor, nasib petani boleh dikatakan praktik tak menjadi kepedulian pemerintah. Dalam konteks ini, impor beras dibiarkan menggelontor deras tanpa kenal musim. Desakan berbagai kalangan agar bea masuk beras dinaikkan nyaris tak digubris pemerintah. Bahkan setelah pada Desember 2002 lalu bea masuk beras ini disepakati dinaikkan dari Rp 430 menjadi Rp 510 per kilogram, pemerintah tetap terkesan gamang. Buktinya, pernerapan tentang kenaikan bea masuk itu tak kunjung dilaksanakan -- tanpa alasan jelas.

Karena itu, keputusan Menperindag Rini Soewandi melarang impor beras untuk tempo terbatas itu -- sebulan sebelum musim panen raya, selama panen raya, dan dua bulan setelah panen raya -- serta-merta menjadi alternatif yang melegakan. Betapa tidak, karena panen raya kini sudah di depan mata. Bisa dibayangkan jika kebijakan itu tak segera keluar, saat panen raya niscaya menjadi malapetaka bagi petani: harga gabah kembali amburadul seperti saat musim panen raya pada tahun-tahun lalu.

Namun demikian, nasib petani sebenarnya belum benar-benar aman. Meski kran impor beras resmi sudah ditutup sementara, harga gabah masih mungkin tergelincir ke tingkat yang membuat petani tertohok. Itu bisa terjadi selama impor beras secara ilegal masih saja berlangsung. Bahkan kita khawatir bahwa pelarangan sementara import beras justru membuat arus masuk ilegal beras dari mancanegara kian meraja-lela.

Kemungkinan seperti itu tak bisa kita tepiskan. Disparitas harga beras di pasar domestik dan di pasar internasional bagaimanapun amat menggoda orang untuk berupaya keras -- dengan berbagai cara -- memasukkan beras ke dalam negeri. Seperti kata Kepala Badan Ketahanan Pangan Achmad Suryana, dengan tarif pajak impor beras Rp 430 per kilogram, sekarang ibni importir masih bisa menjala untung sekitar Rp 500 per kilogram. Itu karena harga beras impor cuma Rp 233 per kilogram, sementara di pasar dalam negeri harga beras rata-rata Rp 1.223 per kilogram.

Kenyataan itu pula yang membuat banyak pihak seperti berlomba mengimpor beras. Bahkan semangat melakukan itu secara ilegal lebih menggebu lagi karena importir bersangkutan bisa menangguk keuntungan sampai Rp 930 per kilogram.

Karena itu, kita khawatir pelarangan impor beras untuk sementara waktu ini semakin memacu orang menyelundupkan bahan pokok itu secara ilegal ke pasar domestik. Justru itu, kebijakan Menperindag itu pun bisa mandul alias tidak efektif.

Itu jelas menjadi tantangan serius bagi jajaran aparat Bea Cukai. Mereka amat diharapkan mampu mengamankan kebijakan Menperindag tentang pelarangan impor beras tadi. Dalam konteks ini, kemampuan dan komitmen aparat Bea Cukai mengatasi penyelundupan beras sungguh menjadi taruhan.***
Jakarta, 13 Januari 2004

09 Januari 2004

Kenapa Risau?

Langkah pemerintah mencabut fasilitas bebas pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) di Batam, yang mulai berlaku sejak 1 Januari lalu, serta-merta mengundang reaksi sejumlah kalangan. Reaksi mereka terkesan begitu emosional: bahwa kebijakan pemerintah yang tertuang dalam PP No 63/2003 itu membuat Batam kehilangan daya tarik istimewa bagi kegiatan investasi.

Bagi mereka, pengenaan PPN dan PPnBM niscaya membuat Batam bukan lagi surga investasi. Justru itu, pencabutan fasilitas bebas PPN dan PPnBM bukan saja membuat Batam sulit menarik masuk pemilik modal baru. Lebih dari itu, bisa-bisa investor (asing) yang selama ini sudah berkirah di Batam pun lantas memilih hengkang.

Asumsi seperti itu mungkin berlebihan. Pertama, karena untuk sementara ini pencabutan fasilitas bebas PPN dan PPnBM di Batam ini -- menurut PP No 63/2003 -- hanya meliputi tiga jenis barang kena pajak: kendaraan bermotor, minuman beralkohol, serta rokok dan hasil tembakau lain. Setelah itu, mulai awal Maret, menyusul produk elektronika dikenai PPN dan PPnBM pula.

Kedua, karena PP No 63/2003 juga menggariskan bahwa industri yang berorientasi ekspor di Batam tetap menikmati fasilitas bebas PPN dan PPnBM seperti selama ini. Jadi, transaksi dalam negeri maupun impor barang kena pajak yang akan menghasilkan produk ekspor tidak dikenai PPN.

Demikian pula dengan sejumlah fasilitas bebas PPN, sebagaimana diatur pasal 16 B Undang-undang PPN, untuk wilayah Batam tetap berlaku. Karena itu, industri berorientasi ekspor ini sama sekali tak beralasan dikhawatirkan hengkang karena mereka tetap tidak dikenai PPN dan PPnBM.

Walhasil, sebenarnya, PP No 63/2003 ini tidak mesti serta-merta membuat kegiatan investasi di Batam mengalami kiamat. Apa yang lebih mungkin terjadi adalah bahwa praktik-praktik penghindaran pajak yang selama ini menggejala -- yakni dengan memanfaatkan status Batam sebagai wilayah yang menikmati fasilitas bebas pajak -- menjadi tak terlampau leluasa lagi. Dengan kata lain, PP No 63/2003 amat mungkin membuat ruang gerak bagi praktik penghindaran pajak menjadi menyempit.

Memang, nyaris menjadi rahasia umum bahwa status Batam yang selama ini memeroleh keistimewaan berupa fasilitas bebas pajak banyak dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk menghindari pengenaan pajak. Banyak perusahaan yang sama sekali tidak memiliki cabang di Batam sering memanfaatkan wilayah tersebut sebagai tempat bertransaksi. Mereka sengaja menjalin transaksi di Batam semata agar terbebas dari pengenaan pajak.

Semangat menekan praktik seperti itu pula, sebenarnya, yang melatari kebijakan pemerintah menerbitkan PP No 63/2003 ini. Ditjen Pajak Hadi Purnomo, dalam kaitan ini, menyatakan bahwa pengenaan PPN dan PPnBM di Batam -- atas tiga jenis barang kena pajak tadi -- bisa menghasilkan pemasukan pajak sekitar Rp 400 miliar per tahun. Itu jelas lumayan menambah penerimaan pajak.

Namun demikian, itu tak otomatis berarti bahwa langkah penerbitan PP No 63/2003 ini bisa benar-benar produktif. Kita khawatir bahwa secara psikologis kebijakan yang mencabut fasilitas bebas PPN dan PPnBM di Batam itu -- terutama kalau kebijakan tersebut tak cukup tersosialisasi -- membuat kalangan investor di sana merasa tidak nyaman lagi. PP No 63/2003 bisa-bisa mereka anggap sebagai bukti nyata pengingkaran pemerintah atas janji-janji tentang insentif investasi di Batam.

Karena itu, jangan-jangan benar kekhawatiran orang bahwa PP No 63/2003 membuat kalangan investor hengkang dari Batam. Jika itu terjadi, alih-alih menangguk tambahan penerimaan sebesar Rp 400 miliar seperti disebut Hadi Purnomo tadi, penerimaan pajak di kawasan tersebut boleh jadi malah turun.

Jujur saja, apa yang lebih relevan dan urgen dilakukan pemerintah sebenarnya bukan menyelamatkan potential loss penerimaan pajak di Batam yang menjadi ekses fasilitas bebas PPN dan PPnBM, melainkan menuntaskan UU Zona Perdagangan Bebas (FTZ) Batam. Dengan itu, kalangan investor beroleh kepastian bahwa berbagai insentif yang dijanjikan pemerintah tak bakal dipreteli atau dicabut.

Fakta menunjukkan bahwa dalam soal UU FTZ Batam ini, sikap atau janji pemerintah tak bisa dipegang. Sebut saja pernyataan Menko Perekonomian yang menyebutkan bahwa UU FTZ paling lambat sudah klar pada akhir tahun 2003. Nyatanya, hingga kini kepastian tentang itu masih tetap tanda tanya besar.

Karena itu, kekhawatiran bahwa PP No 63/2003 membuat Batam kehilangan daya tarik bagi kegiatan investasi jadi terasa masuk akal.***
Jakarta, 9 Januari 2004

02 Januari 2004

Tonggak Menuju Perbaikan

Tahun baru 2004 mulai kita jalani. Semoga tahun ini bukan sekadar jadi tonggak kita menggantungkan harapan. Tahun baru 2004 jangan sekadar menjadi rutinitas kita merangkai mimpi indah yang sejenak kemudian kita lupakan begitu saja seperti setiap kali kita selama ini menyongsong tahun-tahun baru. Tahun baru 2004 jangan sampai tak memberi dampak apa-apa bagi kehidupan kita bersama sebagai bangsa. Tahun baru 2004 harus menjadi tekad dan kesungguhan kita mengatasi bersama tantangan dan masalah-masalah besar yang merubung kita.

Di bidang ekonomi, masalah besar itu sungguh mengundang prihatin sekaligus mencemaskan. Jumlah pengangguran, misalnya, sudah demikian membengkak dan potensial terus membengkak. Bagaimanapun, jumlah pengangguran terbuka sebanyak 10 juta jiwa sungguh merupakan masalah besar. Terlebih bila memerhitungkan pula beban setengah pengangguran yang juga tak terbilang sedikit.

Itu niscaya bisa melahirkan implikasi serius terhadap kenyamanan kehidupan keseharian kita. Selama ini saja, kita sudah merasakan sendiri betapa tindak kejahatan semakin terasa menakutkan: dari segi jumlah terus meningkat, sementara dari segi kualitatif juga kian membuat kita miris.

Dalam konteks itu pula, kesempatan kerja masih saja amat langka. Berbagai proyeksi menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi kita tahun ini masih akan bertumpu pada sektor konsumsi. Itu berarti, lapangan kerja baru belum lagi akan banyak tercipta.

Apa boleh buat, kalangan pemilik modal masih atau bahkan terkesan semakin enggan melakukan investasi langsung di negeri kita. Arus modal lebih banyak berputar dalam bentuk portofolio yang bukan saja tidak membuka lapangan kerja baru, melainkan juga bersipat "panas" karena sewaktu-waktu bisa ditarik dan dipindahkan begitu saja ke luar negeri.

Daya tarik negeri kita sebagai alternatif investasi langsung memang semakin pudar. Di mata para pemilik modal, negeri kita bukan lagi surga investasi. Karena itu, data menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir investasi terus menurun: dalam segi jumlah proyek maupun nilainya. Tahun 2002, misalnya, dari 1.151 proyek PMA yang disetujui pemerintah, hanya 425 proyek yang direalisasikan dengan nilai investasi sekitar 9,5 miliar dolar. Sementara tahun 2003, investasi asing yang disetujui pemerintah ini hanya 773 proyek dan realisasinya hanya 338 proyek senilai 2,03 miliar dolar.

Di sisi lain, gambaran tentang kegiatan investasi langsung ini juga tercermin dari fungsi intermediasi perbankan yang nyaris mandek. Dana masyarakat yang berhasil dihimpun perbankan nasional lebih banyak diinvestasikan ke dalam surat-surat berharga, termasuk sertifikat Bank Indonesia. Sementara yang tersalur sebagai kredit ke sektor riil relatif sangat sedikit.

Karena itu, sekali lagi, penciptaan lapangan kerja baru sangat sedikit tertoreh. Tak heran jika di tengah pertumbuhan angkatan kerja baru yang sama sekali tak bisa dibendung, jumlah pengangguran semakin membengkak. Sementara, di lain pihak, tindak pemutusan hubungan kerja (PHK) malah menambah beban masalah -- sekali lagi akibat iklim investasi yang tidak kondusif.

Kenyataan seperti itu, kita akui, bukan tak disadari pemerintah. Bahkan Presiden Megawati Soekarnoputri sendiri sampai tergerak mencanangkan tahun 2003 sebagai Tahun Investasi. Tetapi seperti sejumlah program lain, Tahun Investasi pun ternyata boleh kita katakan hanya menjadi gagasan muluk.
Ya, karena langkah konkret terkendala oleh kekurangseriusan berbagai pihak di lapangan.

Karena itu, tahun baru 2004 seyogyanya benar-benar menjadi momentum bagi kita semua untuk menunjukkan kesungguhan mengatasi masalah-masalah besar dan mendesak. Tahun baru 2004 harus menjadi tonggak yang membawa perubahan berarti bagi kehidupan kita bersama sebagai bangsa. Pemerintah, terutama, amat kita harapkan menjadi tumpuan dalam memelopori dan menggelorakan semangat ke arah itu.

Dalam konteks itu pula, pihak mana pun yang kelak tampil menjadi pemenang Pemilu 2004 -- termasuk figur yang terpilih menjadi presiden -- harus menyadari betul tantangan dan tuntutan itu. Jika tidak, niscaya kita tak akan pernah mampu mengatasi masalah-masalah besar, khususnya di bidang ekonomi. Pemulihan ekonomi pun, seperti terlihat sekarang ini, hanya menapak di level makro. Sementara sektor mikro terus saja megap-megap terhimpit aneka masalah besar.

Untuk itu, Pemilu 2004 menjadi pertaruhan. Pemilu 2004 harus benar-benar berlangsung aman dan sukses. Kita semua harus mengenyahkan berbagai kemungkinan yang bisa menggagalkan pemilu ini.***
Jakarta, 2 Januari 2004

Tonggak Menuju Perbaikan

Tahun baru 2004 mulai kita jalani. Semoga tahun ini bukan sekadar jadi tonggak kita menggantungkan harapan. Tahun baru 2004 jangan sekadar menjadi rutinitas kita merangkai mimpi indah yang sejenak kemudian kita lupakan begitu saja seperti setiap kali kita selama ini menyongsong tahun-tahun baru. Tahun baru 2004 jangan sampai tak memberi dampak apa-apa bagi kehidupan kita bersama sebagai bangsa. Tahun baru 2004 harus menjadi tekad dan kesungguhan kita mengatasi bersama tantangan dan masalah-masalah besar yang merubung kita.

Di bidang ekonomi, masalah besar itu sungguh mengundang prihatin sekaligus mencemaskan. Jumlah pengangguran, misalnya, sudah demikian membengkak dan potensial terus membengkak. Bagaimanapun, jumlah pengangguran terbuka sebanyak 10 juta jiwa sungguh merupakan masalah besar. Terlebih bila memerhitungkan pula beban setengah pengangguran yang juga tak terbilang sedikit.

Itu niscaya bisa melahirkan implikasi serius terhadap kenyamanan kehidupan keseharian kita. Selama ini saja, kita sudah merasakan sendiri betapa tindak kejahatan semakin terasa menakutkan: dari segi jumlah terus meningkat, sementara dari segi kualitatif juga kian membuat kita miris.

Dalam konteks itu pula, kesempatan kerja masih saja amat langka. Berbagai proyeksi menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi kita tahun ini masih akan bertumpu pada sektor konsumsi. Itu berarti, lapangan kerja baru belum lagi akan banyak tercipta.

Apa boleh buat, kalangan pemilik modal masih atau bahkan terkesan semakin enggan melakukan investasi langsung di negeri kita. Arus modal lebih banyak berputar dalam bentuk portofolio yang bukan saja tidak membuka lapangan kerja baru, melainkan juga bersipat "panas" karena sewaktu-waktu bisa ditarik dan dipindahkan begitu saja ke luar negeri.

Daya tarik negeri kita sebagai alternatif investasi langsung memang semakin pudar. Di mata para pemilik modal, negeri kita bukan lagi surga investasi. Karena itu, data menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir investasi terus menurun: dalam segi jumlah proyek maupun nilainya. Tahun 2002, misalnya, dari 1.151 proyek PMA yang disetujui pemerintah, hanya 425 proyek yang direalisasikan dengan nilai investasi sekitar 9,5 miliar dolar. Sementara tahun 2003, investasi asing yang disetujui pemerintah ini hanya 773 proyek dan realisasinya hanya 338 proyek senilai 2,03 miliar dolar.

Di sisi lain, gambaran tentang kegiatan investasi langsung ini juga tercermin dari fungsi intermediasi perbankan yang nyaris mandek. Dana masyarakat yang berhasil dihimpun perbankan nasional lebih banyak diinvestasikan ke dalam surat-surat berharga, termasuk sertifikat Bank Indonesia. Sementara yang tersalur sebagai kredit ke sektor riil relatif sangat sedikit.

Karena itu, sekali lagi, penciptaan lapangan kerja baru sangat sedikit tertoreh. Tak heran jika di tengah pertumbuhan angkatan kerja baru yang sama sekali tak bisa dibendung, jumlah pengangguran semakin membengkak. Sementara, di lain pihak, tindak pemutusan hubungan kerja (PHK) malah menambah beban masalah -- sekali lagi akibat iklim investasi yang tidak kondusif.

Kenyataan seperti itu, kita akui, bukan tak disadari pemerintah. Bahkan Presiden Megawati Soekarnoputri sendiri sampai tergerak mencanangkan tahun 2003 sebagai Tahun Investasi. Tetapi seperti sejumlah program lain, Tahun Investasi pun ternyata boleh kita katakan hanya menjadi gagasan muluk.
Ya, karena langkah konkret terkendala oleh kekurangseriusan berbagai pihak di lapangan.

Karena itu, tahun baru 2004 seyogyanya benar-benar menjadi momentum bagi kita semua untuk menunjukkan kesungguhan mengatasi masalah-masalah besar dan mendesak. Tahun baru 2004 harus menjadi tonggak yang membawa perubahan berarti bagi kehidupan kita bersama sebagai bangsa. Pemerintah, terutama, amat kita harapkan menjadi tumpuan dalam memelopori dan menggelorakan semangat ke arah itu.

Dalam konteks itu pula, pihak mana pun yang kelak tampil menjadi pemenang Pemilu 2004 -- termasuk figur yang terpilih menjadi presiden -- harus menyadari betul tantangan dan tuntutan itu. Jika tidak, niscaya kita tak akan pernah mampu mengatasi masalah-masalah besar, khususnya di bidang ekonomi. Pemulihan ekonomi pun, seperti terlihat sekarang ini, hanya menapak di level makro. Sementara sektor mikro terus saja megap-megap terhimpit aneka masalah besar.

Untuk itu, Pemilu 2004 menjadi pertaruhan. Pemilu 2004 harus benar-benar berlangsung aman dan sukses. Kita semua harus mengenyahkan berbagai kemungkinan yang bisa menggagalkan pemilu ini.***
Jakarta, 2 Januari 2004